#Boys’ Diary
#4 Gusti
Aku memang
pecicilan tapi bukan berarti tidak punya malu, khususnya di depan Safira.
Perempuan satu SMA yang pertama kali aku lihat saat MOS. Kesan pertama yang
muncul untuk dia hanya satu, jutek! Cantik sih tapi satu kata lagi untuk dia,
galak! Tapi dia baik, pada orang lain, aku belum merasakan kebaikannya secara langsung.
“Gimana mau dibaikin lo aja enggak pernah kontakkan
sama dia. Ya minimal nyapalah atau senggolan kalau lo enggak berani nyapa,”
Sebs menanggapi ceritaku.
“Kalau lo suka sejak MOS udah setahun yang lalu dong
masa belum ada action,” Wicak menanggapi. Aku semakin on fire untuk
mendekatinya sekaligus melempem ketika mengingat wajahnya yang galak, aku
takut.
“Tuh tuh tuh, dia ada lagi jajan di warung siomay,”
Dean tidak mengalihkan pandangannya berusaha agar tidak kehilangan jejak
Safira.
“Jangan macem-macem lu, malu di sini banyak orang.
Bisa turun harkat derajat martabat amanat hakikat gue,” aku memiliki feeling
yang tidak enak dan benar saja, tepat ketika Safira lewat di depan kami
tiba-tiba mulut Wicak menjadi usil, dia memanggil Safira.
“Safira! Ada salam dari Gusti,” aku menunduk, tak
mau menunjukkan wajahku. Respon apa yang ku terima –eh Wicak- adalah, Safira membuang muka tanpa senyum
sedikitpun.
“Gila jutek amat tuh cewek, bukannya ya minimal nyengir
atau senyum eh buang muka. Untung lo enggak liat dia pas buang muka. Gue aja
yang nggak ngegebet dia sakit hati, Gus” Sebs membeberkan kegiatan tadi. Aku
geleng-geleng kepala.
Sejak berteman dengan Dean, Wicak dan Sebs terjadi
kemajuan setidaknya Safira mengetahui ada laki-laki bernama Gusti yang
diam-diam suka padanya. Walaupun setahun ini aku tetap belum berani membuat
kontak langsung dengannya.
Walaupun pernah dijutekin sama Safira, Wicak terus
membantuku untuk berusaha menyapanya. Walaupun dengan bantuan mata Dean yang
tajam yang selalu bisa menemukan posisi Safira berikut perhitungan yang akurat
dalam detik ke berapa Safira akan lewat di depan kami, tapi perhitungan yang
jitu itu selalu aku lewatkan karena aku tak berani.
“Lu bisanya ngumpet di balik ketek Dean mulu, tadi
situasinya udah pas,” Sebs menyayangkan mentalku yang selalu ciut di depan
Safira.
“Kayaknya gue enggak usah suka lagi sama dia deh,”
aku pesimis.
“Enggak boleh gitulah, maju terus pantang mundur!”
Dean menyemangati, Wicak dan Sebs mengangguk tanda setuju.
“Enggak ah, enggak akan suka lagi sama dia, gue mau
fokus belajar minggu depan kan UAS,”
“Yey, sejak kapan lu belajar,” kami saling mencibir.
Di tahun terakhir kami di SMA, kami berempat
berpisah kelas. Dean di XII IPA 2, Sebs di XII IPA 3, Wicak di XII IPA 4 dan
aku sendiri di XII IPA 5, oh iya Safira di XII IPA 1. Walaupun kami sudah tidak
satu kelas lagi, setiap bel jam istirahat berbunyi aku langsung masuk ke IPA 4
mencari Wicak, masuk ke kelas IPA 3 mencari Sebs dan biasanya Dean sudah
menunggu di pintu kelasnya karena IPA 2 selalu keluar lebih dahulu, pada semua
mata pelajaran, entah mengapa.
“Ke IPA 1 yuk!” aku mengajak anak-anak.
