Ini Menyiksa Part. 2
Zee: Ares plis bisa enggak kamu jangan ngomong terus
kaya gitu?
Ares: Enggak bisa! Aku enggak bisa tanpa kamu
Zee: Bisa! Kalau kamunya mau.
Ares –mantanku-
terus-terusan merengek padaku kalau dia tidak bisa tanpaku. Entah kenapa aku
kehilangan selera untuk berhubungan dengan orang lain, termasuk dengan Ares
orang yang aku pacari selama satu tahun. Kami putus empat bulan yang lalu tapi
dia masih terus membayangiku dan membuat aku pusing. Mungkin aku terdengar
kejam, tapi menurutku ini yang terbaik bagi kami dan sebagai pembelajaran agar
dia paham untuk menghargai orang lain.
Sebenarnya aku
muak dengan istilah pacaran. Mengapa orang lain terlalu terobsesi pada kegiatan
berpacaran? Sehingga semua orang ingin memiliku.
Lukas, entah
bagimana caranya dia bisa menyukaiku. Kita belum pernah bertemu tetapi tidak
ada satu hari pun tanpa pesan darinya. Dia sangat lucu tetapi aku terlalu kaku
sehingga menyia-nyiakan momen-momen menyenangkan dengannya walaupun hanya dalam
chat.
Petra, dia juga
hanya seorang kenalan di sosial media. Dia sudah memiliki pacar tetapi masih saja
genit padaku tapi dia orang yang asik diajak ngobrol. Kami kadang mengganti
berbagai topik tanpa pembuka dan penutup terlebih dahulu.
Robi, teman
SMPku yang masih saja terus berada di sekitarku. Menyukai postinganku, menyukai
fotoku bahkan kita mulai saling berbalas pesan. Sepertinya dia masih
menyukaiku, karena menurut Helen orang yang selalu ada di sekitar kita artinya
dia ingin kita tahu bahwa dia ada dan kemungkinan sedang mencari perhatian.
Dan Yoga juga
dia tidak henti-hentinya mengajakku berpacaran padahal sudah berapa kali aku
menolaknya dan dia tidak menyerah.
“Cuekkin aja
coba. Kamu sih terlalu baik,” kata Niki salah satu sahabatku. “Nih kayak aku,
dia chat aku read doang,” lanjutnya sambil memperlihatkan salah satu chat dari
laki-laki yang mengganggunya.
“Aku enggak
bisa. Enggak tega,” jawabku.
“Kalau kamu
enggak tega ya bakal terus-terusan pusing kaya gitu,” tambahnya lagi.
Kami –aku,
Helen, Raya, dan Niki- adalah teman satu geng dan mereka sudah tau kerasnya
kepalaku untuk tidak berpacaran. Mereka sendiri memiliki kisah cinta
masing-masing. Raya masih dengan pacarnya semasa SMA, Niki dengan pacarnya yang
seorang tentara sedang menjalani hubungan jarak jauh dan Helen ini cewek yang
sering gonta-ganti gebetan karena emang belum ada yang pas.
“Zee, ini Yoga
ngechat aku. Bales apa nih?” Tanya Raya sambil memperlihatkan pesan dari Yoga.
“Aduh, jawab
apa ya terserah deh tapi jangan kasih tau. Aku ngeblock dia soalnya,”
Ya mungkin aku
jomblo tapi entah mengapa selera untuk membangun hubungan romantic itu woop
hilang. Aku hanya menyukai kesendirianku, kemandirianku, dan yang pasti
kebebasanku. Bahkan setelah aku putus lima bulan lalu aku masih belum
benar-benar sendirian. Banyak laki-laki yang selalu menghubungiku sampai aku
menghapus akun media sosialku dan mencoba untuk bersembunyi di balik dinding
rasa muak.
“Zeeeeee.. ada
yang nyariin” kata Helen yang duduk paling pinggir dan dekat dengan pintu yang
semenjak tadi sibuk dengan persuratan yang harus ia buat dengan laptopnya.
Aku melihat ke
arah pintu dan tadaaa di sana berdiri Cakra, atlet renang asal Jakarta yang
dulu pernah bertanding di kampus ini.
“Kamu kok
enggak bilang sama aku?”
“Surpriseeeee…”
dia terkekeh. “Aku tadi mantau kamu tuh di sana,” seakan mengerti apa yang aku
pikirkan dagunya menunjukkan arah dimana dia memperhatikanku sejak datang ke
kampus.
