#Boys’ Diary
#3 Wicak

“Lo putus ya sama Sarah?” Tanya Gusti.
“Iya,” aku menjawab singkat sambil terus menyuap mie ayam ibu kantin.
“Kenapa sih lo enggak pernah anterin Sarah pulang?” Gusti penasaran sekali.
“Pernah ah tapi enggak sampe depan rumahnya,” jawabku sambil terus menikmati mie ayam pedas tanpa sedikitpun melihat ke arahnya.
“Iya lo enggak pernah mau kalau diajak ke rumahnya, kenapa?”
“Engga apa-apa, gue enggak mau aja,” aku berharap dia berhenti bertanya.
“Yakin enggak mau cerita?” aku menoleh padanya, Dean dan Bastian memasang tampang penasaran.

Zaman SD mana tau aku dengan yang namanya pacaran. Selama 6 tahun di SD kehidupanku dipenuhi dengan main kelereng, mengejar layangan yang putus, main petasan sesudah mengaji atau bolos mengaji karena terhasut anak-anak yang lain, bermain badminton di lapangan kelurahan, bermain catur dengan Pak RT, atau melihat abang-abang pengangguran bermain kartu di pos ronda. Makanya aku jauh dari godaan teman-teman yang diawali dengan kata CIE. “Cieee, satu kelompok sama dia”, “ciee, suka sama dia,” dan cie cie yang lain.
Saat bulan Ramadhan kemarin, teman-teman SD mengadakan acara buka puasa bersama. Acara berlangsung hingga pukul 9 malam karena kami bersenang-senang terlebih dahulu. Karena sudah terlalu malam semua laki-laki bertugas untuk mengantarkan teman perempuannya, dan aku harus mengantarkan Diana pulang.
“Makasih ya Cak udah nganterin gue pulang,” dia basa-basi ketika aku sudah sampai di depan rumahnya.
“Iya sama-sama,” jawabku.
“Gue masuk dulu ya,”
“Eh Di, gue boleh minta kontak lo?”
Kami saling berbalas pesan kadang juga kami bicara lewat telepon. Satu bulan memulai masa pendekatan aku berpikir untuk menuju tahap berikutnya karena aku merasa nyaman jika berbicara dengannya. Ternyata cintaku tidak bertepuk sebelah tangan, dia mengatakan ya.
“Sayang, kitakan udah satu bulan pacaran masa kamu belum mau main ke rumah, ya setidaknya kalau kamu anterin aku pulang kamu masuk dulu ke dalem. Papa sama mama aku pengen kenalan sama kamu katanya,”
Mendengar pernyataan itu aku berniat untuk memenuhi panggilan kedua orang tua Diana. Besok saat aku menjemput Diana seusai mengikuti bimbel.
“Pah, Mah, ini Wicak. Pacar Di,” papanya Diana memperhatikanku dari ujung kepala hingga ujung kaki mencoba mengngat siapa aku, aku sedikit terintimidasi.
“Kamu anaknya almarhum Pak Camat Lendra?” aku mengiyakan. “Bener Bapak kamu meninggal gara-gara ketahuan korupsi?” aku kaget, Diana kaget, ibunya Diana kaget. Tak mengira orang terhormat macam Pak Sultan bisa berbicara seperti itu.
“Bapak saya bukan koruptor. Bapak meninggal bukan karena ketahuan korupsi, tapi karena beliau sakit. Saya tegaskan sekali lagi, Bapak saya bukan seorang koruptor! Saya permisi,” aku bergegas pergi dari rumah itu.
“Emang bener bokap gue meninggal tepat saat isu bokap gue terciduk kasus korupsi. Beliau kena serangan jantung, karena tanpa ada angin dan hujan beliau dituduh melakukan suap kepada Walikota dalam proyek pembuatan KTP elektronik. Isu itu cepat menyebar tapi gue enggak nyaka kalau masyarakat berpikir kalau bokap gue juga ikut terlibat.”
“Maafin gue bro, gue enggak tahu,” Gusti menepuk bahuku dan meremasnya sebagai ucapan peduli.
“Sejak kejadian itu gue enggak pernah nganter Sarah sampai depan rumahnya, paling sampai depan gang, karena gue enggak mau orang tua cewek gue ngomong yang enggak mereka tahu dengan pasti,”
“Ya lo semacam trauma,” Dean angkat bicara.
“Yang berhubungan sama orang tua gue, gue enggak bisa tinggal diem,”
“Gue paham maksud lo,” Sebs angkat suara.

