Nadine

Di tengah ramainya pengunjung yang hadir pada launching novel pertamaku yang, berdiri dalam barisan sosok yang aku kenal.
“Makasih ya lu udah mau datang,” dia menjawab dengan senyuman. “Oh iya, kenalin ini cowok gue, Richard.”
“Oh ini yang namanya Richard,” mereka saling berjabat tangan. “Nadine cerita banyak tentang elu,” perasaan aku belum pernah bilang pada Jaime, kalau aku punya pacar.
Ia menyodorkan novelku untuk ditandatangani. “Jangan lupa dibaca,” kami hanya tertawa lalu dia pergi memberikan kesempatan pada pengunjung lain untuk berinteraksi denganku.
Dia Jaime, teman SMP, SMA dan kami satu kampus pula. Tahun pertama kami masih bisa sering bertemu, makan siang bersama, bertukar cerita kegiatan perkuliahan, kesibukan, dan keluh kesah masing-masing. Di tahun kedua, ia mulai sibuk. Begitupun aku. Kami jadi jarang bertemu, saling bertanya kabarpun sudah mulai ditinggalkan. Hingga akhirnya dia mulai menghubungiku lagi memberitahu bahwa ia akan wisuda dua bulan ke depan. Yang artinya, ia akan lulus lebih cepat daripada aku dan waktu normal, dia memang orang yang pintar aku sangat mengaguminya.
Secara teknis, aku yang tidak punya waktu untuk menjalin komunikasi dengan Jaime. Kesibukan mahasiswa tingkat akhir ditambah penerbit yang menyukai cerita pendek yang pernah aku kirimkan mendesak aku untuk mengirimkan lagi cerita yang lain. Kali ini aku akan mengajukan novel, namun mereka memintaku agar novel itu cepat rampung, begitupun dosenku yang mengatakan cepat rampungkan skripsimu sebelum kamu merasakan nikmatnya mendapat penghasilan.
Pada akhirnya di sinilah aku berada, bertemu banyak orang yang memegang novelku di tangan mereka. Aku merasa terharu, ternyata setidaknya aku memiliki penggemar. “Cepet keluarin buku kedua ya,” minta salah satu penggemar dan itu membuatku semakin bersemangat.
Setiap malam ide-ide itu muncul begitu saja sampai membuat aku tidak bisa tidur dan aku tidak ingin tertidur. Aku menghabiskan beberapa cangkir kopi, aku isi ulang terus menerus untuk menjaga otakku untuk tetap aktif. Sejak malam itu, aku jadi pecandu kopi.
“Sayang, aku mau ke Lebanon. Aku ambil setting di sana, aku harus tinggal di sana beberapa waktu buat dapetin feel-nya,” aku membicarakan hal ini dengan pacarku, Richard. Awalnya aku takut dia tidak mengizinkanku untuk pergi, tapi aku tidak percaya ternyata dia sangat suportif pada pekerjaanku ini.
“Udah kamu urus semua dokumennya?” tanyanya sambil mengunyah ikan bakar yang baru sampai di meja kami, tentu saja masih panas. “Okay, kapan kamu berangkat?”

“Skripsi lu udah beres belum? Main pergi-pergi aja, mana jauh lagi,” Jaime mengomel di balik telepon.
“Gue udah sidang, udah lulus. Jadi bye bye, gue mau pergi yang jauuuhhhhhh” aku pergi pamit pada sahabatku ini. Kabar dia baik, sekarang sudah bekerja di Kalimantan.
Ketika sambungan telepon dengan Jaime terputus, aku memohon pada mataku agar mau tertutup. Membacakan doa sebelum tidur, berbaring telentang di bawah selimut, dan lampu sudah dimatikan. Satu menit dua menit berlalu, aku masih terjaga. Aku membaringkan tubuhku menghadap kanan, belum mau tertidur. Aku membalikkan ke kiri, mulai terpejam sambil berdoa. God, please let me sleep. One sheep, two sheep, three sheep, four sheep……
“Jangan banyak begadang, makan yang teratur, tidur yang cukup, minum air putih juga jangan kopi terus. Jaga diri baik-baik ya,” Richard menceramahiku sebelum aku pergi untuk hmmmm aku belum tahu untuk berapa lama.
