Her.
Pagi ini aku berjalan cepat, setelah melirik angka
yang tertera pada jam hitam yang melingkar di pergelangan kiriku. 8.49am, angka
tersebut tertulis di sana. 11 menit menuju janji pertemuan dengan klien di
perusahaan tempatku magang. Sebuah perusahaan produksi film-film bergengsi yang
film terakhirnya mendapat rating hampir sempurna, 98% dari para pengamat film
internasional.
Pagi ini penghuni New York sudah bangun dan
beraktifitas, memadati jalan yang biasa aku lewati dari apartemenku menuju
kantor. Kecepatan maksimalku hanya sebatas berlari kecil yang tertahan dengan
harus berhati-hati agar tidak menyenggol orang-orang terlalu keras.
“Oh come on!”
aku menggerutu. Seorang gadis berponi membawa bungkusan makanan di tangan
kirinya, kepalanya menengadahkan terpesona melihat megahnya New York. Aku
mecoba menghindarinya ke arah kanan, seorang laki-laki bertubuh besar
menghadangku. Aku mecoba sisi kiri, klakson cab
memperingatkanku. Damn!
“Excuse me!” jalanku benar-benar dihalangi oleh gadis ini.
Inginku berteriak dengan memaki, perempuan idiot, kampungan,
djfu*8w39@48kjvmk93$hjd3. “Excuse me,
Miss. Can you move and not block this way?! Everyone is hectic, so you can’t
just standing there awing how precious New York!” aku mencoba memasukan
perasaan kesalku dengan memperagakan gaya-gaya perempuan yang terpesona akan
sesuatu, ketika aku selesai yang kudapati gadis itu hanya melongo. Sial, yang
kulakukan pasti sangat memalukan.
“Maaf. Um, I’m
sorry, Mister.” Dia menundukkan kepalanya, meminta maaf. Ya, dia orang
Indonesia, barusan saja dia menggunakan Bahasa negaranya, yang membuatku
semakin yakin bahwa dia baru berada di New York.
“Indonesian?”
tanyaku. Dia mengangguk. “Okay, Mbak
yang baik hati, bukan saya bermaksud untuk kasar tapi tolong Mbak minggir dari
jalanan ini boleh meneruskan perjalanan atau pindah ke samping, karena selama
dua menit yang lalu saya berusaha maju namun nyatanya saya masih berada di
posisi ini, yang artinya Mbak menghalangi jalan!” aku menekankan pada kata menghalangi
jalan supaya dia paham bahwa seharusnya dia minggir.
“Maaf, Mas,” katanya singkat lalu memberikanku
jalan, tanpa ba bi bu aku langsung berlari kecil ketika melihat celah seukuran
badanku untuk dapat aku lewati. Oh God,
it’s 8.54. I’m in a hurry!
Tepat pukul 9am aku sampai di depan pintu ruang
rapat. Suara decit sepatuku ditambah napasku yang terengah membuat orang di
ruangan menoleh ke arah pintu. Aku hanya tersenyum meminta maaf dan duduk di kursi
kosong.
“Kamu dari mana saja?” tanya Henry yang duduk di
sebelahku sambil berbisik dengan pandangan mata tepat mengarah ke depan.
“Tadi macet,” aku menjawab cepat sembari
mengeluarkan laptop dari tasku.
“Bukannya kamu jalan kaki?” tanyanya bingung.
Aku tertawa kecil, “Iya, macet gara-gara ada cewe
yang ngalangin jalan,”
“Apakah dia telanjang?” tanyanya dengan sikap tubuh
yang sama seperti awal.
“Nah,” aku
mendesah merasa jijik dengan pertanyaan Henry karena aku jadi membayangkan lagi
perempuan tadi, “Dia cewek yang baru pertama melihat New York.” Aku menjelaskan
dan pembicaraan selesai.
“Selamat istirahat, Guys. Sampai jumpa besok. Jangan salah kostum, karena di Finland sedang
musim hujan. Kira-kira suhunya bisa mencapai 10 derajat” kata Mr. Rose, atasanku,
sambil berjalan keluar bersama dengan pegawai lainnya, termasuk aku yang
membuntuti mereka di belakang.
Pukul 4pm, adalah waktu tercepat aku pulang ke
rumah. Aku berjalan santai, melewati sebuah toko roti yang sengaja menyusun
agar aroma roti yang dibuat dari toko itu menyeruak keluar dan mengundang
mereka yang lapar untuk mampir, dan aku salah satunya. Tadi aku tidak sempat
sarapan, bahkan untuk makan siang pun aku tak sempat akibat banyaknya deadline yang menumpuk di mejaku. Tugas
itu harus ku selesaikan karena mereka-mereka –pegawai asli di kantorku-
beralibi bahwa mereka juga mengejar target dan berdalih bahwa ‘sepertinya aku
tidak sesibuk mereka’. Baiklah tak apa, aku masih mampu untuk menahan lapar.
