Jaime

“Hei, apa kabar?” tanyaku, walaupun masih tidak menyangka bisa bertemu dengannya di sini.
“Kamu lagi ngapain di sini?” tanyanya menyelidik, tak menjawab basa-basiku.
“Liburan?!” kataku singkat dan sedikit tak yakin karena bukan untuk liburan tapi…..
“Kenapa India?” tanpa basa-basi seperti, kapan kamu dateng? Nginep di mana? Kabarku baik, kamu gimana? dan semacamnya. Ia malah bertanya seakan tidak suka aku berada di sini.
Ia menyingkir ke luar, aku berjalan mundur karena ada beberapa pengunjung yang masuk. Ia berjalan maju, jika aku tidak bisa menyeimbangkan irama langkah kakinya aku bakan ditinggal.
“Perlu jawaban jujur atau bohong?” tanyaku.
“Dua-duanya, tapi kasih jawaban yang bohong dulu,”
Nadine, walaupun kita berteman sudah lama namun benar-benar menjadi teman hanya ketika kita masuk universitas yang sama. 4 tahun untuk mengenalnya tidak akan pernah cukup. Dia tidak mudah, claimnya.
Semua pertanyaan yang ia ajukan harus dijawab dengan pasti dan dengan jawabannya yang memiliki nilai yang besar, jangan asal menjawab kalau tidak mau mendengar ia nyerocos menjelaskan arti pentingnya menjawab dengan tepat. Iya aku akui, dia hm ya rumit.
Kami berjalan berdampingan, setelah puas dengan jawaban yang aku berikan akhirnya ia mau menerima keberadaanku. Giliranku yang bertanya.
“Udah berapa lama lo di sini?” tanyaku yang benar-benar penasaran mengapa bisa kebetulan seperti ini.
“Dua bulan,” ia menoleh kepadaku untuk menjawab namun tangannya dengan cekatan membuka handle pintu yang kini tidak terkunci. “Silakan masuk,”
Aku memutar pandangan melihat gua persembunyian Nadine yang –bagaimana bisa ia mau tinggal di tempa seperti ini?- jauh berbeda dengan tempat tinggalnya dulu di Indonesia. Dia yang agak sulit berbaur dengan –hm maaf kasta sudra- masyarakat yang jumlahnya paling banyak di belahan dunia manapun sempat aku khawatir kalau-kalau ia tidak bisa beradaptasi.
“Udah puas perhatiin tempat tinggal gue sekarang?” pertanyaannya yang tiba-tiba membuyarkan pikiranku.
“Hah? Oh, rapi ko rumah lo yang ini. Kayanya lebih betah ya, secara lo kan sendiri jadi cukuplah untuk tinggal di ukuran studio apartemen daripada rumah yang itu, yang gedenya seablak-ablak tapi sepi,” dia tersenyum kecut.
“Soalnya gue mau nunjukin sesuatu sama lo,” aku mengerutkan kedua alisku sehingga mereka saling bertemu. Sepertinya dia tidak perlu penilaianku tentang tempat tinggalnya sekarang. Ngomong-ngomong apa yang ingin Nadine tunjukkan? Karena ia tidak mengatakan apapun juga tidak beragerak dari tempatnya.
Dia mulai melepas topi, membuka kaus putih yang ia kenakan. Sontak aku langsung membuang muka, “Lo ganti bajunya di mana kek, jangan depan gue!”
Bukannya pergi, ia malah menyuruhku untuk melihatnya. Oh Tuhan, aku harus melihat ke arah mana?
Ketika aku kembali melihat ke arah Nadine, aku mencoba untuk hanya melihat wajahnya. Tapi kadang tanpa kendali bola mataku ingin menjelajah lebih bawah dari kepalanya. Melihat yang seharusnya tidak aku lihat.
“Gimana badan gue, bagus kan?” tanyanya. Aku mengangguk, sambil tetap mencoba melihat ke matanya. “Tapi sayang……” ternyata belum selesai, ia membuktikan dengan membuka tubuh semok yang ternyata palsu. Ia seakan memakai kostum, kostum terseksi yang pernah aku lihat. Ketika kostum tubuh idealnya jatuh di lantai, terpampang jelas di depan mataku tubuh telanjang yang kurus kering.
Aku ambruk.
Nadine menendang kostum itu, mengeluh “Berat banget tau pake ini,” sambil pergi menuju arah hanger untuk mengambil jubah tidurnya. “Gue nggak punya makanan, mau ngopi? Cuma itu yang gue punya,”
Aku masih shock.
Aku tak mengetahui apa yang Nadine lakukan di dapur kecilnya, pikiranku masih tak terima jika apa yang kulihat itu nyata. Bagaimana bisa?
“Nih minum dulu,” ia menyodorkan secangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asap. Aromanya yang khas membawa paksa aku ke dunia nyata.
