Cuma Bercanda
“Mah,” suara Meera terdengar memanggil dari pintu
kamarnya yang tidak jauh dari tempatku bekerja. Dia terbangun dan mendapatiku
masih bergelut dengan pekerjaan kantor yang sengaja aku bawa pulang untuk
diselesaikan di rumah.
Ini pukul 2 pagi, aku masih kuat untuk menyelesaikan
semua ini tetapi panggilannya cukup membuatku kesal. Sudah mama bilang, kalau mama lagi kerja jangan diganggu. Namun
kata-kata itu aku telan lagi, aku pikir dia tidak berniat untuk menggangguku.
“Hai, Sayang. Kok bangun?” tanyaku berusaha selembut
mungkin. Menoleh ke arahnya, sembari melepas kacamata yang semakin lama semakin
menebal.
“Aku kebangun tapi nggak bisa tidur lagi. Mama bisa
temenin aku sebentar nggak?” katanya sambil berjalan ke arahku. Memegang
lenganku yang diletakan di samping laptop, menampilkan wajah lucunya. Anakku sudah besar, aku tidak sadar.
Batinku.
“Yaudah yu Mama temenin,” aku bangkit berdiri,
merangkul bahu kecilnya.
Ia merangkak ke tempat tidurnya, berbaring di bawah
selimut mencari posisi yang nyaman untuk tubuh mungil yang sudah lama tidak aku
peluk. Sedangkan aku duduk di samping tempat tidurnya, membelai rambutnya yang
sudah memanjang.
Rambutnya bewarna kecoklatan seperti ayahnya, dan
agak ikal seperti rambutku. Berapa umur Meera sekarang?
“Mah, ceritain aku,” katanya memecah keheningan.
“Kamu mau denger cerita apa sayang?” tanyaku
bingung. Aku tidak terbiasa untuk bercerita. Aku adalah pendengar.
“Ceritain gimana Mama bisa ketemu sama Papa,” aku
melihat ke arahnya. Wajahnya menampilkan ekspresi antusias.
“Hmmmm,” aku memutar mata, menggoda anakku yang
mulai besar. “Okay, kalau kamu mau denger cerita itu,” aku berdeham.
Aku mendapat
tawaran dari perusahaan temanku semasa kuliah. Perusahaan yang baru berjalan 7
tahun itu membutuhkan seorang manager keuangan. Dan dia memilih aku untuk
menggantikan manager lama yang resign.
Satu bulan
berlalu, sifatku yang kaku masih terasa sulit untuk berbaur dengan teman-teman
baru di kantor. Tapi sikap mereka yang tidak pantang menyerah mencoba untuk
mencairkan dinding sifatku yang beku. Walaupun masih terasa canggung namun
setidaknya mereka tetap mengajakku untuk masuk dalam lingkup pergaulan mereka.
Semakin lama
semakin mulai tidak ada batas antara aku dan manger divisi lain maupun stafnya.
Umur kami yang tidak terlalu jauh, bahkan didominasi di rentang usia 25-35
tahun, sehingga bahan leluconnya sesuai dan dimengerti.
Namun,
karyawan pria di kantor ini sungguh ajaib tidak henti-hentinya menggodaku,
walaupun hanya bercanda. Tidak masalah bagiku, aku tidak akan menganggapnya
sebagai cat calling, hanya saja
bercandaan mereka akan aku tanggapi dengan serius karena aku tidak bisa
bercanda. Come on, hidup ini jangan terlalu banyak bercanda.
Ada satu pria,
okay akan selalu ada satu pria, yang mejanya tidak jauh dariku. Dia akan lewat
di depan pandanganku jika akan keluar atau masuk di ruangan ini. Dang! Gayanya
yang cool diselipi senyumannya yang manis, dan pelengkap selalu berkata lembut
jika bicara denganku. Hanya denganku, jika aku perhatikan. Sayangnya, dia sudah
punya kekasih? Istri? Kekasih, ya, kekasih. Dia terlalu muda untuk menjadi
seorang suami, umurnya di atas satu tahun dariku, 27.
Kadang mereka
selalu bicara di telepon bahkan melakukan video call tanpa head set pula! Suara
wanitanya terdengar selalu ceria tidak sepertiku yang dingin. Ah, aku mulai
membandingkan diri.
