Love is: Drama.
Aku sudah ada di depan.
Aku langsung berlari ke arah pintu dan dia berdiri
di sana dengan seikat bunga tulip dan senyum merekah khasnya. Lengan kemeja
kotak-kotak yang digulung tinggi dan kancingnya yang dibiarkan terbuka dengan
kaos warna hijau zaitun di dalamnya.
“Silakan masuk,” dia berjalan masuk, aku menutup
pintu dan berjalan di belakangnya. Ia menyerahkan seikat tulip dan aku
memasukkannya ke dalam vas yang aku ambil di dapur.
“Kamu lagi ngerjain apa?” ia bertanya dan melihat
layar laptopku yang menyala.
“Cuma nuangin cerita-cerita di pikiranku,”
“Boleh aku baca?” dia melihat ke arahku dan aku
memberikannya anggukkan kecil.
Aku duduk di sofa dan ia memilih duduk di karpet
agar tubuhnya tidak merunduk. Lama, aku memperhatikan tubuhnya dari belakang.
Punggungnya yang lebar, rambutnya yang dipotong rapi, aroma parfumenya yang
masih tercium, dan sekarang aku sangat ingin menyentuhnya, sangat, ingin.
Aku turun dari sofa untuk mensejajarkan diri
dengannya, aku memegang kedua pipinya, menariknya mendekat dan mencium
bibirnya.
***
“Besok kayaknya kamu harus bawa payung deh, hujan
lagi kan besok?”
“Eh?” aku mendongakkan kepala dan di sana seorang
lelaki sedang mengintip pada layar ponselku. “Oh, iya kata ramalan cuaca sih
bakal hujan lagi besok,” aku menyebutkan hal yang kutemukan dari ramalan cuaca
yang ku lihat dalam ponselku yang mungkin sudah ia lihat pula.
“Gue Brian,” lelaki itu mengulurkan tangannya.
“Cecil,” aku menjabat tangannya.
“Dari departemen apa?” dia bertanya lagi.
“Sastra Rusia, lo?” aku bertanya juga padanya.
“Hukum,” kami mengobrol berbasa-basi sambil menunggu
bus menuju fakultas. Hujan deras pagi ini membuat suhu udara menjadi dingin
karena sesekali angin berhembus.
Hubungan kami terus berlanjut, tanpa janjian kami
sering bertemu di halte dan seiring dengan kebiasaaan kami, aku tahu jadwal
kuliah dia dan dia tahu jadwal kuliahku. Hal manis yang sering dia lakukan
adalah sengaja datang ke halte menungguku walaupun hari itu ia tidak ada jadwal
kuliah.
“Lo udah punya pacar kan?” aku mencoba
mengklarifikasi secara langsung.
“Hehe, ya,” jawabnya sambil menyeruput kopi
panasnya. “Lo enggak punya pacar?”
Suasanan kantin fakultasku yang selalu ramai sangat
tidak kondusif untuk kencan pertama, “Enggak, gue enggak mau pacaran dan enggak
mau terikat sama komitmen,” aku menjawab.
“Jangan-jangan lo abis ini bakal pergi menjauh,”
candanya, aku hanya tersenyum.
Dia memesan kopi, aku segelas jus manga. Dia terlihat
seperti brengsek, aku seperti putri malu. Dia seperti pemegang keadilan, aku si
penganut keromantisan.
Dua bulan berlalu, dia masih sama menungguku di
halte tanpa janji terlebih dahulu tersenyum ketika ku datang, memberi bunga
yang entah ia simpan dimana. Walaupun kami masih menjaga jarak tapi kami
terlalu sering berbicara, walau jauh bukan berarti kami berhenti saling
mendengar suara masing-masing ada fungsi telepon yang bisa mendekatkan yang
jauh. Ramalannya tentang aku akan pergi menjauh seakan manjadi aib yang terjadi
dalam dunia ramal-meramal. Dua bulan hatinya bercabang, mungkin tiga bulan
karena satu bulan yang lain kami hanya bertemu tanpa saling sapa.
Gue putus,
bisa ketemu?
Aku menjawab, Gue
lagi di kampus, bentar lagi pulang, kita ketemu di kafe samping apartemen gue.