“Nadine, lo?” lidahku kelu, ternyata aroma kopi hanya membawa kembali pikiranku tidak termasuk membuat otot di seluruh tubuhku cukup santai.
“Gue baik-baik aja kok, buktinya gue bisa pake tuh kulit palsu yang lebih berat daripada gue. Gue bisa jalan cepet, lo hampir ketinggalan tadi,” katanya sambil mendekatkan bibirnya ke mulut cangkir. “Oh iya belum semua gue tunjukin,”
Jangan! Aku masih belum bisa terima kenyataan yang sebenarnya sangat menyakitkan ini.
“Lo belum liat muka gue kan?” ia mulai mengelupasi pinggiran wajahnya.
“Jangan!” ah aku terlalu pengecut, aku tidak ingin melihat sisi buruk Nadine.
“Kenapa? Lo takut ya?” dia menantangku.
“Gue nggak takut cuma, oh God! Okay, please,” aku benar-benar terpaksa, Nadine tersenyum penuh kemenangan. Nadine benar-benar menguliti wajahnya, tidak peduli dengan aku yang belum pulih sempurna. Ia menikmati wajahku yang mungkin saat ini masih pucat dan juga hatiku yang mencelos.
“Tada!” ia menunjukkan dengan bangga wajah aslinya.
“SHIT! NADINE! HAD YOU LOST YOUR MIND?” aku berdiri, memukul-mukul udara, mengacak rambut, menggosok-gosok wajahku dengan kasar, meremas pipi dengan gemas. “Apa yang ada di otak kecil lo? Hah? Kenapa bisa kaya gini?”
“Otak gue nggak kecil!” apa dia bercanda? Sempat-sempatnya ia tak terima aku menyebut otaknya kecil.
“Oke, fine. Apa yang lo pikirin dengan otak dewa lo itu?” dia tak menjawab, hanya mengendikkan bahu tidak peduli. Aku tidak pernah mengerti, Nadine ini wanita macam apa? Berasal dari mana? Sehingga pikirannya sangat tidak bisa dibaca, kami memang teman dekat tapi sebenarnya kami sangat jauh bahkan terlampau sangat jauh.
“Marry me!” aku berlutut di kakinya. Entah aku yang terlalu bodoh atau memang setiap ekspresi dan bahasa tubuh Nadine itu terlalu samar. Dia menatapku sebentar lalu berjalan melewatiku begitu saja menuju meja kerjanya yang tak pernah rapi, membawa laptop dan duduk dengan santai seperti tidak terjadi apa-apa. “Let me take care of you,”
Ia tidak memberikan respon. Ia menyalakan laptopnya, menepuk-nepuk sofa di sampingnya. “Sini kita nonton Coco,” melihat aku tak bergeming, ia mulai bersikap lembut padaku. Ia berjalan ke arahku, menarik tubuhku berdiri dan berjalan lebih dekat, lalu ia memelukku. “Gue bukan nolak niat baik lo untuk jagain gue, tapi gue memang nggak akan nikah. Gue udah cukup bahagia dengan kondisi gue sekarang, gue bebas sekarang,” ia berbisik di telingaku. Ia meraih tanganku, menarikku, mengarahkan untuk duduk di sampingnya. Aku hanya menurut.
“Kenapa Coco?” tanyaku akhirnya. Setelah beberapa scene terburuk dalam hidupku terjadi. “Mau bandingin lo sama mereka ya? Tetap lo yang juara, karena setidaknya lo lebih nyata dari pada kartun animasi ini,”
“Nyata?”
“Iya, lo nyata. Gue nggak lagi mimpi. Gue dateng ke India buat nyari lo tapi belum lama tiba-tiba kita nggak sengaja ketemu. Yang bikin gue yakin gue nggak lagi mimpi adalah tangan lo waktu tarik gue ke sini, gue bisa rasain itu,” aku terkekeh mentertawakan runtutan kejadian yang mengapa bisa begitu mudah. Untuk kali ini Nadine tersenyum dan terus mendengarkanku.
Waktu berlalu begitu cepat, tau-tau sudah pukul 1 dini hari. Setelah film Coco juga makan malam selesai, kami berbicara, berdiskusi, berdebat, tertawa, mentertawakan hidup yang lucu tapi tidak membahas masa lalu.
“Lo nggak tidur?” tanyanya di tengah obrolan mengenai toko-toko yang sudah tutup. Terlihat dari jendela kecil di sini.
“Lo ngantuk?” aku balik bertanya.
“Lebih baik lo tidur,” sarannya. “Lo tidur di dalem aja, gue mau beresin cerpen,”
“Gue di sofa aja. Kecuali lo terganggu ada gue,” kataku.
“Gue nggak akan terganggu asal lo tidur beneran,” katanya memperingatkan.
Aku menyetujui peringatannya. Aku mencoba memejamkan mata. Aku harus sadar diri bahwa Nadine juga membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Tidak harus melulu denganku.

