Philophobia
“Bagi
teman-teman yang ingin konseling atau dalam kata lain curhat, bisa daftar ke
Kak Yasmin,” ucap Bagus seraya menunjuk pada Yasmin yang juga selaku panitia
penyelenggara talk show yang menjadikanku sebagai narasumbernya. “Cowok atau
cewek enggak ada batasan, kapan lagi bisa curhat sama psikolog papan atas
seperti Mbak Lizzi ini dan tentunya gratiissss,” tentu saja tawaran ini sangat
menggiurkan, namun sayangnya yang datang untuk curhat hanya beberapa orang.
Ayu
“Mbak, aku kan
punya pacar emang sih kita ketemu jarang soalnya dia kuliah, tapi kita sering chat dan kita ngerasa nyaman, tapi
kemarin dia putusin aku Mbak,” Ayu berkaca-kaca.
“Kamu sayang
sama dia?” aku bertanya.
“Sayang? Memang
sayang menurut Mbak Lizzi itu apa?” pertanyaan Ayu membawaku ke masa saat aku
menjadi mahasiswa semester 3.
***
“Kamu pikir aku
mau dikasihani sama kamu? Kamu pikir aku sampah yang sengaja kamu pungut hanya
karena kasihan? Kata kasihan dari kamu enggak akan pernah aku lupain seumur
hidup aku!” luapan emosi Arya memenuhi pikiranku. Aku salah menggunakan istilah
yang menggambarkan perasaan sayangku padanya yang telah mengisi hati selama
satu tahun itu. “Kita sampai di sini saja,”
Apakah aku
benar-benar mencintainya? Apa itu cinta?
Apakah aku
sayang padanya? Ya tentu saja aku menyayangi Arya, hanya saja dengan pendekatan
yang berbeda. Aku sang pecinta kesempurnaan, egois, idealis, keras kepala dan
memiliki standar yang tinggi telah jatuh hati pada pria urakan yang jauh dari
kata elegan. Secara logika apakah wanita sepertiku mau dengan pria seperti itu?
Tidak tentu saja jika aku melihatnya melalui fisik yang sangat tidak setara
denga kehormatan yang kumiliki. Namun kenyataannya aku mencintainya dan tidak
ingin hal buruk terjadi padanya.
Tapi dia tidak
mengerti, betapa rasa kasihan yang aku ungkapkan merupakan kesalahan ucap yang
tidak dapat diterimanya. Apakah aku akan peduli dia tidak lulus ujian karena
aku tidak membantunya agar mempersiapkan ujiannya jika aku tidak menyayanginya?
Apakah aku peduli dia terlambat datang ke kampus karena aku tidak membangunkannya
jika aku menyayanginya? Apakah aku peduli dia sudah makan ataukah belum
sehingga aku harus mengiriminya makanan layaknya seorang babu jika aku tidak
menyayanginya?
Apakah aku
peduli pada anak kecil yang kerja dan tidak sekolah? Ya, aku peduli. Apakah aku
peduli pada teman yang sakit? Ya, aku peduli. Semua kepedulian dan rasa kasihan
itu hanya sebatas di pikiran tanpa tindakan nyata karena mereka bukan
siapa-siapa tidak usahlah terlalu berbuat lebih, hanya rasa peduli kepada
sesama manusia. Namun, jika manusia yang terbaring sakit itu adalah orang yang
aku sayangi tentu aku tidak akan pulang, aku kasihan padanya karena tidak ada
yang menunggunya, bagaimana jika dia ingin minum sedangkan tangannya tidak
mampu meraih gelas yang jauh dari jangkauannya? Aku kasihan padanya jika dia
ingin makan padahal tangannya tak mampu untuk menyuapi dirinya sendiri. Aku
kasihan! Dapatkah terlihat perbedaan antara kasihanku pada orang yang aku
sayangi dan orang lain yang karena iba sesaat?
***
Pikiranku
kembali saat dimana aku sedang duduk berhadapan dengan Ayu, siswa SMA kelas XI.
“Um, menurut
saya rasa sayang itu adalah saat kamu merasa tidak ingin hal buruk menimpa
orang yang kamu sayangi, kamu akan melakukan apapun bahkan mengorbankan diri
kamu sendiri agar dia baik-baik saja meskipun itu menyusahkanmu.” Aku mencoba
menjelaskan.
“Nyusahin kayak
gimana Mbak? Seperti aku mau mengerjakan tugasnya padahal dia malah main PS
sama teman-temannya?” dia bertanya.
“Itu memang
membuatmu susah tapi bukan seperti itu, kamu harus bisa memilih mana yang harus
dilakukan mana yang tidak. Misalnya yang membuatmu susah adalah… “ aku berpikir.
Memang sih mungkin kesulitan yang dialami oleh anak SMA sejenis seperti itu,
hal ini membuat aku bingung menjelaskannya. Aku menajdi tidak fokus karena
kenangan itu kembali ke permukaan. “Okay mari kita ulangi. Ayu, sayang itu
dapat didefinisikan sesuai dengan orang yang merasakannya, sehingga setiap
orang yang merasakan jatuh cinta itu akan memiliki definisi yang berbeda.
Misalnya sayangnya orang tua pada anaknya akan berbeda dengan sayangnya kakak
pada adiknya, berbeda pula antara kamu dengan mantan kamu, atau teman kamu
dengan pacarnya. Karena perasaan sayang hanya diketahui oleh si pemilik hati.
Jadi hanya kamu yang tau apa yang kamu rasakan kepada mantan kamu itu,”
“Jadi Mbak aku
harus gimana?” tanyanya. “Aku enggak mau putus sama dia Mbak,”
“Jawabannya
kamu yang tahu, saya hanya membantu kamu untuk berpikir mencari jawabannya
dengan menggali apa yang sebenarnya kamu rasakan dan pikirkan. Sekarang apa
sudah menemukan jawabannya?” tanyaku.