“Mau ngapain?” Tanya Dean.
“Ketemu Safira dong,” aku nyengir.
“Oh sejak Safira minta maaf gara-gara nyenggol lo
pas pertama masuk sekolah lagi, benih cinta yang dulu layu tiba-tiba tumbuh lagi?” Wicak menggoda.
“Gue yakin sih di balik sikap galaknya sama
kita-kita dia itu pernah lah sekali-kali merhatiin gue. Dan ketika itu terjadi
artinya ada ketertarikan setidaknya 1%,” aku sangat percaya diri sekali. “Ayo,”
aku menyeru kepada mereka.
“Eh lo enggak laper emang?” Dean mencoba menguji
keputusanku.
“Laper sih tapi ketemu Safira dulu. Buru anter gue,”
tanpa paksaan mereka mengikutiku di belakang. Aku melangkah pasti menuju kelas
IPA 1. Tepat ketika kami sampai di depan kelasnya Safira keluar sambil membawa
sampah bungkus permen.
“Eh ada Boys Before Flower,”
“Siapa?” Sebs bertanya.
“Kalianlah,” Safira menunjuk kami berempat.
“Apaan tuh?” Dean bertanya lagi. Aku masih diam.
“Itu drama Korea yang ada Gu Jun Pyo sama Geum Jan
Di,”
“Mana gue tau Fir, enggak suka nonton drama Korea,”
Wicak angkat bicara. Momen yang pas aku menyalip pembicaraan mereka.
“Udah iyain
aja Cak,” aku mencoba membela Safira, aku tersenyum manis untuk Safira.
“Mau ngapain ke sini?” tanyanya.
“Ini mau nganter Gusti ketemu lo,” Dean mewakilkan
seperti biasa.
“Hah? Mao nganter Gusti? Helloww, ketemu gue minta
dianter, please deh, cu pu,” mereka bertiga tertawa cekikikan, Safira masuk ke
dalam kelas, aku cemberut.
“Ngapain sih bilang gitu, sialan lo Dean,” aku naik
pitam.
“Eh Gus lo denger sendiri kan Safira bilang enggak
usah dianter kalau ketemu dia,” Sebs mencoba menengahi. Aku terdiam karena
memang yang Sebs katakana ada benarnya juga.
“Jadi gimana?” Dean bertanya polos.
“Gue enggak akan suka lagi sama dia deh,”aku layu
lagi.
Dalam proses move on yang masih 7% tiba-tiba Mareta
–teman satu kelasnya- berbisik bahwa diam-diam Safira juga suka padaku. Tanpa pikir
panjang aku meng-cancel proses move on-ku yang masih sebesar upil semut.
“Jangan boong, sensitif nih kalau masalah Safira,”
aku mencoba untuk tetap seimbang.
“Gue enggak boong, Gus. Gue waktu itu sempet liat dia
lagi main handphone eh ternyata lagi liat pesan dari lo, dan lo tau?” aku
menggeleng. “Dia sambil senyam senyum!!” Mareta terlihat sangat natural membuat aku
bimbang harus bagaimana.
“Tapi dia masih suka galak sama gue,” aku pesimis.
“Gini ya Gus, kalau lo masih enggak percaya sama apa
yang gue bilang tadi kita coba besok. Besok gue bakal ke kantin bareng sama
Safira, lo samperin gue pura-pura jajan tapi inget Cuma nyapa gue, jangan
sedikitpun nengok ke arah Safira. Kalau dia cemburu, berarti apa yang gue
bilang itu bener dan sebagai imbalannya lo harus deketin gue sama Sebs,” Mareta mencoba untuk
bernegosiasi.
“Tapi kan si Sebs udah punya pacar,” tidak nyaman
dengan permintaannya.
“Gue tahu, tapi kalau orang yang udah punya pacar
enggak boleh suka atau disukain sama yang lain enggak akan ada istilah nikung,”
aku menggaruk kepala, Mareta meraih tanganku memaksa aku untuk deal.
