Him.


Sebuah email yang sedari tadi kubaca berulang masih belum membuat rasa percayaku muncul. Setelah beberapa bulan menganggur, akhirnya aku mendapat panggilan kerja dari sebuah penerbit, tak tanggung-tanggung, penerbit itu berada di New York.
Aku berteriak kegirangan, mengundang rasa penasaran mama tentang anaknya. “Ada apa Kak teriak-teriak?” tanyanya. Aku tersenyum lalu menghambur untuk memeluk mama. Mama masih bingung dengan kelakuanku yang mengguncang-guncang tubuh mama yang sedang kupeluk.
“Aku akhirnya keterima kerja, Ma. Di New York,” aku bersemangat. Mama memandang tak percaya. “Cuma magang sih, sebulan,” suaraku berubah lesu.
“Ya gapapa dong. Kalau emang, misalnya enggak diperpanjang setidaknya kamu punya riwayat magang di New York, kan bisa jadi nilai plus buat kamu. Sekarang sih jalanin yang ada, daripada kamu diem di rumah. Mama ikut pusing liatnya kamu uring-uringan terus,” aku terkekeh mendengar jawaban mama.
“Tapikan jauh Ma. Gapapa aku tinggalin?” tanyaku.
“Gapapalah, kejar mimpi kamu sana. Lagian kan di sini ada Papa sama ade,” jawaban mama selalu menenangkan, walaupun aku tahu pasti ada kekhawatiran di hati mama yang akan melepas pergi anak perempuannya. “Kasih tahu Papa,” aku mengangguk dan meraih ponselku, mencari nama ‘Papa’ dalam daftar kontakku.
Papa yang bekerja di Jogjakarta, memintaku untuk datang ke sana. Katanya, ada kerabat temannya yang tinggal di New York, jadi aku bisa dicarikan tempat untuk tinggal.
Hari ini, papa, mama dan Megan –adikku- melepas kepergianku. Dengan begitu pula, inilah saatnya perjalananku dimulai.

Tasha menjemputku di bandara. Dia adalah kerabatnya rekan papa yang membantuku mencari tempat untuk tinggal. Sesampainya di New York, aku langsung menuju apartemenku. Tasha sangat baik padaku, tapi dia tak bisa lama, saat aku sampai di apartemen, dia menjelaskan peraturan yang ada namun aku terlalu lelah untuk mendengar itu semua. Akhirnya ia memutuskan untuk menjelaskannya besok, sambil sarapan.
Tubuhku terasa terisi penuh energi. Aku bangun sangat pagi, ketika matahari belum terbit dan warga New York masih terlelap di balik selimut mereka.
“Tasha, ayo sarapan,” akhirnya ada desahan di balik telepon yang menandakan orang yang kutuju mengangkat panggilanku.
“Jam segini belum ada yang buka,” katanya dengan sekenanya namun itu fakta. Ini masih pukul 6.01am, masih sangat pagi.
Aku mencoba untuk membereskan barang-barangku. Namun, jam di dinding masih menunjukkan pukul 6.39am dan matahari masih belum tampak. Waktu terasa begitu lama. Apartemenku sekarang seperti tempat yang sudah ditinggali lama, tak ada barang yang masih dalam kardus atau bungkusan lain. Bahkan aku sudah menyapu, mengepel, peregangan, mandi tapi matahari masih mengantuk. 7.13am, aku tak sabar, akhirnya aku memutuskan untuk pergi sendiri. Di zaman ini, aku percaya, aku tidak akan tersesat. Aku bersiap dan pergi dengan berbekal petunjuk dalam aplikasi navigasi di ponsel pintarku.
Aku memilih memasuki toko roti yang berada dalam komplek pasar, sangat ramai, berbeda dengan pertokoan yang berjajar di sepanjang jalan masih belum menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Aku menikmati jalan-jalan santai sambil sedikit menggigil karena walaupun sudah di penghujung akhir musim dingin namun suhu New York masih berada di sekitar 13 derajat. Aku berjalan ke arah yang aku inginkan, sekali lagi aku tak takut tersesat.
Sepanjang perjalanan, satu dua manusia mulai memadati jalan. Ada yang sambil menyeruput kopi, ada yang fokus pada jalanan saja, dan ada yang sedang berlari –di tengah cuaca seperti ini ada orang yang berlari? Wow. Berbelok satu blok menuju arah apartemen, jalan sudah dipadati manusia. Billboard, toko-toko, cab, sepeda, semua aktif ikut meramaikan pagi ini. Akhirnya aku tidak merasa hidup di kota mati. Aku memandangi suasana New York yang sibuk. Amazing!
“Excuse me!” tiba-tiba suara seseorang mengagetkanku yang tengah sedikit melamun. Aku melihat ke arah kanan dan berdirilah seorang laki-laki tinggi besar berbadan kekar, dengan rambut yang dikuncir, berpakaian rapi. Sepertinya dia akan pergi ke kantor. “Excuse me, Miss. Can you move and not block this way?! Everyone is hectic, so you can’t just standing there awing how precious New York!”
Aku terkejut dengan apa yang dikatakannya. Aku rasa dia marah. “Maaf. Um, I’m sorry, Mister.” Aku menundukkan kepala tanda meminta maaf.
