Wanita

Hari ini adalah hari pertama aku masuk kerja di salah satu stasiun televisi swasta, dua hari berikutnya aku harus mengikuti Military Base Training, yang wajib diikuti oleh karyawan di sini. Sebagai karyawan baru tentunya aku belum memiliki seragam, hanya menggunakan kaus berwarna hitam dan celana khaki berwarna coklat muda. Setelah melewati beberapa tes dan mengalahkan ratusan pelamar lainnya akhirnya aku berhasil. Aku muda, memiliki karir, tampan.
“Dek, bekalnya Mama udah masukin ke tas ya,” dan masih anak mami.
“Makasih ya Ma,” aku buru-buru turun, menyambar roti yang mamaku siapkan, meminum segelas susu dan mencium pipi mama dan mencium tangan keduanya, pamit untuk segera berangkat.

“Pak, saya izin mau minum,” aku mencoba memberanikan diri untuk minum sebentar, aku sangat haus.
“Kamu mau kemana?” Tanya Pak John, selaku koordinator regu A, regu tempat aku berada.
“Mau mengambil air minum Pak, di tas,” aku menjawab agak bingung.
“Suruh siapa kamu minum air dari tas kamu?” suara Pak John keras membentak, aku hanya diam tidak tahu. “Silakan minum dari ember!” aku tercengang, aku menelan ludah. “Ada yang ingin minum? Saya beri waktu. Silakan berbagi, satu ember harus kebagian semua, jangan sampai teman-teman kalian ada yang kehausan,” perintahnya.
“PEGAWAI LUX TV TIDAK ADA YANG MANJA!!!” teriak komandan training. “PEGAWAI LUX TV TIDAK ADA YANG MANJA!!!” suaranya semakin kencang.
“Aku belum kebagian,” salah seorang anggota regu A merengek belum kebagian, namun air dalam ember yang disediakan sudah habis menyisakan tiga orang yang kehausan.
“Berapa orang yang belum minum?” suara Pak John membuat bulu kudukku berdiri.
“Saya belum kebagian Pak,” suara Gita takut-takut.
“Siapa lagi?” suaranya tinggi, aku rasa akan ada kejadian yang tidak diinginkan. Dua orang lainnya mengangkat tangan. “Yang sudah minum silakan ambil posisi squat jump sebanyak rekan kalian yang tidak kebagian kali 10. MULAI!!!!” Kena deh hukuman 30x squat jump.
Kegiatan ini terus berlanjut selama lima hari, namun yang aku rasakan dari pelatihan ini, anggota regu semakin dekat, semakin merasakan untuk berbagi bersama, untuk lelah bersama, bekerja bersama, dihukum bersama, dan selesai bersama. Tidak ada lagi anggota yang belum minum, walaupun kami sama-sama masih merasa kehausan tapi setidaknya semua anggota sudah minum semua.
Di hari terakhir CEO LUX TV datang untuk ikut bersama kami melakukan outbound, di hari terakhir ini aku merasa berada di tim yang solid walaupun dalam jumlah anggota yang banyak malah aku merasa seperti keluarga besar yang dekat.
“Selamat datang di LUX TV. Selamat kepada peserta yang lolos menjadi karyawan, namun ternyata setelah lolos masih ada rintangan yang harus kalian lewati selain interview, tes TOEFL, psikotest, dan lainnya. Apa yang kalian rasakan selama 5 hari ini?” pertanyaan ini dilemparkan oleh Mas Yoyo selaku CEO LUX TV.
Salah seorang mengangkat tangannya, Gita, salah satu anggota di regu yang sama denganku, yang dulu pada hari pertama dia tidak kebagian minum. “Ya silakan Gita,” Mas Yoyo membaca nama yang tertulis di name tagnya.
“Hari pertama saya tidak kebagian minum, saya tahu karena semua teman-teman saya juga kehausan tapi di hari berikutnya saya ataupun teman yang lain tidak ada yang tidak kebagian minum. Bapak-bapak TNI mendesain pelatihan ini supaya kami menjadi tim yang sama rata sama rasa, dengan filosofi itu akhirnya hari kedua saya sudah bisa merasakannya. Buktinya regu A selalu unggul di beberapa perlombaan. I love you guys,” Gita kembali duduk di tempat asalnya, jauh terhalang beberapa rekan kami karena pada sesi terakhir ini kami tidak duduk satu regu tapi kami dipisah agar bisa mengenal yang lain juga.
“Terimakasih Gita, senang sekali saya mendapat kabar bahwa kalian sudah menjadi tim. Ada lagi yang ini memberikan testimoni?” beberapa orang mengangkat tangan dan Mas Yoyo mempersilakan mereka untuk berbicara, ada yang menangis terharu, ada yang senang karena ini hari terakhir, ada yang menangis karena akan berpisah dengan teman seregu, dan berbagai alasan lainnya. Yang berbicara di depan memberikan testimoni ada Okan, Selma, Larissa, Gilbert, Bianca, Vannya, Alma, dan Clarisa.
Setelah acara ditutup aku bergeges pulang, ingin mandi dan bersantai. Aku akan membayar semua kegiatan 5 hari ini dengan bersantai sebelum aku masuk kerja. Aku berjalan menuju parkiran, memakai helmku sembari melihat ke arah teman-teman lain yang sedang bersiap untuk pulang. Aku menyalakan motorku dan pergi sambil menyapa teman-teman yang masih ada di sekitaran tempat parkir markas TNI AD.
Baru dua meter meninggalkan tempat parkir aku melihat sesosok perempuan, ya dia teman satu regu denganku. “Lar, belum pulang?” aku berhenti tepat di depannya, bertanya padanya karena aku mengenalnya. Larissa salah satu dari tiga orang yang dulu tidak kebagian minum.