Enggak deh,
enggak jadi.
Kenaapa? Dia
tak membalas pesanku lagi.
***
“Woy,” Julia menepuk pundakku, aku terperanjat, dia
terkekeh melihat ekspresiku. “Ngelamun muluk, tuh skripsi kerjain,” aku
merengut karena aku kembali ke dunia nyata yang momennya tidak membuat damai. “Ngelamunin
apa?” aku menggeleng. “Mas,” ia memanggil pramusaji dan menyebutkan pesanannya.
“Lo kapan sidang?” aku bertanya mencoba mengalihkan
rasa penasarannya tentang apa sedang aku pikirkan.
“Besokkkk, yeaay,” aku ikut berteriak, girang.
“Congrats, my best!” aku memeluknya. Julia sahabatku
sejak tahun pertama satu asrama, satu kost di tahun kedua dan ketiga,
sahabatku, terapisku, penyemangatku.
Tak lama pesanannya datang, aku kembali ke layar
laptopku, berusaha mencoba membuat jariku menari di atas keyboard.
“Julia,” aku sudah tidak sabar untuk menceritakan
apa yang berkecamuk dalam pikiranku.
“Mm?” responnya dengan mulut penuh bakmi.
“Lo pernah enggak sih dapet sexual harassment?” aku menerawang, pandanganku tidak fokus.
“Paling sekedar cat
calling, selebihnya gue bersyukur enggak pernah lebih. Lo diapain? Enggak
diperkosa kan?” dia yang sedang menikmati bakminya berubah menjadi panik.
“Enggaklah, amit-amit!” aku menjawab langsung. Kalau
Julia sedang makan otaknya berhenti mengurusi hal lain selain makanan.
“Syukurlah, terus kenapa? Mau cerita enggak?”
“Mmmmmm…..”
“Enggak usah khawatir kalau enggak perlu cerita,”
dia menyuap lagi bakminya yang masih mengeluarkan asap tipis.
“Mau dan perlu!” aku menjawab langsung.
“Kapanpun lo siap,” dia tersenyum mencoba untuk
menenangkan aku.
“Lo risih enggak sih sama label yang orang lain
kasih ke lo?” aku berusaha mencari kata pembuka yang pas.
“Well, manusia emang sangat senang memberi label
pada semua orang termasuk orang yang belum terlalu mereka kenal. Jadi ketika
ada orang yang ga kenal kita terus kasih label yang enggak-enggak gue sih cuek
aja, wong dia enggak kenal kita,” aku mencari kata selanjutnya dengan
hati-hati.
“Mm, kalau orang kaya kita-kita nih yang enggak pake
kerudung, lo tersinggung enggak?” dia menengok ke arahku, langsung.
“Sexual harassment,
label, kerudung, gue paham maksud lo,” aku menelan ludah, mencoba menebak apa
yang dia simpulkan.
“Kejadiannya satu minggu yang lalu dan menurunkan
harga diri gue banget. Secara teknis dia bukan cowok gue tapi kita udah saling
pastiin perasaan masing-masing,”
“Coba lo ceritain kronologisnya, jangan ada yang
kelewat!”
“Ceritanya gini…….
Beberapa hari setelah
dia putus dari ceweknya dia minta buat ketemu di flat gue tapi gue enggak mau
soalnya gue takut dia minta hal-hal yang you know what I mean? Akhirnya gue
bilang buat ketemu aja di kafe sebelah flat gue, tapi dia enggak mau. Gue pikir
dia sekedar mau curhat jadi enggak perlu di flat. Tapi setelah gue pikir-pikir
mungkin dia malu secara dia baru putus, tapi masa sih dia tega nangis-nangis
gara-gara putus sama ceweknya di depan ceweknya yang lain? Jadi yaudah gue engga
ngejar-ngejar dia pas dia enggak bales pesan gue lagi, gue coba buat kasih dia
ruang.
Besoknya pas
gue mau buang sampah, dia udah ada di depan kamar gue. Gue kaget karena enggak
ngira dia bakal samperin gue ke flat. Ya gue persilakan dia masuk dong. Mukanya
enggak ketebak, enggak ada sedih, enggak ada happy, enggak ada kesel, flat aja
gitu. Gue jamu dia, gue tanya kabarnya tapi dia malah kasih pertanyaan lain.