“Dia putusin
aku dan udah dapet cewek baru, sedangkan aku malah galau. Kayaknya aku harus move on. Iya Mbak, aku harus move on jawabannya” Ayu berseri-seri
seperti anak kecil yang mampu mendapatkan layangan yang putus.
“Nah, kamu
sudah dapat jawabannya kan? Sekarang enggak boleh galau lagi dong,”
“Tapi… move on itu susah Mbak,” wajahnya mulai
redup. Anak remaja ini kehilangan kepercayaan dirinya lagi.
“Saya tahu move on itu tidak mudah tapi…”
“Maaf Mbak,
waktunya sudah habis,”
“Oh okay,” mataku beralih menuju Ayu. “Ayu,
banyak cara yang bisa kamu lakuin agar kamu tidak terpuruk terus. Hanya lakukan
yang terbaik, saya yakin kamu dengan cepat bisa melewati ini semua,”
“Terima kasih
ya Mbak, “ aku tersenyum sebagai ucap perpisahan.
Ilona
“Hai, Mbak
hehe,”
“Hai, dengan
siapa?” aku tersenyum ramah sembari mengulurkan tanganku.
“Ilona Mbak,”
dia menjabat tangan saya.
“Silahkan Ilona,”
dia gadis yang cantik dengan tubuh mungil dan berkulit putih dan aku rasa dia
adalah anak yang pemalu dengan sejuta penggemar yang canggung di Iuar sana.
“Aku punya
pacar Mbak, dia nggak sekolah di sini. Temen sekelas aku suka sama aku dan dia
udah punya pacar. Pacarnya tetangga kelas aku. Dia godain saya terus padahal
dia takut sama pacarnya. Dia suka nyamper ke rumah aku Mbak, tanpa diundang.
Masa aku usir kan dia temen sekelas aku, lagian dia datengnya sama temennya
kok, gimana sih kaya temen sekelas lagi ngumpul ga nyinggung-nyinggung masalah
apapun kok dan itu sering.
Sampai suatu
saat, ada temen sekelas aku yang ngelaporin yang enggak-enggak ke pacarnya dan
pacarnya cerita sama temennya yang satu kelas sama pacar aku. Setiap aku ke
kantin dan lewat depan kelas pacarnya dia temen-temennya pada ngeliatin dan
bisik-bisik gitu kan aku ga enak Mbak. Tapi pacar aku engga bahas ini, tapi
sejak itu pacarku sering banget kontekan sama temennya pacar dia.”
“Temen sekelas
kamu bilang apa ke pacarnya dia?” tanyaku.
“Dia nembak aku
Mbak, dan emang bener tapi aku ga ladenin kok. Aku enggak tahu temenku ngomong
apa ke pacarnya dia yang pasti semua orang pada ngeliatin aku,” dia menundukkan
kepala menyembunyikan wajahnya yang mulai menangis.
Sebanyak 5
siswi curhat mengenai pacar, mantan, pacar, gebetan dan hal-hal sama lainnya.
Ya aku juga pernah merasakan jadi siswi SMA dan hampir sama dengan yang mereka
alami. PDKT, pacaran, selingkuh, ditikung, putus, dan sejenisnya. Pacaran hanya
beberapa bulan dan dalam waktu dekat sudah memiliki pengganti baru, hal yang
biasa terjadi pada masa seperti itu dan tidak perlu aku ingat lagi.
Rivaldi
“Akhirya ada
juga putra Adam,” sambutku.
“Putra Adam?”
dia bingung.
“Oh maksud
saya, laki-laki” aku menjelaskan.
“Oh saya kira
Mbak salah orang, saya bukan putranya pak Adam soalnya hehe,” aku tersenyum.
“Saya Rivaldi Mbak, kelas XII,” aku mempersilakan dirinya duduk dan dia mulai
bercerita.
“Saya kenalan
sama cewek namanya Kim. Dia temennya temen saya, kalau di foto profilnya dia
cantik Mbak, jadi saya tertarik buat ngehubungin dia. Lumayan asik sih anaknya,
kita chat terus saya sampai bikin
gambar yang isinya nyemangatin dia waktu dia ujian. Sampai akhirnya dia ngajak
aku ketemu di Car Free Day dan kita
jogging. Beneran cantik sih tapi sayangnya dia pendek, kurus dan enggak ada
dadanya.” Aku terkejut dan itu lucu. “Itu jujur Mbak,”
“Iya enggak
apa-apa, silahkan lanjutkan lagi ceritanya,”
“Kita ngobrol
tuh dan ternyata dia itu anaknya serius enggak terlalu lepas, jaim jaim gitu
dan kayanya dia terlalu mandiri, bukan tipeku deh. Akhirnya aku nggak
ngehubungin dia lagi Mbak. Kalau dia ngechat
ya aku balas seperlunya, males aku sama dia enggak sesuai ekspektasi aku.
Akhirnya aku deket lagi tuh sama mantan aku Mbak, deket aja enggak sampe jadian
soalnya…” dia terdiam dan raut mukanya tidak bisa ku baca.
“Kenapa?” aku
penasaran.
“Selama aku deket
sama mantan aku malah kepikiran dia terus Mbak. Tapi aku enggak berani buat ngechat dia, takut dia marah atau apa cuma
sering stalking sosmednya, aku kangen
dia Mbak, pengen tahu aja kabar sama apa yang dia lakuin” dia terkekeh salah
tingkah.
“Terus sekarang
hubungan kalian gimana?” tanyaku.