Akhirnya besok aku melakukan rencana yang disusun
kemarin bersama Mareta. Aku takut sih soalnya mau bertemu dengan Safira dan
harus menjadi dalang dari rusaknya hubungan Sebs dan Mia, tapi aku juga penasaran
dengan apa yang dikatakan oleh Mareta.
Aku melangkah maju menuju warung yang menjual
berbagai jenis makanan ringan, jantungku berdebar cepat tapi aku harus
profesional. Aku memilih permen tapi diam saja tidak mulai menyapa Mareta
padahal dari tadi dia sudah memberi kode melalui matanya yang melotot. Aku
masih menunduk memilih jajanan yang lain.
“Gus!” dia yang memulai duluan, aku kaget.
“Hei Mar!” aku gelagapan, aku melirik sedikit ke
arah Safira.
Mareta mengajakku ngobrol terus, tak pernah sedikitpun
aku yang memulai. Lidahku kelu, sebagian hatiku tak ingin membuat Safira
cemburu, tapi aku ingin memastikan apakah benar Safira cemburu.
“Mar, lo masih lama ngobrolnya? Gue balik kelas
duluan ya,” Mareta mengangguk pada Safira, aku melihat sedikit dan mengalihkan pandanganku ke
jajanan.
“Tuhkan bener dia cemburu. Biasanya dia itu enggak
pernah ninggalin temennya yang jajan bareng kecuali si temennya yang bilang
duluan aja, tapi karena kesel ngeliat kita akrab dia males juga. Terbukti kan?”
aku mengangguk. “Lo enggak lupa sama janji lo kan, Gus?” aku diam sebentar.
“Iya gue inget,” dia pergi duluan.
Aku kembali ke Boys Before Flower –kata Safira-
“Sebs, si Mareta cantik ya?”
Setelah kegiatan ‘Memastikan Safira Cemburu atau
Tidak’ dua pasangan baru muncul di sekolah, Sebs dengan Mareta satu lagi Safira
dengan Geri, great man!
“Kali ini fix gue enggak akan suka lagi sama Safira!
Bodo amat! Tampol gue kalau gue masih ngebahas Safira, sentil telinga gue kalau
gue masih dengerin semua tentang Safira!”
Ternyata bicara ‘akan tidak suka lagi padanya’
sangat sulit direalisasikan. Walaupun sekarang setiap pulang sekolah aku
melihat dia selalu dibonceng dengan pacarnya, tidak menjadikan hatiku
membencinya, tidak membuatku berhenti suka padanya. Setiap aku rindu padanya,
setiap kali dadaku sesak saat mengingatnya, aku mencoba untuk melupakannya. Melihat sepedaku pada saat SD teronggok di garasi aku
berpikir untuk membeli sepeda baru. Saban sore aku bersepeda keliling komplek
menikmati senja di akhir Januari.
“Enggak ikutan bimbel lo?” Tanya Dean.
“Udah pinter gue, enggak perlu bimbel segala,” aku
menjawab. Walaupun aku ingin kuliah di jurusan teknik tapi bagiku belajar di
sekolah sudah cukup, ditambah jam pelajaran tambahan yang diberikan yang
orang-orang sebut ‘pemantapan UN’, dan tentunya aku selalu belajar di rumah. Don’t judge a book by it’s cover, okay?!
Ingat dua pasangan yang dulu? Ya, Safira dengan Geri, Sebs dengan Mareta. Sebs dengan Mareta tidak bertahan lama, tapi kebalikannya
Safira dengan Geri masih bertahan. Aku memilih kuliah di luar kota, di Bali
tepatnya. Kupilih Bali karena, pertama, aku suka suasananya. Kedua, aku ingin merantau keluar dari pulau Jawa. Ketiga, aku suka alamnya, banyak tempat
pariwisata internasional. Keempat, aku ingin pergi jauh untuk melupakan Safira.