“Indonesian?” dia bertanya lagi dan aku mengangguk mengiyakan. “Okay, Mbak yang baik hati, bukan saya bermaksud untuk kasar tapi tolong Mbak minggir dari jalanan ini boleh meneruskan perjalanan atau pindah ke samping, karena selama dua menit yang lalu saya berusaha maju namun nyatanya saya masih berada di posisi ini, yang artinya Mbak menghalangi jalan!” dia marah-marahh karena aku –katanya menghalangi jalannya, aku meminta maaf lagi dan dia pergi. Berlari kecil.
Okay, aku anggap kejadian tadi adalah peringatan untuk tidak berhenti di tengah jalan seperti ini. Aku sedang tidak berada dalam shooting film ataupun music video yang bisa berhenti atau berjalan santai seenaknya. Aku berjalan pulang, memakan sisa roti yang kubeli tadi.
Melihat telepon yang berkedip dengan langsung aku menyambar telepon dan menekan tombol untuk mendengar pesan dari siapa.
Kamu dari mana saja?????? Balas teleponku kalau kamu sudah menerima pesan ini. SEGERA!!!!
Tasha. Ya, dia pasti cemas karena dia masih memiliki tanggung jawab untuk menjagaku, setidaknya sampai aku hapal rute dan tempat public untuk membeli kebutuhan perut dan kehidupan sehari-hari lainnya. Aku meneleponnya dan aku mengatakan kalau aku baik-baik saja, lalu suara Tasha perlahan mulai tenang dan sambungan telepon diakhiri dengan peringatan agar aku selalu memperhatikan ponselku takut-takut ada panggilan darinya agar tidak membuat cemas.
Hari masih terlalu pagi dan aku tidak tahu harus melakukan kegiatan apa. Aku mencoba untuk pemanasan dengan membuka laptopku dan kembali menulis. Pemanasan untuk apa? Padahal pekerjaanku pun bukanlah menjadi seorang penulis. Berjam-jam aku duduk di hadapan laptopku yang setia menemani sejak aku menulis tesis, hingga akhirnya jam dengan pasrah mengatakan bahwa sudah waktunya para pegawai pulang. Aku dengan antusias membuka kotak bakpia memastikan kondisinya layak untuk makan, tidak ada semut atau hal yang menjijikan lainnya.
Ku tempelkan telingaku di daun pintu apartemen, tidak ada langkah kaki. Satupun! Sebenarnya mereka pulang pukul berapa? Apakah semua orang tidak buru-buru untuk pulang ke rumah?
Aku hampir stress terkunci di sini. Aku ingin bertemu tetangga, berkenalan, mengobrol. Aku sudah bawakan bakpia khusus dari Yogyakarta. Aku duduk bersandar di pintu, enggan untuk beranjak. Tidak punya energi.
Tak lama, terdengar suara langkah kaki menaiki tangga. Aku buru-buru berdiri dan mengintip dari balik pintu, memastikan yang lewat adalah penghuni, atau petugas kebersihan, atau siapapun selain pencuri.
Kepala dengan rambut hitam dikuncir mulai muncul. Tidak mungkin di seorang pencuri. Aku langsung membuka kunci dan berdiri di depan kamar apartemenku, berusaha menyambut sang tetangga.
Aku berdiri sambil tersenyum ketika akhirnya kaki sang tetangga sempurnya berdiri di lantai yang sama denganku. Tapi lidahku kelu, apakah dia tidak akan merasa terganggu dengan kehadiranku. Mungkin dia lelah setelah seharian bekerja, mungkin dia tidak suka bertemu dengan orang, mungkin, mungkin.
Pikiran-pikiran negatif memenuhi kepalaku, sampai akhirnya sang tetangga sudah membuka kunci. Cepat sebelum dia masuk!
Excuse me,” kataku akhirnya.
Dia menoleh, sepertinya dia terganggu dengan suaraku. “Mbak, lagi ngapain di sini?” aku terkejut karena laki-laki Indonesia yang memarahiku tadi pagi adalah sang tetangga. Sepertinya dia sama terkejutnya denganku.
Setelah bertanya-tanya sedikit tentang apa maksud keberadaanku di New York dan puas akan jawaban dariku, aku kembali mengingatkan dia agar mau menerima bakpia yang kutawarkan. Setelah kembali ke alam sadar setelah dia melamun sebentar akhirnya dia mengambil sekotak bakpia yang sebenarnya kutawarkan dia agar mengambil beberapa saja. Habislah jatah untuk berbagi dengan tetangga-tetangga yang lain.
Tak lama setelah dia masuk ke dalam kamarnya, dia kembali keluar dan memanggilku. Dia memberiku fruit tart dan mengatakan akan mengantarku ke toko dimana dia membeli ini jika aku suka. Walaupun galak, kaku, dan sedikit menyebalkan tapi sepertinya dia sudah membuka diri untuk berteman denganku. Lagi pula dia akan amat sombong jika sesama orang Indonesia di perantauan tidak mau berteman!
Keesokan harinya ku lihat pintu kamar sang tetangga, tertutup rapat. Apakah dia tidak ke kantor hari ini? Atau sudah berangkat?
