Ini Menyiksa Part. 2

          Zee: Ares plis bisa enggak kamu jangan ngomong terus kaya gitu?
Ares: Enggak bisa! Aku enggak bisa tanpa kamu
Zee: Bisa! Kalau kamunya mau.
Ares –mantanku- terus-terusan merengek padaku kalau dia tidak bisa tanpaku. Entah kenapa aku kehilangan selera untuk berhubungan dengan orang lain, termasuk dengan Ares orang yang aku pacari selama satu tahun. Kami putus empat bulan yang lalu tapi dia masih terus membayangiku dan membuat aku pusing. Mungkin aku terdengar kejam, tapi menurutku ini yang terbaik bagi kami dan sebagai pembelajaran agar dia paham untuk menghargai orang lain.
Sebenarnya aku muak dengan istilah pacaran. Mengapa orang lain terlalu terobsesi pada kegiatan berpacaran? Sehingga semua orang ingin memiliku.
Lukas, entah bagimana caranya dia bisa menyukaiku. Kita belum pernah bertemu tetapi tidak ada satu hari pun tanpa pesan darinya. Dia sangat lucu tetapi aku terlalu kaku sehingga menyia-nyiakan momen-momen menyenangkan dengannya walaupun hanya dalam chat.
Petra, dia juga hanya seorang kenalan di sosial media. Dia sudah memiliki pacar tetapi masih saja genit padaku tapi dia orang yang asik diajak ngobrol. Kami kadang mengganti berbagai topik tanpa pembuka dan penutup terlebih dahulu.
Robi, teman SMPku yang masih saja terus berada di sekitarku. Menyukai postinganku, menyukai fotoku bahkan kita mulai saling berbalas pesan. Sepertinya dia masih menyukaiku, karena menurut Helen orang yang selalu ada di sekitar kita artinya dia ingin kita tahu bahwa dia ada dan kemungkinan sedang mencari perhatian.
Dan Yoga juga dia tidak henti-hentinya mengajakku berpacaran padahal sudah berapa kali aku menolaknya dan dia tidak menyerah.
“Cuekkin aja coba. Kamu sih terlalu baik,” kata Niki salah satu sahabatku. “Nih kayak aku, dia chat aku read doang,” lanjutnya sambil memperlihatkan salah satu chat dari laki-laki yang mengganggunya.
“Aku enggak bisa. Enggak tega,” jawabku.
“Kalau kamu enggak tega ya bakal terus-terusan pusing kaya gitu,” tambahnya lagi.
Kami –aku, Helen, Raya, dan Niki- adalah teman satu geng dan mereka sudah tau kerasnya kepalaku untuk tidak berpacaran. Mereka sendiri memiliki kisah cinta masing-masing. Raya masih dengan pacarnya semasa SMA, Niki dengan pacarnya yang seorang tentara sedang menjalani hubungan jarak jauh dan Helen ini cewek yang sering gonta-ganti gebetan karena emang belum ada yang pas.
“Zee, ini Yoga ngechat aku. Bales apa nih?” Tanya Raya sambil memperlihatkan pesan dari Yoga.
“Aduh, jawab apa ya terserah deh tapi jangan kasih tau. Aku ngeblock dia soalnya,”
Ya mungkin aku jomblo tapi entah mengapa selera untuk membangun hubungan romantic itu woop hilang. Aku hanya menyukai kesendirianku, kemandirianku, dan yang pasti kebebasanku. Bahkan setelah aku putus lima bulan lalu aku masih belum benar-benar sendirian. Banyak laki-laki yang selalu menghubungiku sampai aku menghapus akun media sosialku dan mencoba untuk bersembunyi di balik dinding rasa muak.
“Zeeeeee.. ada yang nyariin” kata Helen yang duduk paling pinggir dan dekat dengan pintu yang semenjak tadi sibuk dengan persuratan yang harus ia buat dengan laptopnya.
Aku melihat ke arah pintu dan tadaaa di sana berdiri Cakra, atlet renang asal Jakarta yang dulu pernah bertanding di kampus ini.
“Kamu kok enggak bilang sama aku?”
“Surpriseeeee…” dia terkekeh. “Aku tadi mantau kamu tuh di sana,” seakan mengerti apa yang aku pikirkan dagunya menunjukkan arah dimana dia memperhatikanku sejak datang ke kampus.
“Pantesan nanya kuliah jam berapa. Eh kamu sampai kapan di sini?” tanyaku.
“Besok pulang, makanya aku sempetin ke sini buat ketemu kamu, hehe” tuhkan daftar cowok yang mengeliliku bertambah lagi.
“Tapi kan aku lagi kuliah, sampai sore loh,” aku mencoba meruntuhkan semangatnya.
“Yaudah nanti malem kita jalan. Gimana? Atau kamu capek?”
“Oh enggak kok, nanti malem ya.” Kami sepakat dan diapun pergi karena kebetulan dosen mata kuliah ini sudah datang.
“Nanti malem mau jalan sama Cakra,” aku menghela napas.
“Kenapa kaya yang enggak suka gitu?” Tanya Niki.
“Bodoh banget sih gue bukannya tolak malah ngeiyain.”