Sinar matahari masuk melalui jendela yang tak bertirai tepat ke mataku. Walau hanya tidur di sofa tapi aku merasa cukup bersemangat.
“Selamat pagi India,” aku meregangkan badan. Aku melihat Nadine tertidur di bawah sofa. Aduh kenapa lo tidur di situ. Aku mencoba mengangkat tubuh ringkih orang terkasihku untuk dipindahkan ke ranjang. Namun, tubuh itu sangat dingin dan tak bergerak. Pikiran negatif mulai muncul di benakku.
Aku memanggil namanya berharap ia masih bisa mendengarku, namun tidak ada jawaban. Aku mulai panik. Aku mengguncang-guncang lembut lengannya yang terkulai lemah.
“Nadine! Nadine, please jawab. Bilang kalau lo masih ada,” tetap tidak ada jawaban. Wajahnya yang masih lebih baik daripada tengkorak wanita tercantik di dunia itu sangat putih, pucat. Aku benar-benar kalut dan tidak bisa berpikir.
Kak Tanu! Aku baru ingat Nadine pernah bilang ia bisa tinggal di sini karena kebaikan kak Tanu dan suaminya. Aku agak sulit mengingat namanya, kak….? Kak Jas….? Jasr? Jasm…? Jasw…? Jaswant! Iya Jaswant! Jaswant nama suami kak Tanu. Tapi aku tak tahu di mana mereka tinggal.
Seketika aku bangun, meletakan kepala Nadine dengan sangat hati-hati. Lalu aku pergi keluar, berlari sambil meneriakkan nama Nadine. Mungkin aku akan dilaporkan ke polisi karena membuat kegaduhan di pagi hari tapi aku tak peduli. Aku berteriak di depan pintu setiap kamar.
Nadine!
Lantai demi lantai, di setiap pintu aku berteriak dari luarnya. Jika memang pasangan suami istri itu sangat baik pada Nadine, mendengar namanya aku panggil mereka pasti keluar. Dua lantai aku turuni, aku berteriak ketika menginjak lantai ketiga. Kali ini lebih kencang, “NADINE!!!”
Aku tetap berteriak di setiap pintu, belum sampai aku ke pintu ketiga, penghuni tersebut muncul terburu-buru.
“Hei! Sir,” aku menoleh ke sumber suara. Apakah ia akan menyuruhku berhenti teriak-teriak? Ia berjalan menghampiriku, kulihat seorang wanita bersembunyi malu-malu di pintu. “Are you okay?”
“No..” aku benar-benar tidak bisa berpikir. Kemana Tanu dan Jaswant? “My friend…..” apa yang harus kukatakan? Mati? Aku tak mau menyebut Nadine sudah mati. Pingsan? Tapi Nadine benar-benar tak sadarkan diri.
“Who’s your friend?” tanyanya tetap tenang namun ada raut sedih di wajahnya.
“Nadine,” aku menjawab lirih menahan tangis.
Ia mengucapkan kalimat yang tidak aku mengerti, apakah ia sedang berdoa?
“Nadine was dead,” katanya.
“Darimana anda tahu? Belum ada yang tahu selain saya,” aku mulai bingung.
Ia memegang punggungku dan mendorong lembut dan aku mengikuti kemana ia mengajakku pergi.
“Mari kita pergi ke kuil, memohon kepada dewa agar anda tidak diganggu arwah Nadine,” ia terus menuntunku. Mendengar ucapannya aku berhenti. Ia terus mendorongku, aku bertahan di tempat. Walaupun aku masih shock tapi aku masih memiliki tenaga untuk bertahan di tempat aku berdiri.
“Arwah? Apa yang anda bicarakan?”
“Nadine sudah tiada dua bulan lalu,” aku tidak percaya. “Kanker lambung,”
Aku limbung, berjalan mudur menabrak dinding lalu bersandar. Lututku lemas, tubuhku merosot. Aku mengatupkan kedua telapak tangan, menyangga kepalaku mencoba untuk mencerna semua kejadian yang penuh kejutan dalam 24 jam ini.
“Saya tidak percaya. Bagaimana mungkin saya bisa tahu bahkan bisa masuk ke apartemennya jika itu hanya arwah? Bagaimana mungkin saya tahu password laptopnya jika itu arwah Nadine? Anda pasti bercanda,” aku mulai bertingkah gila. Tertawa dengan scenario ini. Apakah ini prank? Dimana kameranya?
“Maaf sebelumnya, nama anda siapa?” laki-laki setengah baya itu masih dengan sabar menemaniku yang mulai gila, frustasi dengan kejutan-kejutan yang bisa membuat jantungku berhenti.
“Jaime,” kataku. Aku menatap wajah pria India itu. Kumisnya dipotong rapi dan tipis, kulitnya hitam namun masih tidak terlalu hitam akibat polusi dan cuaca yang panas. Aku mencari dimana ia sembunyikan ekspresi ingin menertawakan aku yang sudah kalah. Tapi tidak ada, apkah dia aktor hebat?
“Nama lengkapnya?”
“Jaimerson Lim,” matanya membesar seakan teringat sesuatu.
“Ada surat untuk anda Mister, surat dari Nadine sebelum ia meninggal. Anda bisa ikut ke rumah saya,”
Gotcha! Dia mengajakku ke rumahnya, lalu SURPRISE!!!!! Ternyata begini akhir skenarionya? Aku tersenyum penuh kemenangan. Aku menyetujui permintaan lelaki India yang aku pikir adalah Jaswant. Aku berjalan mengekor, ia membuka pintu. Aku sudah menebak Nadine akan berdiri memberi kejutan tertawa terbahak-bahak karena aku shock berkali-kali.
Tapi, rumah ini tampak sepi. Aku dipersilakan duduk, mereka berdua mampak sedang berdebat. Berdebat karena suaminya mengajak target masuk belum waktunya? Aku tak tahu.
“Ini,” sang suami memberikan surat yang ia janjikan padaku. Aku menerimanya. Kubuka amplop bewarna kuning gading, dengan kertas warna senada aku mulai membuka lipatannya.