Aku berjalan santai menikmati udara yang cukup dingin, 15 menit perjalanan menuju kantorku dengan kecepatan sedang dan kecepatan angin ringan dari arah selatan menuju utara. Aku sudah tidak diawasi oleh Tasha, aku bilang padanya bahwa dia tidak perlu khawatir. Untuk membuatnya percaya aku bilang akan menghubunginya jika terjadi apa-apa, dan fokuslah bekerja, tidak usah khawatir padaku. Aku juga mengatakan pada papa bahwa aku sudah tidak perlu diawasi oleh Tasha, lagipula gedung apartemenku terletak di lokasi yang strategis dekat dengan kantor dan berada di pusat peradaban sehingga aku tidak perlu bingung dan menghapal harus naik apa untuk mencapai tempat tujuan.
Hari pertama di kantor adalah waktuku untuk beradaptasi. Besok, aku bukan lagi anak baru yang mendapat keringanan, aku adalah pegawai –walaupun magang- yang dituntut dedikasi dan tanggung jawabnya 100%. Selama satu bulan ini, akan aku buktikan bahwa keberadaanku tidak akan mengecewakan.
“Kamu mau kemana?” tanya Dakota.
“Pulang,” jawabku.
“Kamu di New York. Jam segini dilarang pulang!” Dakota menarik lenganku, mengajakku ke salah satu bar yang penuh sesak oleh mereka yang ingin menghilangkan penat pekerjaan yang mengurung mereka seharian.
“Aku enggak minum,” aku sedikit berteriak pada Dakota. Suara music menenggelamkan suaraku.
Mineral water!” Dakota berteriak meminta pada bartender untuk memberiku segelas air mineral. Aku mengambil gelas tersebut dan menenggaknya. Kecurigaanku dibantah karena ini benar-benar air mineral.
Dakota turun ke lantai dansa dan aku hanya duduk memperhatikan mereka. Well, aku membuat keputusan bahwa jika besok aku dipaksa oleh Dakota untuk mampir dulu lebih baik aku lari sekencang mungkin.
Akhirnya aku diperbolehkan pulang duluan oleh Dakota. Aku berjalan lunglai karena merasa lelah harus pura-pura menikmati ajakan Dakota tadi. Aku sampai di depan apartemenku, melirik sekilas ke arah pintu kamar ‘mas galak’. Gelap. Mungkin dia belum pulang, menikmati malam harinya New York.
Hari-hari berikutnya sudah menjadi rutinitasku sejak hari ketiga bekerja, yaitu selesai bekerja langsung menuju apartemen, mengunci diri, bersembunyi dari ramainya New York. Mungkin aku akan menutup pintu pergaulanku, tapi tak apa, aku akan mengambil semua resiko yang mungkin terjadi menjadi seorang yang cupu.
Malam hari adalah waktunya menjadi diri sendiri. Membuka laptop, menyetel musik sebagai temanku untuk menulis. Malam ini terasa lebih dingin. Aku pergi ke kamar dan mengambil selimut yang ku gunakan untuk membungkus tubuhku. Segelas teh hijau panas yang siap diminum, meja di ruang tamuku terasa sempurna untuk menjadi ruang kerja.
Tok…tok..tok….
Aku beranjak dari duduk setelah memastikan pintu kamarku yang diketuk. Aku mengintip melalu peephole. Mas galak, berdiri di balik pintuku. Apa yang harus aku lakukan? Aku berpikir, apakah aku harus membuka pintu? Kenapa tidak? Tapi dia mau apa? Aku tidak akan mendapatkan jawaban jika tidak membuka pintu. Diriku dengan diriku berdebat mengenai apa yang harus aku lakukan. Suara ketukan pintu terdengar lagi. okay, 1, 2, 3.
Ketika pintuku terbuka, yap dia tepat berdiri di sana, walaupun menunduk tapi aku tahu itu dia. Mas galak, sang tetangga. Setelah sekian detik berdiri mematung akhirnya dia mengangkat kepalanya, dan tersenyum. Sontak akupun membalas senyumnya. Kami berdua sama-sama tersenyum dan tidak mengatakan apa-apa.
Otakku kembali berpikir, apa yang harus kulakukan. Tidak mungkin kami hanya berdiri di sini tanpa mengatakan apa-apa, saling tersenyum dan bingung.
“Aku Naomi,” aku mengulurkan tangan, dia menyambut uluran tanganku, dan menjabatnya normal. “Jesse,” katanya.
Untuk kali ini tanpa berpikir panjang aku menawarinya masuk, dan dia mengiyakan. Tiga jam berlalu tak terasa kami asik mengobrol akrab dalam apartemenku yang berantakan. Ternyata dia tidak segalak yang ku pikir, dia bisa mengobrol dengan normal seperti orang kebanyakan. Dia pamit untuk pulang, karena di Indonesia pukul 10 sudah cukup malam untuk berdua-duaan dengan bukan pasangan sah.
“Besok berangkat bareng aja. Kantor kita searah, sekalian aku kasih tau toko roti yang aku beli waktu itu sambil sarapan.” Katanya sebagai ucapan perpisahan. Aku mengangguk mengiyakan, dapat teman untuk berangkat kerja bukankan menyenangkan? Jadi aku terima saja tawarannya.