“Pantesan nanya
kuliah jam berapa. Eh kamu sampai kapan di sini?” tanyaku.
“Besok pulang,
makanya aku sempetin ke sini buat ketemu kamu, hehe” tuhkan daftar cowok yang
mengeliliku bertambah lagi.
“Tapi kan aku
lagi kuliah, sampai sore loh,” aku mencoba meruntuhkan semangatnya.
“Yaudah nanti
malem kita jalan. Gimana? Atau kamu capek?”
“Oh enggak kok,
nanti malem ya.” Kami sepakat dan diapun pergi karena kebetulan dosen mata
kuliah ini sudah datang.
“Nanti malem
mau jalan sama Cakra,” aku menghela napas.
“Kenapa kaya
yang enggak suka gitu?” Tanya Niki.
“Bodoh banget
sih gue bukannya tolak malah ngeiyain.”
“Bukan gue yang
ngomong ya,” kata Niki dan lalu kami tenggelam dalam materi kuliah yang
disampaikan oleh dosen.
Hari-hariku
berlalu hanya dengan kegiatan perkuliahan dan tenggelam dalam novel tebal
ataupun laptop untuk mencurahkan semua imajinasiku. tiba-tiba Cakra
menghubungiku.
Cakra: Zee
Zee: Iya Cakra
Cakra: Kamu lagi ngapain?
Zee: Lagi bikin cerpen, lo?
Cakra: Aku lagi break latihan
Zee: Cakra, gue mau nanya
Cakra: Mau nanya apa?
Zee: Lo suka
sama gue?
Cakra: Hmmmmmm, tertarik sih
Zee: Kenapa?
Cakra:
Enggak tahu. Menurutku kamu beda aja. Masa kamu enggak mau foto bareng atlet
nasional padahal aku udah tawarin. Eh malah aku yang ngajak kamu buat foto
hahaha
Zee:
Itu doang?
Cakra:
Hmmmm, apa yaaa? Itu sih Cuma permulaan ya, ke sininya kamu jutek-jutek bikin
gemas dan yang aku suka kamu itu banyak tahu. Aku suka sama cewek yang pinter.
Zee:
Tapi enggak ada niatan buat jadiin gue pacar kan?
Cakra:
Emang kamunya mau? Sempet sih kepikiran itu tapi kita kan jauh, aku juga sibuk,
aku sih mikirnya takutnya kamu enggak mau LDR jadi mending temenan aja. Kalau
aku kangen aku bisa sempetin ke Bandung.
Zee:
Oh yaudah….
Cakra:
Kamu jangan lupa makan siang. Aku latihan lagi ya, enggak kerasa padahal baru
bentar.
Perkataan manis Cakra tidak membuat perasaanku membaik, hatiku tetap
tidak merasakan apapun. Apa yang sedang terjadi padaku?
Sebulan berlalu dengan cepat, saatnya kembali dipadatkan untuk latihan
Angklung karena bulan depan akan ada Konferensi Internasional untuk membahas pendidikan
di dunia ketiga. Awalnya latihan hanya berlangsung tiga hari lalu dua minggu
sebelum pelaksnaan Konferensi Internasional kami latihan hampir setiap hari.
Kang Ali kadang marah-marah karena jumlah kami yang semakin sedikit tepat satu
minggu sebelum konferensi dengan alasan ada UAS, ya memang di kampusku juga UAS
dilangsungkan pada hari konferensi itu.
Satu minggu sebelum UAS dan Konferensi Internasional sudah menjadi
kebiasaan di departemenku selalu menetapkan deadline pengumpulan tugas. Aku sibuk
dengan segala bentuk laporan hasil pengamatan dan laporan-laporan lainnya.
Dalam gengku tepat sekali kami tidak ada yang satu kelompok semuanya menyebar,
tapi kami sepakat untuk mengerjakan semua laporan bersama-sama di café sambil
minum kopi. Walau kami berbeda kelompok tapi mengerjakan bersama teman
setidaknya menghilangkan kejenuhan kami dalam lautan laporan yang harus digarap.
“Ih sebel banget sama si Eva, udah tahu deadline masa dia enggak tahu
tugasnya apa. Kan aku udah bagi-bagi dan daftar tugasnya udah dikirim di
multichat. Sebel!” Raya ngedumel gara-gara Eva sudah semester 7 belum mengerti
tanggung jawabnya sebagai mahasiswa.