“Hehe, lagi nunggu jemputan,” dia menjawab sambil sesekali melihat ke layar ponselnya.
“Masih lama nggak? Mau gue temenin sampe lo dijemput?” dia tidak menjawab karena terlalu sibuk dengan ponselnya. “Lar, kenapa?” dia memandang jauh dengan wajah yang kesal.
“Papa aku enggak bisa jemput, aku nunggu taksi online aja,” dia memberikan senyuman walau aku tahu masih ada sisa kekesalan di wajahnya.
“Harus banget naik mobil?” tanyaku.
“Maksudnya?” dia bertanya bingung.
“Kalau enggak harus, gue bisa anterin lo pulang, tapi ya naik motor,” aku memberikan tawaran.
“Emang lo bawa helm?” tanyanya ragu.
“Enggak sih,” tiba-tiba Kenzo melintas di depanku, aku memiliki sebuah ide. “Bentar,” aku memutar kunci motorku dan mengejar Kenzo.
“Wooooo, ada apa nih ngalangin jalan gue?”aku hanya nyegir.
“Lo kira-kira bakal pergi berdua enggak?” aku bertanya.
“Emang kenapa?”
“Kalau engga, gue boleh pinjem helm lo enggak? Enggak dipake semoga,” aku berdoa di depannya.
“Oh ini? Enggak sih, tadi gue abis nganter dia ke stasiun,” dia memegang helm yang dimaksud.
“Aduh dipake ya?” ada nada kekecewaan dalam suaraku.
“Enggak kok, dia ke luar kota beberapa hari jadi nih kalau lo mau pake,” dia memberikan helm yang diselipkan di joknya. Aku berterima kasih dan kembali ke Larissa.
“Nih udah ada helmnya, mau bareng sama gue apa enggak?” dia tersenyum dan tada Larissa duduk manis di belakangku.
“Si Gita kayanya berambisi jadi produser deh, bawel amat.” Kataku memulai pembicaraan.
“Siapa sih yang enggak mau jadi produser,” dia menanggapi.
“Gue. Soalnya gue mau jadi CEO,” aku tertawa, aku merasakan dia tertawa di belakangku. “Lo ada kepengen gitu jadi produser?” aku bertanya.
“Mmmm,” dia berpikir. “Bisa tapi enggak seagresif Gita ya.” dia mulai menggoda.
“Iya gue lihat lo enggak banyak tingkah, irit ngomong, dan menurut gue tipe-tipe orang kayak lo bakal banyak kasih kejutan, enggak Cuma jadi produser tau-tau jadi saingan gue punya TV,” dia merajuk aku tertawa.

Hari berganti bulan, bulan menjadi tahun. Tidak terasa aku sudah menjadi pegawai di LUX TV selama 3 tahun, namun sayangnya selama 3 tahun itu pula aku belum memiliki pasangan.
“Woi, Risal!” aku mengalihkan pandangan ke arah suara yang memanggilku.
“Wei,” aku menghampiri mereka. “Lagi kumpul nih Regu A,” aku menyapa teman-temanku di Regu A tiga tahun silam saat MBT.
“Lagi sibuk nih kayanya, lempeng aja,” Gita menyeletuk.
“Iya nih, harus ke library,” aku menjawab singkat.
“Ini kan jam istirahat,” Satria menambahkan.
“Iya sih, soalnya data kemarin ilang. Jadi mau gue cari, urgent buat tayangan nanti sore,” aku menjelaskan.
“Eh bentar Sal, kalau gue enggak salah denger lo bakal jadi camera person pengganti di acara Indonesia Kuy,” Larissa akhirnya berbicara padaku setelah terakhir hanya tersenyum saja.
“Oh ya? Gue malah baru tahu.” Aku memasang wajah bingung.
“Oh belum pasti berarti, yaudah kayaknya lo sibuk,” dia memersilakan aku pergi, aku pamit pada mereka aku langsung berlari ke library dan mencari sesuatu yang aku cari. Kalau enggak ada bisa dimarahin Mbak Niki.
“Aduhhh kemana aja sih lo, gue tungguin dari tadi,” Zetta bertemu denganku tepat di pintu library, untung kami tidak bertabrakan.
“Sorry sorry, tadi ada yang ngajak ngobrol dulu,” aku meminta maaf.
“Yeee malah ngobrol, untung udah ketemu jadi kita aman,” aku mengehela napas karena masalah berhasil terselesaikan.
“Kalian!” walaupun masalah sudah selesai tapi kalau ada suara tiba-tiba tetap membuatku kaget. “Gimana udah ketemu rekamannya?” suara Mbak Niki ternyata, aku deg degan.
“Udah Mbak ini ada, tinggal syuting nanti sore,” Zetta menjelaskan.
“Bagus deh, untuk kamu Risal jangan buat kesalahan lagi jangan malu-maluin saya sebagai produser karena kamu diminta sama Mas Firman buat jadi campers[1] di acara Indonesia Kuy, gantiin Ihsan yang masih dirawat.”
“Saya Mbak? Terus Selekta gimana?” masih banyak campers lain di Selekta, ini saran dari Mas Firman langsung, jadi ya kamu harus bersedia,” benar apa yang dikatakan sama Larissa.

Keputusan Mas Firman cukup membuat hormone khawatirku meningkat. Sayangnya, aku bukanlah laki-laki yang senang jalan-jalan ke tempat yang sulit dijangkau, yang harus memasuki hutan atau perjalanan dengan menggunakan kapal cepat yang pastinya memakan waktu berjam-jam. Apa aku pura-pura sakit saja? Apa aku bilang saja ke Mas Firman kalau aku tidak menyanggupi sarannya? Aaahh, aku mengacak rambutku.