Aku duduk di sofa, menerawang dan mengingat beberapa kejadian yang baru saja terjadi. Aku menertawakan diri sendiri atau dia atau kami. Aku menutup laptopku, tersenyum memeluk kaki. Aku sedang tidak berada di alam fantasi ceritaku, aku sedang berada di alam sadar bahwa aku sedang bahagia.
Setelah tiga jam bersama keesokan harinya adalah permulaan aku dan Jesse selalu berangkat dan sarapan bersama. Mencoba berbagai tempat untuk sarapan karena aku ingin mencoba tempat-tempat baru.
“Kamu harus cobain biar tahu. Gimana mau tahu itu enak atau enggak kalau kamu engga coba sendiri. Pengalaman adalah guru terbaik,” aku selalu memaksanya untuk makan di tempat yang berbeda dan ketika dia tidak mau aku akan mengatakan ‘pengalaman adalah guru terbaik’ atau ‘kamu harus berani mencoba hal yang baru’ dan berbagai kutipan-kutipan sok bijak lainnya.
“Besok makan di tempat itu yu,” ajakku.
“Di tempat biasa aja yu,” katanya.
“Mas, lihat rame gitu. Itu bisa jadi indikator kalau makanan di sana enak,” aku ngotot.
“Nah, justru karena rame keburu laper tapi kita kesiangan malah enggak jadi sarapan,” dia membalas memberi pembelaan. “Kan udah cukup enak di tempat biasa aku beli roti, yang aku kasih ke kamu itu loooh. Enak kaan?”
“Kenapa harus puas dengan suatu hal padahal kita bisa capai lebih,” kami saling melempar pembelaan sepanjang dia belum mengatakan,
“Okay, besok kita coba sarapan di sana,” dan pembicaraan selesai. Dan ketika dia mengalah aku selalu menggodanya.
“Gampang amat sih Mas bilang okey,” aku menyenggol lengannya yang sedang berjalan santai di sampingku.
“Argumen kamu tuh enggak bisa dipatahin,” dia memberi penjelasan.
“Ya setidaknya kamu kasih fakta dan data dulu yang mengatakan bahwa tanpa icip-icip pun kamu bisa tahu rasanya,”
“Justru aku enggak punya fakta dan data, satu-satunya cara adalah ya cobain” katanya.
“Nah kan paham, berarti kita harus coba,”
“Iya iya. Udah sana kerja yang bener, sampe ketemu ya,” aku melambaikan tangan dan dia ikut melambaikan tangan, tersenyum, lalu pergi menuju gedung sebelah, tempat kantornya berada.
Tak terasa waktuku di New York tinggal satu minggu. Hari ini New York dikunjungi hujan lebat sedari siang. Sepertinya akan sampai malam, karena awan gelap masih menggelayuti langit melarang matahari yang ingin mengintip.
Perutku keroncongan, aku memutuskan untuk menunggu hujan sambil minum teh di café sebelah. Sedikit berlari aku sampai, walaupun basah tapi tidak seberapa. Patricio menyambutku ketika aku masuk, ia langsung menawariku teh hijau hangat begitu melihatku yang sedikit kebasahan dan satu croissant isi tuna dan limpahan keju di dalamnya menemani aku menunggu hujan.
“Hujannya akan sampai malam, aku akan meminjamimu payung. Pakai saja,” aku menggeleng mengatakan akan pergi kalau hujannya mengecil.
Satu jam berlalu, akhirnya gerimis. Aku bergegas pulang, memberikan senyuman dan ‘tidak perlu’ pada Patricio yang sekali lagi memastikan aku tidak membutuhkan payung. Di tengah perjalanan tiba-tiba hujan menjadi besar, aku kewalahan. Berhenti sebentar untuk melepas sepatu hak tinggiku, dan mulai berlari hati-hati takut terpeleset dan melukai kakiku. Ternyata berlari tidak cukup membuat aku selamat dari basah kuyup. Aku memasuki gedung apartemenku dengan meninggalkan noda kotor dan air. Aku bergegas naik ke lantai tiga.
Kamar Jesse yang kutuju.
Tok…tok…took…
Ada suara langkah kaki dari dalam, lalu handle pintunya bergerak dan berdiri di sana Jesse dengan wajah terkejut.
“Lu kenapa?”
“Ga biarin gue masuk dulu?” tanyaku yang tanpa izinnya langsung menyelonong masuk.
“Mana kunci kamar lu? Biar gue yang ambil baju ganti,” katanya mengulurkan tangan.
“Gue mau pake kaos punya lu aja,” kataku.
“Tapi gue enggak punya BH dan celana dalem gue pasti kegedean di lu. Artinya lu bakal tetep masuk angin meskipun udah ganti baju,”
“Enggak ada kata masuk angin di medis. Udah buruan gue dingin ini,”
“Yes Mam,” katanya langsung masuk ke kamarnya.
“Sekalian sama selimut,” pesanan tambahan dariku.
Aku menyambar kaus dan celana panjang yang ia berikan dan langsung berganti pakaian di kamar mandi yang untuk laki-laki cukup bersih dan rapi. Ketika aku selesai berganti pakaian, di kursi sudah tersedia secangkir teh hijau panas.