“Emang gitu kan dia mah, sibuk enggak jelas.” Celetuk Niki sambil terus
memainkan ponselnya dan membiarkan laptopnya tidak disentuh. Memang Niki ini
anaknya senang sekali selfie, sedikit-sedikit buka Instagram, selfie lagi, chat
sana-sini. Pas kita beres bilang minta ditungguin. “Zeeeeee!!!!!”
“Apa?” kataku singkat sambil terus mengetik. Prinsipku time is money.
“Kamu udah enggak punya Instagram ya?” tanyanya lagi.
“Iya, emang kenapa?” jawabku sambil tetap mengetik.
“Liat!” ponselnya ditaruh di atas keyboardku dan seketika aku berhenti
mengetik karena harus menyingkirkan ponselnya, tetapi pas aku ambil ponsel Niki
dari laptopku ku lihat layarnya menampilkan sebuah foto yang membuat aku
terperanjat. “Stres tuh orang!”
“Apaan sih?” Tanya Helen ingin tahu.
“Buka Instagram. Parah banget! Kalau marah ya enggak usah gitu, malu
kali udah gede kelakuan masih kaya anak-anak,” aku tak mendengarkan apa yang
Niki katakan, aku terus membaca komentar yang diberikan pada foto itu.
“Nih,” aku kembalikan ponsel Niki dan kembali melanjutkan penggarapan
laporan kelompokku.
“Itu kamu bukan sih?” Tanya Niki.
“Parah banget tuh cowok!” Raya kesal.
“Bodo ih! Lagi cari perhatian kamu itu tuh” Helen ikut-ikutan menimpali
dan aku tetap diam tidak ada reaksi. Melihat tidak ada respon dariku, mereka
memilih kembali kepada laptop masing-masing termasuk Niki yang mulai
melanjutkan mengerjakan laporannya dan menyingkirkan jauh-jauh ponselnya.
Mereka semua tahu kalau aku dalam mood
yang buruk aku akan diam seribu bahasa dengan wajah tanpa ekspresi.
***
Zivana Maria,
ya tetap nama itu selalu aku ingat yang tersimpan rapi dalam memori otakku.
Zee, Zee, dan selalu Zee. Sebenarnya aku satu kampus dengannya dan kami teman
satu angkatan, sama-sama semester 7. Tapi urusanku bukan hanya memikirkan Zee,
aku kebetulan menjabat sebagai ketua DPM, ketua UKM salah satu cabang olahraga,
ketua komunitas dari asal daerahku, ketua kelas, ketua divisi di BEM, dan ketua
kost. Maaf Zee karena tanggung jawabku yang banyak aku jarang menghubungimu.
“Zee makan
yuk,” aku mengirim pesan padanya. Biasanya dia langsung membalas tapi setelah 2
jam dia tidak membalas bahkan tidak membaca pesanku.
“Eh maaf aku
abis ngecharge, hehe” jawabnya. “Kamu udah makan?” aku mengiyakan.
Percakapan kami
hanya sebatas hal-hal yang kecil karena aku yang sibuk membuat percakapan kami
tidak maksimal. Terkadang aku akan meneleponnya, hanya ingin mendengar suaranya
dan cara bicaranya yang menggemaskan.
Yoga: Zee, kapan kamu mau pacaran?
Zee: Enggak tahuuuuuuuuu
Yoga: Nanti kamu keburu diambil orang
Zee: Da gamau pacaran dulu
Yoga: Ya tetep aja nanti kalau keduluanin gimana?
Zee: No comment
Yoga: Hayu ih pacaran. Aku udah nungguin lima bulan
masa masih enggak mau
Zee: Ih enggak mau pacaran akunya Yogaaaaa
Yoga: Atuhlaaaah
Zee: Eh kamu lagi ngapain?
Yoga: Lagi tiduran
Zee: Kamu sakit ya?
Yoga: Iya lagi flu
Zee: Banyak minum air putih
Yoga: Enggak punya air
Zee: Pesen ih delivery ke mang galon
Yoga: Udah tutup jam segini mah. Tutupnya dari jam 5
sore
Zee: Ih masih siang, masih jam 6 kurang masa udah
tutup. Kamu udah makan?
Yoga: Belum
Zee: Makan ih
Yoga: Enggak bisa jalan, pusing
Zee: Nitip ke temen kamu
Yoga: Enggak ada siapa-siapa di sini
Zee: Ai tadi ngobrol sama siapa?
Yoga: Temen aku, tapi dia baru aja pergi
Zee: Harus bangun biar bisa makan sama beli air
botol
Yoga: Harusnya kalau kamu nyuruh makan kamu ke sini
sambil bawain makanan
Zee: Ih udah malem
Yoga: Katanya belum
Zee: Belum buat mamang gallon, buat aku mah udah malem.