“Um, aku
kemarin ngechat dia sih tapi aku
males juga lama-lama. Kenapa ya aku tuh Mbak? Mikirin dia tapi males chat sama dia. Aku kadang lupa bales
soalnya tiap dia bales nggak langsung aku bales Mbak, aku diemin dulu. Tapi
tetep aku bales soalnya aku mau tetep chat
sama dia,”
“Rumit, tapi
menurut saya nih sebagai cewek kamu tuh jangan gantungin dia. Bales ya bales
jangan buat dia nunggu,”
“Ah masa dia
nunggu balesan dari aku Mbak? Perasaan dia pernah lama kalau bales dan biasa
aja enggak kelihatan gimana-gimananya,”
“Karena apa
yang dirasakan enggak harus selalu diperlihatkan yang sebenarnya. Siapa yang
bakal peduli?”
“Ah mainnya
kode-kodean kalau gitu,”
“Memangnya Kim
kasih kamu kode ya?”
“Enggak sih
Mbak, tapi itu jadinya jual mahal.”
“Memang kamu
nggak akan jual mahal kalau Kim nembak kamu? Kan perasaan kamu juga belum jelas
sama Kim, jadi kamu juga bakal nutupin apa yang kamu rasa. Kamu kangen dia tapi
kamu enggak bilang kangen kan? Nah, itu maksud saya”
“Saya ngerti
Mbak, jadi kita enggak bisa asal ngejudge
perasaan orang ya Mbak?”
“Yap, karena
hati orang siapa yang tahu,” aku menanggapi.
“Ah iya maka
dari itu ada istilah baper ya? Karena Cuma perasaan sesaat.” Dia meggangguk
seakan telah menyelesaikan sebuah rumus untuk pergi ke planet Mars. “Saya
mengerti Mbak, terima kasih ya. Kapan-kapan saya boleh ya curhat lagi dong?”
saya mengangguk dan Rivaldi menjadi klien terakhir.
Kegiatan hari
ini berakhir dan rebahan di seprai yang dingin karena tidak ditempati merupakan
godaan yang tidak bisa dihalau. Kurebahkan tubuh lelah ini namun pikiranku
masih bekerja memikirkan tesisku yang telah disetujui oleh universitas almamaterku
dulu. Aku sempat menangis tiba-tiba tapi aku cepat-cepat menghapus air mata yang
menggenang, entah mengapa mungkin karena bangga akhirnya aku akan meraih gelar
baru dan menyematkannya di akhir namaku menjadi
Elizabeth Choi, Ph.D. tanpa orang tua tentunya. Tapi aku tidak boleh
menangis, sudah cukup lama keadaan menempa psikisku agar tidak mejadi wanita
cengeng dan lemah. Aku kuat maka aku segera menghalau segala pikiran itu, aku
terlalu lelah dan aku memutuskan untuk liburan sambil menunggu hasil dari awal
perjuanganku di tahap doktor.
“Bel, gue lagi di Jogja nih. Gue besok ke
Bali mau liburan. Lo lagi dimana?” aku berbicara ketika sapaan dari suara
khas Bella terdengar di ujung telepon.
“Gue lagi di rumah. Lo enggak akan mampir
nih?”
“Ketemuan aja di Bali, ajak suami sama baby
lo,”
“Ide bagus, kebetulan gue mulai males. Kena baby
blues nih,”
“Duh ibu baru ada-ada aja, kabarin gue ya.
Nanti besok gue kasih tau gue nginep di mana,”
“Okay,” dan sambungan komunikasi ini
terputus.
Udara pantai
tercium menyapa hidung bangir yang tertata indah di wajahku. Anginnya menerpa
rambut coklat panjangku. Sore ini sangat indah, beberapa jam lagi aku akan
menikmati sunset pertama di
Indonesia. Untuk malam ini kunikmati Bali seorang diri dulu, Bella dan keluarganya
akan sampai besok siang.
“Lizziiiiiiii..”
teriak Bella sambil menghamburkan pelukannya padaku. Mata hazelnut baby Rosie
menatap bingung perilaku ibunya. Bella memperkenalkan Darius –suaminya yang
dinikahinya dua tahun lalu- dan membiarkan baby Rosie untuk datang ke
pelukanku.
Aroma harum
khas bayi merasuki hidungku, menenangkan sekali. Getaran kasih sayang kepada
makhluk Tuhan yang luar biasa ini menjalar dan terlihat dari reaksiku yang
mendekap baby Rosie dan menganyunnya pelan. Indah.
“Lo mending
buruan nikah deh biar bisa gendong bayi sepuas lo.” Kesadaranku kembali dan
segera mengembalikan baby Rosie kepada Bella. Sahabatku yang satu ini jika
bicara tidak tahu adat. Walaupun terdengar serius tapi aku tahu dia hanya
bercanda sekaligus memperingatkanku bahwa aku harus segera berkeluarga.
“Sayang, aku
mau jalan-jalan ya sama Ros, Lizzi kami keluar dulu,” aku mengangguk dan
tersenyum sebagai tanda ya baginya.
“Lo masih belum
bisa move on dari Reksa?” tanyanya dengan suara yang direndahkan. “Please Liz, dia itu udah lewat delapan
tahun yang lalu dan dia itu udah nikah. Inget?” air wajah Bella berubah serius
tanpa sedikitpun canda.
“Iya gue tahu
Bel. Gue bukannya belum move on cuma
belum siap buat nerima cowok di hidup gue aja,” aku membela diri.