“Kenapa lo,” Aku terperanjat, sejak rekaman hilang aku menjadi orang yang mudah kaget.
“Duh Lar, bikin kaget aja,”
“Engga ketemu datanya?” Larissa mencoba menebak, sambil menarik kursi dan duduk di seberangku.
“Engga, bukan masalah itu, udah ketemu kok,” aku menjawab pertanyaannya.
“Terus kenapa? Kaya yang kesel gitu,” dagunya menumpu pada botol minum yang dia bawa.
“Enggak kok, enggak apa-apa Lar,” aku terkekeh mencoba menyembunyikannya dari Larissa.
Hari itu hari terakhir aku berada di Tim Mbak Niki, besok aku sudah masuk ke Tim Mbak Dara ikut briefing, ikut melakukan persiapan, dan tentunya ikut melakukan syuting di suatu daerah yang ah sudahlah aku tak mampu membayangkannya.

“Selamat datang kepada Risal, untuk hari ini dan beberapa waku ke depan Risal bergabung di tim ini. Karena yang kita tahu Ihsan mengalami kecelakaan lalu lintas yang hingga kini kondisinya masih belum pulih. Kepada Risal semoga kamu betah ya di sini,” kalimat pembukaan dari Mbak Dara kubalas dengan senyuman tipis, ku lihat di ujung sana Larissa juga tersenyum kepadaku, mengucapkan selamat bergabung.
Rapat kali ini menentukan daerah mana yang akan dikunjungi. “Gimana kalau ke Kepulauan Natuna, di sanakan banyak pulau dan banyak juga yang enggak berpenghuni pasti asri banget dan tentunya cakep,” salah satu saran ke luar dari mulut anggota tim ini.
Pulau tak berpenghuni? Are you kiddin’ me? Pasti jauuhhhhh sekali, ditempuh naik kapal ditambah jalan kaki yang harus bawa barang keperluan aku ditambah si kamera, oh tidak!
“Risal, apakah kamu sudah pernah jalan-jalan ke tempat yang indah?” pertanyaan Mbak Dara membuyarkan lamunanku, aku sontak langsung menggeleng. “Kamu akan berdecak kagum dan bersyukur mendapat kesempatan ini. Pertemuan hari ini saya tutup, silakan kembali bekerja,” ketika semua orang sudah keluar dari ruangan, aku mencoba untuk bebicara mengenai hal yang menggangguku ini.
“Mbak Dara, boleh minta waktunya sebentar?” aku bertanya hati-hati.
“Iya kenapa Risal?” suaranya merdu dan menenangkan, tapi apakah suara yang menenangkan ini bisa murka juga?
“Um, saya kan sudah tiga tahun di acara Selekta dan sekarang diminta menjadi campers pengganti di acara eksplore alam, saya sedikit khawatir engga bisa maksimal Mbak,” aku mengutarakan hal ini namun tidak berani sepenuhnya diungkapkan.
“Iya saya juga agak kaget ya dengan keputusan Mas Firman, tapi apa yang menjadi keputusan Mas Firman saya yakin sudah menjadi keputusan final yang sudah dipikirkan secara matang, jadi yang bisa saya lakukan adalah memberikan kepercayaan kepada kamu, bahwa kamu pasti bisa. Jadi sebelum waktu pemberangkatan lusa, kamu bisa mempelajari dulu acara Indonesia Kuy ini, ya?”
“Tapi Mbak,”
“Saya yakin kamu seorang campers yang hebat, acara apapun saya percaya kamu bisa menyesuaikan dan saya juga yakin kalau gambar yang kamu ambil bisa bagus,” setelah menepuk-nepuk pelan lenganku, beliau pergi begitu saja.
Hari ini aku uring-uringan apalagi ketika Tya bilang kalau aku sudah dipesankan tiket pesawat, aku semakin uring-uringan. Jam kerja berjalan seperti terseok-seok, lama sekali. Jika sudah begini aku butuh mama untuk mencurahkan semua kekhawatiran yang aku rasakan.
“Risal!” tangan mungil menepuk pundak kiriku.
“Eh, Lar. Udah pesen?” aku menggeleng. “Enggak makan?” dia bertanya lagi.
Akhirnya setelah dipaksa makan oleh Larissa aku pun memesan mie goreng, namun dengan malas aku menyuap mie yang menjadi makanan favoritku itu.
“Lo kenapa sih? Enggak suka ya pindah ke tim kita? Soalnya setelah gue bilang lo dipindahin sementara lo mulai sering ngelamun, atau kalo engga mukanya kacau enggak happy gitu, kaya enggak mau,”
Aku menyimpan kembali garpu berbalut mie yang hendak aku makan. Aku melipat kedua tanganku di depan dada, “Gue emang enggak mau ada di acara Indonesia Kuy,” kataku pelan.
“Lho kenapa?” suara Larissa memelan seakan ada rasa kecewa di situ. “Kan ada gue,”
“Soalnya….” Aku tidak mungkin mengatakan bahwa aku tidak suka melakukan perjalanan jauh dan pergi ke tempat yang sulit dijangkau, nanti dia berpikir kalau aku ini laki-laki cemen. “Soalnya, gue enggak suka sama lo!” Larissa terkejut, aku bisa melihat ekspresi  wajahnya.
Wajahnya sangat terkejut dan matanya berkaca-kaca menahan emosi, “Salah gue apa sampe-sampe lo enggak suka satu tim sama gue?” dia menatapku tajam.