Hampir lima bulan aku meninggalkan tanah air, Richard sudah sering menelpon untuk mengajukan pertanyaan kapan pulang? Disetiap akhir percakapan, tidak ada lagi pesan jaga diri, makan teratur, bla bla bla. Aku tahu dia rindu, begitupun aku.
“Akhirnya beres!” aku meregangkan tubuhku yang terlalu lama duduk. Aku berjalan menuju lemari pendingin mengambil plain yogurt dan beberapa buah berry, mulai memakannya sambil membuka galeri di ponsel melihat foto kebersamaanku dengan Richard, aku tersenyum, aku benar-benar merindukannya.
“Hai, baby,” sambut Richard ketika ia menjemputku di bandara. Aku berlabuh di pelukannya. “Capek ya?” Dia mengantarku pulang ke rumah memberiku ruang untuk beristirahat, aku kembali sendiri.
Keesokan harinya, aku menghadiri meeting membahas naskah novel lanjutan. Berbicara dengan manusia yang memiliki bahasa yang sama membuat aku berasa masih hidup. Hidup berbulan-bulan di negara orang tanpa teman, tapi aku menyukainya. Menyakiti diri sendiri, membiarkan aku tersiksa rasanya merindukan ‘rumah’.
“Kami rasa buku kedua kamu ini akan lebih booming daripada buku pertama. Apakah masih ada buku lanjutannya?” aku mengangguk dan itu akan mengambil setting di India, sama seperti buku pertama hanya saja untuk buku yang ini aku harus benar-benar pergi ke sana.
Aku membicarakan rencana ini pada Richard, “Untuk kali ini aku enggak bisa jauh dari kamu, Nadine. Kita enggak bisa terus-terusan berpisah karena jarak,” aku menunduk merasa sedih karena Richard mulai menentang rencanaku. Pekerjaanku, jalan hidupku. “Gimana nanti kalau kita menikah? Kamu bakal pergi-pergi terus ninggalin aku?”
Ketika mendengar itu, aku coba memandang wajah kesalnya. “Apakah secara nggak langsung kamu lagi ngelamar aku?” dia terkejut dengan pertanyaanku. Dia terdiam mencoba mengingat apa yang barusan dia katakan.
“Tuh kan jadinya nggak romantis proposalnya,” dia merengut, manja.
“Kamu serius punya rencana buat nikahin aku?”
“Aku serius, maaf aku belum officially propose kamu. Tapi aku udah rencana buat nikahin kamu, cuma lagi cari waktu yang tepat ketika kamu udah bisa stay di sini, bareng aku,”
Apa lagi rencana yang lebih indah daripada rencana mengenai pernikahan? Aku harus memikirkan ulang rencana dan jalan cerita yang sudah terkonsep secara matang.
“Kamu kan penulis, aku percaya kamu hebat. Kamu selalu punya cerita yang bagus nggak terhalang sama kondisi. Kamu bisa bikin cerita yang settingnya di sini. Belum cukupkah kamu udah punya aku? Sudahi saja pelariannya,”
Sejak mami dan papi meninggal enam tahun lalu, aku tinggal sendiri, bertahan hidup sendiri, sekolah sendiri, bekerja sendiri, membuat keputusan sendiri. Aku memang sudah terbiasa sendiri. Bagiku rumah adalah sumber kesedihan, aku selalu ingin pergi dari sana. Pergi ke tempat dimana aku tidak menemukan sumber kesedihan. Aku sudah bosan hidup dalam tangisan, aku sudah muak dengan semua air mata yang membuat aku selalu sesak setiap malam memikirkan mengapa mami dan papi pergi begitu cepat. Hingga akhirnya Richard datang menawarkan jaminan bahwa aku tidak akan sendirian, aku bisa punya teman untuk berbicara, teman untuk berbagi pendapat, teman hidup.