“Perasaan kamu
gimana sama aku? Aku enggak minta kita pacaran kalau kamu enggak mau, aku Cuma mau
benahin diri aku, kalau kamu enggak mau ada di dekat aku, aku akan menjauh,”
“Aku nyaman
bareng kamu, kadang aku juga kangen kalau kita enggak kontekan,” belum selesai
penjelasan aku dia langsung bicara lagi.
“Artinya kamu
enggak mau kita jauhan kan? Mungkin artinya kamu juga sayang sama aku,”
“Memangnya
kamu sayang sama aku?” aku tidak menambah jeda.
“Aku sayang
sama kamu Cecil, setelah kemarin aku bisa fokus sama masa depan aku, sama
kuliah aku, dan fokus sama kamu,” aku senang mendengarnya. “Mungkin kamu enggak
mau terikat komitmen tapi aku percaya kamu juga enggak mau dekat-dekat sama hal
yang bikin kamu terjebak dengan komitmen lain, aku percaya kamu enggak akan
dekat-dekat sama cowok lain,” aku mengiyakan karena kesimpulan yang dia ambil
sangat tepat.
“Cecil,”
katanya lagi. “Aku boleh peluk kamu?” untuk sekedar peluk aku masih bisa kasih.
Aku aku memeluknya, erat. Lalu dia melepaskan pelukkannya dan mencoba mencium
bibirku, aku langsung menolehkan wajah dan memasang sikap defensif. “Kenapa?
Ini kan bukan menjadi hal yang pertama, dulu malah kamu yang memulai,”
“Iya aku tahu,
dulu aku ya memulai,” aku menekan di setiap kata-katanya. “Tapi aku enggak mau
ada yang kedua kalinya,”
“Kenapa? Cuma
kita berdua di sini, lagian kita sama-sama sudah dewasa, apa lagi yang kamu
takutkan?” dia masih penasaran.
“Aku enggak
takut, Cuma memang aku enggak mau Bri,” aku menjelaskan.
“Katanya kamu
sayang sama aku dan lihat gaya berpakaian kamu. Aku kira kamu enggak akan
bersikap seperti itu sama orang yang kamu sayang,” gaya bicaranya mulai
merendahkan.
“Excuse me?
Gara-gara aku enggak pakai kerudung jadi kamu pikir aku perempuan yang tidak
akan menolak dengan semua pesona kamu?”
“Ya begitulah,”
bahu kanannya naik dan ekspresi wajahnya sangat menjengkelkan.
“Kamu udah
lupa ya Bri? Udah berapa lama aku bilang kalau aku bukan penganut paham sex di luar
nikah? Atau mungkin, selama aku ngoceh terus kamu enggak peduli sama sekali apa
yang aku bicarain? Jadi teleponan sepanjang malam itu hanya sia-sia?” aku mulai
emosi. “Aku pikir kamu denger, aku pikir kamu kenal aku, aku pikir aku kenal
kamu, tapi ternyata aku salah,”
“Cecil, denger
ya temen-temen cewek aku juga banyak kok yang pake kerudung tapi enggak so suci
kaya kamu yang malah enggak pake kerudung, please ini cuma aku. Aku enggak akan
bilang siapa-siapa. Temen-temen aku ganti pasangan tiap hari mereka santai aja…”
“Cukup Bri,
jangan sebutkan kata-kata itu,” Aku menutup telinga. Bagaimana mungkin dia bisa
punya pikiran buruk tentang aku.
“Cecil, aku
tahu mana perempuan yang bisa dipakai dan mana yang enggak. Salah satunya
perempuan kayak kamu. Itu udah jadi rahasia umum lah, tanpa pendekatan juga
perempuan kayak kamu, blab la bla,” tiba-tiba aku tidak bisa mendengar apa yang
dikatakan oleh Brian, pikiranku terisi dengan pertanyaan-pertanyaan mengapa aku
bisa salah menilai Brian, mengapa aku bisa merasa jatuh cinta pada Brian, betapa
bodohnya aku, betapa rendahnya aku.
“Cecil..”
