#Boys’ Diary
#2 Dean

Sascha, perempuan yang aku kenal di sekolah menengah pertama sekitar 14 tahun yang lalu. Kami tidak pernah satu kelas tapi aku cukup mengenalnya karena setiap jam istirahat ketika aku sedang duduk-duduk di depan kelas ia akan lewat jika akan pergi ke kantin. Aku tidak pernah nongkrong di kantin karena di sana selalu penuh, jika kelas dekat dengan kantin mengapa harus nongkrong di sana. Maka, jam istirahat adalah waktu yang paling ditunggu selain muak dengan belajar jam istirahat juga menjadi ajang untuk cuci mata, melihat cewek-cewek yang lalu lalang menuju dan keluar dari kantin dan di saat itulah aku menemukan Sascha.
JIka dibandingkan dengan cewek-cewek lain sih dia masih kalah cantik secara dia tidak menggunakan bedak dan lipstick seperti cewek-cewek lain, rambut dia sudah bagus tidak perlu lagi dicatok atau diapapun itu namanya, dia tidak aktraktif sehingga terlihat tenggelam disbanding cewek-cewek lain, tapi itu yang membuat dia menjadi special.
Dua tahun tidak berani menyapa akhirnya melalui bantuan teman kami bisa kenalan. Kenalannya pun sangat lucu ketika aku mencoba mengingatnya. Temanku bernama Geo memiliki pacar bernama Kira yang satu kelas dengan Sascha, walaupun tidak berteman akrab tapi jika mereka teman satu kelas akan lebih mudah daripada Geo langsung meminta Sascha untuk menunggu di gerbang sekolah.
“Kira udah ngomong sama Sascha, tapi Saschanya enggak mau,” Geo sedikit panik. Aku yang sedang mempersiapkan diri menjadi kecewa.
“Ya udahlah pulang aja,” aku berjalan duluan tapi aku rasa Geo tidak mengikutiku. “Ayo!”
“Duh gue jadi enggak enak sama lu. Kan gue udah janji mau bantuin lu deket sama Sascha,” dia menahan langkahku.
“Ya mau gimana, Saschanya aja enggak mau kenalan,” aku pasrah.
“Tapi sih menurut gue, wajar aja dia enggak mau kenalan kan dia belum liat lu. Takutnya lu orang jahat atau gimana jadi ya kaya waspada gitu. Tapi gue yakin kalau dia udah kenal sama lu dia bakal seneng,”
Aku tak menjawabnya karena aku mengamini apa yang ia katakan tapi kami sekarang sudah di jalan menuju gerbang, akhirnya Geo mau pulang meskipun gagal. Aku menunduk lesu menendang kerikil dari pecahan pelapis lapangan. Geo menarik tanganku mundur dan pergi ke tempat di samping lapangan.
“Ada Sascha sama Kira,” walaupun aku tidak melihatnya tapi aku terkejut mendengar Geo mengatakan itu, jantungku langsung berdebar-debar.
“Gue harus gimana?” aku panic dicampur gembira, dan sedikit bumbu malu, takut, tak berani.
Geo menarik lenganku, aku yang malah menghambat perjalanan pulang kami. Kakiku terasa berat untuk melangkah maju tapi terasa ringan untuk berlari mundur. Akhirnya walau terus diseret oleh Geo kami sampai di hadapan Kira dan Sascha. Aku semakin malu.
“Hai, Scha ini ada yang mau kenalan namanya Dean,” Geo memulai proses perkenalan. Aku masih menunduk sambil mencuri-curi pandang lalu menunduk lagi ketika Sascha menatap ke arahku. “Cepet kenalan,” Geo memerintah dengan berbisik. Tapi aku masih diam.
“Udah siang kayaknya aku sama Geo pulang duluan deh ya,” Kira memohon pamit.
“Eh aku juga ikut pulang bareng sama kamu Ra,” mendengar Sascha akan pulang tiba-tiba aku didorong oleh rasa kaget aku langsung menengadah dan mata kami saling bertemu.
“Hai, akhirnya enggak nunduk lagi,” Sascha berbicara padaku, aku melongo mereka semua tertawa.