“Sekarang duduk, cerita ngapain pake hujan hujanan segala,” dia menepuk sofa di sampingnya menyuruhku untuk duduk.
“Peluk gue,” aku langsung menangis.
“Heh, lu kenapa? Dipecat ya?” dia menjadi panik karena aku tersedu-sedu di bahunya. Ia memelukku semakin erat dan kami saling terdiam, namun aku masih tersedu-sedu.
Aku bangun dari pundaknya, mencoba duduk dengan nyaman. Menundukkan kepala, seperti orang yang bersedih.
“Kamu kenapa?” tanyanya lembut.
Aku mengangkat wajahku, “Enggak kenapa-napa,” aku tertawa.
“Rese,” katanya melempar bantal padaku.
“Lu yang rese,” aku membalasnya.
“Serius, kenapa? Ngapain pake ujan-ujanan segala?” tanyanya menatapku. Tajam.
“Ya lagian ujannya enggak berenti-berenti, padahal gue pengen pulang,” aku menjelaskan.
“Kan lu bisa telepon gue, minta jemput, ntar gue bawain payung,” katanya.
“Baterai hp gue abis,”
“Emang lu enggak bawa charger? Ya kan ada telepon,” tanyanya.
“Gue enggak hapal nomor lu, Mas,” jawabku.
“Terlalu banyak alasan,” dia mengambil cangkir untukku, aku menyesap aromanya, masuk melalui hidungku, menghangatkan saluran pernapasanku. “Oh, gue tahu!” aku terkejut mendengarnya yang berseru tiba-tiba. “Lu pengen gue peluk ya?”
Aku tersedak, menyimpan kembali cangkir di meja dan mulai untuk menyiapkan kata-kata untuk mendebatnya. “Gila! Enggak lah! Orang tadi gue kedinginan,” aku memberi pembelaan.
“Naomi, kalau pengen dipeluk bilang aja enggak usah pake hujan-hujanan dulu. Gue enggak keberatan, gue kasih ikhlas dan sukarela,” aku hanya geleng-geleng kepala sedangkan dia tertawa menggodaku yang tidak bisa memberikan pembelaan.
“Mas, dengerin,” aku mencoba menghentikan tawanya yang membuatku menyadari bahwa aku sedang keok olehnya.
“Apa? Pengen dipeluk lagi yaa? Sini gue peluk lagi,” dia langsung memelukku, aku mencoba menghindarinya, “Udah diem, katanya dingin,” aku tenang dalam pelukannya. “Tadi mau bilang apa?”
“Aku kan tinggal seminggu lagi ya kontrakku habis, bisa nggak kalau kamu perlakuin aku dengan manis, enggak pake rese gitu?” tanyaku hati-hati.
“Siapa tahu kontrak kamu diperpanjang,” katanya santai.
“Kalau enggak? Siapa tahu. Jadi kamu boleh rese lagi kalau udah ada keputusan kalau aku ternyata dipertahankan,” tidak ada jawaban. “Deal yah?” tanyaku lagi.
“Aku enggak bisa jadi laki-laki yang sweet,” aku mencubit lengannya. “Iya, iya nanti aku cari di internet cara memperlakukan perempuan dengan manis,”
“Astaga Mas, itu mah naluri laki-laki ih enggak usah dicari,”
Kami ribut lagi, berdebat, saling mengejek, menggoda, menertawakan, bertingkah seperti sudah mengenal sangat lama.
“Aku pulang ya, besok udah dimulai perjanjian kita yang tadi,” kataku mengingatkan. “Dan makasih buat teh hangatnya, bajunya, selimutnya, pelukannya, kehangatannya?” kataku seraya membalik badan, canggung. Dia hanya mengangkat satu alisnya sambil tersenyum seakan sedang dipuji, aku bisa menangkap ekspresi itu sesaat sebelum balik badan.

Aku menunggu di depan apartemennya, mengetuk pintunya berkali-kali, tak ada jawaban. Sepertinya dia masih tidur. Aku mengetuk lagi, kali ini lebih sering dan seenaknya, semoga tidak mengganggu penghuni lain. Akhirnya pintu terbuka dan di sana Jesse berdiri dengan rambut acak-acakan dan wajah kusut ciri khas orang baru bangun dari tidur.
“Mas! Kamu baru bangun?! Kesiangan dong kita?” aku kaget melihat dia yang baru bangun.
“Waduh, iya sorry, sorry,” katanya yang terkejut juga.
“Udah deh aku berangkat sendiri aja, aku enggak mau lari-lari ya. Lagi pake sepatu tinggi, takut keseleo, bye,” aku pergi.
“Eh tunggu, gimme 5 minutes,” katanya.
“Enggak ah, bye,” aku menuruni tangga, berjalan santai keluar dari gedung apartemen dan berjalan dua blok. Ketika akan menyebrang jalan, aku mencari kunci di dalam tas. Tidak ada! Sial, aku harus balik lagi. Aku berlari kecil agar tidak memakan banyak waktu.
“Eh Naomi, kok masih ada di sini? Nungguin ya?” tanyanya menggoda. “Katanya mau duluan,” Jesse mulai rese dan lupa kalau hari ini dia harus bersikap baik padaku.