Bertahun-tahun kuliah dapat menghasilkan kebosanan
jika aku tidak mengikuti komunitas mount
biker. Ketika aku sedang mengelilingi Bali, aku melihat sebuah brosur yang
diselipkan di motorku. Bali Mountain Biker mengajak untuk bergabung menikmati
alam Bali sambil memacu adrenalin. Sebuah rasa ketertarikan tiba-tiba muncul ke
permukaan, aku akan mengikuti kegiatan itu.
Tidak terasa kuliahku sudah beres, aku langsung
diterima kerja di perusahaan listrik nasional. Bertahun-tahun bekerja berpindah
ke satu kota ke kota yang lain membuat aku mengenal banyak tempat yang bagus
untuk melakukan mount bike, adalah suatu keputusan yang tepat untuk kuliah
teknik di Bali. Ketika sedang streaming film, satu email masuk. Dari Sebs.
Gue enggak
tahu lo sekarang ada dimana, jadi gue kirim undangan pernikahan gue ke email
aja. Gue harap lo bisa dateng.
Singkat dan padat pesan yang disampaikan Sebs disertai
lampiran e-invitation berwarna lembut. Aku mengklik dan membacanya baris per
baris dengan penuh kehati-hatian.
“Sama Mia?” aku tertawa kecil ikut merasakan
kebahagian yang sahabatku rasakan.
Pernikahan Sebs dan Mia begitu meriah, banyak teman-teman
semasa SMA yang datang. Aku bertemu tentunya dengan Dean dan Wicak, dan juga
Safira. Dean dengan Masayu, Wicak datang sendiri, Safira datang bersama
laki-laki dan seorang anak kecil, maka biarkan aku menebak bahwa laki-laki itu
adalah suaminya dan anak kecil itu adalah anaknya, karena perutnya membesar
maka aku tebak lagi dia sedang hamil.
Aku menyapanya, menyalami yang kutebak adalah suaminya.
“Berasa reuni,” ucap Wicak.
“Lo sih enggak dateng pas kawinan Safira,” kata
Dean.
“Kan gue lagi ada proyek di Papua, jadi enggak bisa
dateng jadi gue ucapin di sini aja ya, Happy Wedding Safira dan mas?” aku bertanya
karena aku tidak tahu nama laki-laki itu.
“Denis,” laki-laki itu menjawab, ternyata tebakanku
benar. Mereka pamit untuk mengucapkan selamat pada kedua mempelai.
“Ya iyalah tebakan lo bener, siapa lagi kalau bukan
suaminya. Nenek-nenek usia 2000 tahun juga tau kali.” Wicak berbisik setelah
Safira dan rombongannya pergi.
“Eh siapa tahu laki-laki itu bukan suaminya,
gara-gara dia lagi hamil malu kalau datang sendiri takut ditanya-tanya mana bapak dari anak ini jadi dia ngajak temennya atau kakak sepupunya atau adik
sepupunya, gue enggak tahu siapa,”
“Hus, kamu kalau ngomong hati-hati Gus,” Masayu ikut
ambil suara.
“Belum bisa move on ya?” Tanya Dean santai.
“Enak aja, dari zaman kapan gue bisa move on dari
dia!” aku bersungut-sungut, semua orang tertawa seakan tak percaya.
Setelah pulang dari acara resepsi pernikahan Sebs
dan Mia, aku kepikiran kata-kata Dean. Apakah benar aku belum bisa move on dari
Safira? Aku mengambil ponsel yang tergeletak di jauh dari jangkauanku. Aku bangkit mengambil ponsel yang ku tinggalkan di meja makan untuk membuat suatu kepastian dalam hidupku.
Gusti : Fir, besok bisa ketemu enggak?
Aku mengirim pesan itu, namun beberapa menit belum dibalas, aku pikir dia sudah
tidur karena jam di dinding kamarku sudah menunjukkan pukul 00.01. Aku mencoba untuk
tidur.