Setelah kejadian itu setiap pulang sekolah kami berempat selalu pulang bareng, jalan kaki karena sekolah kami tidak jauh. Biasanya sebelum kenalan dengan Sascha aku selalu naik sepeda tapi karena sepedaku tidak ada tempat untuk membonceng aku pergi dan pulang jadi jalan kaki.
“Kamu capek nggak jalan kaki?” aku bertanya padanya.
“Enggak, emang aku biasanya jalan kaki. Kamu tuh yang capek abis anterin aku pulang malah balik lagi ke sekolah karena rumah kita enggak searah,” benar juga apa yang dikatakan Sascha.
“Gimana kalau berangkat sekolah aku nyimpen sepeda di rumah kamu, jadi kita berangkat dan pulangnya bareng,” dia tersenyum lalu mengangguk.
Kisah kami saat satu sekolah hanya satu tahun, karena selama dua tahun aku hanya berperan sebagai secret admirer yang tidak melakukan apapun, aku hanya melihatnya ketika lewat, mengetahui nomor ponselnya tanpa berani menghubungi sehingga aku hanya meninggalkan miss call di ponselnya setiap sore dan setiap hari, aku hanya melihat facebook-nya tanpa menambahkannya sebagai teman, dan aku hanya menjadi  orang paling penakut di matanya. Waktu terus berjalan kami berbeda SMA walaupun begitu saat perpisahan kelas 9 kami meresmikan hubungan kami.
SMA kami tidak jauh hanya sekitar 400 meter ditambah aku sudah dibelikan motor oleh orang tuaku meskipun aku belum cukup umur untuk memiliki SIM. Setiap pulang sekolah dia selalu menunggu di halte depan sekolahnya menungguku untuk menjemputnya. Dua tahun berlalu hubungan kami baik-baik saja tapi akhir-akhir ini dia mulai berubah dan kecurigaanku menemukan muaranya dia akhirnya memutuskan hubungan kami, dan beberapa hari kemudian dia berpacaran dengan orang lain, berganti dua cowok dalam dua bulan, tapi aku masih single.
Akhirnya dia menghubungiku lagi, kami tetap akrab walaupun pernah ada luka yang ia buat. Karena aku tetap sayang padanya kami kembali lagi berpacaran. Kehidupan kami berjalan dengan baik, aku berharap tidak ada orang lain lagi di kehidupan kami.
Hari ini hari terakhir UN, kami berencana untuk pergi makan. Setelah pulang ujian aku berjanji untuk pulang bareng dengannya, naik angkot. Tapi aku harus berjalan setidaknya sampai dekat sekolahnya. Kita ketemuan di depan fotocopy Abadi. Beberapa meter lagi aku menemukannya tengah berdiri melambaikan tangannya padaku, di berjalan menghampiriku dan tersenyum. Oh aku jatuh cinta padanya. “Gimana tadi UNnya bisa?” dia bertanya sambil menunggu  angkot, aku mengangguk.
“Maaf ya kita jadi naik angkot, selama ujian aku enggak boleh bawa motor, ada razia,” aku menjelaskan.
“Ya enggak apa-apa, emang aku nuntut kamu buatt bawa motor? Bukannya lebih romantic naik angkot? Kamu jadi bisa liat muka aku dan aku juga jadi bisa liat kamu,”
“Sascha, aku sayang sama kamu,” ucapan sayang di tengah-tengah pembicaraan cukup membuat mukanya memerah, tapi aku tidak berniat untuk membuat mukanya memerah tapi ini murni dari hatiku. Dalam suasana yang romantis aku mulai mendekatkan wajahku pada wajahnya.
“Eh dek, enggak boleh mesum di angkot,” kami langsung tersadar ketika ada suara yang mengagetkan sepeti itu.
“Kita enggak mesum kok Mbak, orang dia mau ngebisikin sesuatu,” Aku merasa bodoh telah berniat menciumnya di ruang public, tapi perempuanku ini bisa galak seperti itu untuk membelaku.