Seperti biasa, aku memesan chocolate chip brioche –dua buah untuk kali ini- ditambah fruit tart khas toko roti ini untuk
menambah kesegaran dan segelas kopi latte
yang asapnya mengepul menuju hidungku. Satu gigitan pertama di saat lapar
mendera adalah hal terindah dalam hidupku yang berat merantau ke negara orang
sebagai pemagang yang selalu disuruh ini dan itu. Akan kubuktikan pada
perusahaan bahwa si magang ini layak menjadi pegawai yang tidak boleh dilepas
begitu saja. Aku berjalan menuju kamar yang sudah kusewa selama satu bulan
terakhir. Jarak terdekat dari kantor adalah delapan blok yang harus kutempuh
dengan berjalan kaki, baik berjalan santai atau berlari karena kesiangan.
Aku pindah ke New York sebelumnya dari Washington,
kuliah di sana selama 2 tahun, menopang hidup dengan bekerja paruh waktu sebagai
pengantar pizza. Hingga akirnya aku melihat ada lowongan posisi magang di
perusahaan elite yang sampai saat ini masih menduduki peringkat nomor satu production house yang gemar melahirkan
film-film berating di atas 70%. Siapa yang tidak merasa bangga?
Aku sampai di pintu gedung apartemenku, aku melewati
lokerku karena tidak ada surat yang menunggu untuk dibaca. Aku menaiki tangga
menuju lantai tiga. Aku masih menikmati briocheku dan sesekali menyeruput latte di tangan kiriku.
“Excuse me,”
aku menoleh ke belakang. Ketika mengetahui siapa yang berbicara padaku, aku
membalikkan seluruh badanku untuk memfokuskan pada apa yang ku lihat.
“Mbak, lagi ngapain di sini?” aku terkejut karena
perempuan yang memanggilku adalah perempuan yang tadi pagi membuat rusuh jalan.
Sebenarnya hanya membuat rusuh jalanku.
“Eh Mas yang tadi pagi, aku kan tinggal di kamar
itu,” katanya sambil menunjuk kamar, yang tepat di depan kamarku, sehingga jika
aku keluar pintu apartemen dia yang menyambut penglihatanku.
“Oh,” kataku singkat.
“Ini Mas, aku bawain bakpia, dari Indonesia,” dia
menyodorkan satu kotak bakpia isi keju.
“Kamu baru dateng dari Indonesia? Kapan?” sejenak
aku melupakan brioche dan latteku.
“Kemarin jam 11 malam, Mas,” jawabnya sambil terus
tersenyum, sedangkan aku penuh tanda tanya.
“Kok kamu enggak jet
lag sih? Kuat banget,” kataku heran.
“Ya kan kemarin, Mas. Lagian I don’t wanna miss a thing in here,” katanya bersemangat.
“Emang Cuma sebentar di sini?” tanyaku.
“Enggak tahu sih, Cuma aku dapet kontrak selama 1
bulan kerja di publisher” Jawabnya.
“Ya elah, sebulan masih lama kali,” gara-gara ke-I don’t wanna miss a thing-nya lo bikin
macet jalan gue!
Kami sama-sama terdiam, akhirnya dengan tidak sabar
ia mengulurkan sekotak bakpia yang terbuka. Walaupun sudah dingin, tapi bakpia
adalah salah satu makanan kesukaanku. Aku menyambar sekotak bakpia itu,
“Makasih ya,” lalu terburu masuk ke kamarku. Memandang pergelangan tangan
kananku yang berisi fruit tart, aku
kembali keluar berharap ia masih di sana.
“Mbak,” aku memanggilnya yang sedang berjalan
kembali ke kamarnya. Dia berhenti, aku mulai menghampirinya. “Ini, aku tadi
beli di bawah. Ng, cobain. Kalau suka nanti aku tunjukkin di mana belinya,”
gila, gue ngomong apa? Basa-basi yang buruk.
“Oh, makasih ya, Mas,” aku mencoba menjawab
sama-sama dengan bahasa tubuhku. Aku kembali ke kamarku, merebahkan tubuhku di
sofa, tak tertarik lagi dengan latte
yang selalu mengalihkan duniaku. Punya tetangga baru, orang Indonesia pula.
Apakah aku harus bersikap ramah? Ah, tidak perlu. Laki-laki tidak perlu
bersikap ramah.
Aku bangkit dan menyalakan laptopku yang tergeletak
di meja kerjaku. Di sudut kamar. Ku buka aplikasi yang kugunakan untuk membuat
gambar, sebagai animator, aku sangat mengandalkan aplikasi ini. Aku menggambar,
menggambar dan terus menggambar, tak memiliki alur, tak memiliki cerita.