Yoga: Zee…..
Zee: Kenapa Yoga?
Yoga: Hayu ih pacaran
Zee: Ih, kamu cari cewek lain aja
Yoga: Enggak bisa da aku mah sukanya sama kamuuu
Zee: Kan aku udah bilang aku enggak ada rasa sama
kamu
Yoga: Atuh jalanin aja dulu, rasa mah belakangan.
Kan yang taaruf udah nikah juga bisa pacaran.
Zee: Yaudah nikahin aku
Yoga: Asli?
Zee: Katanya pengen pacaran
Yoga: Maksudnya yang taaruf juga kan awalnya enggak
ada rasa terus ada lama-lama.
Zee: Hehe.. Kalau solat bisa bangun enggak?
Yoga: Bisa solat mah
Zee: Yaudah kamu juga harus bisa keluar buat beli
makan
Yoga: Da di sebelah kamar mandinya
Zee: Ih atuh agak jauh, ayo anak olahraga harus
kuat.
Dan percakapan kami selesai setelah dia ingin
mengakhiri percakapan kami dengan alasan akan solat. Zee, susah banget sih
dapetin kamu.
***
“Bro!!!!!!” Ardan
berlarian dan semangat seperti biang gossip mendapat berita hot.
“Apaan dateng-dateng,” aku kehilangan fokus dalam
menggarap skripsi yang baru menapaki bab pendahuluan.
“Lihat iniiii, niiiii….” Katanya sambil
memperlihatkan ponselnya.
“Apaan dah,” kataku santai.
“Ini si Zeeee! Gebetan lo!!!!!”
“Iya tahu,” jawabku masih sambil mentap layar
laptop.
“Terus ngapa lo biasa aja?” Ardan masih on fire dengan info yang baru dia
dapatkan.
“Gini ya Ma
Bro Ardan, lo bisa bedain enggak mana editan sama enggak???” aku mulai
menjelaskan padanya bahwa foto tersebut hanya editan, sesempurna apapun
hasilnya menurut Ardan tapi dimataku –yang calon seorang ahli telematika ini-
masih terlihat cacatnya. “Jadi lo enggak usah teriak-teriak bawa berita bohong
kaya gini lagi, okay? Tolong stop penyebaran HOAX!”
“Tapi kan ini kayak beneran,”
“Kayak? Seperti? Look like? Similar? Mirip? Asli?
Semuanya objek yang berbeda Bro Ardan hanya serupa, dan itu permainan indra
penglihatan kita. Padahal kalau lo emang tertarik lo bisa gali dari foto ini,
buat bahan penelitian lo, tuh ‘Pengaruh Hoax Picture terhadap kehidupan sosial
korban” Ardan hanya garuk-garuk kepala skak mat, mendengar penjelasan ilmiah
dariku. “Report aja berita hoax macam
itu mah,”
Ngomong-ngomong kenapa foto Zee bisa kesebar gini
sih? Ada apa?
Gue hubungin dia apa ya?
Ah jangan kan kita enggak deket, kalau gue tiba-tiba
ngehuungin dia pas lagi booming
berita itu dia pasti ilfeel sm gue.
Gue harus gimana?
***
“Zee, ini si Jojo di grup kampanye anti hoax mau
ikutan ga?” aku cek grup komunitas Angklung yang aku dan Raya ikuti dan ya Jojo
beberapa kali mengirimkan beberapa undangan kampanye anti hoax dari beberapa
sumber sehingga banyak bangeet pesan dari dia yang isinya kampanye. Nih anak
kapan jadi aktivis anti hoax?
“Aku share
aja deh, sebagai kontribusi aku buat menyadarkan orang-orang hoax itu berbahaya
bangeeeet buat korbannyaaaaaa……” aku menanggapi dan menekan-nekan layar ponsel
dengan gemas.
Aku tidak tahu seluas apa beritanya menyebar, tapi
yang pasti dalam sebulan ini setelah berita itu menyebar tidak ada lagi Cakra,
tidak ada lagi Petra, tidak ada lagi Lukas, Robi dan juga Yoga. Kalau aku
melihat dari sisi positifnya sih aku bersyukur karena tidak diganggu oleh
mereka lagi, tapi dijauhi orang-orang karena hal yang tidak kita lakukan
sangatlah menyedihkan. Aaah aku jadi mengingat kejadian yang dengan susah payah
coba aku lupakan.