“Bukan gue yang ngomong ya,” kata Niki dan lalu kami tenggelam dalam materi kuliah yang disampaikan oleh dosen.
Hari-hariku berlalu hanya dengan kegiatan perkuliahan dan tenggelam dalam novel tebal ataupun laptop untuk mencurahkan semua imajinasiku. tiba-tiba Cakra menghubungiku.
Cakra: Zee
Zee: Iya Cakra
Cakra: Kamu lagi ngapain?
Zee: Lagi bikin cerpen, lo?
Cakra: Aku lagi break latihan
Zee: Cakra, gue mau nanya
Cakra: Mau nanya apa?
Zee:  Lo suka sama gue?
Cakra: Hmmmmmm, tertarik sih
Zee: Kenapa?
Cakra: Enggak tahu. Menurutku kamu beda aja. Masa kamu enggak mau foto bareng atlet nasional padahal aku udah tawarin. Eh malah aku yang ngajak kamu buat foto hahaha
Zee: Itu doang?
Cakra: Hmmmm, apa yaaa? Itu sih Cuma permulaan ya, ke sininya kamu jutek-jutek bikin gemas dan yang aku suka kamu itu banyak tahu. Aku suka sama cewek yang pinter.
Zee: Tapi enggak ada niatan buat jadiin gue pacar kan?
Cakra: Emang kamunya mau? Sempet sih kepikiran itu tapi kita kan jauh, aku juga sibuk, aku sih mikirnya takutnya kamu enggak mau LDR jadi mending temenan aja. Kalau aku kangen aku bisa sempetin ke Bandung.
Zee: Oh yaudah….
Cakra: Kamu jangan lupa makan siang. Aku latihan lagi ya, enggak kerasa padahal baru bentar.
Perkataan manis Cakra tidak membuat perasaanku membaik, hatiku tetap tidak merasakan apapun. Apa yang sedang terjadi padaku?
Sebulan berlalu dengan cepat, saatnya kembali dipadatkan untuk latihan Angklung karena bulan depan akan ada Konferensi Internasional untuk membahas pendidikan di dunia ketiga. Awalnya latihan hanya berlangsung tiga hari lalu dua minggu sebelum pelaksnaan Konferensi Internasional kami latihan hampir setiap hari. Kang Ali kadang marah-marah karena jumlah kami yang semakin sedikit tepat satu minggu sebelum konferensi dengan alasan ada UAS, ya memang di kampusku juga UAS dilangsungkan pada hari konferensi itu.
Satu minggu sebelum UAS dan Konferensi Internasional sudah menjadi kebiasaan di departemenku selalu menetapkan deadline pengumpulan tugas. Aku sibuk dengan segala bentuk laporan hasil pengamatan dan laporan-laporan lainnya. Dalam gengku tepat sekali kami tidak ada yang satu kelompok semuanya menyebar, tapi kami sepakat untuk mengerjakan semua laporan bersama-sama di café sambil minum kopi. Walau kami berbeda kelompok tapi mengerjakan bersama teman setidaknya menghilangkan kejenuhan kami dalam lautan laporan yang harus digarap.
“Ih sebel banget sama si Eva, udah tahu deadline masa dia enggak tahu tugasnya apa. Kan aku udah bagi-bagi dan daftar tugasnya udah dikirim di multichat. Sebel!” Raya ngedumel gara-gara Eva sudah semester 7 belum mengerti tanggung jawabnya sebagai mahasiswa.
“Emang gitu kan dia mah, sibuk enggak jelas.” Celetuk Niki sambil terus memainkan ponselnya dan membiarkan laptopnya tidak disentuh. Memang Niki ini anaknya senang sekali selfie, sedikit-sedikit buka Instagram, selfie lagi, chat sana-sini. Pas kita beres bilang minta ditungguin. “Zeeeeee!!!!!”
“Apa?” kataku singkat sambil terus mengetik. Prinsipku time is money.
“Kamu udah enggak punya Instagram ya?” tanyanya lagi.
“Iya, emang kenapa?” jawabku sambil tetap mengetik.
“Liat!” ponselnya ditaruh di atas keyboardku dan seketika aku berhenti mengetik karena harus menyingkirkan ponselnya, tetapi pas aku ambil ponsel Niki dari laptopku ku lihat layarnya menampilkan sebuah foto yang membuat aku terperanjat. “Stres tuh orang!”
“Apaan sih?” Tanya Helen ingin tahu.
“Buka Instagram. Parah banget! Kalau marah ya enggak usah gitu, malu kali udah gede kelakuan masih kaya anak-anak,” aku tak mendengarkan apa yang Niki katakan, aku terus membaca komentar yang diberikan pada foto itu.
“Nih,” aku kembalikan ponsel Niki dan kembali melanjutkan penggarapan laporan kelompokku.
“Itu kamu bukan sih?” Tanya Niki.
“Parah banget tuh cowok!” Raya kesal.
“Bodo ih! Lagi cari perhatian kamu itu tuh” Helen ikut-ikutan menimpali dan aku tetap diam tidak ada reaksi. Melihat tidak ada respon dariku, mereka memilih kembali kepada laptop masing-masing termasuk Niki yang mulai melanjutkan mengerjakan laporannya dan menyingkirkan jauh-jauh ponselnya. Mereka semua tahu kalau aku dalam mood yang buruk aku akan diam seribu bahasa dengan wajah tanpa ekspresi.

