#Boys’ Diary
#1 Sebastian
Aku mengenalnya sejak SMP, ya dia satu SMP denganku
bahkan bisa dikatakan dia adalah cinta (monyet) pertamaku. Namanya Mia. Pertama
kali aku melihatnya saat dia main di rumah Yasmin, yang kebetulan rumah nenekku
satu daerah dengan rumah Yasmin. Ah, jika aku ingat kembali masa SMP itu
rasanya konyol sekali tapi tetap … indah.
Kami –aku dan Mia- akhirnya berpacaran di ujung masa
sekolah kami di SMP setelah mengenalnya selama satu tahun dan kisah kami
berlanjut hingga kami kelas 2 SMA karena aku dijodohkan dengan Mareta oleh
Gusti. Ya berbeda sekolah cukup banyak godaannya sehingga akhirnya kami
berpisah cuma dua bulan. Aku mencoba untuk mengajaknya untuk kembali bersama
tapi ternyata dia sedang menjalin hubungan dengan cowok lain. Tak apa, ini
memang salahku pernah melepaskannya.
Setelah lepas dari Mia aku masih tetap mencari kabar
tentangnya dengan melihat sosial media yang dia punya berharap menemukan
informasi yang berharga yang paling aku tunggu yaitu, status single.
Aku tahu Mia dulu sangat marah padaku, jadi aku tidak
pernah berani lagi untuk menghubunginya walaupun aku ingin bahkan sangat ingin.
Sejak kelas 3 SMA aku tidak pernah berhubungan lagi dengan Mia, namun tiba-tiba
pesan dari Mia muncul di notifikasi pada ponselku.
Mia : Aku jahat enggak sih?
Aku tidak langsung membalasnya, hanya membaca dan
menunggu beberapa menit agar tidak terlihat memainkan ponsel terus. 10 menit
sangat lama sekali rasanya, akhirnya di menit ke-11 aku membaca pesannya dan
membalasnya.
Sebs : Kenapa?
Mia : Enggak apa-apa nanya dong. Eh btw kamu kuliah
dimana?
Sebs : Di sini kok
Mia : Enggak keluar kota?
Sebs : Enggak. Kamu?
Dan dia juga ikut lama membalas pesanku. Duh singkat
amat aku membalas pesannya, salah apa dia padaku. Ku tunggu tapi dia tidak
menjawab pesanku itu padahal ibu menanyakan kabar Mia terus. Salah lagi!
Beberapa bulan kemudian, hari ke-2 lebaran.
Mia : Minal aidzin wal faidzin ya. Salam buat ibu kamu
Sebs : Bilang aja sendiri
Mia : Mana nomor teleponnya
Sebs : Main dong ke rumah
Mia : Enggak ah gatau dimana rumahnya juga. Kamu aja
yang main ke rumah, kan udah biasa tuh kalo dulu ngapel
Sebs : Itukan dulu, gentian dong.
Mia : Enggak tahu rumahnya, jemput!
Sebs : Dateng aja sendiri naik ojek online.
Mia : Mana alamatnya
Sebs : Cari di internet
Mia : Lu ngeselin ya
Sebs : Mau dijemput enggak?
Mia : Bohong!
Sebs : Pertama aja, nanti kalau mau ke sini sendiri.
Inget-inget aja jalan sama alamatnya ntar liat di nomor rumahku
Mia : Yaudah cepet gue tunggu.
Entah mengapa menjahili Mia itu menyenangkan, berlagak
cuek padahal aku mengharap banyak.
“Bu, mau jemput Mia dulu, dia mau ke sini,”
“Ya, hati-hati” ketika ibu mengatakan itu aku sudah
memacu motorku pergi, aku tak sabar bertemu Mia.
Di jalan kami saling terdiam, walaupun aku tak merasakan
bercanda sambil berboncengan dengannya seperti dulu tapi mengetahui dia ada di
belakang duduk dengan sabar sudah cukup bagiku. Mia bertambah cantik sekarang.
Aku mengajaknya masuk ke rumah, dia tampak ragu. Aku
menarik tangannya mengatakan keluargaku tidak akan menggigit dia memukul
lenganku sambil tersenyum.
“Eh Mia, apa kabar?” ibu menyambutnya saat masuk
berikut ayah, kakak beserta kakak iparku dan tentunya adikku.
“Baik Bu,” mereka berbicara panjang lebar, aku masuk
menonton TV.
“Bassss, ini Mianya temenin,”
“Kan lagi ngobrol sama Ibu,” aku berteriak tanpa
mengubah posisiku yang berbaring santai di atas sofa.