“Kamu ngapain tadi di angkot?” dia tertawa saat kami sedang berada di sebuah tempat makan.
“Jangan ketawa ih, malu,” aku merengut. Menyilangkan kedua tanganku di atas meja sambil menunggu makanan yang kami pesan.
“Mau ngapain sih tadi?” dia masih terus tertawa.
“Udah deh enggak usah godain aku, pake pura-pura enggak tau aku mau ngapain tadi,” aku malah menuduk ke dalam tanganku.
“Udah enggak usah dipikirin lagi, kan udah aku galakkin tadi si Mbaknya. Jangan pundung ih,”dia membelai rambutku pelan. Aku masih merasa malu tapi aku mulai tenang karena aku tahu Sascha akan selalu ada bersamaku menghadapi semua bersama.
Pesanan kami sudah datang, di sela menikmati makanan yang kami pesan kami mengobrol menceritakan pengalaman kami saat ujian, akan kuliah di mana dan lain sebagainya. Sascha adalah pribadi yang menyenangkan dimataku, dia menjadi sedikit gila dari yang biasa orang lain lihat ketika berdua bersamaku, dan dia tidak malu untuk menampilkan itu semua.

Akhirnya pengumuman penerimaan mahasiswa menampilkan kenyataan bahwa aku tidak bisa kuliah dengan Sascha disatu perguruan tinggi yang sama.
“Enggak apa-apa yang, kan kita masih satu kota, masih bisa ketemu,” kata-kata Sascha teringat terus di pikiranku, tapi pada kenyataannya dia selalu sibuk. Aku yang sangat rindu padanya tidak cukup jika hanya bertemu lewat telepon, video call atau chatting aku membutuhkan Sascha di depan mataku.
Perasaan rindu yang tak kunjung terobati akhirnya memilih jalan alternatif yaitu bertemu dengan perempuan lain, Chloe. Dia teman satu jurusan denganku, cantik sih tapi yang penting dia sudah tertarik denganku terlebih dahulu jadi aku tak perlu bersusah payah untuk menarik perhatiannya.  Akhirnya aku mengutarakan untuk putus dengan Sascha.
Scha: kamu ketemu cewek lain ya? Gara-gara aku enggak ada buat kamu? Gara-gara aku sibuk? Gara-gara kita enggak pernah ketemu tapi sama cewek itu ketemu terus setiap kuliah?
Dean: Aku butuh kamu sebenarnya
Scha: Tapi? Aku enggak pernah ada? Okay, maaf aku sibuk
Dean: Aku tau kamu sibuk tapi kamu enggak pernah kasih tau aku kegiatan kamu, kamu sibuk gara-gara apa. Kita udah masing-masing sekarang, kamu dengan dunia kamu sendiri yang seakan aku enggak boleh masuk ke dalamnya. Gimana mau masuk, aku tahu aja enggak
Scha: Aku capek Dean, baru pulang observasi
Dean: Tuh kan aku aja engga tahu kalau kamu dari tadi lagi dimana, di rumah atau di luar ada tugas atau engga, aku enggak tahu sama sekali.
Shca: Okay aku minta maaf, aku bakal bilang semua sama kamu. Tapiiii..
Dean: Tapi?
Scha: Tapi bukannya kamu udah nemuin cewek lain kan? Enggak mungkin dong kamu balik lagi sama aku dan tinggalin dia. Kasian.
Dean: Jadi kamu mau aku sama dia?
Scha: Aku takut aku engga ada lagi buat kamu
Dean: Well, kita bisa bareng lagi, aku enggak mau ada orang lain.
Ponselku terus bergetar karena pesan yang masuk.
Scha: Ada chat ya? Pasti dari dia, bye Dean.
Dia memutuskan teleponnya. Aku kacau.
Benar apa yang dikatakan Sascha, pesan yang masuk semuanya dari Chloe. Aku tak membalasnya, aku lemparkan ponselku ke kasur, aku tinggalkan untuk pergi ke balkon. Aku kehilangan selera terhadap Chloe karena yang aku rasakan adalah Chloe hanya sebagai penggati saat yang utama tidak ada tapi tidak akan pernah bisa jadi yang utama.
Dua tahun berlalu tanpa berhubungan dengan Sascha, aku rindu padanya. Beberapa hari kemudian dia menghubungiku, aku sangat senang. Kami kembali bersama, tapi hubungan kami tidak berlangsung lama hanya sebulan karena ia ingin bersama laki-laki lain. Berbeda kampus ternyata cukup sulit dan menjadikan rintangan dalam kisah cinta kami. Aku terpukul, aku pikir dia benar-benar ingin bersamaku tapi ternyata banyak laki-laki di luar sana yang mungkin dekat dengannya.
Kehidupanku berjalan biasa saja tanpa perempuan lain, karena aku tidak memiliki minat untuk menjalin hubungan dengan siapapun lagi. walaupun hatiku merasa kosong tapi aku akan membiarkannya seperti itu saja. Sebelum hari kelulusannya, Sascha menghubungiku untuk memberitahukan kabar ini, aku turut bahagia tapi aku tak diundang datang maka aku cukup memberikan ucapan selamat saja. Bulan depanpun merupakan hari kelulusanku, aku menghubunginya.
Dean: Besok aku wisuda
Scha: Yeaaay, selamat yaaaa
Dean: Mau dateng nggak?
Scha: Emang boleh?
Dean: Terserah sih, tapi aku pengen ketemu
Scha: Enggak enak deh kalau aku tiba-tiba dateng aku bukan siapa-siapa, besoknya aja gimana?
Dean: Boleh, pagian ya biar bisa lama
Scha: Oke, kabarin aja.