Kejadian itu sudah tertinggal 10 tahun namun jika mataku tidak salah melihat, tadi siang di kantin gedung kantor aku melihat Diana bersama teman-temannya berbincang sambil menunggu pesanan. Karena tidak ada tempat kosong tersedia dekan dengan posisi Diana maka aku duduk jauh darinya. Aku mencuri-curi pandang sambil mencoba memastikan apakah itu Diana atau hanya ilusi yang dibentuk oleh mataku? Tapi ketika proses memastikan menuju final perempuan yang kukira Diana sudah tidak ada di sana. Aku melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku dan hampir tersedak karena jam istirahat sudah hampir habis. Aku buru-buru menghabiskan makanan yang baru dimakan satu pertiganya. Aku terlalu lama memperhatikan perempuan itu. Beberapa hari setelah kejadian di kantin aku tidak pernah melihat perempuan yang mirip dengan Diana lagi. aku pikir perempuan itu hanya mirip karena selama 10 tahun pula aku tidak pernah bertemu dengan  Diana.
Sebenarnya aku tidak begitu peduli apakah perempuan itu Diana ataukah bukan, aku hanya sebatas  ingin menguji ingatanku saja apakah daya ingatku masih baik dalam mengenali seseorang atau tidak. Karena tidak menemukan titik terang lebih baik aku sudahi saja ujian ini. beberapa hari terakhir aku sering pulang larut, karena ternyata bekerja pada malam hari lebih menyenangkan. Suasana yang sepi dan tenang membuat aku lebih produktif ketimbang pada jam kerja yang penuh kebisingan, ditambah ketika bosan pemandangan kota pada malam hari lebih cantik ketimbang pada siang hari.
Aku menyudahi pekerjaanku dan bersiap untuk pulang. Angka pada jam di tanganku menunjukkan pukul 10.08 PM.  Pasti ibu sudah tidur, pikirku. Aku memasuki lift dan menekan tombol B1, menuju basement untuk mengambil motorku yang terparkir sejak pagi. Aku melewati jalan di depan kantor, lalu aku melihat perempuan yang sedang berdiri sambil memerhatikan layar ponsel. Rambutnya diselipkan di belakang telinganya, dan aku rasa aku mengenalinya. Itu Diana! Aku membawa motornya untuk menyisi dan berhenti tepat di hadapannya. Dia berjalan mundur sebagi bentuk respon jaga diri, dia pikir aku begal.
“Diana kan?” aku membuka kaca helm.
“Hah?” dia tidak bisa mendengar suaraku di balik helm full faceku. Lalu aku membuka helm agar suaraku lebih jelas terdengar. “Wicak?”
Ternyata dia mengenaliku, dia berjalan maju menghampiriku. “Kamu lagi ngapain malem-malem begini?” tanyaku.
“Abis lembur gue, ini lagi nunggu dijemput,” telingaku langsug berdiri.
“Dijemput siapa?”
“Sama taksi online,” oh kataku dalam hati.
“Mau bareng enggak?” aku menawari.
“Nanti aja deh kapan-kapan. Enggak enak gue kalo ngecancel, udah deket kok,”
“Mau ditemenin enggak sampe taksinya ke sini?” aku menawarinya lagi.
“Enggak usah Cak, dia udah di belokan. Lo pulang duluan aja, udah malem,”
“Bener nih enggak usah ditungguin?” aku memastikan.
“Iya lagian masih rame,” lalu aku pamit padanya dan meninggalkannya di sana.

***

Komentar

Postingan Populer