“Sampai kapai
Liz? Lo itu terlalu mandiri Liz! Lo butuh pendamping hidup. Sekuat apapun lo
nolak dan bilang ke diri lo sendiri kalau lo bisa ngelakuin apapun sendiri pada
saatnya lo bakal butuh orang lain.” Aku memang mengakui apa yang Bella katakan,
ketika aku masih berpikir ia melanjutkan nasihatnya lagi. “Lo inget enggak
waktu kuliah dulu gue mati-matian cinta sama Niko tapi pada akhirnya gue nikah
sama Darius dan gue bahagia karena gue ikhlasin semuanya. Lo itu psikolog
lulusan universitas terbaik di Inggris tapi lo sendiri kesakitan. Bangun Liz,”
***
“Lizzi
bangun..” suara orang berbisik terdengar dari luar pintu kamar kostku. “Gue mau
curhat,” usahanya membangunkanku diiringi oleh ketukan malu-malu takut
mengganggu penghuni kost yang lain tapi jelas dia berhasil menggangguku.
“Jam berapa ini
Beeeelll, kayak enggak ada waktu lain aja. Tidur gue jadi enggak berkualitas
lagi,” aku kesal padanya dan memarahinya langsung ketika Bella sudah mengambil
posisi untuk curhat. Duduk di pinggir kasur sambil memeluk boneka babiku yang
besar.
“Gue galau,
masa ya Niko enggak bales chat gue. Udah 12 jam yang lalu padahal. Masa ke
ceweknya tega sih, menurut lo kenapa kayak gitu bu psikolog?” tanyanya dengan
wajah tanpa bersalah.
“Bodo ah, gue
mau tidur lagi,” aku naik ke kasurku tidak peduli dengan posisi Bella yang
tersingkir karena aku mencoba menguasai kasurku.
“Ih Liz lo kok
gitu sih? Temenin gue begadang dong, nunggu balesan dari Niko.” Tidak mau
menyerah Bella terus mencoba menggangguku dengan mengajak main Uno Card,
menonton film drama romantic, maskeran dan segalanya. Aku tetap mencoba
memejamkan mata mencoba mengabaikan sahabat yang terkadang tidak tahu waktu dan
situasi.
“Merem enggak sekarang?”
aku mencoba menyuruhnya tidur dan mulai mematikan lampu. Dengan begitu dia
akhirnya memposisikan dirinya seakan mau tidur, namun ternyata dia malah
berbicara tak tentu.
“Liz, menurut
lo Niko selingkuhin gue enggak ya? Gue dari tadi teleponin dia enggak diangkat,
di sms enggak dibales, chat dari gue juga enggak di read.”
“Dia lagi
ngapain pas terakhir kalian kontekan?” tanyaku yang mulai terhanyut ke dalam
tidur.
“Katanya dia
lagi ada project gitu deh,”
“Nah, dia
berarti dia lagi sibuk. Udah mendin lo tidur jadi kangennya enggak kerasa. Good night sist,” aku mencoba
mencegahnya untuk berbicara lagi.
“’Sayang maaf
handphoneku di tas. Aku baru pulang nih. Kamu pasti udah tidur maaf ya sempet
ngilang tapi aku percaya kamu bakalan ngerti, love you Bel.’ Pesan dari Niko.”
Bella membacakan isi pesan yang dikirim Niko dini hari tadi. Dari ekspresi yang
tergambar di wajah Bella dia senang namun stay
natural dan pura-pura kesal.
“Tuh kan dia
lagi sibuk. Semangatin gih jangan ngomel-ngomel mulu! Lo mending balik ke kamar
gue mau berangkat.”
“Siap bos,”
ucapnya sambil beranjak pergi.
“Gue berangkat
ya,” Bella melambaikan tangannya dan ucapan hati-hati di jalan yang biasa kami
sampaikan ketika salah satu dari kami akan pergi.
Hari ini
perkuliahan telah selesai, namun jam hitam digital hadiah ulang tahunku yang
ke-17 dari Papa masih menunjukkan pukul 14.09 terlalu dini untuk pulang ke
kamar kostku. Sepertinya perpustakaan memanggilku agar mampir sebentar ke
dalam, tidak berdosa kok jika terus-terusan belajar. Aku melangkahkan kaki ke
dalam gedung perpustakaan kampus tercinta, aku berjalan ke lorong kelima dari
sebelah kiri. Di situ rak buku ekonomi, entah kenapa aku rindu Papa sehingga
aku pilih untuk membaca buku tentang Shadow
Economy. Dengan membaca ini, ketika aku kembali ke Jakarta aku bisa
berdiskusi dengan Papa. Aku duduk di sebuah kursi yang lebih banyak kosongnya
dan berhadapan dengan seorang mahasiswa laki-laki yang berkutat dengan laptop
warna silver berlogo buah-buahan miliknya.
“Anak ekonomi?”
Tanya suara di seberangku. Di balik buku yang kubaca aku melihat ke arah lain,
mungkin saja suara itu berbicara dengan orang lain. “Saya berbicara ke kamu
yang lagi baca buku Shadow Economy.” Rasanya itu judul buku yang sedang kubaca.
Lalu kuturunkan buku yang kubaca dan seketika wajah laki-laki yang tadi
berkutat dengan laptop buah-buahan sedang menatap langsung padaku. Tandanya dia
sedang berbicara padaku.
“Um, bukan ko.
Saya dari departemen Psikologi,” matanya menunjuk pada buku yang kubaca. “Oh,
ini? Cuma pengen tahu aja kok, selebihnya enggak ngerti apa-apa hehe,”
“Sayang banget,
padahal kalau kamu anak ekonomi saya mau nanya ke kamu,”
“Eh iya sayang
banget saya enggak bisa bantu, hehe” jawabku canggung. Aku kembali pada buku
yang kubaca.
“Boleh ganggu
enggak?” Tanya suara yang sama, aku menurunkan buku itu lagi, “Di situ ada
enggak tentang bisnis gurita di dunia?”