“Pintu gue belum dikunci,” aku memberi penjelasan. Menunjukkan kunciku di depan matanya.
“Ah, masa? Makanya disuruh tunggu bentar doang enggak mau, capek kan balik lagi,” aku tidak menanggapi.
“Lu inget kan mulai hari ini lu harus bersikap baik sama gue,” aku memperingatkan.
“Oh iya, hayu sini aku gandeng,” dia meraih tanganku. Namun, bukannya berjalan ia malah bersikap seperti orang yang tidak melihat. Tangan kirinya menggapai-gapai, membuatku harus bersabar.
“Bodo amat!” aku melepaskan genggaman tangannya dan menuruni tangga. Terdengar langkah berlari menyusul di belakangku.
“Beneran deh, beneran kali ini,” dia meraih tanganku lagi sampai keluar gedung apartemen. “Udah ah jalan sendiri aja,” dia melepaskan genggaman tanganku dan berjalan sendiri. Aku diam di tempat, merasa mulai kesal.
“Kenapa lu balik lagi?” tanyaku galak. Dia tak menjawab, hanya kembali menggenggam tanganku, kali ini lebih erat.
“Takut kamu ada yang godain,” siapa tanyaku bingung. Dia memajukan dagunya, menunjuk pada tiga orang anak laki-laki yang sedang berjalan. Lalu dia menarikku, menuntunku sepanjang jalan.
Kami memilih membeli sarapan dari food truck yang pernah kami kunjungi. Suasananya sangat ramai, mungkin karena kami kesiangan. Dia meraih bahuku ketika ada seorang laki-laki yang terburu-buru pergi keluar dari kerumunan dengan tangan memegang taco penuh saus.
“Takut baju kamu kena saus pria tadi,” aku tersenyum. Thanks.
Kami berdiri sambil menyantap burrito masing-masing. Tidak saling bicara karena kami tidak memiliki banyak waktu. Kami kembali melanjutkan perjalanan, dengan tangannya tetap menggenggam tanganku.
“Apakah hari ini aku sudah berbuat menyenangkan hati Madam?” tanyanya.
Aku tertawa, selalu terdengar lucu ketika dia memanggilku madam. Aku mengangguk, “Ya, makasih ya. Jangan bosan masih ada 6 hari lagi loh,” dia menyanggupi dan melambaikan tangan kembali berjalan menuju gedung sebelah.

Aku dan Jesse sedang makan malam setelah pulang kerja. Aku memaksanya untuk pulang bareng karena ada hal yang ingin aku sampaikan. Sehingga tibalah kami pada pembicaraan ini.
“Makasih ya, udah mau nurutin kemauan aku, hehe,” aku terkekeh.
“Sama-sama,” dia tersenyum manis, tanpa menggoda, mencoba serius. Kami saling diam. “Naomi, aku suka sama kamu,” aku terkejut. Dia mengambil jeda, mencoba untuk mengukur reaksi dariku. “Aku ngerasa bahwa kalau sama kamu, aku enggak perlu pura-pura jadi orang yang menyenangkan, jadi cowok yang sok keren, jadi cowok yang ya yang kamu lihat pas pertama kita ketemu. Aku ngerasa kamu bisa keluarin siapa diri aku, maksudnya aku ngerasa bebas. Mungkin aku malah jadi gila, jadi orang tolol sedunia, dan mungkin kamu juga ilfeel, tapi nyatanya kamu masih mau berteman sama aku serese apapun aku,” aku mengakat alis ‘udah?’ dia mengangguk.
“Kenapa kamu baru bilang sekarang, Mas? Aku enggak mau LDR.” Ada raut terkejut terpancar dari wajahnya ketika mendengar kata LDR. Aku paham dengan ekspresi seperti itu, “Iya, katanya aku cukup satu bulan, terima kasih,”
“Kamu bisa stay di sini,” katanya mencoba menyenangkan aku atau mencoba menyakinkan dirinya bahwa dia tidak akan kehilangan teman.
“Aku kerja apa? Cari kerja kan enggak gampang,”
“Kamu bisa nulis. Kamu suka nulis kan? Kamu bisa terbitin buku kamu, pasti banyak penerbit yang suka sama cerita yang kamu buat,”
“Buku aku belum rampung. Enggak pernah rampung,” aku tersenyum getir. Kami diam lagi. “Aku udah pesen tiket pesawat,”
“Kapan?” tanyanya pelan.
“Besok jam 10 malam,” jawabku.
“Kalau gitu aku juga akan pulang ke Indonesia,”
“Kamu mau jadi apa Mas?”
“Bikin perusahaan, bikin kartun, bikin perfilman Indonesia lebih keren,”
“Udah kamu di sini aja, kumpulin modal kalau emang bener mau buka perusahaan,” aku terkekeh mencoba mencairkan suasana.

Besok malamnya Jesse mengantarku, setelah sebelumnya membantuku membereskan semua barang-barang. Sepanjang perjalanan kami saling diam, berkutat dengan pikiran masing-masing. Pun ketika di bandara, kami seperti orang yang sedang marah. Sangat canggung.