Aku tidak bisa menjawab karena aku tidak punya alasan mengapa aku membenci dia. “Enggak tahu gue enggak suka aja satu tim sama lo,”
“Jadi lo juga enggak suka makan satu meja sama gue?” Tanya dia. “Kalau iya gue pindah soalnya makanan gue belum abis,” aku tak menjawab, dia mengambil piringnya dan melangkah pergi.

Kalau dibilang kejam memang iya, demi menutupi kekuranganku aku sampai harus menyakiti hati Larissa.
“Kamu kenapa sih akhir-akhir ini enggak nafsu makan, uring-uringan Mama jadi khawatir liatnya. Cerita dong,” aku Cuma menggeleng sambil mengaduk-ngaduk makanan.
“Lo lagi patah hati ya?” celetuk Mela, adikku. Aku hanya menggeleng.
Semua orang berfokus kepada santapan malamnya, cerita-cerita Mela di sekolah atau cerita Kak Marsha yang apapun bisa menjadi cerita bagi dia. Aku berdeham, semua orang yang sedang makan dan berbagi cerita menoleh ke arahku. “Kalian semua tahu kan kalau Risal enggak berjiwa adventure dan kemarin atasan Risal mindahin sementara ke acara jalan-jalan petualangan gitu. Risal yang biasa Cuma liputan ke selebritis jadi harus keluar dari zona nyaman Risal, itu sih yang bikin Risal uring-uringan akhir-akhir ini.” aku mencoba mengambil sedikit makanan dan memakannya pelan-pelan.
“Ya elah alay banget sih lu!” Kak Marsha melempar tisu yang telah ia bentuk seperti bola ke arahku. Aku merengut kesal.
“Iya Risal tau Risal ini laki-laki tapi mau gimana kalau emang enggak suka jalan-jalan ke tempat yang yah alam gitu-gitu. Kenapa enggak jalan-jalan ke kota tua, lihat bangunan bersejarah atau liput konser atau apalah ke tempat yang gampang dijangkau.” Aku mencoba mengenalkan ketidaksukaanku pada keluargaku, berharap mereka memahami ketidaksukaanku.
“Kenapa harus bawa kata ‘laki-laki’ sih?” Papa yang sedari tadi diam menikmati santap malamnya mulai ambil bagian. “Papa juga enggak suka camping atau jalan-jalan menikmati alam santai aja kok,”
“Soalnya Risal takut dibilang cowo cupu,” aku masih memainkan makananku.
“Bang, khawatir amat sama apa kata orang. Lo seneng pergi ke alam, ke konser, ke museum, ke mall, ke mana kek itu bukan jaminan lo itu cupu apa enggak. Lagian kalau lo khawatir enggak ada cewek yang suka, gue kasih tahu nih, cewek suka sama cowok yang bertanggung jawab. Apalagi kalau kalian cocok sama-sama suka pergi kemana gitu,”
“Eh lo kok jadi bijaksana gitu sih dek,” Kak Marsha yang iseng tidak bosan-bosannya menggodaku.
“Sebenerya gue nggak bijak bijak amat Kak, entah kenapa di hadapan si jomblo ini gue jadi berasa lebih dewasa,”
“Kenapa sih gue mulu yang dibully?” semua orang tertawa.
“Udah cepet habiskan makan malamnya. Siapa yang piket hari ini?” Kak Marsha dan Melani sontak menujukku, mama hanya tersenyum menahan tawa.
 Aku mencuci semua piring dan gelas kotor karena setiap hari Selasa dan Jumat aku memang piket mencuci piring dan gelas setelah makan malam. Sembari mencuci aku kepikiran perkataan Mela tadi bahwa aku tidak perlu khawatir orang lain akan mengatakan apa. Yang harus aku lakukan sebagai seorang laki-laki adalah bertanggung jawab, jadi aku juga harus bertanggung jawab atas sakit hatinya Larissa atas ucapanku.
Esok harinya aku mencoba untuk menemui Larissa, berusaha untuk mengklarifikasi ucapanku kemarin siang. Akhirnya tanpa sengaja kami bertemu, dia sangat sibuk kelihatannya.
“Lar,” aku mencoba meraih lengannya karena ia mencoba untuk menghindar. “Gue mau ngomong sesuatu,”
“Ngomong apa? Gue lagi sibuk ini, besok kan kita berangkat ke Natuna,”
“Iya bentar aja, please,” aku memohon.
“Well, 3 menit,” dia memasang wajah mendengarkan.
“Um, gue mau,” jangan dulu minta maaf nanti dia pergi, bilang apa ya? Hal yang bikin dia tertarik, “Um, gue seneng satu tim sama lo, sebenernya perkataan kemarin Cuma alasan gue buat nutupin kalau gue enggak biasa jalan-jalan ke alam alam gitu dan kenyatannya satu lagi gue suka satu tim sama lo,” aku menatap matanya yang sedari tadi menatapku.
“Udah?” dia bertanya ketika aku sudah berhenti bicara. “Kalau udah gue balik kerja nih,” aku diam, dia balik badan tapi sempat kuraih lengannya.
“Maafin gue,” aku menunduk. Dia diam saja, mengapa tidak ada respon? Aku memberanikan diri untuk melihat wajahnya, di sana ia tersenyum.
“Lucu banget sih lo,” dia tertawa gemas. “Iya gue maafin, udah ayo kita ke ruang meeting. Jangan bilang lo lupa ada briefing hari ini,” dia menarik lenganku.