“Aduh saya
enggak tahu, gimana kalau Kakak aja yang cari sendiri. Ini bukunya,” sumpah nih
laki-laki benar-benar niat untuk menggangguku namun pada akhirnya memberikan
buku yang sedang kubaca. Dia membuka halaman daftar isi dan membuka halaman
yang ia cari. “Kakak, lagi nyusun skripsi?”
“Umm, begitu
deh,” jawabnya sambil menatap tulisan-tulisan yang tidak kupahami. “Kamu
semester berapa?” barulah ia menatap mataku.
“Semester 4
kak,” jawabku.
“Kenalin aku
Reksa dari Fakultas Ekonomi,” ya aku paham, di dahinya tertulis ‘EKONOMI’.
“Aku Elizabeth,
panggil saja Lizzi,” aku membalas jabat tangannya.
“Menurut ibuku,
ketika sedang stres berinteraksi secara langsung bisa menurunkan kadar stres
tersebut kan? So, kamu lagi sibuk enggak?” oh my, dia ngajak aku jalan? Bisa
aja nih strateginya. “Kalau kamu enggak sibuk kita bisa minum kopi atau apalah
biar lebih rileks?”
“Um, sekarang
Kak?” yep dia mengangguk. “Kalau aku tolak, aku khawatir Kakak bakalan bilang
nih anak sombong, tapi kalau aku terima Kakak bakal berpikiran apa?”
“Oh Tuhan, kamu
berpikir sampai ke sana?” aku mengangguk dan menatapnya tanda menuntut jawaban.
“Aku akan berpikir kamu adalah orang baik yang menyelamatkan aku dari jeratan
skripsi yang menyiksa,”
“Okay, aku lagi
enggak sibuk kok makanya baca-baca yang bukan bidang aku,” dia tersenyum dan
membereskan laptopnya. Buku yang tadi aku bawa dari rak akhirnya dia yang
pinjam, untuk bahan referensi katanya.
Kami
berbincang-bincang di kedai minuman di salah satu mall terdekat. Kita mulai
akrab, kita membicarakan apapun yang kami lihat, bukannya bermaksud buruk tapi
obrolan ini dia sangkut pautkan dengan ilmu yang ia dapatkan di kampus selama
hampir 4 tahun. Tak mau kalah aku juga mencoba menjelaskan apa yang aku dapat
di kampus selama hampir 2 tahun ini.
“Coba kenapa barista
itu akrab sama pelanggan. Padahal itu bisa mengganggu konsentrasinya loh,” aku
mengajukan pertanyaan.
“Karena ketika
dia bersikap ramah akan mendatangkan banyak pelanggan dan tentunya akan
menguntungkan kedai ini,”
“Itu dari sudut
ekonomi ya Kak, jika untuk pribadinya sendiri
ia ingin diterima oleh orang lain sehingga dia harus baik, ramah sama
orang lain,”
“Tapi kenapa
Squidwart yang lebih banyak berinteraksi sama orang lebih jutek dibanding
Spongebob yang di dapur yang tidak terlalu banyak berinterksi?” obrolan konyol
kami menambah kedekatan kami. Tapi bukan itu inti aku mau menerima ajakan dia
untuk pergi ke kedai minuman, karena aku mau membantu orang lain dan memberikan
kesan yang baik tentangku. Yang perlu diketahui, aku tidak terlalu memiliki
banyak teman ya hanya Bella dan beberapa teman di kelas yang terlalu banyak
selfie dan melakukan hal tidak penting lainnya.
Hampir selama
satu jam kami berada di sana, ketika aku melihat jam seketika Reksa memberikan
pertanyaan “Kamu mau pulang sekarang?” dan akhirnya kamipun pulang, dia sangat
peka sekali.
“Makasih ya
udah mau nemenin aku tadi. Lumayan lah aku agak fresh sekarang,” ketika sampai
di dekat kostku, beberapa kalimat basa-basi sebelum berpisah itu membuatku aku
tersenyum senang mendengarnya. “Jadi kapan-kapan kita bisa kan jalan lagi? ya
sekedar bantu aku biar fresh lagi soalnya aku mau ngaku kalau ngobrol sama kamu
aku ngerasa bebas,” dia agak tersipu aku malah tertawa. “Kenapa ketawa? Aku
ngaco ya?” sikap salah tingkahnya membuatku gemas, tapi ini saatnya aku pulang
dan kami berpisah setelah kami saling bertukar kontak.
Setelah dia
sampai di rumahnya, dia memberikan kabar padaku. Dia bilang sepertinya rasa
jenuhnya mulai muncul lagi dan aku tidak henti-hentinya memberikan semangat
padanya. Hey, tidak salahkan karena sekarang kami adalah teman. Kami mulai
sering ngobrol kadang telepon dengan durasi yang tidak wajar sebagai teman,
hampir 3 jam!
“Kamu kayanya
sering stress ya ngajakin jalan terus?” kataku sambil memasang sabuk pengaman.
“Kalau sekarang
sih aku enggak lagi stress, Cuma lagi kangen kamu hehe,” aku meninju lengannya
karena kini kami tidak segan untuk melakukan kontak fisik.
“Kemarin aku
ketemu sama dosen, dan diaccept berarti aku tinggal nyelesein bab terakhir,”
aku menjerit karena girang memberi selamat dan minta untuk ditraktir ice cream.
Hari wisudapun
tiba, aku menghadirinya karena secara personal Reksa memintaku untuk hadir,
saat itu juga aku bertemu dengan keluarganya. Reksa punya adik yang masih kecil
kira-kira umurnya 10 tahun, cukup jauh dengan usianya. Selama prosesi itu, aku
terharu dan dalam diriku muncul kata-kata ingin cepat wisuda, kata-kata itu
terus-terusan terngiangan di kepalaku.