Menggambar satu tokoh, dua tokoh karakter, menggambar landscape, perkotaan, apapun yang terlintas dalam pikiranku,
termasuk pintu kamarnya yang berada di depan kamarku.
Empat hari meninggalkan New York, meninggalkan gua
persembunyianku –kamarku- rasanya aku mulai merindukan New York dan tak bisa
jauh darinya. Aku mengganggam gantungan bergambar wanita dengan pakaian khas
negara yang kukunjungi. Rencananya akan aku beri pada Mbak di depan kamarku,
yang tidak aku tahu namanya.
Aku mengetuk pintu kamarnya pelan. Ini pukul 7pm,
aku rasa dia sudah pulang dari kantor, kecuali dia mampir di tempat makan untuk
makan malam atau di tempat lainnya untuk bersenang-senang. Kuketuk lagi, tak
lama ada seseorang yang menjawab dari dalam. “Ya,” mengkonfirmasi bahwa ada
orang di rumah, tunggu.
Pintu kamarnya terbuka. Jantungku berdegup cepat.
Apa yang harus aku lakukan? Langsung memberikan cenderamata yang kubeli
untuknya atau menanyakan namanya atau basa-basi menanyakan apa yang sedang ia
lakukan atau apa?
Aku belum melihat ke wajahnya, sedari tadi wajahku
menunduk, dan setelah pintu terbuka yang kulihat adalah kaki yang terbalut
celana olah raga bewarna hitam dengan sepasang sandal beruang yang membungkus telapak
kakinya. Perlahan aku naikan wajahku, dan untuk mengulur waktu aku hanya
tersenyum.
Dia balas tersenyum.
Aku masih tersenyum.
Dia juga masih tersenyum.
Kami sama-sama tersenyum, tak ada sepatah kata yang
keluar. Canggung.
“Aku Naomi,” katanya mengulurkan tangan. Aku
menyambut uluran tangannya, dan menjabatnya normal. “Jesse,”
“Ada apa ya, Mas?” tanyanya.
“Kamu kok enggak keluar?” tanyaku tidak jelas.
“Keluar kemana?” tanya bingung. Pasti.
“Makan gitu, atau biasanya di New York jam segini
kamar pada kosong, semua orang keluar,” kataku melantur walaupun yang kukatakan
adalah fakta.
“Oh,” dia terkekeh mencari jawaban. “Aku enggak suka
rame-rame kayak gitu, Mas. Buang-buang waktu,”
“Emang kamu lagi sibuk?” pertanyaanku tidak
menggambarkan seseorang yang ingin memberikan oleh-oleh setelah bepergian jauh.
“Enggak sih, Cuma buang-buang waktu untuk hal yang
tidak aku suka” dia menjelaskan. Aku menggangguk meng’oh’. “Oh, iya beberapa
hari ke belakang, Masnya enggak ada di sini ya?” pertanyaannya membuatku terkejut.
Apakah dia memperhatikanku?
“Oh iya, kemarin aku abis dari luar negeri. Biasa
dinas luar, dan ini,” aku mengeluarkan gantungan yang sedari tadi kupegang
dalam saku celanaku. “Oleh-oleh dari sana,” kataku menjelaskan.
“Waah, lucu banget. Dari Finland?” tanyanya. Wah,
dia tahu banyak ternyata. Aku mengangguk. “Makasih ya, Mas,” dari nada suara
dan ekspresi wajahnya kutahu bahwa dia sangat senang. Dia terus memandangi
gantungan yang kuberikan, dan aku memandang wajahnya. “Masuk dulu?” tanyanya.
Tanpa menjawab aku mengikutinya.
“Maaf ya berantakan, aku lagi nulis,” di atas
mejanya terletak laptop yang menampilkan layar sederet tulisan yang belum
selesai. Lagu yang mengalun dari laptopnya memenuhi ruangan ‘Big Girl Don’t Cry’
milik Fergie. Setengah gelas minuman green
tea masih menyisakan kepulan asap dari cangkir bewarna putih. Dia minum
selagi panas? Setengah gelas aja masih berasap. Keren nih cewe, pikirku. Satu
buku tebal tergeletak di samping ponselnya. Selimut tipis yang diletakan
sembarangan di sofa mulai ia ambil dan lipat sekenanya. “Silakan duduk,”
“Kamu suka nulis ya?” tanyaku.
“Yas, imajinasi aku kadang suka gedor-gedor kepala
aku kalau aku enggak nulis,” dia menunjuk kepalanya, tertawa mencoba melucu,
aku turut tertawa kecil.