Tanpa cincin, aku sudah membuat perjanjian dengan diriku sendiri bahwa aku akan menyiapkan menjadi seorang istri yang baik. Seketika, cerita untuk buku ketiga tertinggal di belakang tersingkir oleh cerita-cerita ringan berakhir bahagia. Tapi cerita-cerita ini tidak pernah aku terbitkan, tersimpan rapi di laptopku.
“Sayang malem ini kamu makan sendiri ya. Aku harus ketemu sama atasan,” ia memberitahuku melalui telepon.
Aku yang sudah menyiapkan dua porsi menu makan malam sedikit kecewa dengan pemberitahuannya yang mendadak. Kenapa malam-malam? Emang nggak bisa kalau di jam kerja? Kamu pergi sama siapa? Ngomongin kerjaan kan? Bla bla bla. Aku menerornya dengan berbagai pertanyaan dan dia menjawab ini ‘bisnis’ yang tidak bisa dibicarakan di jam kerja.
Aku  menyelesaikan makan malamku dengan cepat. Ketika suasana hatiku sedang tidak baik ide-ide selalu bermunculan. Aku memang ditakdirkan untuk menjadi penampungan perasaan buruk. Sangat sedikit tempat untuk perasaan bahagia, sangat terbatas, harus selalu diperbaharui untuk kabar bahagia yang lain. Sedangkan perasaan menyebalkan ini selalu boleh tinggal lebih lama.
Aku tak tahu ‘bisnis’ apa yang dimaksud Richard. Setiap kali aku tanya dia selalu menjawab ‘kalau aku jelasin, kamu nggak akan ngerti’ atau ‘kamu enggak akan tertarik, kamu nggak usah pengen tahu’ atau ‘kamu banyak nanya, aku juga enggak pernah nanya tentang dunia tulis menulis kan?’. Selain jawaban yang seakan membuat batas antara kami, dia juga mulai jarang punya waktu untuk menemaniku. Sibuk dengan alasan pekerjaan, yang selalu buat aku terdiam ketika dia bilang ‘kamu nggak ngertiin aku banget, aku capek kamu malah marah-marah terus’.
Well, bukan aku menyerah ada rencana indah yang dulu dia rancang hanya saja kalau begini caranya aku akan menjadi gila. Aku terkurung di pusaran kesedihan tak terbatas, tidak boleh pergi. Aku seperti burung dalam sangkar emas. Di tengah kalutnya perasaan terbesit suatu ide yang setidaknya bisa meringankan bebanku. Jika tidak boleh pergi ke India, mungkin pergi ke Kalimantan diizinkan.
Aku mencari Jaime yang katanya akan menjemputku di bandara. Aku duduk menunggu, kemana anak itu? Hampir satu jam aku menunggu, akhirnya dia datang bersama perempuan yang merangkul erat tangannya, seperti sedikit saja terlepas, takut akan kehilangan selamanya.
“Lama ya? Sorry,” Jaime merasa bersalah, salah karena telah membuatku menunggu sangat lama dan salah tingkah. “Nadine, ini kenalin cewek gue. Salma,” kami saling berjabat tangan.
Di dalam mobil, Salma ternyata lebih banyak bicara. Aku yang lelah menunggu, ingin rasanya mengatakan ‘berisik lo!’.
“Gue langsung ke hotel aja,” kataku menyela pembicaraan mereka yang tidak kumengerti.
“Loh kamu nggak mau ikut kita makan dulu? Kita kan belum ngobrol banyak,” katanya dengan nada semanis mungkin.
Mengapa harus menunggu saat makan kalau hanya akan mengobrol denganku? Mengapa tidak sejak tadi, bitch!?