***
Zivana Maria, ya tetap nama itu selalu aku ingat yang tersimpan rapi dalam memori otakku. Zee, Zee, dan selalu Zee. Sebenarnya aku satu kampus dengannya dan kami teman satu angkatan, sama-sama semester 7. Tapi urusanku bukan hanya memikirkan Zee, aku kebetulan menjabat sebagai ketua DPM, ketua UKM salah satu cabang olahraga, ketua komunitas dari asal daerahku, ketua kelas, ketua divisi di BEM, dan ketua kost. Maaf Zee karena tanggung jawabku yang banyak aku jarang menghubungimu.
“Zee makan yuk,” aku mengirim pesan padanya. Biasanya dia langsung membalas tapi setelah 2 jam dia tidak membalas bahkan tidak membaca pesanku.
“Eh maaf aku abis ngecharge, hehe” jawabnya. “Kamu udah makan?” aku mengiyakan.
Percakapan kami hanya sebatas hal-hal yang kecil karena aku yang sibuk membuat percakapan kami tidak maksimal. Terkadang aku akan meneleponnya, hanya ingin mendengar suaranya dan cara bicaranya yang menggemaskan.
Yoga: Zee, kapan kamu mau pacaran?
Zee: Enggak tahuuuuuuuuu
Yoga: Nanti kamu keburu diambil orang
Zee: Da gamau pacaran dulu
Yoga: Ya tetep aja nanti kalau keduluanin gimana?
Zee: No comment
Yoga: Hayu ih pacaran. Aku udah nungguin lima bulan masa masih enggak mau
Zee: Ih enggak mau pacaran akunya Yogaaaaa
Yoga: Atuhlaaaah
Zee: Eh kamu lagi ngapain?
Yoga: Lagi tiduran
Zee: Kamu sakit ya?
Yoga: Iya lagi flu
Zee: Banyak minum air putih
Yoga: Enggak punya air
Zee: Pesen ih delivery ke mang galon
Yoga: Udah tutup jam segini mah. Tutupnya dari jam 5 sore
Zee: Ih masih siang, masih jam 6 kurang masa udah tutup. Kamu udah makan?
Yoga: Belum
Zee: Makan ih
Yoga: Enggak bisa jalan, pusing
Zee: Nitip ke temen kamu
Yoga: Enggak ada siapa-siapa di sini
Zee: Ai tadi ngobrol sama siapa?
Yoga: Temen aku, tapi dia baru aja pergi
Zee: Harus bangun biar bisa makan sama beli air botol
Yoga: Harusnya kalau kamu nyuruh makan kamu ke sini sambil bawain makanan
Zee: Ih udah malem
Yoga: Katanya belum
Zee: Belum  buat mamang gallon, buat aku mah udah malem.
Yoga: Zee…..
Zee: Kenapa Yoga?
Yoga: Hayu ih pacaran
Zee: Ih, kamu cari cewek lain aja
Yoga: Enggak bisa da aku mah sukanya sama kamuuu
Zee: Kan aku udah bilang aku enggak ada rasa sama kamu
Yoga: Atuh jalanin aja dulu, rasa mah belakangan. Kan yang taaruf udah nikah juga bisa pacaran.
Zee: Yaudah nikahin aku
Yoga: Asli?
Zee: Katanya pengen pacaran
Yoga: Maksudnya yang taaruf juga kan awalnya enggak ada rasa terus ada lama-lama.
Zee: Hehe.. Kalau solat bisa bangun enggak?
Yoga: Bisa solat mah
Zee: Yaudah kamu juga harus bisa keluar buat beli makan
Yoga: Da di sebelah kamar mandinya
Zee: Ih atuh agak jauh, ayo anak olahraga harus kuat.
Dan percakapan kami selesai setelah dia ingin mengakhiri percakapan kami dengan alasan akan solat. Zee, susah banget sih dapetin kamu.