Dalam hati aku merasa lega, setidaknya berkurang satu orang yang membenciku. Selama briefing aku senyam senyum, sepertinya diriku sudah mulai bisa menerima kenyataan bahwa aku harus menjalani tanggung jawabku sebagai campers pengganti di acara petualangan ini. Aku baru sadar ternyata semua penolakan yang aku rasakan hanya muncul karena aku takut untuk memulainya. Dengan begitu aku harus semangat!
“Cie udah cerah nih mukanya, udah siap buat besok?” Larissa menggodaku, aku hanya tersenyum sembari menyuap sepotong kentang goreng. Nafsu makanku sudah kembali. “Coba cerita dong, maksud lo apa tadi?”
“Gue emang anaknya enggak suka pergi ke tempat yang berbau alam, karena gue mikir mau apa ke sana? Mengagumi karya Tuhan? Lihat di gambar juga bisa. Foto-foto? Gue anaknya enggak suka foto-foto. Belum lagi harus jalan jauh menembus hutan, atau mengarungi sungai atau bahkan harus nyebrang untuk sampai ke pulau atau apalah. Lagian lo tahu kan gue ini campers di acara infotainment, tiga tahun itu udah jadi zona nyaman gue. Sst, gue tahu lo pasti mau bilang kalau gue harus keluar dari zona nyaman?” aku menatapnya yang sedari tadi menatapku, entah mengapa aku langsung menyadari kalau apa yang aku katakan tadi merupakan hal yang benar, “Gue harus keluar dari zona nyaman ya?” Larissa mengangguk sambil meminum jus melonnya.
“Gue pernah di posisi lo dan emang banyak banget orang yang bilang kalau kita harus keluar dari zona nyaman. Kita enggak tahu mana yang benar mana yang salah, harus keluar dari zona nyaman atau jadi diri sendiri. Tapi untuk kasus lo, gue mau bilang lo mau enggak mau harus keluar dari zona nyaman lo selama ini karena ini tugas. Setelah lo coba baru boleh bilang passion lo bukan di sini, gitu.” Dia menjawab santai. “Lo tenang aja, kita satu tim yang pergi pasti bakal saling nunggu, saling bantu dan saling dukung. Lo nggak usah ngerasa takut lo bakal ditinggalin atau apa, semua pikiran negatif lo harus dibuang sejauh mungkin karena itu malah menghambat lo buat ngejalanin tugas dan tanggung jawab lo,”
Aku diam mendengarkan, “Kadang yang ditakutkan sama orang-orang adalah langkah pertama untuk memulai, setelah lo jalan rasa takut itu perlahan pergi,” apa yang dia katakan memang benar, semuanya benar.
“Gue cuma butuh tangan buat nuntun gue keluar dari tempat persembunyian gue,” aku terus memakan kentang goreng yang tidak habis-habis.
Larissa mengulurkan tangannya, “Ada gue,” dia tersenyum manis, akupun ikut tersenyum. “Gue punya cerita nih,” mataku membesar karena penasaran. “Tapi lo jangan bilang siapa-siapa ya,” aku mengangguk, “gue jarang mandi sore, jadi sehari gue Cuma mandi sekali,”
“Sumpah? Jadi meskipun lo udah balik kerja enggak mandi?” dia menggeleng, aku tertawa lepas. “Jorok amat,” dia berhus untuk membuatku tenang, aku masih tertawa. Perempuan secantik Larissa ternyata jarang mandi.
“Lo jangan ketawa dulu, gue belum ke inti cerita,” dia memelankan suaranya, seperti berbisik. Aku akhirnya berhenti tertawa, “Kan gue Cuma mandi sehari sekali, nyokap pernah nyuruh gue mandi, gue sambil males malesan pergi ke kamar mandi dan lo tahu? Gue yang katanya anti mandi sore, berapa lama di toilet?” dia bertanya.
“Berapa lama?” aku balik bertanya.
“Mmm, normalkan sekitar 15 menit, gue 30 menit, gue mikir gini, kok mandi itu nyegerin ya? Jadi analogi dari pembicaraan kita adalah emang niat dan kenyataan harus mandi sore itu menyeramkan tapi setelah gue masuk kamar mandi dan memulai ternyata tidak begitu buruk,”
Sore itu kami berbincang sangat lama, sambil menunggu waktu keberangkatan kami nanti malam. Bertukar cerita, saling tertawa menertawakan hal yang tidak lucu namun entah mengapa bersama Larissa semuanya nyaman untuk dibicarakan.

Dalam perjalanan pulang menuju Jakarta, aku melihat ke arah jendela.
“Pssstt,” ada suara yang sepertinya memanggilku. Aku mencari ke arah sumber suara. Larissa, tentu. Dia melambaikan tangan dan tersenyum, aku tersenyum padanya.
Entah apa yang dia katakan pada Sindy yang duduk di sebelahnya tapi dia sepertinya ingin bertukar tempat duduk denganku.
“Leo, tukeran dong duduknya, kayaknya doi butuh temen ngobrol deh,” aku hanya memperhatikan perempuan pemberani di depanku ini.
“Cie, Larissa. Tapi yaudah deh lo lebih kenal sama Risal. Sal, enggak apa-apa kan lo duduk sama Larissa?” tanya Leo yang teman sebangkuku pada awalnya.
“Yeee, kayak gue apaan aja,” Larissa memasang wajah yang lucu.
“Sorry ya gue dari tadi cuekin lo.” Aku meminta maaf pada Leo.
“Santai aja kali, yaudah deh kalian ngobrol aja,” Leo pergi menuju kursi Larissa dan duduk di sebelan Sindy.
“Hehe,” dia terkekeh. “Lo mau kan duduk sama gue?”