Setelah acara
selesai, aku turut pula makan siang dengan keluarganya. Sembari menunggu
makanan datang Reksa mengatakan kepada kedua orang tuanya bahwa aku juga akan
wisuda 2 tahun lagi, restui hubungan kami. Hubungan kami?
“Maukan kamu
jadi pacar aku?” Tanya dia secara tiba-tiba. “Maaf aku baru bilang sekarang
karena kamu tahu aku beberapa waktu lalu aku fokus sama skripsi aku, aku enggak
mau kamu dicuekin dan marah-marah yang bisa bikin aku pusing,”
“Ya aku ngerti,
cuma ko aneh ya?”
“Aneh gimana?
Kamu Cuma anggep kita temen aja ya?” Tanya dia dengan suara yang agak rendah
karena kehilangan kepercayaan diri.
“Iya karena
kita biasa barengan tanpa status sebagai pacar gituloh, terus ketika semua
selesai aku juga kebagian bahagianya?”
“Kamu bahagia?
Yaudah kalau gitu kita resmi ya jadi sepasang kekasih? Ingetin tanggalnya,
tanggal 5 September,” memang agak sedikit memaksa tapi itu lebih baik karena
aku tidak sanggup berpura-pura so jaim lagi.
Ketika Reksa lulus
otomatis aku menjadi mahasiswa semester 5, dia diterima kerja di salah satu
perusahaan properti terbesar di dunia yang membuka cabang di Indonesia. Karir
kekasihku itu sangat mulus. Setahun bekerja, Reksa di panggil ke kantor pusat
di Jakarta yang membuat kami jarang bertemu, kami bertemu ketika Reksa pulang
ke Yogyakarta mengunjungi keluarganya. Dan beberapa bulan setelah dia bekerja
di Jakarta sikapnya mulai berubah dan waktunya pun tiba, dia memutuskan
hubungan kami. Saat itu tepat aku menyelesaikan semua mata kuliahku sehingga
aku bisa mulai menggarap skripsi, oh damn
ketika aku skripsi dia malah pergi!
“Si Reksa
mutusin lo pas banget lo mau skripsi? Brengsek banget tuh orang!” Bella
sahabatku ikut berang.
“Udahlah enggak
apa-apa, lagian semangat terbesar gue buat lulus itu bukan karena Reksa kok,
tapi karena gue pengen cepat kuliah di Inggris, di kampus dambaan gue sejak
dulu.”
“You sure? Engga usah so ngebelain dia
deh Liz, dia tuh udah jahat sama lo. Ketika dia stres ngerjain skripsi lo
nyempetin waktu buat nemenin dia kan padahal lo juga lagi sibuk ngerjain
tugas?” Bella tetep keukeuh kalau Reksa itu brengsek.
“Iya udahlah
enggak usah dibahas juga. Dia pernah bilang kalau dia itu lagi banyak masalah
di kantornya, mungkin dia mutusin gue biar enggak nambah beban buat dia,” aku
mengungkapkan kemungkinan yang sejak putus terlintas di pikiranku.
“Lo tuh terlalu
positive thinking sama dia, maksudnya
adalah timbal baliknya. Lah ini mah habis manis sepah dibuang,”
“Gue enggak
ngebelain dia, emang dia mah gitu orangnya. Lo inget ga cerita gue pas gue
jadian? Kan dia nunda nembak gue karena mau fokus sama skripsinya, nah ini juga
mungkin dia mau fokus sama kerjaannya,” aku terus-terus mencoba jadi Miss Brightside.
Ketika Reksa
memutuskanku, tidak sedikitpun air mataku jatuh menyesali keadaan. Entah
mengapa otakkku berpikir seakan tidak peduli, hatiku merasa tidak peduli. Dan
aku tidak sedih sedikitpun atau membencinya, tidak ada perasaan apapun selain menerimakan
semuanya.
Aku tidak
pernah main-main dengan apa yang menjadi impianku. Benar saja aku dengan
semangat ingin segera keluar dari kampus yang telah menghidupkan kecintaanku
pada dunia psikologi dan memperluas pemikiranku yang pasti membuatku lebih menjadi
orang yang keras akan pendirian dan pendapatnya. Aku professional dan akan
terus seperti itu. Aku selesai sidang dengan nilai yang memuaskan, membuat
dosen penguji terpukau dengan kemampuanku dan tidak segan memberikan nilai
sempurna. Dua minggu lagi pelepasan mahasiswa yang telah berhasil lolos dari
pertanyaan dan tatapan dosen yang mengintimidasi –ujian sidang.
Hey apa kabar? Gimana skripsinya beres?
Pesan masuk.
Dari Reksa. Ah aku terlalu malas untuk segera membalasnya dan ku lanjutkan
kembali menulis cerita-cerita romantis milik orang-orang yang kutemui dalam
sebuah buku catatan bersampul warna putih. Ketika cerita yang kutulis selesai,
aku meraih ponselku dan membalas pesannya.
Kabar baik, tanggal 19 Wisuda.
Tidak
membutuhkan waktu yang lama, pesan balasan dari Reksa sampai ke nomor ponselku.
Selamat kalau begitu.
Iya terima kasih.
***
“Gue heran deh
sama lo, lo tuh seneng banget nyeritain kisah cinta orang lain sedangkan lo
sendiri belum siap nerima cinta dari orang lain. Jangan-jangan lo philophobia
deh,” ucapan Bella menggema di kepalaku hingga kami berpisah dan kembali ke
kamar hotel masing-masing.
Philophobia?
Takut akan cinta?
Aku segera
menghalau pikiran itu. Bagaimana mungkin aku bisa memiliki phobia semacam itu.
Aku seorang psikiater dari universitas besar dan ternama yang dimiliki dunia
ini, bagaimana mungkin bisa? Aku tidak takut akan cinta kok, aku merasa terharu
ketika Bella akhirnya menikah Darius. Itu buktinya aku tidak mengidap
philophobia, masalah aku belum menikah di usia awal 30-an karena memang aku
belum ingin terikat dan membangun komitmen. Hanya itu.