“Enggak deh, ntar gue makan deket hotel aja,”
“Oh ya udah,” katanya sambil mengarahkan pandangannya kembali ke depan.
Niat untuk mencari hiburan, malah salah pintu. Hidupku mengapa seperti ini? Aku menghela napas.
Ditemani secangkir kopi dan pemandangan kota malam hari, ponselku bergetar, aku abaikan, terus bergetar. Akhirnya aku membukakan pintu untuknya, setelah ia merengek di balik telepon.
“Lu belum tidur kan?” tanyanya seraya dia masuk. Aku menunjuk ke pad ku yang menampilkan rentetan tulisan tanpa ujung. “Lu udah makan? Gue punya rekomendasi tempat makan tengah malam, gue jamin tidur lu bakal nyenyak abis ini,”
Sambil menunggu pesanan kami datang, aku mendengarkan cerita Jaime setelah satu tahun tinggal di Borneo. “Lu dong yang cerita,” pintanya.
“Well, gue enggak biasa cerita,”
“Penulis enggak bisa ceritain kisah hidupnya, pemirsa,” katanya rese.
“Lu mau tau hidup gue? Baca aja tulisan gue, itu semua terinspirasi dari potongan harapan, imajinasi, kisah nyata kehidupan gue yang dikemas dalam suatu alur cerita yang bisa diterima pembaca, terima kasih.”
“Serius amat, ya ceritain sekarang lu pulang ke Indonesia ada niatan pergi lagi nggak? Atau, enggak boleh spoil sih, tapi bakal ada berapa buku dari series yang ini, atau apalah. Gue mulu yang cerita,” aku tidak menjawab dan ia menunggu jawaban. “Oke deh kalau lu bingung, biasa ngomong pake tulisan sih, kenapa lu tiba-tiba pengen ke sini?”
Ketika aku akan bicara, pesanan kami datang. “Makan dulu aja,” kataku mengalihkan pembicaraan.
“Sambil makan,” katanya.
“Enggak boleh ngomong kalau lagi makan,” masih dengan pengalihan pembicaraan
“Enggak boleh tuh waktu ada makanan di mulut lu, kalau kosong baru boleh ngomong,” ia mendesak. “Gue tahu pasti lagi ada apa-apa, bukan karena kangen sama gue,”
Setelah berdoa, aku segera melahap apa yang tersaji di depanku. Tak peduli Jaime sedang mengatakan apa, tapi perutku sudah tidak bisa kompromi. “Buset dah, laper, Bu?” aku mengangguk dengan mulut penuh. “Makan yang banyak, badan lu tinggal tulang gitu,”
“Lu nggak makan?” tanyaku.
“Gue kenyang liat lu makan,” aku pura-pura marah, ia malah tertawa.
Setelah makan, kami jalan-jalan menikmati suasana malam hari yang sepi namun masih tetap hidup dengan beberapa tempat yang masih ramai di dalamnya.
“Gue balik besok,” aku memberitahu.
“Bentar amat,” katanya tak mengira.
“Richard bilang jangan lama-lama,” dia tidak membantah ketika mendengar namanya, “Kenapa gue ke sini, karena dia enggak ngebolehin gue pergi keluar negeri lagi,” aku masih ingat pertanyaannya.
“Kenapa?”
“Gue mau nikah sama dia”
“Kapan?” tanyanya penasaran.
“Belum tahu,” aku baru sadar, aku memang belum pasti menikah dengannya.
“Harusnya lu nggak usah terlalu nurut sama dia, nanti aja kalau udah pasti kalian mau nikah kapan. Gue tahu lu, Nadine. Gue tahu lu pengen pergi, gue tahu lu nggak bisa diem di rumah itu terus, gue tahu…”
“Jaime..” aku memotong ucapannya. “Gue yang nyanggupin buat stay di Indonesia, jadi ini bukan paksaan Richard,”
“Dipaksa oleh faktor X, yaitu janji sebuah pernikahan,” katanya pelan dengan nada meremehkan, tapi aku masih bisa mendengar dengan jelas. Kami berjalan dalam diam, “Lu mau balik ke hotel?”