Setiap hari,
ketika karyawan pria lewat di depan ruanganku, mejaku yang mengarah ke muka
umum menjadi tontonan publik karyawan perusahaan ini, akan menyapa sambil
menggoda. “Pagi Mika,” diikuti komentar lain dari pria yang berada di situ.
Ruangan riuh seketika, dan kembali tenang dalam sekejap. Aku mencoba mengontrol
emosi agar pembuluh darah di wajahku tidak melebar, aku mencoba santai membalas
mereka dengan senyuman termanis yang bisa aku berikan.
Hal tersebut
bukan hanya sekali, ketika aku harus berbicara dengan staf keluar dari tempat
bertapa dan kebetulan sedang ada staf lain yang mampir, dang! aku kembali
menjadi sasaran roasting yang paling empuk. Aku diam saja menampilkan ekspresi
mencari pertolongan, aku juga Cuma bercanda, dan mereka tahu aku pun Cuma
bercanda. Mataku tak sengaja tertuju pada Reza, ia sedang memperhatikanku yang
sedang kesusahan. Dia tidak membela namun tidak juga memroasting.
Setelah
keriuah mulai menurun, saatnya kembali serius. Aku tidak menghiraukan mereka,
aku berbicara pada Reza mengenai kepentingan yang membawa aku padanya.
Pembicaraan selesai, aku kembali ke ruangan. Manager baru yang langsung menjadi
trending topic, suatu pencapaian.
Bulan demi
bulan berlalu, aku mulai terbiasa dengan suasana di sini berikut mereka pun
telah terbiasa dengan sikapku yang selalu no comment.
“Mba, nih ice
cream,” dia memberiku ice cream coklat dengan taburan kacang.
Keningku
berkerut, ada apa nih? Tapi, aku
langsung mengucapkan terima kasih dan ia keluar dari ruanganku.
“Mama baper nggak
waktu itu?” tanya Meera, masih mendengarkan.
“Kakekmu ngajarin Mama buat nggak gampang baper, nanti kamu tenggelam” aku
mengucapkan sesuai gaya bicara papa. “Jadi Mama menganggapnya biasa, sesama
rekan kerja dan tetap profesional. Mama nggak mau karier Mama saingan sama
cowok,” aku mengatupkan kedua bibirku. Entah mengapa aku merasakan kembali
passionku saat muda.
“Mama termasuk workaholic
dong? Pantesan sampe jam segini Mama masih kerja. Jangan terlalu banyak kerja,
Mama mending temenin Papa tidur,” gadis kecil ini menasihatiku. Tapi, aku tidak
akan mendengarnya, no one can’t stop me.
“Jadi selesai nih ceritanya?” aku menggoda.
“Jangan, Ma. Lanjutin, aku belum ngantuk,” anakku
terkekeh.
Dia memang
baik pada semua orang, setidaknya itu yang membuat aku yakin agar tidak sampai baper
dengan perlakuannya. Ingat, dia sudah
punya kekasih! Kalimat itu aku tanamkan berkali-kali di kepalaku sampai aku
muak.
Kegiatan
outing yang hampir tidak pernah aku ikuti, dan sekarang untuk pertama kalinya
dalam sejarah karier yang telah ku rintis. Anxiety-ku menyeruak, membisikkan
sejumlah kalimat provokatif yang hampir membuat aku batal untuk ikut.
“Ngapain kamu
ikut? Nanti pengen pulang belum waktunya. Bikin repot!” salah satu alter egoku
berteriak.
“Nggak enak,
selama kerja di sini nggak pernah ikut acara kantor,” balasku dalam hati.
Sementara adu
argumen berlangsung di kepalaku, perjalanan yang memakan waktu empat jam
akhirnya berakhir. Aku terlalu sibuk berdebat sedangkan mataku mencoba
terpejam.
Keesokkan
harinya, seharian penuh kami melakukan aktivitas, malamnya sambil duduk mengelilingi
api unggun kami mencoba menghangatkan diri juga suasana dengan stand up comedy
dan roasting.
“Roasting
Reza!!!!” seru anak-anak. Reza hanya bisa pasrah dengan apa yang akan
diterimanya.
“Katanya lu
suka sama Mika,” seru Media.