“Duh Bastian itu anak mami banget, cuek, tapi jail
adeknya sering nangis padahal udah SMP saking jahilnya,” aku mendengarkan
percakapan mereka dengan mengecilkan volume TV.
“Nguping?” Jane, adikku yang ibu katakana sering aku
buat menangis lewat menuju kulkas mengambil segelas sirup.
“Apaan sih. Eh bikini gue satu,”
“Bikin aja sendiri,” aku melempar bantal sofa dan Jane
berteriak memanggil ibu. “Udah gede masih sering ngadu, Ibu, Ibu, Ibu. Manja!”
aku menjahilinya lagi dan berhenti ketika ibu datang, wajahnya cemberut aku
tertawa kecil dan menghampiri Mia di ruang depan.
“Lo tuh iseng banget yang, jahat!” Mia mencak-mencak
ketika aku baru duduk.
“Jahat?”
“Tuh adek lo sampe manggil nyokap, lu apain di dalem?”
“Orang aku enggak ngapa-ngapain dianya aja yang manja,”
“Tapi tetep aja ngeselin!”
“Aku ngeselin di mata kamu?” tanyaku mulai menuju arah
serius.
“Banget!”
“Kamu juga ngeselin, aku nanya enggak dijawab,” aku
merengut.
“Yang mana?” tanyanya mencoba mengingat.
“Itu yang waktu aku nanya kamu kuliah dimana,”
“Kamu enggak nanya aku kuliah dimana ah, cuma nanya
‘kamu’ doang,” dia mulai menggodaku.
“Iya aku Cuma ngetik kamu doing tapi kan artinya kamu
kuliah dimana”
“Harus yang lengkap kalau nanya ke aku,”
“Ih enggak mau kalah,” dia tertawa aku tersenyum.
“Jadi kamu kuliah dimana?”
“Aku kuliah di UK. Waktu itu aku enggak balas karena
sibuk ngurusin persyaratannya,”
“Jadi kapan mulai kuliah?”
“Tahun depan,”
Kami berbicara panjang lebar, bercerita kisah kami
yang tidak kami lalui bersama, saling tertawa, menggoda, mengejek dan bahagia.
Dia masih Mia yang dulu, Mia yang aku sayang.
“Udah siang, aku pamit deh ya,”
“Yuk aku anterin,” aku menawarkan.
“Eh enggak usah, aku pake ojek online aja,”
“Untuk sekarang aku anterin kamu, tapi tahun depan
dateng sendiri pulang sendiri,”
“Emang aku mau ke sini lagi tahun depan?” dia selalu
menggodaku.
“Haruslah!” aku menginginkan kamu terus ke sini setiap
hari kalau bisa.
“Kamu aja yang dateng ke rumah, gentian dongggg!”
“Kan bukan pacar kamu lagi, nanti papa mama kamu nanya
ngapain Bastian ke sini,”
“Jahat amat ortu gue,” dia terkekeh. “Jadi harus
pacaran dulu biar kamu mau dateng ke rumah?” dia memberikan pertanyaan yang tak
terduga.
Aku kikuk tak bisa menjawab dan ya dia menang.
“Aku mau pergi ke Bali buat kursus masak,”
“Ngapain jauh-jauh ke Bali buat kursus masak? Emang di
sini enggak ada?” tanyaku sambil terus memacu motor.
“Bosen ah, pengen pergi yang jauh ke tempat yang
enggak ada orang yang aku kenal biar aku bisa hidup tenang,”
“Emang sekarang kamu hidupnya enggak tenang?”
“Enggak,”
“Jadi kamu ke UK dalam rangka kabur nih?” aku tak
menanyakan alasannya, aku tak mau dikira ikut campur dalam kehidupannya.
“Haha ya enggak lah, kan kamu tahu cita-cita aku
pengen kuliah di Inggris,”
“Hehe, iya tahu kok.” Tak terasa ketika aku
memboncengnya di belakang perjalanan begitu singkat, dan waktuku bersama Mia
selesai sudah.
“Masuk dulu enggak?” dia menawariku.
“Kan tadi udah, hehe” aku pamit pulang. Hatiku merasa
kehilangan lagi.
Sejak saat itu aku kehilangan kontak dengan Mia, dan
lagi aku tidak berani untuk memulai menghubunginya. Satu tahun berlalu dan hari
ini adalah bulan Ramadhan aku menebak-nebak apakah lebaran tahun ini ia akan
datang ke rumah.