Pada hari itu kami bertemu, aku menjemput di rumahnya.
“Tante, saya sama Sascha pergi dulu,” aku pamit pada ibunya.
Ini masih pukul 10, kami memutuskan untuk main ice skating di salah satu mall di kota ini.
“Eh emang kamu bisa?” dia bertanya padak.
“Bisa,” dengan percaya diri aku menjawab ya padahal aku tidak terlalu mahir.
Aku memakaikan sepatu skate untuk Sascha, dan kami mulai memasuki arena. Kami saling berpegangan tangan saat berjalan di atas es. Dia yang sudah mahir memberikan tatapan menggoda padaku ketika aku tidak seimbang saat tangannya melepaskan tanganku.
“Bisa enggak?” dia tertawa. “Pegang tangan aku, kita coba pelan-pelan,” dia menuntunku mengelilingi lingkaran paling luar dari arena. Aku percaya padanya bahwa dia tidak akan membiarkan aku jatuh. Lalu dia mengajakku untuk ke tengah arena.
“Aku dari dulu enggak bisa-bisa,” dia hanya tersenyum lebar masih sambil memegang tanganku. “Bentar ah ke pinggir dulu,” aku berjalan sendiri. Dari pinggir aku melihat dia bermain sendiri dengan lancarnya, menari, berputar, dan pergi ke arah yang menjauhi posisiku tiba-tiba dia muncul dari arah yang tak ku duga.
“Boo! Main lagi enggak?” ajak dia. “Jangan takut,” kami kembali bermain untuk beberapa saat.
“Udah yuk laper,” aku mengajaknya untuk makan. Dia mengiyakan dan kami ke salah satu tempat makan yang ada. Tempat ini pernah kami kunjungi saat pacaran dulu, dan menu yang kami pesan juga menu yang dulu kami pesan.
“Kamu jadian enggak sama cewek yang dulu?” tiba-tiba dia melemparkan pertanyaan yang aku pikir tidak akan pernah ia tanyakan.
“Enggak jadi,” jawabku singkat sambil meminum minuman yang ku pesan.
“Kenapa?”
“Enggak mau aja. Waktu itu aku sedih baru putus jadi enggak ada selera buat jadian lagi,”
“Tapi kamu punya pacar lagi selama ini?” aku tak dapat membaca kemana arah pembicaraannya.
“Pernah sekali waktu itu, tapi enggak bertahan lama,”
“Kenapa?”
“Enggak apa-apa, kirain bisa jalanin dengan baik tapi kayanya hati aku belum siap deh kalau yang jadi pacar aku itu bukan kamu,” dia terdiam.
“Kenapa masih punya pikiran itu? Aku kan sering nyakitin kamu,” dia menatapku. Aku menghela napas.
“Meskipun kamu ngelakuin hal-hal yang bikin sakit tapi aku enggak bisa benci sama kamu,”
“Kenapa?” dia menatapku tak berkedip.
“Karena aku sayang sama kamu,” dia membuang muka ke arah lain, berharap aku tak melihat matanya yang berkaca-kaca. “Dari dulu Scha,”
“Aku punya..”
“Jangan sebut itu ya aku pengen sama kamu buat beberapa jam ke depan, please boleh kan?”
“Maafin aku,” dia yang sekarang menunduk.
“Hey,” aku meraih dagunya, mengangkat wajahya dan dia tidak menyembunyikan air matanya sekarang. “Aku kan bilang, aku engga akan dan enggak bisa benci sama kamu karena aku sayang sama kamu. Udah jangan nangis, ntar dikira aku ngapa-ngapain kamu. Nonton yuk!”
Kami berjalan menuju bioskop yang berada satu lantai di atas tempat makan yang kami kunjungi tadi. Sambil berjalan dia menggandeng lenganku dan kepalanya bersandar di bahuku. Aku membiarkannya seperti itu biarkan hari ini aku merasakan menjadi orang special baginya lagi.
“Mau nonton apa?” aku bertanya padanya.
“Kartun aja mau enggak?”
“Boleh, Mbak untuk dua orang,”