Aku mencoba
meyakinkan diriku bahwa aku tidak takut akan cinta, aku normal dan aku tidak
mengidap kelaian apapun. Tak terasa aku tidak tidur semalaman dan kantung mata
membengkak, Bella terkejut melihat lingkar mataku yang menghitam. Aku menepis
bahwa aku tidak apa-apa, dan aku bersikap seperti layaknya tidak terjadi
apa-apa. Sampai Bella dan keluarganya kembali ke Jakarta dan aku kembali
sendiri, aku kembali terlarut dalam pikiran itu.
***
“Selamat ya,”
suara yang tidak asing memenuhi telingaku, aku agak tergelitik karena napasnya
mengenai telingaku dan aku tahu suara siapa. Reksa.
Reksa datang
sembari membawa sebuket bunga tulip putih. Lengan kemeja warna merah mudanya
digulung hingga siku, dengan kumis tipis yang sengaja tak ia cukur. Hari itu
Reksa sangat memesonaku.
“Maaf ya Om
Tante saya sempat menghilang mungkin Lizzi sudah cerita, soalnya saya waktu itu
dipromosikan, namun terdapat sabotase yang cukup memakan pikiran sehingga tidak
ingin membuat Lizzi cemas, saya menghilang darinya.” Matanya kini tertuju pada
mataku, “Maukan kamu maafin aku?”
“Makanan sudah
dataaaang, mari kita makan dulu. Bincang-bincangnya nanti saja kalau kalian
lagi berdua, soalnya melihat kalian romantic seperti itu Papa jadi ingin ngajak
Mamamu ini bulan madu lagi,” aku tertawa geli dan kami semua tertawa. Papa
paling hebat dalam mencairkan suasana.
Ketika Papa dan
Mama sedang menghabiskan waktu untuk berbelanja dan jalan-jalan di sekitaran
Malioboro, aku dan Reksa mampir di salah satu rumah makan yang menyediakan
gudeg terenak di saentaro Yogyakarta, tempat yang pernah kami kunjungi dulu.
“Lizzi, aku
tahu kamu marah, benci sama aku. Tapi aku minta maaf, karena itu juga untuk
kebaikan kita. Aku sudah naik jabatan dan aku sudah merancang masa depan kita
nanti. Kesibukanku semata-mata untuk kebaikan kita. Kamu tahu jika kita terus
bersama, aku menghilang karena sibuk kerja dan kamu rindu, kamu pasti akan
marah-marah tidak jelas karena rindu yang meledak yang akan membuat aku juga
pusing dan stress. Tapi jika kita putus, kamu rindu pun tidak akan menuntut
kan? Sehingga tidak membuat beban pikiranku kacau, sehingga aku bisa cepat
menyelesaikan semua masalahnya, aku harap kamu mengerti Liz,”
Iya semua yang
dikatakan Reksa benar, ketika aku rindu padanya dan sedang dalam keadaan putus
aku tidak bisa menuntut apa-apa padanya. Hanya saja, apakah dengan seenaknya
begitu dia bisa memutuskan dan mengajak ku kembali?
“Aku janji
tidak akan ada kejadian seperti ini lagi, karena kamu kan sudah lulus. Maka,
maukah kamu menikah denganku?” tanyanya serius. Gudeg yang terlihat lezat itu
kehilangan pesonanya dan perlahan mendingin akibat percakapan singkat yang
memakan banyak waktu untuk diam itu.
“Aku daftar S2
ke Inggris,”
Reksa agak
terkejut, tapi dengan cepat dia bisa mengatasi keterkejutannya itu, “Oh sudah banyak yang tidak ku ketahui ya,”
aku canggung jadi kualihkan pada gudeg yang tadi menonton kami. “Tapi, aku
tidak bisa meninggalkan pekerjaanku karena jabatanku sudah cukup untuk
kehidupan kita, mungkin kamu bisa
membatalkan rencana kamu kuliah S2 di Inggris, kan di Indonesia juga banyak
universitas yang bagus,”
“Meskipun
universitas di Indonesia yang kamu maksud itu peringkatnya jauh di atas Oxford,
aku akan tetap memilih kuliah di Oxford,” aku bersikeras.
“Baiklah,
pernikahan kita diundur saja sampai kamu lulus S2. Okay sayang?” tangannya
meraih bahuku dan menariknya agar mendekat pada tubuhnya, akupun tidak sedingin
tadi.
Akhirnya
liburan keluarga di Yogyakarta berakhir dan akupun resmi pindah ke Jakarta
kembali ke rumah orang tuaku. Reksa mengatakan sembari menunggu hasil dari
seleksi universitas impianku, lebih baik aku melamar pekerjaan di rumah sakit
di Jakarta, sehingga walaupun aku tidak diterima aku bukanlah pengangguran yang
membebani Negara ini.
Lima bulan
berlalu, akhirnya pengumuman hasil seleksi aku terima dan hasilnya positif. Aku
memberikan kabar bahagia itu kepada Papa, Mama, Reksa dan juga Bella sahabatku
di Yogya. Semuanya memberikan selamat secara tulus dan bangga akan
pencapaianku, namun tidak sebaliknya dengan Reksa.
“Yah, kita
bakalan LDR dong,” katanya agak kurang setuju dengan hasil yang kudapat.
“Loh kok kamu
kayak yang kecewa gitu? Enggak bangga ya sama pacarnya yang hebat ini?”
tanyaku.