Jika Ibu tidak bertanya padaku apakah Mia akan ke
rumah atau tidak mungkin aku tidak mengirimkan pesan seperti pesan-pesan yang
sudah ku ketik dan lalu ku hapus lagi. Akhirnya dengan penuh keberanian pesan
itu terkirim, dan langsung berstatus dibaca.
Mia : Iya ini lagi siap-siap. Kalian jangan pergi
kemana-mana ya
Benar saja, satu jam kemudian seseorang mengetuk pintu
aku langsung membukanya dan di sana berdiri Mia menggunakan baju berwarna
kuning lembut dengan poni yang menutupi keningnya seperti saat pertama aku
melihatnya ketika dia pergi ke rumah Yasmin. Dia tersenyum lebar, “Selamat
Lebaran!” aku hanya terpaku karena masih terpesona.
Tahun berikutnya pun ia masih berkunjung ke rumah,
dengan selalu membawa bingkisan kue buatannya sendiri hasil belajar memasak di
Bali dan yang tak lupa dibawa adalah senyum cerianya yang selalu ia berikan
setiap aku membuka pintu. Tapi tahun ketiga tidak ada kabar bahwa ia akan
datang ke rumah meminta untuk besok jangan pergi kemana-mana, setiap pintu yang
diketuk bukan Mia yang berdiri di sana. Aku mengirimkan pesan ucapan selamat
lebaran tapi setelah 34 jam baru ia balas.
Mia : Selamat Lebaran Sebs, salam buat keluarga kamu
di rumah ya. Aku enggak pulang ke Indonesia soalnya lagi kuliah enggak ada
libur panjang kaya di Indonesia kalau lebaran. Dan maaf baru aku bales pesan
kamu karena libur lebaran cuma satu hari jadi semua orang Indonesia di Inggris
ngerayain besar-besaran enggak ada waktu untuk cek handphone dan sekarang aku
lagi di kampus, hehe. W
Entah untuk berapa tahun lagi hari raya jatuh bukan di
waktu liburan, sehingga untuk beberapa tahun ke depan aku tidak bisa melihat
Mia. Karena situasi yang mendesak ini minimal setiap tahun aku pasti
menghubungi Mia untuk mengucapkan selamat lebaran. Tidak ada lagi pilihan untuk
menunggu Mia menghubungiku terlebih dahulu. Tidak melihatnya selama
bertahun-tahun cukup menyiksa sehingga aku tak mau menyiksa diri dengan
bersikap egois untuk selalu menunggu Mia yang menghubungiku.
Tahun demi tahun berlalu, aku telah lulus sarjana dan
diterima kerja di salah satu bank swasta. Di tahun aku lulus seharusnya Mia
juga lulus tapi setelah dua tahun bekerja dia tak kunjung datang ke rumah. Aku
mencari tahu berapa lama jangka waktu pendidikan di Inggris, mencari tahu dari
minimal hingga maksimal untuk memenuhi gelar magister, seluruh perguruan tinggi
yang aku kira menyelenggarakan jurusan yang sama dengan jurusan yang diambil
Mia saat mengambil jalur undergraduate dulu.
Setiap tahun aku mengucapkan selamat lebaran selalu
sekitar 34 jam baru ia balas setelah itu dia menghilang lagi. Perbedaan waktu
dan kesibukan yang mengejar Mia membuat komunikasi kami terhambat dan karena
itu aku dicekik rindu disayat lara.
“Bas, Mia kuliah atau kerja di Inggris?” ibu tiba-tiba
berdiri di belakangku yang sedang melamun.
“Enggak tahu Bu, enggak ada kabar. Bastian juga enggak
tahu dia lanjut kuliah dimana, atau kerja dimana, atau tinggal dimana,”
“Emang dia enggak pernah ngabarin kamu?”
“Pernah sih Bu, tapi enggak bahas kegiatan dia yang
Bastian tahu dia sibuk soalnya dia selalu menghilang, kayaknya punya waktu
pegang handphone Cuma sedetik,”
“Ya positive
thinking aja, mungkin dia emang sibuk. Lagian kan kita enggak tahu keadaan
di Negara dimana Mia berada. Udah jangan ngegalauin Mia terus,”
“Siapa yang galau Bu,” aku salah tingkah.
“Ibu perhatiin kamu melamun terus setiap malam sambil
enggak tahu liatin apa di sana, dan itu sejak Mia enggak datang lagi waktu
lebaran,”
Aku terdiam, memang benar apa yang dikatakan ibu. “Bu,
kalau misalnya Mia belum menikah dan enggak punya pacar Ibu setuju enggak kalau
Mia jadi menantu Ibu?”