Ini ujian mahasiswa tingkat akhir, banyak godaan. Keep focus on your goals Zee!
Aku melangkah keluar, dengan setelan jogging, sebotol air mineral, rambut
diikat kucir kuda, dan topi tentunya.
***
Sudah cukup terkuras tenagaku pagi ini, keringat
bercucuran di dahi, dada, punggungku yang membuat kaos berwarna abu-abu yang
kupakai ini basah. Air mineral dalam botol yang ku bawapun sudah habis
kutenggak. Aaaah rasanya menyegarkan sekali setiap habis olahraga, pikiranku
pun tidak stress oleh skripsiku yang ku kerjakan lebih awal dari teman-teman
yang lain.
Saat sedang berjalan menuju parkiran, di depan
mataku ku tangkap sesosok tubuh yang aku kenal. Mungil, kunciran ekor kuda,
casual dan tentunya cantik. “Zeee!” dia tersenyum padaku.
“Heiii,”
“Mau kemana?” aku berlari kecil menghampirinya.
“Mau jogging
nih, kamu baru beres jogging juga?”
“Iya baru beres, tapi aku bisa temenin kamu jogging kok,” aku salah tingkah.
“Baju udah basah keringetan gitu. Aku bisa sendiri
kok, kalau mau pulang ya pulang aja,”
“Um, aku pikir porsi jogging hari ini masih kurang deh.” Zee mengerutkan keningnya. “Oh
ini keringetan karena matahari sudah bersinar terang jadi faktor cuaca, enggak
usah khawatir,”
“Aku kesiangan ya buat jogging?”
“Enggak kok, enggak ada kata terlambat untuk
olahraga hehe,” kami berbincang sambil berjalan santai menuju stadion. Para
pengunjung sudah banyak yang pulang menyisakan beberapa orang yang masih terus
berlari mengelilingi lapangan bola.
“Kamu suka jogging?”
tanyaku pada pemanasan kedua kalinya.
“Baru mulai sebulan yang lalu, soalnya aku ngerasa
penat banget sama kehidupan aku,” ekspresinya serius pemanasan dan ditambahkan
sedikit perasaan kecut pada apa yang terjadi padanya satu bulan yang lalu.
Aku tahu yang kamu maksud, Zee.
Aku harus jawab apa?
Apa lagi yang harus kita bicarakan?
Kenapa aku jadi bingung??
Aku akan bicara mengenai cuaca saja.
“Udah jam 10 lewat 12 loh, mulai jogging aja?”
ajakanku seakan menyadarkannya dan ekspresinya berubah secara tegas menjadi
lebih keras. Ia mengatupkan rahangnya, tatapannya tajam ke depan dan tanpa
senyum sedikitpun.
Dia mengambil ancang-ancang dan langsung melesat.
“Zee, katanya mau jogging ko malah cepet larinya?” aku berteriak.
Dia tidak memperlambat kecepatannya, satu putaran
berhasil ia kelilingi dan ia sempat akan menyalipku jika aku tak
memberhentikannya. Aku meraih tangannya membuatnya berhenti, “Ada apa?”
Dia tak menjawab dan terus menunduk seakan sedang
menyembunyikan wajahnya. “Zee, hei? Kenapa?” dia terisak, saat itu aku yakin
dia sedang menangis.
Aku mengajaknya untuk menepi, mencari tempat untuk
duduk. “Mau aku ambilin minum?” dia menggeleng. “Aku ambilin ya?” dia menahan
tanganku dan bersandar, isakannya semakin terdengar kencang.
“Ada apa? Kalau mau cerita, aku siap dengerin kok,”
aku menawarkan dengan senang hati.
“Satu bulan yang lalu, di Instagram ada fotoku dalam
pose yang tidak senonoh….” Dia berhenti karena tertahan isakannya. “Aku
sebenernya udah enggak punya Instagram dan itu juga aku tahu dari temenku, pas
aku lihat banyak banget yang komen dan semua maki-maki aku, emang sih enggak
nyebutin nama aku tapi dia nyebutin departemen dan kampus kita, aku sempet
dipanggil sama ketua departemen dan di sana banyak banget dosen yang tentunya
pasti mereka juga tahu. Aku duduk dikelilingi semua dosen, aku pesakitan yang
tak bersalah. Aku sudah menjelaskan semuanya, mulut mereka mengatakan bahwa
mereka mempercayaiku tapi mereka seakan membenciku, sikapnya ketika bertemu
denganku, saat berada di kelas. Itu membuatku sedih..”