“Aku suka gambar, kebetulan aku jadi animator
magang,” aku menjelaskan siapa aku. Kami mulai terbuka. Dia mebuatkanku
secangkir green tea, karena hanya itu
yang dia punya selain susu. Ternyata, cangkir dia yang telalu besar sebenarnya green tea yang mengepulkan asap belum ia
sentuh. “Aku pikir kamu debus,” aku mengatakan apa yang sempat aku pikirkan.
Kami sama-sama tertawa.
Kami menghabiskan malam wajar hanya untuk mengobrol,
mencoba saling mengenal, sebagai sesama orang Indonesia. Atau mungking saling
mengenal karena kami saling tertarik. Aku pamit pulang ketika jam di dindingnya
menunjukkan pukul 10.06pm.
“Besok berangkat bareng aja. Kantor kita searah,
sekalian aku kasih tau toko roti yang aku beli waktu itu sambil sarapan.” Aku
mengajaknya bertemu lagi secara tidak langsung dan dia menyambut hangat dengan
senyum dan anggukkan kecil. Pintu kamarnya tertutup ketika aku berhasil membuka
kunci.
Kalau kita
jodoh, kita pasti ketemu lagi.
Aku terbangun dengan dada naik turun, napasku
tersengal-sengal, keringat memenuhi keningku. Ku lihat, aku berada di dalam
kamarku, bukan berada di bandara untuk melepas Naomi kembali ke Indonesia. Aku
menyugar rambutku yang berminyak.
Sudah tiga bulan setelah Naomi meninggalkan New
York, selama itupun aku selalu dihantui Naomi yang terus menerus mengatakan ‘kalau
kita jodoh, kita pasti ketemu lagi’. Aku sangat membenci kalimat itu.
Aku tidak pernah mendapat kabar dari Naomi, pesan
yang kukirim pun tidak pernah sekalipun ia balas. Aku frustasi. Kenapa sih kamu memutuskan komunikasi kita?
Dan pertanyaan itu tak pernah terjawab.
6 bulan. 1 tahun. 2 tahun. 3 tahun. Tidak ada pesan,
kabar, informasi, balasan, atau apapun tentang Naomi. Aku tak tahu alamatnya
dimana, dia tidak punya media sosial apapun. Dia seakan hilang ditelan bumi.
“Ada anak baru,” kata Henry memberitahu. “Salah
satunya cewek dari Indonesia loh,” katanya menarik perhatianku.
“Siapa?” tanyaku spontan. Cewek Indonesia selalu
berhasil membuat telingaku berdiri.
“Namanya Aimee,” sudah dipastikan itu bukan Naomi.
Aku kembali bekerja, karena sekarang aku sudah
menjadi pegawai tetap di perusahaan ini. Mereka terpesona dengan hasil kerjaku
pada projek film yang kukerjakan sewaktu aku masih berstatus magang. Mereka
tidak mau melepaskan potensi yang ada padaku rupanya.
Rupanya Aimee berhasil menjadi bagian dari tim kami.
Upayanya tidak main-main, bisa kubilang dia cerdas dan hebat.
“Selamat ya, diperpanjang sampai… kamu buat
kesalahan,” aku mencoba membuka pembicaraan dengannya yang sesama dari
Indonesia.
“Aku tidak akan membuat kesalahan Mas Jesse,”
katanya sambil mengerling kepadaku. Okay,
permintaan permainan dia terima.
“Jesse,” kataku menegaskan. Aku tak mau dipanggil
mas, yang membuatku teringat akan Naomi yang walaupun berulang kali aku meminta
untuk tidak perlu menggunakan mas tapi dia tetap tidak peduli dan memanggilku
mas. Selama tidak ada trauma di balik mas, dia akan memanggilku mas sampai dia
lupa, katanya. Antara memiliki pendirian dan keras kepala.
“Jesse,” katanya. “Mau minum kopi?” pertanyaan yang
jawabannya adalah aku mau pergi dengannya atau tidak.
“Ayo,” aku menyambut tawarannya. Kami berjalan ke
arah lift. Kami mengobrol ke sana ke mari menggunakan Bahasa Indonesia
tentunya. Kami menghabiskan waktu istirahat kami di kedai kopi di sebelah
gedung kantor kami. Ditemani kebab untukku dan hotdog untuknya.
Berbulan-bulan akhirnya kami menjadi pasangan yang
tidak dapat dipisahkan. Berangkat dan pulang bersama. Istirahat bersama. Mereka
menyebut kami love birds. Padahal
kami tak memiliki hubungan karena aku berpikir aku memiliki teman satu tanah
air dan bisa dengan leluasa membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan
politik, tempat wisata yang semakin menjamur di Indonesia, banyaknya
intelektual namun bodoh dalam soal moral, juga kondisi Jakarta –rumahku dan
rumahnya-, artis itu yang sekarang menikah dengan anak presiden, artis ini dan
itu yang jadi anggota legislatif, siapa yang akan menjadi presiden tahun depan,
hanya sekedar itu. Hingga suatu hari Aimee melemparkan pertanyaan yang tidak
kukira.