Ibu menatapku membuat aku malu, “Bas, kalau kamu cinta
sama Mia kejar dia jangan mau dikejar jika itu menyiksa kamu. Hubungi dia terus
cari tahu kabarnya jangan menyiksa kamu. Buat kejelasan jangan kira-kira
kayaknya untung-untungan,” ibu meraih daguku agar ia bisa menatapku.
“Jadi Ibu setuju kalau aku menikahi Mia?”
“Kalau? Jangan pakai kalau.”
“Tapi kan Bastian enggak tahu Mia udah punya suami
atau belum,”
“Cari tahu sana, datang ke rumahnya. Silaturahmi, dulu
kan waktu pacaran kamu suka datang ke sana di sana kamu bisa dapat informasi
kalau Mia tidak pernah mengabari kamu.”
Setiap akhir pekan aku mencoba untuk datang ke rumah
Mia, tapi rumah Mia selalu kosong. Aku sulit untuk menemukan waktu yang tepat
dikarenakan pekerjaanku. Tapi setiap ada waktu kosong aku mencoba untuk
mendatangi rumah Mia, dan mereka ada di rumah.
“Sebastian, ayo masuk,” aku dipersilakan oleh Tante
Rianti, mamanya Mia.
“Aduh Om, Tante aku enggak bawa apa-apa soalnya udah
beberapa kali ke sini setiap libur pasti rumahnya kosong ini juga kebetulan
lewat pintunya kebuka jadi saya langsung ke sini,”
“Ya enggak apa-apa enggak usah repot-repot. Ada apa
Bas?”
“Mau main aja ke sini Om, Tante kan udah lama juga,”
ruangan yang biasa aku singgahi cukup banyak berubah, sofanya berubah, cat yang
menjadi putih dan foto Mia wisuda terpajang cukup besar di dinding.
“Iya kamu udah kerja ya sekarang, terakhir pas kalian
SMA. Tapi Mia enggak ada udah lima tahun dia enggak pulang, pernah sih sekali
pulang tapi Cuma sehari katanya lagi tour ke Darwin,”
“Kenapa enggak pulang Tante?”
“Kan dia lanjut S2 di Inggris, setiap lebaran tuh
kebetulan bukan lagi libur jadi enggak bisa pulang. Terus diakan ikut teater
jadi setiap weekend latihan. Ke Darwin juga dalam rangka tour teater, teaternya
besar jadi sering tour ke luar negeri jadi dia sibuk banget,” tante Rianti
menjelaskan dengan lengkap. “Eh iya kamu kerja dimana sekarang?”
Kami berbincang selama sejam, jika bukan karena malam
yang semakin larut aku masih betah berbincang dengan orang tua dari perempuan
yang aku sayangi ini. Aku memohon diri untuk pulang. Walaupun tidak mendapat
informasi tentang Mia langsung darinya tapi mengunjungi rumah yang dulu biasa
aku kunjungi cukup mengisi kekosongan hatiku.
Sudah tiga tahun hari-hariku berjalan seperti biasa,
bekerja sepanjang hari, melamun di beranda setiap malam. Jane melakukan hal
yang menyebalkan memancing agar aku menjahilinya seperti dulu, tapi Jane bilang
aku sekarang menjadi pribadi yang pemurung enggak asik diajak bercanda, aku
mendengarkannya tapi tak ada energi untuk memikirkan apa yang dikatakan Jane.
Di suatu malam, dalam kegiatan yang sama aku teringat
sesuatu yang dulu aku abaikan. Mia pernah mengatakan di setiap pesan balasan
ucapan selamat lebaran. Aku langsung berlari menuju kamar dan mencari ponselku,
aku cari di tas, di ranjang, di lemari tapi tidak ku temukan, aku mencari di
saku celanapun tidak kutemukan. Ini sudah pukul 11 malam, semua orang sudah
tidur jadi aku tidak bisa meminjan ponsel mereka untuk memanggil ponselku. Aku
mencari ke semua tempat, di meja maka, di dapur, di atas kulkas, di dapur, di
lemari, di sofa, di cabinet TV, di manapun aku tidak menemukan keberadaan
ponselku. Dari arah kamar Jane ada suara orang tertawa berarti dia belum tidur.
Ku ketuk pelan pintu kamarnya.
“Belomm, masuk aja. Kenapa Bang?”
“Telponin handphone gue dong, gue lupa nyimpen,”
“Lah ini bukan handphone lo?” dia memegang ponselku
dengan tenang.
“Kenapa ada di sini?” aku berteriak.
“Buat tetring streaming drama korea,” dia terkekeh
menjawab santai.