Ia masih menunduk tak mau menampakkan wajahnya
padaku, sambil melanjutkan cerita aku mencoba merangkul pundaknya, menjelaskan
bahwa aku akan membuatmu tenang.
“Aku sempat depresi dan 2 hari bolos kuliah, tapi
setelah aku pikir-pikir kalau aku menghindar orang-orang akan berpikir bahwa
aku memang salah. Jadi aku datang mencoba jadi Zivana yang seperti biasa.
Tapiiii semua kepura-puraan itu membuat aku lelah, setiap kali aku sedih aku
datang ke sini untuk berlari. Berlari sekencangnya, tak peduli jam berapa yang
pasti aku ingin berlari dan terus berlari.”
Aku memang tidak merasakan apa yang sedang Zee
rasakan tapi aku tahu yang ia alami sangatlah berat, bagaimana bisa ada orang
yang tega melakukan hal ini kepada perempuan ini.
“Kamu tahu siapa pelakunya?” aku mencoba bertanya.
Ia mengangguk, “Mantanku..”
“Ares?” ia mendongakan kepala dan menatapku.
“Kok kamu tahu?” tanyanya kaget.
“Aku tahu masalah foto itu, setelah tahu aku
langsung lapor ke Kominfo dan mereka langsung menindaklanjuti masalah ini.
Setelah laporan yang aku buat selesai, aku pastikan di internet sudah tidak ada
lagi foto itu,” wajahnya kembali cerah. “kecuali yang sempat dicapture”
wajahnya berubah menjadi muram lagi. “Maafin aku Zee,” aku merasa bersalah,”
***
“Enggak apa-apa kok Jo, makasih banget malah. Emang
udah jadi jalan hidup aku kali difitnah kaya gitu, udah jadi jalan hidup aku
mengalami fase dijauhin sama orang-orang,” aku tersenyum kecut. “Tapi kenapa
kamu malah mau nemenin aku lari?”
“Eh” dia salah tingkah, “Enggak apa-apa, Cuma kurang
porsi lari,”
“Tetap itu jawabannya?” aku mencoba menggodanya
walaupun aku masih merasa sesak. Bahagia kita yang buat bukan?
Kami saling terdiam, menatap langit pukul setengah
11 siang. Langit sangat cerah, bersih tanpa awan.
“Zee, kamu jangan ngerasa sendiri. Jangan ngerasa
dijauhi sama semua orang. Ketika kamu berpikir seperti itu lagi, coba untuk
sadarkan diri dan memikirkan aku. Aku enggak akan menjauh dari kamu,”
“Kenapa?” aku menoleh pada pernyataannya yang
tiba-tiba. “Semua orang pergi menjaga jarak dariku bahkan teman-temanku sudah
menjadi orang yang berbeda sekarang,”
“Orang menjauh karena mereka tidak mengerti apa yang
sebenarnya terjadi, rasa benci, bingung, takut, dan sebagainya yang ada di
pikiran semua orang itu karena mereka tidak paham pada apa yang sebenarnya
terjadi. Bukankah orang-orang selalu hanya melihat dari luarnya saja tanpa mau
memasuki lebih dalam dan menelisik apa yang sebenarnya terjadi?” ya benar,
orang-orang tidak mengerti apa yang terjadi padaku dan mereka tidak mencoba
untuk mau mengerti.
“Zee,” aku menoleh padanya. “Kalau ada apa-apa
jangan sungkan buat bilang sama aku. Dimanapun aku, kalau kamu butuh aku, aku
akan samperin kamu, aku janji,” aku menatapnya, tak mampu berkata-kata.
Untuk apa semua ini Jo?
“Jangan sedih lagi ya? Semangat kuliahnya! Ayo Zee
bangun!” aku tersenyum kecil. Aku bangkit berdiri dan kami menuju pintu keluar
meninggalkan luka-luka yang aku lepaskan saat berlari.
Dia mengantarku sampai jalan terdekat menuju tempat
kostku dan ia berjalan kembali ke parkiran untuk mengambil motornya. Aku
berjalan santai, karena aku merasa bahwa aku tidak akan menanggung beban berat
ini sendiri, aku punya Jojo.
Beberapa bulan kemudian.
“Mah, doain Zee ya besok Zee sidang…. Iya mah
makasih ya…. Iya mah Zee harus tenang….. Daaah mama, salam buat papa sama
adik-adik” sambungan teleponpun terputus.