“Jesse, kitakan selama ini deket. Okay lah kita enggak pacaran, mungkin
label pacaran itu ga penting selain hubungan kita yang tanpa status ini. Aku ga
nuntut buat mem-publish kalau kita
pacaran, toh orang-orang udah mulai manggil kita love birds, aku ga butuh status buat public aku butuh kepastian buat diri aku sendiri.”
Kopi yang sedang kunikmati tiba-tiba menjadi hambar
dan aku tersedak dibuatnya. “Kamu mengharapkan apa dari ini?” tanyaku akhirnya.
Aku akui, aku tidak bisa mengganti posisi Naomi di
hatiku walaupun bertahun-tahun aku kehilangannya. Samar dari dalam kedai
beralun lagu lama You’re Still the One-nya Shania Twain. Sejenak aku
memfokuskan telingaku dan mendalami lirik lagunya.
“Aku suka sama kamu, aku nyaman selama ini sama
kamu, aku merasa cocok, aku merasa nyambung sama kamu. Aku lihat kamu juga
merasa hal yang sama,” kali ini aku mencoba untuk fokus padanya. “Aku udah 29.
Well, aku masih Indonesia. Aku masih memikirkan usia. Dan aku pikir kamu udah
30 sekarang, what are you waiting for?”
tanyanya. Naomi, hatiku menjawab.
Berbulan-bulan dengan Aimee tidak bisa menggantikan
satu bulan dengan Naomi. Hatiku sudah terpaut padanya. Pada Naomi.
Melihat mataku yang nyalang, dia menyentuh tanganku
lembut. “Hey,” aku kembali. “Kalau aku salah mengartikan semuanya selama ini,
kamu bisa bilang sekarang. Jangan gantung aku, please,” pintanya.
Aku terdiam, matanya masih memandangku mendesakku
untuk memberikan jawaban. Aku berdeham, dan akhirnya…
“Minggu depan, aku akan datang menemui orang tuamu.
Kita pulang ke Indonesia,” itulah keputusanku pada akhirnya. Aku pikir Aimee
adalah jawaban dari setiap pertanyaanku yang terjawab, bahwa lepaskan Naomi dan
mulai menerima Aimee.
Entah keputusan yang aku ambil benar atau tidak,
yang pasti hatiku tidak mau menerima permintaan perdamaian dari otakku. Yang
pasti hatiku masih sering berteriak betapa pengecutnya aku tak berani
mengatakan bahwa aku mencintai orang lain dan dengan gegabah mengatakan MINGGU
DEPAN aku akan bertemu dengan orang tuanya.
Persiapan pernikahan, Aimee dan keluarganya yang
urus, karena memang itu permintaan dari mereka. Aku hanya diminta untuk fokus
saja bekerja dan datang ke Indonesia hanya untuk fitting baju pengantin, mahar, dan urusan ke KUA. Desain undangan,
tema dekorasi, lokasi gedung, menu catering,
souvenir, aku tidak tahu apa-apa.
Mereka melarangku untuk ikut patungan biaya pernikahan. Aku pikir ‘apa-apaan’
ini adalah pernikahan aku dengan Aimee tapi aku malah tidak dibiarkan ikut
ambil peran. Kesal oleh tingkah mereka, aku sempat berpikir untuk membatalkan pernikahan
yang sejak awal memang tidak kuinginkan. Tapi, setiap Aimee menelponku untuk
menceritakan betapa bahagianya ia sibuk dengan segala urusan untuk acara pesta
pernikahan dan suaranya terdengar sangat bahagia pikiran jahatku itu selalu
urung aku nyatakan.
Hari pernikahanku dengan Aimee semakin dekat. Aku
tidak pernah tenang, setiap malam aku tidak pernah bisa tidur, walaupun aku
terlelap tak lama aku selalu bangun. Hidupku mulai tak tenang.
Aimee, aku
minta undangan 1 aja buat temanku, ada yang aku lupa.
Aku mengirim pesan padanya. Aku selama seminggu
terakhir tidak bisa bertemu dengan dia, katanya dia dipingit.
Ke sini aja
Jesse, nanti orang rumah kasih ke kamu. Kalau Cuma 1 sih masih ada.
Aku langsung berangkat ke kediaman Aimee dan
keluarganya. Aku mengetuk pintu dari rumah yang besar itu. Tak lama, Bi Ijah
keluar dan memberikan selembar undangan, ‘terima kasih’ kataku dan langsung
pergi. Aku kembali mengunci diri di kamar, menimbang-nimbang apakah aku harus
mengundang Naomi.