“Ahh iyaaaaaa,
lu pernah ngomong di kantin,”
“Katanya Mika
bikin hati lu deg-degan,”
“Iya, kata lu
Mika mengalihkan dunia lu,”
“Lu suka
mimpiin Mika,”
“Lu jadi
semangat kerja sejak Mika masuk sini,”
Mereka sahut
menyahut, entah benar atau tidak yang pasti sukses memerahkan wajah Reza. Aku
yang namanya disebut merasa tiba-tiba malam ini menjadi gerah. Ingin rasanya
aku lepaskan jaket tebal ini. Tapi sayangnya aku hanya bisa mesem-mesem,
pengecut. Bicara! Ikut roasting!
“Emang iya?”
celetuk Petrus tanpa rasa bersalah.
“Petrus nggak
akan ngerti becandaan kitaaa,” seru Tiana.
Okay, seperti
disambar petir aku mulai sadar bahwa semua yang dikatakan mereka Cuma bercanda.
“Tembak dong!”
entah siapa yang punya ide konyol itu, aku tidak peduli. Aku sedang mencoba
berdiri tegak setelah tersambar petir.
Suara riuh,
kacau dan tidak terkendali tidak menggangguku. Aku masih mencoba untuk 100%
memulihkan diri. Sampai akhirnya Reza berdiri di depanku. Aku mendongak ke atas, melihatnya tersenyum,
canggung. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Grogi.
“Mika,” ia
memanggil, aku berdiri. Semua orang bersorak sorai.
“Belum woy,”
seru Claudia, manager HRD, yang seharusnya membelaku.
“Mau nggak
jadi pacar aku?” what? Apa ini? Menyatakan cinta macam anak kecil saja! Aku diam. Aku tak bereaksi. Ini serius atau
Cuma bercanda?
“Serius Papa nembak Mama di depan temen-temen
kantor?” anakku bertanya tidak percaya. Ia tersenyum bahagia mendengar kisah
ini.
“Papa? Kok Papa sih, Nak?” Meera diam bingung
mengapa mamanya menanyakan pertanyaan semacam itu. Aku diam sejenak. Dang! Dia
kan minta diceritain bagaimana aku bertemu Jaime, suamiku, papanya Meera.
Kenapa aku malah menceritakan Reza. So
stupid! “Maaf, Mama salah cerita,” aku salah tingkah.
“Terus siapa dong, Ma? Bentar, biar aku tebak. Tapi
kasih aku clue yaaaa. Aku pernah
ketemu nggak?”
“Kamu pernah ketemu satu kali,”
“Hmmmmmmmmmm,” dia berpikir cukup lama, aku menunggu.
“Om Reza ya?” what? Kenapa dia benar?
Aku tertawa salah tingkah, “Kenapa kamu pikir Om
Reza?”
“Soalnya waktu lebaran, pas Om Reza ke sini Mama
kayak yang bahagiaaaaaaaaaaaa banget. Aku nggak pernah liat Mama sebahagia itu.
Tapi-tapi bentar, kayaknya bukan deh,”
“Lho kenapa?” tanyaku bingung karena ia merubah
jawabannya yang padahal sudah benar.
“Soalnya kalau emang Mama sayang sama Om Reza,
harusnya Mama kesel sama istri dan anaknya Om Reza. Cemburu lah minimal nggak
sampe benci,”
“Mama nggak setuju sama alasan yang bikin kamu
ngerubah jawaban. Karena, kalau kita cinta sama seseorang dan kita enggak bisa
bareng sama dia, lalu kita harus benci? Nggak akan pernah ada alasan untuk
membenci seseorang yang kita cintai. Kita malah ikut bahagia ketika denger
kabar baik dari dia walaupun kabar baiknya bukan karena kita,” aku membuka sesi
diskusi.
“Jadi jawaban aku bener, Ma?” pertanyaannya
membuatku menoleh.
“Ahaha, lebih baik kita bahas yang lain. Misalnya,
kamu mau lanjut SMP dimana?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Ma, aku udah kelas 6 dan kita udah bicarain aku mau
lanjut ke SMP mana tuh waktu aku masih kelas 4,” ia merengut. “Orang dewasa
selalu menghindar,”
Aku tertawa geli melihat tingkah anakku yang
ternyata sudah kelas 6 SD. Dia yang tidak mendapat jawaban dariku mengganti
pertanyaannya.
“Mama nggak usah khawatir, aku nggak akan bilang
sama Papa,” katanya.