“Dengan senang hati,”
Kami berbincang mengenai jenis-jenis awan, kandungan awan, cuaca, pesawat dan bahasan yang telah kami dapat di masa sekolah. Pembicaraan yang mungkin menurut orang lain sangat tidak penting dan harus dilupakan tapi bagi kami tidak. Kami membahas mengeni politik yang sedang terjadi di Negara tercinta ini, membahas mengenai perceraian pasangan muda yang baru menikah selama empat bulan, membahas mengenai segala hal yang terlintas di pikiran kami dan harus berdasar pandangan masing-masing. Kami berdiskusi padahal kami hanya sedang mengobrol.
“Daripada kita Cuma saling diam mending kita bahas hal kayak ginian, iya enggak?” katanya.
Membahas cuaca lagi, dan oh membahas budaya penduduk di Natuna tentunya. Perjalanan selama tiga jam tak terasa karena kami sangat aktif. “Lo temen yang asik buat diajak ngobrol,” katanya lagi.
Ketika kebanyakan orang mengatakan aku adalah orang yang kaku, serius, dan ga asik tetapi Larissa mengatakan hal yang sebaliknya. Ketika kebanyakan orang akan sangat bosan mendengarku berbicara, Larissa dengan mata berbinar-binar penuh perhatian mendengar semua kata-kata yang keluar dari mulutku.
“Gila, kenapa banyak orang yang enggak ngajak ngobrol ya padahal lo asik kok buat diajak ngobrol,” katanya lagi.
“Karena mereka enggak suka obrolan yang berat, gue nggak perlu ngobrolin yang cetek jadi mereka enggak cocok sama gue,”
“Jadi menurut lo gue salah satu orang yang cocok sama lo? Anyone else?” tanyanya.
“Ya,” aku menerawang.
“Siapa?” dia bertanya penasaran.
“Camilla,” aku menjawab. “Eh,” aku salah tingkah.
“Pacar ya?” dia bertanya lagi.
“Bukan, Cuma temen,” aku menjawab sesuai keadaan sekarang.
“Oh, masih suka kontekan nggak?” dia bertanya lagi, lagi.
“Um, sekarang sih udah enggak,”
“Ceritain dong sosok Camilla, sampe-sampe lo enggak lupain dia,” dia mendesak.
“Well, dia cinta pertama gue, kita sempet pacaran selama empat tahun dari mulai gue SMA. Entah apa daya tarik dia tapi yang naamanya cinta pertama enggak akan bisa dilupain meskipun ada luka di dalamnya. Duh gue jadi curhat,” aku melirik ke arahnya yang sedari tadi fokus mendengarkanku.
“Kapan lagi lo cerita? Kapan terakhir kali lo cerita kalau orang yang bikin lo terbuka sudah lewat beberapa tahun lalu,” apa yang Larissa memang ada benarnya, sebagai bukti Camilla masih berada di hatiku tak apa aku menceritakan pada Larissa betapa aku bangga pernah menjadi bagian cerita dalam hidupnya.
“Ya dia seneng dengerin gue ngomong, padahal gue pendiem loh tapi di depan dia gue banyak ngomong lho. Camilla seperti bisa bawa gue keluar dan jadi diri gue yang lebih berani,” aku menerawang. Camilla sedang apa sekarang.
“Lanjutin,” Larissa mendesakku dengan menggoyang-goyang lenganku, “Sebelum sampe Jakarta,”
“Udah ah, segitu aja,” aku terkekeh sebenarnya malu.
“Pantesan lo jomlo terus udah berapa tahun coba kerja di Lux. Antara lo enggak bisa move on dan emang enggak ada yang suka sama lo,” dia tertawa. Tawanya membuat aku tersenyum padahal dia sekarang sedang menggodaku. Aku tidak keberatan jika aku terus digoda oleh Larissa.

Dua bulan aku menjadi campers pengganti di tim acara Indonesia Kuy, aku mulai terbiasa untuk pergi keluar dari zona nyaman yang hanya liputan dengan artis di sekitaran daerah Ibukota. Rasanya aku telah menjadi pria yang berani, bahkan lebih berani, apakah karena faktor usia? Bukan! Larissa.
“Lar, minggu kakak gue nikah. Lo dateng ya ke acara kawinan kakak gue, biar gue ada pendampingnya gitu,” Larissa yang sedang sibuk dengan gawainya melihat deretan make up yang disediakan oleh toko online tertentu.
“Minggu ya? Maaf banget, tapi Minggu gue masuk dan itu enggak bisa ditinggalin. Lo sih enak udah balik ke Selekta,” jawabnya sambil tetap menyeruput jus melon dengan matanya yang kadang melirik ke arah gawainya. “Sorry, bukannya gue enggak mau,” ekspresinya benar-benar menyesal karena tidak bisa hadir.
“Okay, enggak apa-apa, tanpa pendamping juga kakak gue tetep nikah,” kami melanjutkan mengobrol, membahas make up yang sedang ia perhatikan, acara pernikahan kak Marsha dan beribu-ribu topik pembicaraan lainnya. Selalu begitu.
Hari ini Kak Marsha menikah, acara resepsi di gelar di sebuah ballroom hotel di Jakarta. Puluhan tamu datang, aku membantu segala keperluannya. Saat sedang mencoba meregangkan kaki yang sedari tadi kesana kemari memenuhi permintaan mama um suruhan sih lebih tepatnya, tiba-tiba dari arah pintu masuk mama datang bersama Camilla. Sontak aku langsung berdiri sigap, “Hai,”
“Camilla habis makan sama temannya di restaurant yang di rooftop kebetulan lewat sini, katanya kenal nama Marsha,” dia hanya tersenyum mengiyakan. Antara senang dan gugup aku salah tingkah entah harus bagaimana bersikap kepada Camilla.