“Makasih ya Mas,” aku mengucapkan perpisahan, berusaha untuk setenang mungkin.
“Kamu bisa stay,”
“Kalau jodoh kita pasti ketemu lagi,” aku berusaha meyakinkan.
“Balas kalau aku ngehubungin kamu,” katanya putus asa.
“Daah, Mas,” aku pergi memasuki pintu keberangkatan, meninggalkan Jesse di belakang.

Panasnya Jakarta menyambutku, disusul papa dan mama. Sebelum kami pulang ke rumah, kami makan siang di rumah makan favorit kami. Megan, adikku, dia sedang bekerja. Di Jogja.
“Kalau kamu enggak keras kepala, kamu masih Papa terima kok untuk kerja di sana, sekalian temenin Megan” kata Papa memulai pembicaraan.
“Enggak, Pa, aku mau kerja karena usaha sendiri bukan karena nepotisme.” Kataku tetap dengan pendirianku.
“Yaudah, semoga enggak lama kamu langsung dapet pekerjaan ya,” aku mengamini.
Ku buka ponselku, beberapa pesan dari Jesse, bertanya apakah aku sudah sampai dan sisanya adalah pesan-pesan yang memanggil namaku agar aku membalasnya. Akhirnya untuk menenangkannya aku membalas pesan darinya mengatakan bahwa aku sudah sampai, dan bersumpah bahwa itu adalah pesan terakhir yang akan aku kirim untuknya.
Dua minggu menjabat kembali sebagai pengangguran, akhirnya aku mendapat panggilan bekerja di salah satu penerbit besar di Indonesia. Setelah melewati berbagai tahap, akupun resmi menjadi pegawai di sana. Setiap pagi, aku pergi menggunakan trans Jakarta penuh semangat karena aku berhasil membuktikan pada papa bahwa aku bisa berdiri sendiri tanpa uluran tangan papa kecuali doa darinya.
Satu bulan berlalu, dua bulan berlalu, sampai tiga bulan Jesse masih mau menghubungiku walaupun tak sekalipun aku membalasnya. Di bulan keempat akhirnya dia menyatakan bahwa dia akan berhenti menghubungi. Dia mengundurkan diri.
***
“Naomi, aku udah memikirkan hal ini dengan sangat matang. Bahwa, kita enggak bisa Cuma sebagai teman. Aku pikir kamu cocok jadi pendamping hidup aku,” Dion, atasanku, mengatakan hal yang sebenarnya tidak ingin aku dengar.
“Maaf, Mas. Aku belum siap untuk nikah. Kalau Mas mau nunggu, kira-kira 3 tahun lagi aku mungkin baru siap untuk menikah. Aku masih mau mengejar karir dulu,” jawabku.
Aku pikir Dion akan mundur, tapi ternyata dia menungguku, walaupun tidak ada omongan tentang pernikahan lagi tapi aku merasa telah memberikan harapan palsu padanya. Tapi, aku tak berani mengatakan hal yang tidak ia ungkit lagi. Takutnya dia lupa atau bahkan sudah memiliki calon yang lebih baik, yang ada aku dikira terlalu pede merasa ditunggu olehnya. Sampai akhirnya tiga tahun berlalu, dia ternyata tidak lupa dan tidak juga berpindah hati.
“Naomi, bagaimana? Ini sudah tiga tahun. Apakah kamu masih belum siap?” tanyanya. “Aku akan menunggu kamu sampai kamu siap,”
Aku pulang ke rumah dengan perasaan tak tenang. Dion sudah bertanya lagi, tetapi aku tidak juga memberi kepastian. Apakah aku mau atau tidak? Seharusnya aku bersikap tegas. Aku memasuki trans Jakarta setelah menunggu cukup lama. Aku duduk memandang ke arah jendela, melihat jalanan Jakarta yang padat. Matahari masih betah bergantung di cakrawala. Jesse. Tiba-tiba dia terlintas di pikiranku. Apa kabar dia? Apakah aku harus meminta pendapatnya tentang Dion? Ah, tidak perlu. Aku mengalihkan pandangan pada suasana di dalam trans Jakarta. Cukup padat, namun tak sepadat biasanya.
***
“Mas Dion,” aku melihat Dion duduk menemaniku.
“Hey,” katanya setelah aku bangun dari tidur siangku. “Gimana kondisi kamu?”
Better,” kataku dengan senyum yang dipaksakan.
“Kalau kamu menikah denganku pasti kamu tidak berada di trans Jakarta itu. Kamu pulang bersamaku” katanya memandangku tajam.
“Sudahlah Mas, mungkin memang harus terjadi, mau bagaimana lagi,” kataku pasrah. “Justru kalau aku menikah sama kamu, kamu malah ikutan celaka.”
Dia terdiam. Tak menjawab.
“Aku dipecat enggak, Mas?” Dion tak menjawab. “Gara-gara kondisi aku yang kayak gini?”
“Enggak, perusahaan kita tidak melarang adanya penyandang disabilitas, selama mereka masih bisa bekerja dengan baik,” katanya menjelaskan.
Kami berbincang cukup lama. Raut wajah Dion memancarkan ekspresi penyesalan, kemarahan, rasa kasihan, bercampur rasa bersyukur yang ia sembunyikan. Akhirnya setelah beberapa lama ia pamit, lalu mama masuk untuk menemaniku dalam kamar rumah sakit, tempat yang paling ku benci.