***
“Bro!!!!!!” Ardan  berlarian dan semangat seperti biang gossip mendapat berita hot.
“Apaan dateng-dateng,” aku kehilangan fokus dalam menggarap skripsi yang baru menapaki bab pendahuluan.
“Lihat iniiii, niiiii….” Katanya sambil memperlihatkan ponselnya.
“Apaan dah,” kataku santai.
“Ini si Zeeee! Gebetan lo!!!!!”
“Iya tahu,” jawabku masih sambil mentap layar laptop.
“Terus ngapa lo biasa aja?” Ardan masih on fire dengan info yang baru dia dapatkan.
“Gini  ya Ma Bro Ardan, lo bisa bedain enggak mana editan sama enggak???” aku mulai menjelaskan padanya bahwa foto tersebut hanya editan, sesempurna apapun hasilnya menurut Ardan tapi dimataku –yang calon seorang ahli telematika ini- masih terlihat cacatnya. “Jadi lo enggak usah teriak-teriak bawa berita bohong kaya gini lagi, okay? Tolong stop penyebaran HOAX!”
“Tapi kan ini kayak beneran,”
“Kayak? Seperti? Look like? Similar? Mirip? Asli? Semuanya objek yang berbeda Bro Ardan hanya serupa, dan itu permainan indra penglihatan kita. Padahal kalau lo emang tertarik lo bisa gali dari foto ini, buat bahan penelitian lo, tuh ‘Pengaruh Hoax Picture terhadap kehidupan sosial korban” Ardan hanya garuk-garuk kepala skak mat, mendengar penjelasan ilmiah dariku. “Report aja berita hoax macam itu mah,”
Ngomong-ngomong kenapa foto Zee bisa kesebar gini sih? Ada apa?
Gue hubungin dia apa ya?
Ah jangan kan kita enggak deket, kalau gue tiba-tiba ngehuungin dia pas lagi booming berita itu dia pasti ilfeel sm gue.
Gue harus gimana?

***
“Zee, ini si Jojo di grup kampanye anti hoax mau ikutan ga?” aku cek grup komunitas Angklung yang aku dan Raya ikuti dan ya Jojo beberapa kali mengirimkan beberapa undangan kampanye anti hoax dari beberapa sumber sehingga banyak bangeet pesan dari dia yang isinya kampanye. Nih anak kapan jadi aktivis anti hoax?
“Aku share aja deh, sebagai kontribusi aku buat menyadarkan orang-orang hoax itu berbahaya bangeeeet buat korbannyaaaaaa……” aku menanggapi dan menekan-nekan layar ponsel dengan gemas.
Aku tidak tahu seluas apa beritanya menyebar, tapi yang pasti dalam sebulan ini setelah berita itu menyebar tidak ada lagi Cakra, tidak ada lagi Petra, tidak ada lagi Lukas, Robi dan juga Yoga. Kalau aku melihat dari sisi positifnya sih aku bersyukur karena tidak diganggu oleh mereka lagi, tapi dijauhi orang-orang karena hal yang tidak kita lakukan sangatlah menyedihkan. Aaah aku jadi mengingat kejadian yang dengan susah payah coba aku lupakan.
Ini ujian mahasiswa tingkat akhir, banyak godaan. Keep focus on your goals Zee!
Aku melangkah keluar, dengan setelan jogging, sebotol air mineral, rambut diikat kucir kuda, dan topi tentunya.