“Jesse, makan dulu,” terdengar suara ibu memanggil
dari balik pintu kamar.
“Nanti aja, Bu, aku belum lapar,” kataku mengelak.
“Ibu boleh masuk?” tanyanya lagi.
Belum sempat ku jawab, ibu sudah masuk ke kamarku.
Aku yang sedang berpikir tentang Naomi sambil memandang kartu undangan itu
membuat ibu berpikir mengenai perasaanku.
“Kamu kenapa sih? Pulang ke Indonesia kasih kabar
kalau kamu mau nikah. Ibunya seneng, kok anaknya enggak sih?” tanya lembut.
“Ada apa?”
Aku bangun dari tidurku dan duduk di samping ibu.
Aku tiba-tiba ingin dipeluk, ingin ditenangkan, tapi ibu tak mengerti
keinginanku, mungkin takut aku menolak jika ibu yang memelukku, jadi aku yang
memeluk ibu. “Enggak apa-apa, Bu,” kataku berbohong.
Ibu tak berkata apapun lagi. Kami saling terdiam.
Ibu menepuk-nepuk lenganku lembut, berusaha menenangkanku. Aku malah semakin
menenggelamkan wajahku dan memeluk tubuh ibu semakin erat.
“Nak, ayo makan dulu. Ibu temenin, Ibu masak
gado-gado kesukaan kamu. Abis makan kamu cerita,” Ibu seakan menangkap sinyal
yang diberikan anaknya, tapi sepertinya aku tetap akan menutup mulut.
Aku makan dengan lahap, padahal aku tidak lapar. Ibu
tersenyum melihatku. Aku merasa canggung dibuatnya.
“Anak Ibu akhirnya pulang,” katanya di tengah aku
menikmati gado-gado buatan ibu. “Kangeeen banget sama kamu Jesse. Di rumah Cuma
berdua aja sama ayah tuh rasanya ada yang kurang. Eh, sekarang udah mau pergi
lagi. Bener-bener pergi, membangun keluarga baru,” aku tersedak. Untuk seketika
aku langsung teringat lagi bahwa aku besok akan menikah dengan Aimee. Aku tak
nafsu makan lagi, untung tinggal sesuap sehingga masih bisa kupaksa telan
daripada menyakiti hati ibu karena masakannya tidak aku habiskan.
Aku menaruh piring kotor di wastafel dan mencucinya.
Aku membereskan meja makan namun ibu tidak menghentikanku, ia hanya tersenyum,
tanpa satupun kata yang keluar dari mulutnya yang semakin keriput.
“Gado-gadonya tetap enak sama seperti waktu sebelum
aku pergi ke Amerika. Makasih ya, Bu.” Aku mencium pipi ibu. “Aku masuk kamar
dulu,” aku berlari kecil ke kamar.
Aku memandang kontak Naomi. Apakah sebaiknya aku
memberi tahunya saja, kalau dia tetap tidak merespon ya sudahlah, mungkin kami
tidak berjodoh karena kami tidak bertemu lagi.
Naomi, aku
ingin mengundangmu di acara pernikahanku nanti.
Aku tekan tombol kirim.
Pukul 5 sore ia baru membalas pesanku. Ya pesanku
kali ini terbalas.
Antarkan
sendiri undangannya ke rumahku, Mas.
Setelah makan malam, aku berangkat menuju alamat
yang dikirim oleh Naomi. Rumah dengan beranda yang cukup besar untuk menerima
tamu dengan nyaman. Aku mengetuk pintu kayu yang warna aslinya tetap
dipertahankan, hanya dipoles oleh cairan pelindung dari rayap dan cuaca yang
memberikan efek mengkilap. Belum ada jawaban, aku ketuk sekali lagi.
“Cari siapa ya?” aku tebak wanita paruh baya ini
adalah ibunya Naomi.
“Saya Jesse, Tante. Mau ketemu sama Naomi,” aku
menjelaskan.
“Oh, sebentar ya,” katanya tersenyum. “Silakan duduk
dulu, biar Tante panggilkan Naomi,” aku duduk menunggu. Cukup lama sampai
akhirnya Naomi keluar. Dengan kursi roda!
Aku berdiri menyambut sang tuan rumah ketika
tubuhnya sempurna berada di depanku. Kakiku kini lemas, jantungku berdegup
dengan cepat. Bukan karena rindu, melainkan karena pertanyaan besar yang
memukul kepalaku memaksaku untuk bertanya.
Aku duduk dengan cepat setelah ia mempersilakanku
untuk duduk. Lagipula aku butuh pegangan. Aku memandang tepat ke dalam mata
Naomi, mencoba mencari jawaban tapi dia sangat pintar menyembunyikan semuanya.
Matanya menjelaskan bahwa ia tidak apa-apa. Matanya tidak membiarkanku
sedikitpun mendapatkan informasi, walaupun hanya sekedar bagaimana perasaannya.