Setelah film selesai kami langsung pulang, selama dalam perjalanan yang hanya menghabiskan waktu sekitar  satu jam itu kami sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Aku boleh peluk ga?” dia meminta izin.
“Boleh,” kataku dari balik helm dan aku tetap memacu kecepatan motorku secara konstan.
Walaupun aku sedang mengendarai motor tapi aku terus berpikir apakah aku berdosa jika aku mengajak kencan pacar orang lain. Siapa yang berdosa aku atau dia jika hari ini kami sudah bersama seharian. Berpegangan tangan, saling memeluk, ku katakan sayang, dan bahkan aku sudah sangat ingin mencium bibirnya seperti dulu.
“Udah sampe. Mau masuk dulu?” dia menawariku.
“Langsung pulang aja deh,” aku memohon diri untuk pulang.
“Dean, suatu hari nanti aku akan ceritakan suatu kisah untuk kamu,” katanya.
“Kisah apa?”
“Tentang kita,”
“Okay, aku akan tunggu waktu yang kamu maksud,” dia tersenyum mengiyakan dan aku pergi dari hadapannya.
Beberapa tahun kemudian.
“Dean, ada surat tadi Ibu udah simpen di kamar kamu,” aku menuju kamar untuk mencari surat yang dimaksud oleh ibu.
Surat dengan amplop berwarna ungu muda berasal dari seseorang yang berada di Yogyakarta. Ku buka dan langsung ku baca surat berwarna senada tersebut.