Dear My Dearest Best Friend
Jaimerson Lim

Apa kabar? Udah lama banget nggak ketemu. Gue harap sih lo baik-baik aja. Sorry, gue menghilang karena gue coba buat memulai kehidupan yang baru dan gue memilih buat nggak ngelibatin lo. Sorry.
Inget nggak, gue pernah bilang sama lo kalo India itu tempat tujuan gue kalo kabur. Kalo lo inget kemungkinan besar lo bakal baca surat ini, entah kapan.
Ini bukan tulisan gue, gue minta bantuan Kak Tanu. Gue udah nggak punya tenaga buat pegang pulpen. Tapi meskipun gue dalam kondisi seperti ini, gue nggak sendirian. Ada dua malaikat baik yang selalu jagain gue. Mereka Kak Tanu dan Kak Jaswant. Gue titipin surat ini ke mereka, baik-baik ya sama mereka kalau ketemu.
Hmmm, apa lagi ya kira-kira pertanyaan yang muncul di otak lo?
Q : Kenapa gue bilang nggak punya tenaga buat pegang pulpen?
A : Well, gue kena cancer. Dan dia diem di lambung gue.

Q : Kondisi gue sekarang?
A : Kadang gue nggak sadarkan diri kaya orang mati, kadang gue sehat, tapi kebanyakan gue jerit-jerit nahan sakit

Q : Kenapa gue nggak bilang sama lo?
A : Impian gue dari dulu pengen die alone. Hahahhahahhahahahhhahahaha

Q : Gue gila?
A : Masih cukup waras buat mikir, “kenapa gue pernah pengen die alone ya?”

Jaime, gue pernah nyesel sekali, dulu.
Jaime, lo nggak perlu khawatir. Gue bentar lagi bakal bebas, mungkin udah bebas ketika lo baca ini.
Jaime, gue minta maaf.
Jaime, gue akhiri aja ini. Makin banyak yang pengen gue sebutin, makin kerasa sakit seluruh badan gue yang tinggal tulang ini.
Jaime, selamat tinggal.


With Love,
Anastasia Nadine


P.S:
Sorry ini closingan terburuk.
Tapi percaya deh, gue bilang ini sambil coba ketawa. Hehe.

Komentar

Postingan Populer