Berapa banyak hal yang aku lewatkan. Berapa banyak
hal yang tidak aku ketahui, padahal dulu kami adalah orang yang saling menjaga,
orang yang saling peduli. Seandainya, dia membenciku karena aku mencintainya,
setidaknya dia harus ingat bahwa aku adalah teman yang akan menjaganya, teman
yang akan selalu ada untuknya apapun masalahnya, setidaknya aku adalah teman
yang harusnya ia beri tahu selanjutnya.
“Mas Jesse,” ia mencoba membuatku sadar dari
pikiran-pikiran kacau. “Hello!”
“Apa yang terjadi?” akhirnya pertanyaan yang
terjebak dalam kepalaku berhasil menemukan jalan keluar.
“Kamu datang ke sini bukan untuk membahas tentang
aku, tapi tentang kabar pernikahan kamu,” jawabnya santai. Bagaimana ia bisa
sesantai itu sedangkan aku masih shock
dengan berbagai hal yang perlu penjelasan ini. “Undangannya mana?” ia
mengulurkan tangan meminta undangan yang tadinya ingin aku berikan namun
sepertinya tidak akan aku berikan.
Aku dengan berat memberikan undangan pernikahanku,
bukan, tapi undangan pernikahan Aimee, padanya. Tidak! Sepertinya tidak akan
aku berikan. Tapi dia memaksa, aku tidak pernah menang melawan Naomi. Dan kini
undangan itu berada di tangan Naomi.
“Nah, sekarang tell
me about her,” ia menatapku dengan antusias. Kenapa dia bisa menampilkan
wajah ceria seperti itu, sih?
“Kenapa kamu enggak pernah balas pesanku?” aku
bertanya tak peduli dengan permintaannya.
“Kalau aku balas setiap pesan kamu, pertama, kita
bakal berhubungan lalu kamu pergi ketika kamu tahu aku mengalami kecelakaan.
Atau kedua, kita bakal berhubungan tapi ketika kamu tahu aku mengalami
kecelakaan kamu bakal mengasihani aku, dan aku akan sangat merasa menjadi
manusia paling menyedihkan di dunia ini,” dia menjelaskan alasannya memutuskan
hubungan kami selama ini.
“Kamu adalah manusia paling egois dan paling sok
tahu yang aku kenal,” dia terkejut mendengar aku mengatakan hal yang kasar
padanya. “Dan paling keras kepala,”
“Statement
mana yang bikin kamu bilang aku orang paling sok tahu?” tantangnya.
“Asumsi kamu yang membuat kamu memilih untuk tidak
berhubungan sama aku lagi,” wajahnya bertanya-tanya. “Aku jelasin ya, alasan
pertama kamu itu salah karena aku tidak akan pergi, kamu mau normal upnormal
atau apapun itu aku akan tetap ada di samping kamu,” dia geleng-geleng kepala
seakan tidak percaya padaku. Aku tidak peduli dia percaya padaku atau tidak
memang itu kenyataannya. “Kedua, karena aku enggak akan pergi maka aku akan
mencintai kamu sepenuh jiwa aku, aku enggak akan menatap kamu dengan pandangan
penuh rasa iba, enggak perlu! Aku akan membantu kamu, merawat kamu, karena itu
tugas aku maka aku enggak perlu merasa kasihan sama kamu” aku menjelaskan
panjang lebar berharap masuk ke otaknya yang keras dan dicerna dengan baik.
“Jadi aku salah?” tanyanya.
“Iya, kamu salah. Salah mengira. Bisa enggak sih
kamu cerita, ya jangan berpikir aku suka kamu tapi kamu enggak suka sama aku lalu
kamu jadi menghindar, kita kan temen. Ngobrol, semua hal bisa diobrolin
bareng-bareng kan? Please, jangan
jalan sendirian terus,”
“Yaudah lah nggak apa-apa, Mas, udah terlanjur juga
kamu mau nikah. Enggak mungkin dong kamu batalin padahal besok kamu mau nikah,”
“Selalu ya bilang enggak apa-apa, santai banget sih
jadi orang,”
“Udah lah, aku balas pesan kamu tuh pengen ikut
berbahagia, bukan malah debat dan mojokin aku,” dia terlihat kesal.
Hening.
“Maafin aku ya,” kataku setelah sekian detik kami
saling terdiam. Dia menundukkan kepala, jarinya memainkan pegangan tangan di
kursi berrodanya. “Maaf, aku yang egois selalu pengen denger kabar dari kamu.