Hai Dean,
Kamu bisa tebak siapa aku? Aku orang yang dulu berjanji untuk menceritakan suatu kisah tentang kita. Mungkin agak berlebihan tapi sempatkan waktu kamu untuk membaca surat ini.
Selamat untuk pernikahanmu besok, undanganmu sudah ku terima. Mama memberitakukan bahwa ada undangan pernikahan dari kamu, mama memberi tahu alamat dan waktunya kemungkinan aku akan hadir.
Bukan untuk menginterupsi tapi aku terlalu berleha-leha sehingga akhirnya waktu itu sudah habis. Aku akan bercerita sekarang, tapi tolong berjanji padaku kalau surat ini tidak akan pernah memberikan pengaruh apapun pada kehidupan kamu, sedikitpun!
Aku ingin mengatakan suatu yang seharusnya tidak aku katakan, kamu ingat hari setelah kamu wisuda dan kita kencan? Sebenarnya aku tidak punya pacar saat itu. Aku hanya ingin kamu membentuk image baru tentang aku, aku harap image yang buruk sehingga kamu tidak pernah mau lagi bertemu denganku, sehingga rasa sayang yang kamu simpan untuk aku bisa tiba-tiba hilang entah kemana. Kenapa? Karena aku pikir kita saling mencintai saja tidak cukup. Aku sayang sama kamu tapi pada kenyataannya aku selalu pergi lagi. aku berpikir bahwa itu pertanda bahwa kita tidak boleh bersama. Karena aku sudah tahu kalau kamu akan selalu menungguku maka aku dengan seenaknya aku akan datang dan pergi. Aku tak mau itu terjadi.
Tapi apakah caraku berhasil? Apakah kamu sudah kehilangan persediaan rasa sayang yang hanya untukku itu? Aku harap sudah. Aku harap caraku berhasil. Tapi aku berasumsi caraku ini berhasil. Percaya diri sekali aku. Eits, jangan bilang aku sok tahu. Aku tahu! Buktinya kamu sudah menemukan Masayu bahkan kamu dengan mantap siap menikahinya. Apa yang terjadi jika hari itu mulutku yang egois ini mengatakan bahwa aku single? Aku yakin kamu akan mengajakku balikan lagi, iya kan? (kali ini sepertinya aku yang sok tahu).
Dean, kita bertemu tapi tidak untuk menjadi sepasang suami istri. Kita bertemu hanya untuk melatih diri kita untuk saling bisa mencintai seseorang walaupun menyakitkan jika harus dipaksa untuk berhenti karena latihan sudah selesai.
Dean, aku pernah berpikir bahwa aku tidak akan pernah menikah. Mana ada laki-laki yang bisa mencintai perempuan seperti aku. Perempuan yang selalu pergi karena selalu merasa menjalin suatu hubungan adalah suatu hal yang membosankan. Aku sudah banyak menjalin hubungan dengan berbagai karakter laki-laki tapi aku tidak tahu apa yang aku cari. Setiap hari hidupku selalu terasa kosong, berutung aku memiliki pekerjaan yang menyita waktuku sehingga rasa kosong itu tidak muncul ke permukaan. Dulu aku pernah membayangkan bisa menjadi pengantin kamu tapi aku buang mimpi itu jauh-jauh karena kamu adalah laki-laki yang tidak ingin aku sakiti oleh egoisnya aku. Seandainya kamu ingin tahu, setiap kali aku ingin berlari ke pelukanmu, bersandar di bahumu, tertawa bersamamu demi Tuhan aku tidak bisa menahan itu semua.
Tak usah khawatir aku baik-baik saja. Sampai bertemu besok.

Sascha Yuanita

Hari pernikahanku sudah digelar sejak tiga jam yang lalu tapi aku belum menemukan sosok itu. Tamu terus berdatangan tapi bukan Sascha di antara mereka. Hingga di satu jam terakhir acara, aku menemukan sosok yang aku nanti, sosok yang dulu aku sayang hingga sekarang. Sosok itu datang dengan gaun berwarna abu sangat cocok untuk dirinya, sambil menuntun putra kecilnya yang tidak bisa diam ingin berlari ke sana kemari dan seorang laki-laki berdiri di sampingnya membantu menenangkan si kecil. Tapi laki-laki itu bukanlah laki-laki yang aku lihat saat Sascha duduk di pelaminan.

***

Komentar

Postingan Populer