“Nggak kok, bukan karena itu,” jelas bukan karena
hal itu. Aku pun tahu kalau Jaime masih memiliki perasaan pada teman spesialnya
yang sudah lama meninggal, Nadine.
“Yaudah, kalau Mama nggak mau kasih tau siapa, aku
ganti pertanyaan deh. Kenapa Mama nggak nikah sama dia? Tapi jangan kasih aku
alasan ‘kalau nikah sama dia, kamu nggak akan lahir’, aku mau Mama cari alasan
lain,”
Melihatku
bergeming Reza langsung menggeluarkan kalimat ajaibnya. “Eh, Mika. Aku cuma
bercanda,” semua orang masih diam ketika aku diam.
“Mba Claudia,
naikkin gaji Reza!” aku menunjuk Claudia, lalu tertawa.
Suasana yang
tadinya tegang –mungkin karena mereka sadar kalau lelucon mereka sangat
keterlaluan- dipenuhi tawa, ejekan untuk Reza, dan berganti untuk meroasting
yang lain.
Aku kembali duduk,
tidak melihat ke arah orang yang menjadikan pernyataan cinta sebagai lelucon.
Aku mencoba tertawa dengan kegiatan ini, setidaknya kali ini aku tidak menjadi
korban.
Keesokan
harinya tidak ada maaf, tidak ada obrolan mengenai malam kemarin. Baiklah kalau
begitu, cerita selesai.
***
Semuanya berjalan seperti biasa. Staf pria masih
tetap menggodaku, namun kali ini aku tidak akan menggunakan istilah menggoda.
Mereka memang ramah, tidak ada kegiatan menggoda. Aku saja yang merasa digoda
padahal sebenarnya tidak. Aku saja yang terlalu percaya diri. Aku saja yang
besar kepala. Aku saja yang, yah, memang tidak seperti itu pada kenyataannya.
Aku saja yang terlalu terbawa perasaan.
Semua berjalan seperti biasa, keadaan kantor sama
seperti biasa, mereka bekerja seperti biasa, Reza pun begitu. Ia masih
melakukan aktivitas lamanya, melakukan panggilan telepon atau video call dengan
kekasihnya. Kekasihnya masih sama, tetap ceria.
Setiap malam aku berdebat dengan alter ego. Saling
memaki, saling mencaci, mengejek, merendahkan, membela, kedua kubu saling
bertengkar. Membuat riuh ramai di kamarku. Dengan suara pelan tapi tidak
berbisik aku berdebat dengan mereka, mencoba mempertahankan keputusan yang aku
ambil.
“Bodohnya kamu! Dasar pengecut, cinta bertepuk
sebelah tangan. Rasakan!” alter ego yang kontra dengan keputusanku memaki.
“Kami tidak bertepuk sebelah tangan, kami memang
tidak ingin menyatakan cinta. Kami tidak butuh mengetahui dia menyukai kami
atau tidak. Kami tidak memerlukan itu.” Aku mendapat beberapa pembela.
Aku berdebat dengan diriku sendiri. Lewat tengah
malam aku baru terlelap, meninggalkan kantung mata setiap hari.
“Keputusan final, bahwa Mika tidak perlu bicara
mengenai hal di luar pekerjaan dengan Reza!” tidak ada yang menyela. Aku bisa
tidur dengan tenang malam ini. Aku tersenyum penuh kemenangan. Aku menarik
selimut sampai ke dagu, menutup mata.
“Tapi, bisa jadi Reza tidak menyatakan padamu karena
sikapmu terlalu dingin,” tim kontra mengeluarkan amunisi pamungkasnya, anxiety
mulai mengambil peran. Mereka mulai tertawa ketika aku mendengarkan. Keinginan
untuk tidur pun menyusut menjadi keadaan kritis, 0.0001%.
“Sungguh penyataan tidak berguna!” tim pro mulai
kebakaran jenggot.
“Mika buat keputusan segera!” tim pro mencoba
menyadarkanku yang mulai terpengaruh.
Setelah berdiam diri cukup lama, akhirnya aku
memutuskan untuk, “cinta tak harus saling memiliki. Kalau memang Reza tidak
berani padaku karena sikapku yang dingin, maka ia memiliki nilai minus di
mataku. Apabila tidak, artinya memang aku bertepuk sebelah tangan. Kasus
ditutup, selamat malam,”
Komentar
Posting Komentar