Besok pagi pukul 08.00 semua mahasiswa yang akan
mengikuti sidang harus sudah berkumpul dengan membawa semua keperluan, seperti
laptop yang tentunya berisi materi presentasi, naskah skripsi untuk dosen
penguji, dan tentunya mental.
Ya, satu semester telah aku lalui dengan isu
tentangku yang semakin hari semakin meredup lalu hilang, aku hanya perlu bersabar
dalam menjalani hari-hariku di kampus. Tentunya aku bisa kuat menghadi semua
karena ada sosok Jojo yang selalu menyemangati aku, padahal ia sendiripun perlu
pasokan semangat untuk menghadapi tuntutan pekerjaannya. Ya dia sudah memiliki
pekerjaan sekarang, lebih dahulu lulus dari waktunya dan itu luar biasa.
Aku mencoba latihan untuk mempresentasikan isi dari hasil
jerih payahku yang aku garap selama satu semester ini, tulisan ini suatu
kebanggaan tersendiri bagi semua mahasiswa. Aku mencoba terus, berdiri di depan
kaca, tersenyum ramah, mempresentasikan, membaca kembali materinya, mecoba
menebak pertanyaan apa yang akan dilontarkan oleh dosen penguji. Begitu yang
kulakukan terus dan terus selama seharian ini, padahal dalam hati aku menunggu
Jojo menghubungiku tapi kan sekarang masih jam kerja mungkin nanti malam.
***
Menjadi creativepreneur memang menyenangkan bagiku
tapi aku kadang merasa tidak tenang dan menjadi kacau ketika aku belum
menghubungi Zee. Otakku tiba-tiba menjadi tumpul dan beku, tak ada satupun ide
yang muncul, bahkan pekerjaan yang rutinpun terasa rumit. Masih pukul 1 lewat 39
menit, aku menyesal tidak menghubunginya saat jam istirahat karena aku merasa
lapar, aku tidak sarapan akibat kesiangan setelah lembur. Baik, demi kebaikanku
dan kantor aku perlu mengisi energiku dengan menghubungi Zee. Tapi aku ragu,
apakah aku mengganggunya? Kan besok dia sidang, mungkin dia sibuk sekarang.
Aku membuka aplikasi pesan instan dan mencari
namanya, aku berpikir apa yang harus dilakukan. Hubungi atau tidak? Tanpa
sengaja aku menekan free call, aku langsung membatalkannya lalu pesan darinya
muncul.
Zee: Ada apa?
Aku girang tidak kepalang. Zee menanggapi secepat
itu, apakah dia sedang menunggu pesan dariku? Ah mana mungkin.
Jojo: Eh maaf Zee kepencet hehehe
Zee: Lagi buka chat dari aku yaaaa???? (Stiker
tertawa)
Kok dia tahu?
Jojo: Kebetulan buka LINE tapi langsung chat dari
kamu yang muncul, aku langsung close deh kayaknya tadi malem
Kenapa enggak bilang ya aja Jo??
Zee: Oh, eh bukannya kamu lagi kerja?
Jojo: Iya Zee, mau liat?
Aku kirim foto selfie di mejaku
Zee: (stiker tertawa)
Jojo: Kenapa ketawa
Zee: Tumben banget selfie Jo wkwkwkwkwk
Jojo: Oh iya refleks gue, maaf maaf
Zee: Ku save yaaa
Jojo: For what
Zee: Pedeee, enggak lah buat apa
Jojo: Dari mana aku tau kamu save apa engga? (Stiker
berpikir)
Zee: Engga bisa ngasih jaminan sih hehe
Zee: Eh, besok aku sidang loh
Aku udah tau Zee, aku selalu tahu informasi tentang
kamu tanpa kamu kasih tahu lebih dulu.
Jojo: Wah, selamat yaaa!!! (Stiker party)
Zee: Doain aku ya supaya sidangnya lancar, revisinya
sedikit biar bisa cepet nyusul kamu yang udah kerja hehe
Jojo: Amin, udah latihan?
Zee: Udah, dari malem aku enggak bisa tidur
kepikiran terus harus latihan, harus bagus, harus memuaskan.
Jojo: Perfectionist ya wkwk
Zee: Ya begitulah
Jojo: Jadi kamu mau latihan lagi?
Zee: Jadi kamu mau lanjut kerja lagi?
Jojo: Yee, malah ngebalikin
Zee: Udah beberapa kali dari pagi sih soalnya. Lagi
rehat dulu ah ntar gue stress lagi. Kamu kerja sana ntar dimarahin bos
Jojo: Tak tinggal aja nih?