Aku memikirkan semua yang dikatakan Jaime. Tentang aku tidak perlu terlalu menuruti dengan permintaan Richard sedangkan pernikahannya pun entah akan digelar kapan. Justru sebelum aku terikat aku harus benar-benar memaksimalkan kehidupan masa lajangku. Mencapai puncak karir penulisanku dengan melahirkan banyak masterpiece, ya aku akan pergi ke India.
“Gue udah di airport ya, lagi nunggu buat boarding.” kataku melalui telepon.
“Kok lu nggak bilang? Mungkin gue bisa anter lu ke sana,” katanya dengan nada kecewa.
“Ntar Salma kepengen ikut, males ah,” kami mengakhiri pembicaraan dengan pesan hati-hati darinya di ujung telepon.
Perjalanan di udara selama dua jam disambut oleh Richard yang sudah menunggu kedatanganku.
“Udah puas liburannya?” tanyanya singkat. Aku lupa, apakah ia sedang bercanda atau serius. Aku hanya mengangguk, ia merangkul pundakku sambil menuntun menuju mobil. “Oh iya, mulai besok kamu makan malam sendiri yaaaaa. Aku kasih tahu sekarang biar nggak mendadak. Jadi kamu nggak perlu nyiapin dua porsi,” ia terkekeh salah tingkah. Takut-takut akan reaksi yang aku berikan.
“Bisnis sama atasan?” ia menaik turunkan kedua alisnya. “Aku masih nggak boleh tahu kalian ngelakuin apa?” aku menyelidik.
Nope, sorry baby,” ia meraih tanganku lalu menciumnya, mencoba untuk meluluhkan hatiku dan tidak keberatan dengan informasi tersebut.
Richard benar-benar serius dengan apa yang dikatakannya. Dia tidak pernah lagi makan malam bersama denganku, bahkan lebih parahnya ia tidak pernah membalas pesanku, panggilanku tidak pernah dijawab. Sesibuk apapun dia, sepadat apapun jadwalnya tidak mungkin selama 24 jam ia tidak punya waktu barang satu menit untuk membalas pesanku dan memberi kabar. Apakah itu sulit walaupun demi aku, tunangan bayangannya?
Satu minggu penuh aku merasa kesal padanya. Tanpa pikir panjang, apalagi memikirkan perasaan Richard aku memasukan beberapa potong pakaian, laptop, dokumen seperti passport, visa India yang sudah berada di tangan dan tiket pesawat. Dengan koper seukuran kabin aku pergi, goodbye Richard!
Satu minggu, dua minggu, tidak ada kabar dari Richard. Apakah dia tidak sadar kalau aku tidak ada di rumah? Benar-benar orang ini!
Richard: Nadine, kamu lagi dimana?
Richard: Aku di depan rumah.
Richard calling.
Missed call from Richard.
Richard calling.
Missed call from Richard.
Richard calling.
Missed call from Richard.
Richard calling.
Missed call from Richard.
Aku tak akan pernah membalas pesan atau mengangkat panggilan darinya. Kau mau mengatakan aku seperti anak kecil? Terserah, aku cukup dengan Richard!
Setiap hari ia selalu mengirimkan pesan diselingi sesekali telepon yang tidak pernah aku angkat. Hanya bertahan satu minggu, ia tidak pernah menghubungiku sekalipun.
Dan tiba ketika aku bangun dari (ke)tidur(an), aku melihat pesan dari Richard dan beberapa panggilan tak terjawab.
Richard: Nadine, kamu lagi di India ya? Kenapa nggak bilang aja sama aku?
Richard: Aku perlu ngomong sama kamu.
Richard: Aku telepon ya.
Richard calling.
Missed call from Richard.