***
Sudah cukup terkuras tenagaku pagi ini, keringat bercucuran di dahi, dada, punggungku yang membuat kaos berwarna abu-abu yang kupakai ini basah. Air mineral dalam botol yang ku bawapun sudah habis kutenggak. Aaaah rasanya menyegarkan sekali setiap habis olahraga, pikiranku pun tidak stress oleh skripsiku yang ku kerjakan lebih awal dari teman-teman yang lain.
Saat sedang berjalan menuju parkiran, di depan mataku ku tangkap sesosok tubuh yang aku kenal. Mungil, kunciran ekor kuda, casual dan tentunya cantik. “Zeee!” dia tersenyum padaku.
“Heiii,”
“Mau kemana?” aku berlari kecil menghampirinya.
“Mau jogging nih, kamu baru beres jogging juga?”
“Iya baru beres, tapi aku bisa temenin kamu jogging kok,” aku salah tingkah.
“Baju udah basah keringetan gitu. Aku bisa sendiri kok, kalau mau pulang ya pulang aja,”
“Um, aku pikir porsi jogging hari ini masih kurang deh.” Zee mengerutkan keningnya. “Oh ini keringetan karena matahari sudah bersinar terang jadi faktor cuaca, enggak usah khawatir,”
“Aku kesiangan ya buat jogging?”
“Enggak kok, enggak ada kata terlambat untuk olahraga hehe,” kami berbincang sambil berjalan santai menuju stadion. Para pengunjung sudah banyak yang pulang menyisakan beberapa orang yang masih terus berlari mengelilingi lapangan bola.

“Kamu suka jogging?” tanyaku pada pemanasan kedua kalinya.
“Baru mulai sebulan yang lalu, soalnya aku ngerasa penat banget sama kehidupan aku,” ekspresinya serius pemanasan dan ditambahkan sedikit perasaan kecut pada apa yang terjadi padanya satu bulan yang lalu.
Aku tahu yang kamu maksud, Zee.
Aku harus jawab apa?
Apa lagi yang harus kita bicarakan?
Kenapa aku jadi bingung??
Aku akan bicara mengenai cuaca saja.
“Udah jam 10 lewat 12 loh, mulai jogging aja?” ajakanku seakan menyadarkannya dan ekspresinya berubah secara tegas menjadi lebih keras. Ia mengatupkan rahangnya, tatapannya tajam ke depan dan tanpa senyum sedikitpun.
Dia mengambil ancang-ancang dan langsung melesat. “Zee, katanya mau jogging ko malah cepet larinya?” aku berteriak.
Dia tidak memperlambat kecepatannya, satu putaran berhasil ia kelilingi dan ia sempat akan menyalipku jika aku tak memberhentikannya. Aku meraih tangannya membuatnya berhenti, “Ada apa?”
Dia tak menjawab dan terus menunduk seakan sedang menyembunyikan wajahnya. “Zee, hei? Kenapa?” dia terisak, saat itu aku yakin dia sedang menangis.
Aku mengajaknya untuk menepi, mencari tempat untuk duduk. “Mau aku ambilin minum?” dia menggeleng. “Aku ambilin ya?” dia menahan tanganku dan bersandar, isakannya semakin terdengar kencang.
“Ada apa? Kalau mau cerita, aku siap dengerin kok,” aku menawarkan dengan senang hati.
“Satu bulan yang lalu, di Instagram ada fotoku dalam pose yang tidak senonoh….” Dia berhenti karena tertahan isakannya. “Aku sebenernya udah enggak punya Instagram dan itu juga aku tahu dari temenku, pas aku lihat banyak banget yang komen dan semua maki-maki aku, emang sih enggak nyebutin nama aku tapi dia nyebutin departemen dan kampus kita, aku sempet dipanggil sama ketua departemen dan di sana banyak banget dosen yang tentunya pasti mereka juga tahu. Aku duduk dikelilingi semua dosen, aku pesakitan yang tak bersalah. Aku sudah menjelaskan semuanya, mulut mereka mengatakan bahwa mereka mempercayaiku tapi mereka seakan membenciku, sikapnya ketika bertemu denganku, saat berada di kelas. Itu membuatku sedih..”
Ia masih menunduk tak mau menampakkan wajahnya padaku, sambil melanjutkan cerita aku mencoba merangkul pundaknya, menjelaskan bahwa aku akan membuatmu tenang.
“Aku sempat depresi dan 2 hari bolos kuliah, tapi setelah aku pikir-pikir kalau aku menghindar orang-orang akan berpikir bahwa aku memang salah. Jadi aku datang mencoba jadi Zivana yang seperti biasa. Tapiiii semua kepura-puraan itu membuat aku lelah, setiap kali aku sedih aku datang ke sini untuk berlari. Berlari sekencangnya, tak peduli jam berapa yang pasti aku ingin berlari dan terus berlari.”
Aku memang tidak merasakan apa yang sedang Zee rasakan tapi aku tahu yang ia alami sangatlah berat, bagaimana bisa ada orang yang tega melakukan hal ini kepada perempuan ini.
“Kamu tahu siapa pelakunya?” aku mencoba bertanya.
Ia mengangguk, “Mantanku..”
“Ares?” ia mendongakan kepala dan menatapku.
“Kok kamu tahu?” tanyanya kaget.
“Aku tahu masalah foto itu, setelah tahu aku langsung lapor ke Kominfo dan mereka langsung menindaklanjuti masalah ini. Setelah laporan yang aku buat selesai, aku pastikan di internet sudah tidak ada lagi foto itu,” wajahnya kembali cerah. “kecuali yang sempat dicapture” wajahnya berubah menjadi muram lagi. “Maafin aku Zee,” aku merasa bersalah,”