Aku merasa
muak, dadaku terasa sesak menahan semua emosi yang seharusnya aku kendalikan,
tanpa berpikir panjang aku akan menyerahkan harga diriku pada manusia di
hadapanku. “You wanna fuck me? Then fuck me.” Tidak ada respon, ia hanya
menatapku, aku tidak bisa membaca tatapannya karena aku sangat belum
mengenalnya. “Fuck me, Brian!” aku berteriak padanya. Mataku berkaca-kaca
sampai aku tidak bisa melihat. Air mataku jatuh, baru aku bisa melihat wajah Brian
dengan ekspresi yang masih tidak bisa kubaca.
“Aku harus
pergi,” dia pergi dan membanting pintu flatku dengan keras, tubuhku tersentak. Aku
menangis. Seperti katanya, tidak akan ada yang tahu kalau aku menangis.
End of the story,” kataku mengakhiri cerita yang ingin
Julia dengar.
“Ya, gue kenal lo lama, gue tahu lo punya harga diri
yang sangat tinggi dan kita hidup di mana kalau hidup tanpa terikat aturan itu
hebat, keren, gaul, dan suatu kebanggana apalagi sampai bisa bawa orang lain. Dan
kita juga hidup di tengah lingkungan yang segala sesuatunya di lihat dari
cover. Kita enggak pake kerudung artinya seperti yang Brian sebutin, dan emang
banyak orang yang nyaranin kalau mau terhindar dari sexual harassment ya pakai kerudung. Gue punya Tuhan, Tuhan gue
sama kayak lo tapi semua kembali ke kepercayaan. Kepercayaan yang bisa menstimulus otak kita.
Seberapa kuat kepercayaan lo, maka sekuat itu stimulus yang bisa lo kasih ke
otak lo buat berpikir dan mengambil keputusan. Sama halnya kaya Brian, dia
percaya perempuan kaya kita itu seperti yang dia kira padahal enggak semua
buktinya ada lo, ad ague. Mungkin perempuan macam kita yang dia temuin pada
begitu semua jadi dia percaya dan hasilnya otak dia diset buat membuat
kesimpulan bahwa ternyata lo juga seperti itu.
“Selama seminggu ini apa yang udah lo lakuin buat
nenangin diri lo?” tanyanya.
“Gue bilang sama diri gue sendiri kalau Tuhan Maha
Baik, Tuhan sayang sama gue. Tuhan udah liatin siapa Brian,” aku menjelaskan.
“Terus kenapa sampai sekarang lo masih sering
ngelamun? Berarti kepercayaan lo sama Tuhan enggak 100%.” Perkataan Julia
menohok sampai ulu hati.
“Gue, gue, gue percaya sama Tuhan, tapi kayaknya gue
masih belum terima karena Brian pergi gitu aja kayak enggak punya sopan santun!”
aku mengepalkan tanganku. Setiap aku mengingat saat itu aku selalu merasa
emosiku diaduk-aduk.
“Menurut lo Brian sayang enggak sama lo?” mangkuk
bakmi yang dipesan Julia kini sudah habis, Julia menjadi sangat fokus padaku.
“Gue enggak tahu, gue enggak mau bikin kesimpulan
apa-apa tentang dia. Mungkin sekarang dia udah nemuin perempuan yang kalau
diajak enggak nolak,”
“Pikiran lo masih diisi dengan emosi. Wake up Cecil!