Richard calling.
Missed call from Richard.
Richard: Yaudah kalau kamu nggak mau angkat telepon aku.
Richard: Aku cuma mau kasih ini
Richard sent Photo.
Richard: Maaf, aku pikir kalau kita nggak akan cocok. See, kamu pergi ke India tanpa bilang.
Richard: Awalnya aku tidak tertarik dengan permintaan atasanku untuk menikahi putrinya, tapiiiii setelah mengenalnya aku pikir dia lebih baik daripada kamu.
Richard: Aku benar-benar minta maaf sama kamu. Semoga kamu sukses! Terima kasih banyak, Nadine J
Kubuka gambar yang Richard kirimkan padaku. Holly shit! Dia mengirimkan kartu undangan PERNIKAHAN padaku. Dia tidak punya pikiran atau bagaimana? Menghilang tanpa kabar berminggu-minggu. Jadi ini yang ia maksud dengan bisnis? Perjodohan dengan anak atasannya? Hah!
Richard blocked.
Aku benar-benar cukup dengannya. Menyebalkan sekali, dia pikir aku ini bawahannya atau apa? Memecatku seenaknya sebagai pasangan. Lagi pula, melihat perlakuan dia padaku seperti itu, rasanya aku juga tidak akan tahan hidup dengannya.
Aku berencana tinggal di sini niatannya hanya sampai izin tinggalku habis, namun aku perpanjang terus menerus sampai buku terakhirku ini rampung. Aku butuh suasana yang bebas gangguan. Tapi mengingat perlakukan Richard padaku, aku jadi tidak ingin pulang. Aku menangis dalam diam, takut-takut ada yang mendengar. Damn! Aku sendirian kenapa pula takut ada yang mendengar. Aku menangis sejadi-jadinya sampai tidak ada lagi air mata yang keluar.

Aku bersedih, karena tak tahu rasanya bahagia.

Aku kembali ke Indonesia. Hanya untuk menyelesaikan semua rangkaian pencetakan dan launching Trilogi Wandering Child. Setelah itu, aku berencana untuk pergi keliling dunia, mencoba membuka pandanganku dan perasaan agar lebih peka mendapat sumber inspirasi dari kehidupan penduduk asli suatu negeri. Goodbye tears.
Berbulan-bulan menjelajahi berbagai negara, mempelajari bahasa, kehidupan, cara pandang, kebudayaan, kepercayaan mereka bahkan sempat membuat jejak dengan cara mengirimkan cerita pendek pada surat kabar di beberapa negara membuat aku percaya bahwa tidak ada tempat yang paling kurindukan selain India. Negara yang ku impikan sejak semasa SMA, walaupun orang-orang mengatakan jika datang ke India akan mengalami 3S: Stolen, Sickness, Sex. Apalagi aku pergi ke sana seorang diri dan sebagai seorang perempuan.
Aku mengunjungi kak Jaswant dan istrinya kak Tanu. Dia tinggal satu gedung apartemen denganku dulu saat aku merampungkan buku pamungkas trilogi Wandering Child. Aku pernah kena rampok ketika minta diantar ke hotel malah ditinggalkan di tempat antah berantah oleh supir rickshaw. Aku yang duduk termenung mengundang iba seorang supir rickshaw lainnya, dialah Kak Jaswant.
Madam, are you ok?” tanyanya.
I’m robbed. You want to rob me again?” tanyaku galak. Ia menggelengkan kepala dengan cepat, lubang hidungnya membesar.
NO, madam. There is my house.” Ia menunjuk pada sebuah jendela di gedung kumuh. “If you don’t have money to pay, you can stay one night in my house. I have wife, don’t worry
Tanpa pikir panjang apa yang akan terjadi, barangkali aku akan diperkosa aku bisa menendang selangkangannya. Walaupun aku sudah sangat kesal dan tak punya harapan tetapi aku masih punya tenaga untuk survive. Bagaimana bisa aku mau saja ikut dengan ajakan orang yang tidak aku kenal. Jangan percaya pada siapapun, seharusnya prinsip itu yang aku pegang.