Safira: Eh, sori baru bales. Bisa, pas jam istirahat
gue ya. Dimana?
Aku menunggunya di coffee shop yang sudah kita
sepakati. Letak coffee shop ini tidak jauh dari kantornya sehingga tidak perlu
menunggu terlalu lama ia sudah ada di hadapanku sekarang.
“Ada apa, Gus?” dia memulai pembicaraan.
“Enggak apa-apa, cuma pengen ngobrol kecil-kecilan. “Lo
enggak makan? Kasian baby-nya,”
“Nanti aja di kantin, lagian cuma sebentar kan kita?”
“Iya sebentar kok. Berapa bulan usia kandungan lo?”
aku melajutkan pembicaraan yang telah Safira mulai. Berbicara mengenai
pekerjaan masing-masing, kami kerja di bagian apa, dia bertanya aku tinggal
dimana, berapa lama, dan akhirnya sampailah pada tujuanku mengajaknya bertemu.
“Fir, gue sayang sama lo....” belum sempat aku
teruskan, dia malah murka.
“Apaa-apaan sih Gus? Lo enggak liat perut gue buncit
kaya gini? Lo enggak liat kemarin gue bareng suami sama anak gue? Lo gila ya!”
“Gue belum selesai ngomong,” aku berbicara dalam
intonasi yang sama, tetap rendah. “Gue sayang sama lo dulu, waktu kita SMA,”
dia mulai tenang mendengar penjelasanku.
“Terus?” dia masih agak galak.
“Cuma mau bilang itu doang. Iya gue tahu mungkin
terlambat dan memang sangat terkambat, tapi gue pengen lo tahu sikap gue yang
selalu penakut di mata lo dulu itu emang bener, karena gue enggak pernah bisa
berkutik di depan lo bahkan ketika lo masih jauh kaki gue udah lemes udah
enggak tahu harus kayak gimana,” hening.
“Gue emang dulu sayang banget sama lo tapi sayangnya
gue cemen,” aku tersenyum getir. “Tapi gue udah berhasil buang rasa sayang ke
lo sedikit demi sedikit dan akhirnya benar-benar gue kuras habis ketika ada undangan
pernikahan dari lo yang enggak pernah gue buka. Gue enggak tahu kapan lo nikah,
dimana lo nikah, sama siapa lo nikah, gue enggak tahu dan enggak mau tahu!
“Tapi lo tahu enggak? Tadi malem pertama kalinya gue
berani ngehubungin lo. Kenapa? Karena gue udah berhasil menjadikan lo temen
bukan orang special lagi. Maaf mungkin lo kesel denger ini tapi gue harus
bener-bener meyakinkan diri gue sendiri biar percaya kalau gue emang udah bisa move on dari
lo. Kadang diri lo sendiri juga perlu pembuktian kalau lo udah ngelaksanain
janji yang lo buat sendiri,
“Gue emang sayang sama lo makanya gue turut
berbahagia atas kehidupan lo saat ini,” aku yang sedari tadi menunduk akhirnya
memiliki energi untuk menatap matanya. Aku mendapatinya sedang menatap tajam ke
arahku dengan matanya yang berkaca-kaca tapi tak setitikpun air mata yang
jatuh.
“Gue enggak tahu harus bilang apa,” dia terdiam
menggigit bibir bawahnya, tatapannya ia buang ke jalanan Jakarta yang padat
yang kini ia arahkan ke jam berwarna hitam yang melingkar di pergelangan
kirinya. “Gue harus balik ke kantor,” ia berdiri, kepalanya menggeleng dan ia
bertingkah seakan ada sejuta kata-kata yang ingin ia keluarkan seperti saat SMA
yang tidak pernah ia tahan. Tapi dia hanya menepuk bahuku canggung lalu
melangkah ke pintu keluar.
***
Komentar
Posting Komentar