***
“Enggak apa-apa kok Jo, makasih banget malah. Emang udah jadi jalan hidup aku kali difitnah kaya gitu, udah jadi jalan hidup aku mengalami fase dijauhin sama orang-orang,” aku tersenyum kecut. “Tapi kenapa kamu malah mau nemenin aku lari?”
“Eh” dia salah tingkah, “Enggak apa-apa, Cuma kurang porsi lari,”
“Tetap itu jawabannya?” aku mencoba menggodanya walaupun aku masih merasa sesak. Bahagia kita yang buat bukan?
Kami saling terdiam, menatap langit pukul setengah 11 siang. Langit sangat cerah, bersih tanpa awan.
“Zee, kamu jangan ngerasa sendiri. Jangan ngerasa dijauhi sama semua orang. Ketika kamu berpikir seperti itu lagi, coba untuk sadarkan diri dan memikirkan aku. Aku enggak akan menjauh dari kamu,”
“Kenapa?” aku menoleh pada pernyataannya yang tiba-tiba. “Semua orang pergi menjaga jarak dariku bahkan teman-temanku sudah menjadi orang yang berbeda sekarang,”
“Orang menjauh karena mereka tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, rasa benci, bingung, takut, dan sebagainya yang ada di pikiran semua orang itu karena mereka tidak paham pada apa yang sebenarnya terjadi. Bukankah orang-orang selalu hanya melihat dari luarnya saja tanpa mau memasuki lebih dalam dan menelisik apa yang sebenarnya terjadi?” ya benar, orang-orang tidak mengerti apa yang terjadi padaku dan mereka tidak mencoba untuk mau mengerti.
“Zee,” aku menoleh padanya. “Kalau ada apa-apa jangan sungkan buat bilang sama aku. Dimanapun aku, kalau kamu butuh aku, aku akan samperin kamu, aku janji,” aku menatapnya, tak mampu berkata-kata.
Untuk apa semua ini Jo?
“Jangan sedih lagi ya? Semangat kuliahnya! Ayo Zee bangun!” aku tersenyum kecil. Aku bangkit berdiri dan kami menuju pintu keluar meninggalkan luka-luka yang aku lepaskan saat berlari.
Dia mengantarku sampai jalan terdekat menuju tempat kostku dan ia berjalan kembali ke parkiran untuk mengambil motornya. Aku berjalan santai, karena aku merasa bahwa aku tidak akan menanggung beban berat ini sendiri, aku punya Jojo.