“Tante, aku salah kostum banget kalau ada di sini,” katanya.
“Jangan pergi dulu, hayu ketemu sama Marsha,” mama langsung menarik lengan Camilla, teman di sebelahnya turut ikut membuntuti. Aku tak mau digoda oleh kak Marsha jadi aku lebih baik duduk di sini.
“Risal,” mama berteriak. Tangannya melambai menyuruhku ke sana, dengan malas aku menghampiri mereka. Hari ini benar-benar aku harus menuruti semua kata mama.
“Camillaaaa,” kak Marsha berteriak lalu memeluk Camilla.
“Selamat ya Kak Marshaaaaaa,” mereka berpelukan saling mencium pipi kanan dan kiri. Temannya ikut memberi selamat kepada kak Marsha dan mas Andreas.
“Cieeeee, dapet kunjungan nih,” Kak Marsha melirik ke arahku.
“Ini aku kebetulan ada di rooftop, Kak,” Camilla mengeles. Tapi memang itu yang terjadi, itu bukan alasan.
Camilla benar-benar pulang setelah bertemu dengan kak Marsha. Aku mengantar mereka sampai pintu gedung resepsi.
“Hati-hati di jalan,” kataku. Mereka pergi dan aku kembali ke dalam gedung, melihat tamu yang berlalu lalang ke sana ke mari sambil membawa gelas di tangannya, sambil mengobrol, atau memegangi tangan anaknya agar tidak berlari terlalu jauh.
Hari ini aku benar-benar lelah, aku, Mela, mama dan papa pulang ke rumah sedangkan kak Marsha menginap di hotel. Selama di perjalanan pulang aku diam dan memang seperti itu kebiasaanku. Ketika Mela bergerak dan sensorku mengatakan bahwa ia akan membahas mengenai Camilla, langsung tanganku mengisyaratkan untuk ‘jangan bahas dia’. Biarkan malam ini aku lalui seperti malam-malam lainnya yang telah terbiasa tanpa Camilla.
Hidupku telah terbiasa melakukan rutinitas tidur, bekerja, pulang, tidur, bekerja dan seterusnya. Hari ini aku walaupun aku masih merasa lelah tapi aku sangat semangat untuk kembali ke rutinitasku di kantor.
“Selamat pagi dunia,” sapaku pada teman-teman di tim Selekta.
“Siapa dunia lo?” celetuk Mbak Niki, sang produser. Aku terkekeh “Ya kalian semua dong,” aku tersenyum.
“Nina, jangan lupa kasih daftar artis yang akan diwawancarai buat Selekta nanti sore,” kata Mbak Niki.
“Siap, Mbak,” jawab Nina.
“Hari ini jadi liputan ke Reza Rahadian?” aku bertanya ke partner liputanku, Tara.
“Jadi gue udah janjian, jam 11 katanya dia bisa,”
“Yaudah gue pergi dulu,”
“Mau ke Larissa?” tanya Mbak Niki.
“Eh,” aku bingung, semua tertawa.
“Gue dapet laporan dari Dara, katanya lo akrab banget sama Larissa,”
“Iya sih bener, soalnya dia temen satu regu waktu MBT, Mbak,” aku menjelaskan. “Saya pergi dulu, Mbak,” aku langsung pergi karena tak mau ditanya-tanya lebih lanjut. Tapi apa yang mereka tebak sangat benar, aku akan menemui Larissa.
Aku menuju tempat tim Indonesia Kuy berada, aku mengintip dari jauh dia ada di sana. Fokus pada layar monitor, sepertinya sedang sibuk. Aku tersenyum, tak tahu mengapa tapi aku merasa senang ketika melihat dia.
“Larissa dicariin sama Risal,” aku terperanjat kaget, suara siapa itu? aku menoleh ke arah belakang. Dia tersenyum licik, Ihsan. “Nyariin Larissa, kan?” kali ini dia berbicara padaku bukan pada semua orang di ruangan.
“Enggak, gue cuma lewat doang,” aku menjelaskan. “Jangan rese gitu dong lo,”
“Yah, kalau lo suka bilang dong jangan cuma ngintip doang,” dia melangkah pergi, sebelum dia bicara yang tidak tidak lebih baik aku harus pergi.
Aku menuju arah rooftop, tempat dimana jarang dikunjungi jika tidak dipakai syuting. Entah apa yang akan aku lakukan, aku hanya butuh tempat untuk duduk. Kantin? Aku sudah sarapan. Mejaku? Terlalu bising jika hanya butuh untuk duduk, maka jawabannya adalah rooftop. Ketika pikiranku sudah kembali pada tubuhku, aku merasa ada orang lain yang mengikuti di belakangku. Aku menoleh ke belakang dan ya ada sesosok wanita yang mengikutiku.
“Hai,” katanya.
“Kamu ngapain ke sini? Bukannya lagi sibuk?” tanyaku padanya.
“Sejak kapan lo jadi manggil gue ‘kamu’?” dia tertawa, mulai menggodaku lagi.
“Oh iya gue refleks,” aku berjalan menuju tepi gedung. Memandang gedung-gedung tinggi yang berdiri di tanah kota Jakarta. “Kemarin di kawinan kakak gue ada Camilla,” kataku ketika Larissa sudah berada di sampingku.
“Oh ya?” tanyanya. “Pantes,”
“Pantes kenapa?” aku bertanya bingung.
“Dia ngehubungin gue, tumben amat dan emang ujungnya dia nanyain kenal sama lo apa enggak,”
“Lho kok kalian bisa kenal?” tanyaku penasaran.