Zee: (stiker ya)
Jojo: Okay, tinggal dulu ya. Semangat ya Zee,
tenang, relax, enggak usah dijadiin beban berat. You can do it!
Zee: Thanks ya Jo, selalu aja jadi orang yang selalu
ada buat aku. Dari dulu malah
Jojo: Because we’re fren
Zee: Ya, u’re right. Bye. Semangat kerjanya!!!
Kenapa sih gue enggak bisa jujur aja sama Zee? Kan biar
jelas, kalau dia enggak terbuka ya gue yang mulai untuk terbuka.
Aku mengacak rambutku, menggebrak meja. Membuat
semua karyawan yang lain menoleh ke arahku.
“Kenapa Jo?” Tanya Mas Adi.
“Eh enggak apa-apa kok, Mas” aku tersenyum sembari
menggerakkan kepala sebagai tanda permintaan maaf atas gangguan yang aku buat.
“Masalah cewek ya? Enggak usah khawatir ada Bro Jol.
Dia kan pakar asmara,” goda Mas Daus.
Aku mengarah ke Mas Zolda, tertawa akan ekspresinya
yang kocak. Ya benar, ini masalah perempuan yang membuat aku cukup kacau.
***
Dua bulan kemudian.
“Mah, Pah, Dek kenalin ini Jojo,” aku memperkenalkan
Jojo yang saat itu baru datang setelah upacara wisudaku telah selesai. Jojo
menjabat tangan papa dan mama.
“Oh ini yang namanya Jojo? Cowok yang suka
diceritain Zee kan?” mama mengompori.
“Iya mah, bener cowok yang ini. Kayanya yang namanya
Jojo yang deket sama Kak Zee Cuma satu deh yang ini aja,”
Kebaya yang kukenakan seakan mengecil dan mencoba
untuk mencekikku. Aku merasa gerah, salah tingkah, kikuk dan..
“Aaah kan Jojo udah dateng ayo kita foto bareng,”
“Ngalihin pembicaraan nih?”
“Enggak emang kita udah sepakat mau langsung foto
kalau Jojo udah datengkan? Nah ini orangnya udah dateng, jadi ayooo…” aku jalan
mendahului mereka semua.
“Zee, tunggu!” aku berhenti dan menoleh ke belakang.
Semua orang terdiam. “Om, Tante, saya jatuh cinta sama Zee,”
“Gara-gara Kak Zee suka certain Kakak?” Tanya Pricila,
adikku.
“Bukan, tapi sejak pertama bertemu di komunitas
angklung yang sama-sama kami ikuti,”
“Jo…”
“Zee, aku jatuh cinta sejak pertama kita bertemu. Mungkin
kita satu kampus tapi lewat komunitas angklunglah kita dipertemukan. Ya mungkin
kamu kaget dan enggak percaya tapi kenyataannya begitu. Aku memang enggak
berani buat ngomong Zee. Kamu tahu berapa lama aku persiapin buat bilang ini di
depan keluarga kamu? Satu minggu,”
“Jo, gini aja gimana kalau kamu telepon keluarga
kamu biar sekalian acara lamaran,”
“Papa!!!”
***
Ketika tidak ada awal maka tidak akan ada cerita
kita, mungkin yang akan diceritakan adalah kisah betapa menyesalnya aku tidak
mengungkapkan padanya. Untung teman-teman di kantor memberikan semangat agar
aku berani menyatakannya, ide gilanya adalah menyatakan pada acara wisuda di
depan semua keluarganya. Ide itu datang dari kepala Mas Zolda, tapi nyatanya
terbukti ampuh she said yes include her
family. Akhirnya rencana awal hanya melakukan sesi foto keluarga, malah
ditambah sesi foto prewedding, eh maaf bukan, foto keluarga tapi aku diajak untuk turut
serta di dalamnya.
Kini foto itu tergantung manis di bawah foto yang kami
cetak dengan ukuran besar dengan pose tersenyum bahagia menggunakan pakaian sepasang
pengatin. Ya kini kami resmi menjadi keluarga. Dengan bangga kami pajang di
ruang keluarga. Setiap kali kami masuk ke dalam rumah ke bagian yang lebih
intim kami selalu disambut dengan memori-memori itu. Memori yang tidak akan
kami lupakan karena telah kami salin dalam sebuah foto. Cheers!!!
Komentar
Posting Komentar