“Mama masih mau rawat aku enggak? Aku bakal ngerepotin Mama selama aku hidup lho,” kataku lirih.
“Dari kecil kamu Mama rawat, Mama sudah terbiasa. Mama bakal ada di sisi kamu, kamu enggak usah berpikir macam-macam deh.” Mama tersenyum, mencoba menghentikan air matanya yang terus mengalir.
Satu bulan pertama adalah hari terberat yang pernah aku alami. Mendapati bahwa bagian dari mulai pinggul ke kakiku tidak dapat berfungsi, bahkan mengeluarkan keringat pun tak bisa apalagi merasakan sentuhan maupun rasa sakit. Bagian itu adalah bagian tubuhku yang mati, yang tidak berfungsi sama sekali. Artinya selama aku hidup akan terus berada di atas kursi roda dan meminta orang lain untuk membopongku jika aku harus berpindah posisi.
Sebenarnya dua bulan, tiga bulan, empat bulan dan seterusnya merupakan hari yang berat. Sisa umurku menjadi hari yang berat ditambah lagi satu pesan yang dikirim dari New York.
Naomi, aku ingin mengundangmu di acara pernikahanku nanti.
Aku menimbang-nimbang, apakah perlu ku balas? Atau biarkan saja? Atau berikan saja alamat rumahku biar kurir yang mengantarkannya. Apakah aku mau datang? Setelah beberapa jam berpikir, aku memutuskan untuk membalas pesan darinya. Iya, aku melanggar sumpahku untuk tidak membalas pesan darinya lagi.
Antarkan sendiri undangannya ke rumahku, Mas.
Aku mengirimkan alamat rumahku, dan malamnya dia mengetuk pintu rumahku. Aku keluar setelah mama memanggilku kalau ada Jesse di depan.
Aku menekan kursi rodaku sampai maju ke beranda rumah, bertemu Jesse.
Dia berdiri kaget ketika aku keluar. Ekspresinya sangat jelas, mulutnya menganga ingin mengeluarkan beribu pertanyaan yang berebut sampai tak ada satu katapun yang terucap.
“Silakan duduk, Mas,” aku mempersilakan dia duduk. Dia menuruti perkataanku. “Mana undangannya?” tanyaku tanpa ba-bi-bu disisipi senyum yang kubuat semanis mungkin.
Dia diam, masih terkejut. Dia memandang tepat ke mataku. Matanya berkaca-kaca sedangkan aku sudah tahu bagaimana cara mengontrol mataku agar tidak mengikuti lawan bicaraku.
“Mas Jesse,” aku melambai-lambai di depan wajahnya. “Hello!,” aku mencoba membawanya kembali ke sini.
“Apa yang terjadi?” tanyanya lirih.
“Kamu datang ke sini bukan untuk membahas tentang aku, tapi tentang kabar pernikahan kamu,” aku mengingatkan. “Undangannya mana?” aku mengulurkan tangan.
Dia mengeluarkan selembar undangan bernuansa merah dan emas dari dalam tasnya. Memberikan padaku dalam jarak yang sulit dijangkau. Aku memajukan tubuhku, aku mengambilnya dari tangannya yang ia pegang dengan erat. “Mas..” akhirnya dia menyerah dan undangan itu berada di tanganku.
“Ya ampun besok, Mas?” aku bertanya kaget. Dia tidak beraksi, aku membaca lagi dari awal sampai akhir, sampai membaca nama tempat undangan itu dicetak. Semua huruf yang ada tidak aku lewatkan. “Mas! Congratulation! I’m happy for you!” ada perasaan bahagia menelisik dalam hatiku. Melihat kabar bahagia dari orang yang aku cintai ini cukup membuatku ingat lagi ternyata aku bisa merasa gembira.
“Tapi aku nggak bahagia,” katanya pelan.
Kata-katanya membuat perasaan bahagia yang kurasakan seketika lenyap. “Lalu kenapa kamu nikahin dia?” tanyaku penasaran. Tak ada jawaban.  “Oh! Jangan-jangan dia hamil ya?”
“Enggak! Aku enggak pernah. Begituan. Sama siapapun.” Katanya langsung memutus pikiran negatif yang muncul seketika. Tapi aku tenang mendengarnya.
“Mas, kenapa kamu bisa gegabah gini? Kalau kamu enggak bahagia kenapa kamu sampai bisa ambil keputusan besar. Menikah itu bukan permainan loh,” aku menasihati dia.
“Aku maunya sama kamu!” katanya.
“Mas! Astaga! Ingat, ada hati perempuan yang bakal tersakiti kalau dia tahu kamu bilang gitu,” aku menyentaknya.
“Kamu pikir aku diciptakan tanpa hati?” tanyanya. “Kamu pikir kamu enggak bikin hati aku sekarat?”
“Mas, udah. Kamu ke sini tuh buat kasih kabar baik bukan malah bahas tentang kita. Urusan kita sudah selesai,” aku mencoba untuk tenang. “Nah, sekarang tell me about her,”

***

Komentar

Postingan Populer