Beberapa bulan kemudian.
“Mah, doain Zee ya besok Zee sidang…. Iya mah makasih ya…. Iya mah Zee harus tenang….. Daaah mama, salam buat papa sama adik-adik” sambungan teleponpun terputus.
Besok pagi pukul 08.00 semua mahasiswa yang akan mengikuti sidang harus sudah berkumpul dengan membawa semua keperluan, seperti laptop yang tentunya berisi materi presentasi, naskah skripsi untuk dosen penguji, dan tentunya mental.
Ya, satu semester telah aku lalui dengan isu tentangku yang semakin hari semakin meredup lalu hilang, aku hanya perlu bersabar dalam menjalani hari-hariku di kampus. Tentunya aku bisa kuat menghadi semua karena ada sosok Jojo yang selalu menyemangati aku, padahal ia sendiripun perlu pasokan semangat untuk menghadapi tuntutan pekerjaannya. Ya dia sudah memiliki pekerjaan sekarang, lebih dahulu lulus dari waktunya dan itu luar biasa.
Aku mencoba latihan untuk mempresentasikan isi dari hasil jerih payahku yang aku garap selama satu semester ini, tulisan ini suatu kebanggaan tersendiri bagi semua mahasiswa. Aku mencoba terus, berdiri di depan kaca, tersenyum ramah, mempresentasikan, membaca kembali materinya, mecoba menebak pertanyaan apa yang akan dilontarkan oleh dosen penguji. Begitu yang kulakukan terus dan terus selama seharian ini, padahal dalam hati aku menunggu Jojo menghubungiku tapi kan sekarang masih jam kerja mungkin nanti malam.

***
Menjadi creativepreneur memang menyenangkan bagiku tapi aku kadang merasa tidak tenang dan menjadi kacau ketika aku belum menghubungi Zee. Otakku tiba-tiba menjadi tumpul dan beku, tak ada satupun ide yang muncul, bahkan pekerjaan yang rutinpun terasa rumit. Masih pukul 1 lewat 39 menit, aku menyesal tidak menghubunginya saat jam istirahat karena aku merasa lapar, aku tidak sarapan akibat kesiangan setelah lembur. Baik, demi kebaikanku dan kantor aku perlu mengisi energiku dengan menghubungi Zee. Tapi aku ragu, apakah aku mengganggunya? Kan besok dia sidang, mungkin dia sibuk sekarang.
Aku membuka aplikasi pesan instan dan mencari namanya, aku berpikir apa yang harus dilakukan. Hubungi atau tidak? Tanpa sengaja aku menekan free call, aku langsung membatalkannya lalu pesan darinya muncul.
Zee: Ada apa?
Aku girang tidak kepalang. Zee menanggapi secepat itu, apakah dia sedang menunggu pesan dariku? Ah mana mungkin.
Jojo: Eh maaf Zee kepencet hehehe
Zee: Lagi buka chat dari aku yaaaa???? (Stiker tertawa)
Kok dia tahu?
Jojo: Kebetulan buka LINE tapi langsung chat dari kamu yang muncul, aku langsung close deh kayaknya tadi malem
Kenapa enggak bilang ya aja Jo??
Zee: Oh, eh bukannya kamu lagi kerja?
Jojo: Iya Zee, mau liat?
Aku kirim foto selfie di mejaku
Zee: (stiker tertawa)
Jojo: Kenapa ketawa
Zee: Tumben banget selfie Jo wkwkwkwkwk
Jojo: Oh iya refleks gue, maaf maaf
Zee: Ku save yaaa
Jojo: For what
Zee: Pedeee, enggak lah buat apa
Jojo: Dari mana aku tau kamu save apa engga? (Stiker berpikir)
Zee: Engga bisa ngasih jaminan sih hehe
Zee: Eh, besok aku sidang loh
Aku udah tau Zee, aku selalu tahu informasi tentang kamu tanpa kamu kasih tahu lebih dulu.
Jojo: Wah, selamat yaaa!!! (Stiker party)
Zee: Doain aku ya supaya sidangnya lancar, revisinya sedikit biar bisa cepet nyusul kamu yang udah kerja hehe
Jojo: Amin, udah latihan?
Zee: Udah, dari malem aku enggak bisa tidur kepikiran terus harus latihan, harus bagus, harus memuaskan.
Jojo: Perfectionist ya wkwk
Zee: Ya begitulah
Jojo: Jadi kamu mau latihan lagi?
Zee: Jadi kamu mau lanjut kerja lagi?
Jojo: Yee, malah ngebalikin
Zee: Udah beberapa kali dari pagi sih soalnya. Lagi rehat dulu ah ntar gue stress lagi. Kamu kerja sana ntar dimarahin bos
Jojo: Tak tinggal aja nih?
Zee: (stiker ya)
Jojo: Okay, tinggal dulu ya. Semangat ya Zee, tenang, relax, enggak usah dijadiin beban berat. You can do it!
Zee: Thanks ya Jo, selalu aja jadi orang yang selalu ada buat aku. Dari dulu malah
Jojo: Because we’re fren
Zee: Ya, u’re right. Bye. Semangat kerjanya!!!