Ia mengetuk pintu. Pintu apartmen dengan kamar satu itu dibuka oleh seorang wanita setengah baya dengan sari bewarna mencolok.
Supir rickshaw itu berbicara pada istrinya dengan Bahasa India yang tidak aku mengerti. Mungkin ia menjelaskan siapa aku, karena di tengah pembicaraan sang istri melihat ke arahku dan tersenyum. Walaupun aku tak mengerti, aku tetap membalas senyum.
“Istriku tidak bisa berbahasa Inggris,” jelasnya dengan Bahasa Inggris seadanya. “Kamar di rumah ini hanya satu, kamu bisa memakai kamar kami,”
Thank you, but I can sleep here,” aku menunjuk pada sofa usang yang sudah tak empuk lagi.
Setelah berdebat aku akan tidur di mana, akhirnya ia mengalah dan mengizinkan aku untuk tidur di sofa. Setelah mandi, aku diajak untuk makan malah dengan menu khas India. Kami berbicara, mereka banyak bertanya. Istrinya yang sama penasarannya meminta suaminya untuk menterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris.
Atas kebaikan mereka, akhirnya aku menyewa sebuah kamar apartemen di gedung apartemen kumuh itu selama aku membuat buku ketiga. Lokasinya yang di seberang pasar membuat sepanjang hari sangat bising, klakson dari berbagai macam kendaraan yang tidak sabaran untuk lewat di jalan sempit sudah menjadi santapanku sehari-hari. Aku juga belajar Bahasa Hindi agar bisa berkomunikasi dengan kak Tanu.
Kali ini kak Jaswant sedang bekerja, hanya kak Tanu yang menunggu di rumah mengisi waktu luangnya dengan merajut. Ia menyambutku ketika tahu aku yang mengetuk pintu. Ia mengajakku masuk, mencoba berbicara dengan Bahasa inggris. Aku tersenyum ketika ia terbata-bata dengan Bahasa yang baru ia pelajari, tapi aku mengerti.
I know, you will come back again,” katanya patah-patah.
Aku bilang akan tinggal di india lagi untuk beberapa saat. Kabar baiknya, kamar yang ku tempati dulu tidak pernah ada yang menyewa, mungkin karena harga sewa kamar di sini yang semakin naik setiap waktu. Kak Tanu mengantarku kepada induk semang pemilik gedung apartemen dan mulai saat itu aku kembali resmi menempati kamar itu.
Daya tarik India tidak pernah padam, aku menjelajahi Delhi. Dengan berbekal sun protection, topi berpinggiran lebar dan kacamata hitam, aku pergi untuk membeli masala dosa. Setelah selesai bernostalgia dengan makanan trandisional ini aku memutuskan untuk pergi mencari camilan lain. Namun, ketika di pintu keluar aku bertemu seseorang yang mengenalku. Sial!
“Nadine?”
“Kamu?” kami berdua kaget.
***

“Nadine, gue belum kerja.”
“Gue tau.” Jawabku, sambil tertawa dengan fakta yang jelas aku ketahui.
“Jadi belum bisa ke rumah.”
“Ya elah, ke rumah doang ngapain pake kudu udah kerja segala.” Aku benar-benar tak habis pikir dengan apa yang ia katakan.
“Gue bukan mau main, gue mau serius,” setelah ia menyelesaikan ucapannya yang singkat, suasana seketika hening.
Kedai kopi yang kami kunjungi sangat ramai malam itu, tetapi kami saling terdiam canggung dengan pernyataan tak terduga.
“Apa sih, guenya juga belum lulus. Santai,” aku menyelipkan tawa kecil untuk kembali mencairkan suasana. “Besok dateng ya, ke acara launching buku gue,”

***

Komentar

Postingan Populer