“Kita pernah satu kelas, kelas XII,” dia menjelaskan.
“Pasti bukan temen deket?” aku menebak.
“Tepat,” dia menjawab singkat.
“Soalnya gue tau semua temennya, kecuali lo. Gue baru tau kalau lo satu kelas sama dia,” aku tahu semua teman-temannya Camilla, tapi aku tidak pernah mendengar nama Larissa. Mungkin Larissa dan Camilla sangat jauh. “Dia ngomong apa?”
“Dia nanya lo udah punya pacar belum,” dia menjawab hal yang paling penting saja atau memang Camilla hanya bertanya itu.
“Dan lo jawab?” aku bertanya. Tolong jelaskan secara lengkap.
“Gue bilang enggak,” singkat sekali jawabannya.
“Tapikan gue bilang ke lo kalau gue lagi suka sama seseorang,”
“Kapan? Enggak ah,”  oh Tuhan, sepertinya aku bilang aku suka seseorang dalam khayalanku.
“Oh iya lupa, belum,” aku terkekeh. Kebiasaanku membayangkan hal yang tidak tercapai bisa mempengaruhiku dalam dunia nyata. “Lo enggak mau tahu gitu siapa orang yang lagi gue suka?”
“Siapa?” tanyanya.
“Engga deng,” aku tersenyum semanis mungkin.
“Siapa ih, terlanjur kepo nih. Pegawai Lux juga?”
Aku mengangguk, “Tim acara Indonesia Kuy,”
“Sumpah? Siapa? Lo suka cewek doang apa laki juga suka?” ia tidak percaya salah seorang di timnya disukai ole Risal.
“Astaga kalau ngomong, ya gue suka cewek lah. Cewek tulen ya, bukan yang penampakkannya cewek,” aku menjelaskan.
“Oke kalau gitu, gue sebutin satu-satu. Mbak Dara?”
“Bukan.”
“Marina?”
“Bukan,”
“Natalia?”
“Bukan.”
“Riana?”
“Bukan.”
“Udah ceweknya Cuma segitu, yang lainnya cowok.” Dia mulai putus asa.
“Ya Tuhan selama ini gue suka sama laki,”
“Hah?” dia sama-sama terkejut.
“Gue enggak nyangka di Indonesia Ku yada cewek jadi-jadian,” aku mencoba menakut-nakuti.
“Hah, siapa?”
“Lo sebutin aja cewek di Indonesia Kuy selain yang di sebutin lo tadi,”
Dia berpikir sebentar, “What? Gue? Ih enggak, gue cewek tulen,” dia memukul-mukul lenganku kesal.
“Ya orang tadi lo bilang enggak ada lagi cewek sisanya laki, padahal nama lo sendiri belum lo sebut kecuali lo jadi kreatif pengganti kaya gue,” aku mencoba membalikkan apa yang dia lakukan. Aku melihat ke arah Larissa karena daritadi dia tidak ada respon jangan-jangan dia pergi tanpa aku sadari. “Eh, Lar lo kenapa?”
“Enggak mungkin,” dia berkata pelan.
“Enggak mungkin apa?” sekarang aku yang menghujani dia dengan pertanyaan. Dia tidak menjawab. “Gue enggak ngerti,”
“Lo suka sama siapa?” Dia melontarkan pertanyaan yang jawabannya sudah ia tahu.
“Gue suka sama lo, Larissa!”
“Enggak bisa Risal,”
“Kenapa enggak? Gara-gara lo temen sekelas Camilla waktu SMA? Kenapa lo harus pentingin dia sih? Lo sendiri yang bilang kalau lo sama dia enggak deket, lo sendiri yang bilang tumben dia ngehubungi lo dan emang ternyata dia ngehubungin lo bukan karena care, kangen, atau apa tapi karena nanyain gue. Terus kenapa lo harus peduli?”
“Lo enggak akan bisa ngerti, Risal,”
“Lo takut disebut temen makan temen?”
“Apa? Enggak,” dia mejawab pelan.
“Lo udah diwanti-wanti sama dia biar enggak boleh deket sama gue?” dia hanya menggeleng. “Terus kenapa?” aku menjadi tidak sabar.
“Gue balik kerja dulu,”
“Lo udah ngajarin gue berani buat keluar dari zona nyaman gue. Dua bulan, delapan kali liputan ke luar dari Jakarta bukan hal yang sedikit bagi gue untuk survive di luar kemampuan gue. Lo yang ngulurin tangan buat gue ketika gue mulai enggak mampu buat bertahan di Indonesia Kuy. Lo yang ceritain hal konyol hanya demi mencoba ngejelasin ke gue kalau gue bisa melangkah keluar. Ketika orang lain diem karena gue diem, lo dateng nyamperin gue dan memulai pembicaraan. Cinta enggak mandang apakah dia temennya mantan atau bukan, cinta enggak mandang apakah dia temen waktu lo sekolah kuliah atau di tempat kerja lo yang lama. Gue jatuh cinta sama personality lo, bukan sama label apapun,”
Hening.
“Gue pikir-pikir dulu. Gue mau balik,”
“Gue harap lo berpikir bahwa, lo udah bikin gue berani maka lo juga harus lebih berani dari gue,”
Aku memang tidak tahu urusan seperti apa di kalangan wanita khususnya hal percintaan. Wanita memang rumit. Aku memutuskan untuk memberi ruang untuk Larissa, tapi seandainya Larissa memilih untuk tidak bersamaku, taka pa cinta tidak harus memiliki. Cukup dengan melihatnya saja aku sudah senang.
***



[1] Campers: Camera person

Komentar

Postingan Populer