Kenapa sih gue enggak bisa jujur aja sama Zee? Kan biar jelas, kalau dia enggak terbuka ya gue yang mulai untuk terbuka.
Aku mengacak rambutku, menggebrak meja. Membuat semua karyawan yang lain menoleh ke arahku.
“Kenapa Jo?” Tanya Mas Adi.
“Eh enggak apa-apa kok, Mas” aku tersenyum sembari menggerakkan kepala sebagai tanda permintaan maaf atas gangguan yang aku buat.
“Masalah cewek ya? Enggak usah khawatir ada Bro Jol. Dia kan pakar asmara,” goda Mas Daus.
Aku mengarah ke Mas Zolda, tertawa akan ekspresinya yang kocak. Ya benar, ini masalah perempuan yang membuat aku cukup kacau.

***
Dua bulan kemudian.
“Mah, Pah, Dek kenalin ini Jojo,” aku memperkenalkan Jojo yang saat itu baru datang setelah upacara wisudaku telah selesai. Jojo menjabat tangan papa dan mama.
“Oh ini yang namanya Jojo? Cowok yang suka diceritain Zee kan?” mama mengompori.
“Iya mah, bener cowok yang ini. Kayanya yang namanya Jojo yang deket sama Kak Zee Cuma satu deh yang ini aja,”
Kebaya yang kukenakan seakan mengecil dan mencoba untuk mencekikku. Aku merasa gerah, salah tingkah, kikuk dan..
“Aaah kan Jojo udah dateng ayo kita foto bareng,”
“Ngalihin pembicaraan nih?”
“Enggak emang kita udah sepakat mau langsung foto kalau Jojo udah datengkan? Nah ini orangnya udah dateng, jadi ayooo…” aku jalan mendahului mereka semua.
“Zee, tunggu!” aku berhenti dan menoleh ke belakang. Semua orang terdiam. “Om, Tante, saya jatuh cinta sama Zee,”
“Gara-gara Kak Zee suka certain Kakak?” Tanya Pricila, adikku.
“Bukan, tapi sejak pertama bertemu di komunitas angklung yang sama-sama kami ikuti,”
“Jo…”
“Zee, aku jatuh cinta sejak pertama kita bertemu. Mungkin kita satu kampus tapi lewat komunitas angklunglah kita dipertemukan. Ya mungkin kamu kaget dan enggak percaya tapi kenyataannya begitu. Aku memang enggak berani buat ngomong Zee. Kamu tahu berapa lama aku persiapin buat bilang ini di depan keluarga kamu? Satu minggu,”
“Jo, gini aja gimana kalau kamu telepon keluarga kamu biar sekalian acara lamaran,”
“Papa!!!”

***
Ketika tidak ada awal maka tidak akan ada cerita kita, mungkin yang akan diceritakan adalah kisah betapa menyesalnya aku tidak mengungkapkan padanya. Untung teman-teman di kantor memberikan semangat agar aku berani menyatakannya, ide gilanya adalah menyatakan pada acara wisuda di depan semua keluarganya. Ide itu datang dari kepala Mas Zolda, tapi nyatanya terbukti ampuh she said yes include her family. Akhirnya rencana awal hanya melakukan sesi foto keluarga, malah ditambah sesi foto prewedding, eh maaf bukan,  foto keluarga tapi aku diajak untuk turut serta di dalamnya.

Kini foto itu tergantung manis di bawah foto yang kami cetak dengan ukuran besar dengan pose tersenyum bahagia menggunakan pakaian sepasang pengatin. Ya kini kami resmi menjadi keluarga. Dengan bangga kami pajang di ruang keluarga. Setiap kali kami masuk ke dalam rumah ke bagian yang lebih intim kami selalu disambut dengan memori-memori itu. Memori yang tidak akan kami lupakan karena telah kami salin dalam sebuah foto. Cheers!!!

Komentar

Postingan Populer