Bisa enggak sih lo berpikir positif biar hidup lo bisa berlanjut? Gue emang
enggak tahu Brian tapi bisa enggak lo berpikir kalau Brian itu sayang sama lo
makanya dia lebih milih pergi ketimbang berantem sama lo? Dia enggak nyentuh lo
kan pada akhirnya? Itu bisa jadi tanda kalau dia perhatiin setiap ocehan lo. Setiap
manusia punya nafsu Brian juga, wajar tapi yang harus lo simpulin bukan lo
malah jijik tapi lo liat seberapa kuat dia ngendaliin nafsunya waktu bareng
sama lo. Lo sama punya nafsu tapi karena lo punya prinsip lo bisa ngendaliin, please open your mind. Yang harus lo
lakuin adalah berdamai dengan pikiran lo. Di sini gue enggak bela siapa-siapa
gue Cuma pengen lo move on. Lihat di depan lo ada tanggung jawab apa? Skripsi lo
harus dikerjain,
“Sorry kalau gue kesannya nyalahin lo atau gimana,
gue peduli sama sahabat gue. Gue enggak mau liat sahabat gue terpuruk karena
pikirannya sendiri. Jangan biarin pikiran lo sakit, lo bakal mati. Dengerin gue
dan coba berpikir ulang, kebanyakan orang akan menganggap orang yang mencintai
mereka tidak mencintai mereka ketika apa yang mereka inginkan tidak bisa
dipenuhi, padahal orang yang mencintai mereka bisa berbuat lebih baik ketimbang
mengikuti permintaan mereka. Termasuk pergi. Hati lo minta Brian enggak
ninggalin lo tapi ternyata Brian milih pergi, lo anggap Brian enggak sayang
sama lo. Padahal kalian berpisah adalah pilihan terbaik daripada bersama. Kalian
bersama hanya akan memuaskan keinginan sesaat aja tanpa berpikir resikonya.
“Cecil gue sayang sama lo. Mungkin lo berharap gue
bakal ikut jelek-jelekkin Brian, tapi gue nggak ngelakuin itu. Gue ngelakuin hal
lain yang lebih bisa selamatin lo dari ini semua. Gue Cuma bisa kasih lentera
buat liatin mana jalan yang harus lo pilih. Gue enggak akan ninggalin lo
sendiri. Gue yang bawa lentera, lo yang ambil keputusan buat pilih jalan. Sepakat?”
aku mengangguk.
Berbicara dengan Julia selalu menghasilkan jalan
keluar, walaupun aku harus merangkak namun Julia tidak pernah berlari pergi. Seperti
apa yang ia katakan, ia yang membawa lentera maka tak peduli aku berlari atau
merangkak dia akan selalu membantu menerangi jalan yang aku lalui.
***
Hari ini aku secara seremonial diakui sebagai
sarjana. Walaupun Julia sudah lulus duluan tapi dia datang sambil membawa
toganya. Biar berasa wisuda bareng, katanya.
Ketika keluar dari gedung, dia luar berdiri Brian
dengan seikat bunga Tulip di tangannya. Dia tersenyum ketika aku berjalan ke
arahnya. Ketika semakin dekat dan kupastikan itu adalah Brian, aku berlari
langsung memeluknya.
“Selamat ya,” aku tak menjawab masih memeluknya, tak
mau aku lepaskan takut dia pergi lagi. “Kayaknya tahun depan deh aku bisa pake
toga,” bicaranya sangat santai, aku ingin melihat wajahnya. “Nih bunga buat
kamu,” dia memberikan bunga yang ia bawa dan aku menerimanya.
“Kenapa kamu pergi begitu aja?” aku bertanya.
“Ini aku mau pamit,”
“Jang…” aku tak melanjutkan kata-kataku, aku ingat
bahwa berpisah bukan hal yang salah.
“Maafin aku ya, aku bodoh menyamakan semua orang
padahal aku punya keisitimewaan buat kenal sama kamu. Cecil, kalau suatu saat
kamu rindu sama aku, jangan ya. Kalau suatu saat kamu enggak sengaja lihat aku
baik-baik saja, percayalah aku mencapai tahap baik-baik aja dengan merangkak di
jalanan penuh duri. Maaf aku terlalu jauh untuk bisa menyusul kamu di level kamu
dan kamu tidak aku izinkan terjun untuk bisa sama denganku. Teruslah naik level
kaya di games hehe.” Tawanya yang sangat aku rindukan. “Kamu udah ditungguin
sama keluarga kamu, aku pergi dulu ya,”
Aku meraih tangannya. Tolong stabilkan emosi, kataku
dalam hati.
“Terimakasih,” aku melepasnya pergi. Setelah ia
membalas senyumku dan pergi, bolehnya emosiku tidak stabil lagi.
Aku melihat kartu ucapan yang terselip di antara
bunga Tulip putih yang cantik, secarik kertas yang berisi:
I will always love you
Senang bisa mengenalmu
-B-
***
Komentar
Posting Komentar