Aku yang sebenernya egois enggak bisa terima keputusan dari kamu yang pasti
udah dipertimbangkan dengan sangat matang, harusnya aku tahu kalau kamu buat
keputusan tuh enggak pernah asal-asalan, aku minta maaf,”
“Mas, mending kamu pulang,
istirahat, pasti besok siap-siap dari pagi kan? Lagian udah enggak ada yang
perlu dibahas, undangannya juga udah sampai, misi selesai.” ia tidak
menggubris.
“Okay,” kataku setuju. “Aku pamit ya,” ia mengangguk, aku berjalan
menuju motor yang kuparkir di halaman rumahnya. Ia masih di sana, menungguku
pulang. Diam. Tidak bereaksi, hanya memperhatikan gerak-gerikku. Dia mengangguk
ketika aku benar-benar pamit untuk pergi.
“Kamu habis dari mana?” ibu dan
ayah menyambutku di ruang tamu ketika aku membuka pintu yang tak terkunci.
Aku terkejut karena pikiranku
masih tertinggal di rumah Naomi. “Eh Ibu, kaget,”
“Habis dari mana, Nak? Bukannya
tidur, istirahat. Habis dari mana? Kok mukanya capek?” pertanyaan ibu yang
belum aku jawab diulangi lagi sampai ibu merasa sudah mendapat jawaban.
“Habis dari rumah temen, Bu,
ngasih undangan,” aku menjawab.
“Duduk, ada yang pengen Ibu tanya
sama kamu,” kayaknya serius nih, padahal ibu tahu mukaku terlihat capek tapi
datang ke rumah bakal dibuat lebih capek. “Kamu kenapa enggak kelihatan seneng
padahal mau nikah besok? Nervous?
Beda! Ibu bisa lihat mana yang tidak senang dengan yang nervous. Jadi kenapa?”alis ibu sebelah kiri naik yang artinya ia
benar-benar ingin tahu jawabannya.
“Aku enggak cinta sama Aimee,” aku
mencoba jujur pada ibu dan ayah yang duduk memperhatikan saja.
“Kok kamu bisa-bisanya nikahin
anak orang sedangkan kamu enggak cinta sama dia? Banyak orang bilang cinta aja
enggak cukup apalagi ini sama sekali enggak cinta. Jangan-jangan..”
“Bu,” akhirnya ayah bersuara.
“Ibu harus tahu kebenarannya, Yah,
Jesse kan masih anak kita sedewasa apapun dia.” Kali ini ibu sedang menyerang
ayah dengan alasan-alasan wanita yang tidak boleh diganggu gugat. “Aimee hamil
ya?” tatapan ibu setajam pisau ketika menanyakan pertanyaan maut itu.
“Astaga enggak, Bu.” Kenapa semua
orang memiliki pikiran semacam itu.
“Lalu. Kenapa. Kamu. Berani. Ambil
resiko. Untuk. Berjanji. Menikahi Aimee. Di depan keluarganya?” ibu menekankan
pada setiap kata-katanya.
“Ini rumit, Bu,” aku menjawab
singkat.
“Jesse,” suara ibu mulai melembut,
“dari kamu kecil Ibu enggak pernah loh ngajarin kamu buat gegabah dalam
mengambil keputusan. Mungkin Ibu enggak tahu apa yang terjadi sebenarnya di
antara hubungan kamu dengan Aimee, tapi kamu anak Ibu, sampai kapanpun kamu
tetap menjadi anak Ibu. Ibu bakal sedih kalau kehidupan kamu enggak bahagia.
Apalagi pernikahan, pernikahan itu bukan suatu hal yang main-main, pernikahan
itu bukan sekedar membuat janji dengan keluarga si perempuan tapi membuat janji
dengan Tuhan,” ibu menjelaskan, aku hanya mendengarkan.
“Ibu, enggak akan tanya lagi
alasan kenapa kamu menikahi Aimee walaupun kamu enggak cinta sama dia. Ibu Cuma
mau kamu berpikir dengan sangaaat matang langkah apa yang akan kamu ambil.
Lanjut atau mundur? Semua pilihan ada konsekuensinya dan Ibu mau kamu
memikirkannya dengan sangat matang.” Ibu berdiri diikuti dengan ayah. “Besok
Ibu dan Ayah tetap bangun pagi sekali, dan jawabannya adalah ketika kamu siap dengan
pakaian yang sudah Ibu siapkan di kamar kamu. Sekarang kamu istirahat,” Ibu
mencium kepalaku.
“Selamat istirahat,” kata ayah
canggung. Mereka berdua jalan memasuki kamar, tanpa bicara, ayah merangkul
pundak ibu menuntunnya masuk menuju kamar.
Aku pun berjalan dengan berat
menuju kamarku. Aku duduk di kasurku yang bertahun-tahun aku tinggalkan,
memandangi jas putih yang tergantung tepat di depanku saat ini, sangat khas
pengantin.
***
Komentar
Posting Komentar