Bukan FTV
Setiap hari, setiap kali ia lewat di depanku maka saat
itu pula aku akan menunduk. Malu? Entah, hanya tak berani jika harus melihat
matanya. Oh tidak! Jangan besar kepala, mana ada ia akan menatap matamu ketika
ia lewat. Lalu? Mungkin aku saja yang terlalu pengecut, jadi aku hanya berani
mengangkat kepala, memandang punggungnya yang semakin menjauh. Menikmati gerak
ayunan tangan dan kakinya.
Satu minggu, satu bulan. Tak pernah sekalipun aku
mengucapkan selamat pagi atau sekedar sapaan ringan seperti “Hai”. Lidahku
kelu, tubuhku kaku. I playing it cool.
Mengapa tidak dia saja yang memulai?
Hingga suatu hari jarak yang hanya aku saja yang bisa melihatnya
semakin melebar dan jurangnya semakin dalam. Sekali terjatuh aku tak akan bisa
selamat. Jiwa pengecutku atau logikaku berkata, lebih baik mundur dan lupakan
saja. Anggap tak pernah ada yang namanya kebiasaan memandangi ia sesudah jauh. Anggap
kebiasaanku selama satu bulan ini adalah sautu keharusan yang tidak menjadi
harus lagi, dan memang tidak bisa lagi. Aku tidak akan mengatakan “Kalau jodoh
tidak akan kemana” karena ini bukan FTV apalagi film layar lebar, mana mungkin,
mana mungkin, mana mungkin, dan mana mungkin lainnya.
Hidupku sudah damai. Secepat itukah? Kalian hanya
tidak tahu dan aku hanya tidak memberitahu seberapa keras aku menyakiti diri
sediri untuk membuang perasaan yang setiap waktu semakin kuat. Apakah ini
cinta? Sial, mungkin ini hanya obsesi logis yang masih bisa diredam.
“Hai,” suara itu, aksen itu. Aku mengenalnya. “Selamat
pagi,” ia tersenyum. Mengapa dia tersenyum?
“Mas, saya turut berduka cita ya. Saya nggak sempet
ngehubungi Mas buat ucapin. Saya….” Istrinya meninggal dua minggu lalu namun
aku tak memberikan tanggapan apapun. Pesan bela sungkawa apalagi melawat.
“Udah nggak apa-apa. Kamu kan lagi libur juga, saya
masuk dulu,” belum sempat ia melangkahkan satu kakinya ke depan aku dengan
penuh keberanian mencoba sekali untuk memulai.
“Mas,” panggilan singkat itu yang cukup membuat dia
mengurungkan niat untuk masuk.
“Kenapa?” tanyanya sambil tersenyum namun ditahan.
“Selamat pagi,” aku terkekeh, malu. Aku langsung
duduk, menunduk, tak peduli bagaimana reaksi yang ia berikan dari hal yang
tidak penting ini.
Satu tahun waktu rehat dari kebiasaan mencintainya
harus terus berjalan. Sapaan darinya pagi tadi tidak mempengaruhi keputusanku
yang telah dibuat dari lama. Dua bulan dari percakapan singkat itu, aku
mendapat tawaran pekerjaan dari perusahaan lain. Jika harus memilih, aku akan
memilih untuk menyakiti diri sendiri dengan pergi dari kantor yang
mempertemukan aku dengannya. Bukankah untuk melupakan seseorang lebih mudah
apabila ia jauh dari pandangan kita?
Dua tahun berlalu, orang bilang perempuan lebih baik
jangan terlalu tua untuk menikah. Keluargaku sudah sangat bawel ketika lebaran
tiba. Udah ada calonnya belum? Kapan menikah? Ketika aku menjawab belum mau
menikah, mereka langsung bertanya umurku yang masih 26 disebut terlalu tua. “Nanti
kasian jarak umur kamu sama anak kamu jauh,” atau “Nanti susah punya anak,”
atau “Nanti semakin seneng kerja, semakin susah cari jodoh,” atau “Nanti bla bla
bla”
“Tante kenalin
ya sama anaknya temen, Tante.” Aku geleng-geleng kepala. “Namanya Adam, ehm,
emang sih dia duda, tapi enggak punya anak kok,”
Adam.
“Ngga usah Tante, makasih,” aku langsung kabur menuju
kamarku. Mengunci kamar, melamun, menerawang, berpikir, melamun lagi,
memukul-mukul gulingku yang tak berdosa, menggigit bantalku juga yang sama tidak
punya salah sedikitpun padaku.
Adam yang mana?
Aku terus berpikir yang tidak-tidak. Adam yang dulu
pernah aku taksir? Mana mungkin, di kota ini yang namanya Adam itu banyak! Siapa
tahu, Adam dari kota lain. Semakin banyak kemungkinan.
Tok tok tok.
Aku mencoba menajamkan pendengaran, memastikan pintu
mana yang diketuk. Aku berdiri dari kasur, berkaca sebentar untuk memastikan
penampilanku tidak mencurigakan. Kusisir rambut dengan jariku sekenanya,
merapikan baju agar berada pada tempatnya, juga wajahku agar terkesan biasa
saja.
“Kamu tidur?” Tanya mama.
“Nggak, kenapa Ma?” tanyaku.
“Itu di bawah ada temennya Tante Maryam, mau ketemu
kamu,”
Sial! Berapa lama aku mengurung diri di kamar? Tante Maryam
langsung menghubungi temannya itu? Gercep amat! She must be joking.
Aku berjalan di belakang mama. Berjalan dengan kaki
lemas. Apakah ini rasanya dijodohkan? Setua itukah aku?
“Kenalin ini ponakan aku, Kintan,” Tante Maryam
mengenalkan aku pada keluarga temannya. Mereka menyambutku, juga seorang lelaki
berusia 35 tahun yang menjadi alasan mereka datang ke sini. Adam. Ya, Adam yang
itu. Adam yang pernah aku taksir tiga tahun lalu. Adam yang sama.
***
Komentar
Posting Komentar