“Emang wifinya kenapa?”
“Ibu enggak akan bayar wifi,” katanya masih sambil
menatap layar ponselnya.
“Kenapa?” aku bertanya
“Gara-gara gue main handphone terus,”
“Astaga Jane, iya lu tuh main handphone terus sampe
make handphone gue enggak bilang-bilang,”
“Eh, gue udah ngomong lunya aja di luar enggak
nyaut-nyaut,” dia bangun dan berlagak siap untuk bertengkar.
“Eh, kalau minjem barang orang itu harus dapet izin
dulu, mentang-mentang udah bilang main embat aja, siniin handphone gue,”
“Bentar lagi Bangg, ini episode terakhir lagi
seru-serunya,” dia memohon.
“Lu kan pake tetring yaudah siniin aja nyampe kali
sinyalnya,”
“Nantinya lu matiin pas lagi seru,” dia mulai
mengeluarkan jurus andalannya, merajuk.
“Jane please deh, gue lagi enggak mau berantem, gue
minta baik-baik siniin handphone gue,”
“Ih Bang, bentaran ini 15 menit lagi beres. Udah lu
tunggu aja tapi handphone lo tetep dipegang gue,” akhirnya aku menunggu selama
kurang lebih 15 menit menunggu remaja ini menonton drama Korea. “Ih so
sweeeeeetttt,” katanya sembari memberikan ponselku.
“Lebay!” aku langsung menuju kamarku.
“Tutup lagi pintu kamar gue napaaaa,” teriaknya dari
dalam kamar, aku tak menghiraukannya.
Aku langsung membuka pesan dari nama Mia Rosetta
Angelica, aku membaca setiap balasanny dan diakhir selalu tertinggal satu abjad
yang aku pikir tidak sengaja terketik.
Tahun kedua (sejak tidak pulang ke Indonesia)
Sebastiaaaan, selamat Lebaran yaaaa
Aku enggak pulang (lagi) alasannya seperti biasa. Tapi
ini tahun terakhir aku kuliah, sama kaya kamu kan? Kalau begitu happy
graduation. Hehe
Salam buat keluarga kamu. A
Tahun ketiga
Selamat Lebaran!!
Aku enggak pulang aku lanjutin S2, oh iya kamu udah
tau ya? Kemarin dateng ke rumah kan? Ngapain? Hehe
Sampein salam dari Inggris buat keluarga kamu. I
Tahun keempat
Sebs, Happy Ied Mubarak
Belum bisa pulang, tapi ini tahun kedua aku di post
doctoral, doain aku cepet lulus ya. Hehe.
Salam buat keluarga kamu di rumah. T
Tahun kelima
Selamat lebaraann Sebs!!
Bulan depan aku wisudaaaaa, doain yaaa.
Salam buat keluarga kamu. M
“WAITM?” aku pikir itu bukan huruf yang tidak sengaja
terketik. Jika memang tidak sengaja apakah ia tidak membaca terlebih dahulu
sebelum dikirim dan hurufnya berbeda setiap tahun. “Apakah ini sebuah kode yang
harus aku pecahkan atau hal sepele yang tidak penting,”
Beberapa bulan berlalu setelah aku berpikir menemukan
petunjuk kehidupanku masih tetap sama, kerja sepanjang hari, melamun setiap
malam tapi setiap malam aku tidak merasa hilang arah lagi, walaupun pesan yang
berisi petunjuk itu masih dugaanku tapi entah mengapa aku merasa bahwa aku
harus menunggu Mia kembali dan aku berpikir bahwa Mia juga menginginkanku.
Walaupun setiap malam aku tetap melamun tapi aku tidak merasa kosong lagi, aku
memiliki harapan.
Di penghujung hari saat aku sedang mengerjakan sebuah
laporan ponselku berbunyi, sebuah pesan masuk, dari Mia.
Mia : Im homE
Langsung aku balas
Sebs : Welcome home, Mia.
Ternyata dia sudah ada di Indonesia, aku langsung
berpikir untuk mengunjunginya besok. Karena pikiran itu aku mendapatkan power
puff tambahan entah dari mana, aku tersenyum dan mengerjakan laporan dengan
senyuman yang terus merekah.
“Bu, aku berangkat duluuuu,” aku bersiul menuju pintu
akan berangkat ke rumah pujaan hati.
Ku buka pintu dan aku terkejut. Berdiri seorang
perempuan dengan rambut diikat ekor kuda membawa bingkisan dan sama-sama
terkejut. “Mia?”
“Hai,” dia langsung tersenyum.
***
Komentar
Posting Komentar