“Aku bangga
banget sayang kamu hebat, Cuma ya kita bakalan terpisah jauuuuuuuuh,”
“Ya Tuhan, kita
hidup di zaman dimana kita bisa tatap muka langsung meskipun lewat video call,
tapi kan setidaknya kita masih bisa komunikasi yang,”
“Iya aku paham,
tapi aku bakalan rindu kamu banget,” kalimat penutup dari sambungan telepon
Reksa. “Aku kerja lagi ya, love you honey”
Itulah priaku,
kadang sikapnya membuatku sedih dan kecewa. Aku tahu LDR bukan hal yang mudah
tapi apakah hal itu bisa mengalahkan mimpi-mimpi pasanganmu?
Tibalah
akhirnya aku berangkat ke Inggris menuju kampus impianku diantar oleh Papa,
Mama dan turut Reksa mengantarku. Seperti biasa kami menghabiskan waktu bersama
seakan kami adalah keluarga bahagia dengan putri mereka yang baru saja menikah
dengan pria pujaannya yang luar biasa indah di matanya. Kampus ini ramai sekali
oleh mahasiswa baru baik undergraduate maupun graduate dan keluarga mereka yang
mengantar putra-putri ataupun keluarganya untuk menuntut ilmu di kampus yang
keren luar bisa bagiku. Kampus agung yang selalu menghantui pikiran Lizzi sejak
kecil. Besoknya mereka pulang kembali ke Indonesia dan mulailah petualanganku
sendiri di sini.
Setiap harinya
ku jalani dengan penuh semangat, tidak ada satu haripun aku malas bangun dari
tempat tidur untuk berangkat kuliah. Tidak ada satu haripun aku malas untuk ke
perpusatakaan mencari segudang ilmu psikologi dari penulis hebat di seluruh
dunia. Aku merasa inilah fase dimana hidupku menjadi lebih hidup daripada
sebelumnya, tidak pernah kurasakan gejolak semangat yang selalu meluap-luap
untuk selalu ingin tahu lebih dalam lagi tentang psikologi yang ditawarkan
profesor dan doktor yang dimiliki universitas ini.
Namun pada
suatu malam di bulan Februari, dengan segelas coklat panas dan lagu yang
dibawakan oleh Taylor Swift mengalun dari music
doc tubuhku mengikuti irama. Tiba-tiba email masuk, dari Reksa.
Maaf
baru membalas pesanmu.
Liz,
aku membeli handphone baru dan aku kehilangan kontak kamu. Untung saja kamu
mengirim pesan lewat email sehingga aku bisa menghubungi kamu. Kenapa tidak ada
cara untuk menghubungimu karena aku tidak mengingat semua password sosial
mediaku, aku dirampok dan aku lupa semuanya. Maaafkan aku yang tidak
memberitahumu.
Tapi
aku ingin mengatakan sejujurnya, bahwa ketika aku kerampokan aku sempat tidak
mengingatmu lalu aku bertemu dengan Maya, wanita yang menyelamatkan aku dari para
pencopet itu. Untung saja aku tidak apa-apa, hanya kehilangan hanphone, laptop,
dompet, dan juga sebagan ingatanku. Saat tidak mengingatmu, aku jatuh cinta
pada Maya. Dia yang selama ini mengisi hari-hariku Liz. Aku mengingatmu karena
kutemukan foto kita berdua di laci kamarku. Entah kenapa semua kenangan kita
tidak terlihat dan menjadi tersembuyi setelah kejadi perampokan itu. Maafkan
aku Liz, tetapi dengan begitu aku telah terpaut pada Maya. Aku harap kamu
mengerti.
Jaga
diri kamu baik-baik,
Ex-yours
Reksa
Membaca pesan
itu seakan dunia runtuh menimpaku, pesanku yang kukirim sejak hampir sebulan
yang lalu baru dia balas dan mengatakan bahwa dia jatuh cinta pada wanita lain?
WTF!
Dengan alibi
bahwa dia dirampok dan lupa ingatan, apa itu masuk akal? Apakah dia bermimpi?
Dia pikir ini semua sabotase? Perampokan, jatuh cinta, Maya, foto-fotoku
dengannya tidak ada dalam jangkauannya, lupa ingatan, dan semua hal aneh yang
menjadi alibinya. Brengsek Reksa!
Tahu dia sudah
melupakanku, aku terima saja ajakan kencan dari John Cameron –teman satu
kelasku. Padahal aku tahu dia sangat memujaku dan aku dengan mudahnya
mematahkan hatinya hanya karena menganggap Reksa adalah kekasihku. Damn!
***
Sehari setelah
Bella kembali ke Jakarta, akupun kembali ke Inggris untuk ujian. Akhirnya aku
mendapatkan gelar Ph.D tersebut, Ma, Pa Lizzi udah S3 nih, hebatkan. Ucapku
dalam hati sembari memperhatikan ijazah yang baru saja kuterima.
Hari ini hari
minggu, saatnya me time. Aku mau
membersihkan apartemenku setelah itu aku ingin ke salon. Kulitku rindu sentuhan
mewah dari treatment garam Perancis
ataupun bubuk mutiara. Ayo kita mulai dari membereskan kamar terlebih dahulu.
Belum lama aku beres-beres handphoneku berbunyi.
“Doktor Choi, anda dipanggil oleh Professor
Gardner, beliau tunggu kedatangan anda,” sekretaris Professor Gardner
menyampaikan pesannya lewat telepon, apakah ada hal penting? Aku buru-buru
mandi dan bergegas menuju kantor.
“Selamat pagi
Profesor,” sapaku diiringin senyuman ceria.
“Selamat pagi,
ah Doktor Choi silahkan duduk.” Beliau mempersilakanku duduk, dari gesturenya
professor akan berbicara sangat serius. “Apakah anda pernah mendengar nama
Antonio Pallavucci?”
“Bukankan dia
seorang mafia dari Chile?” tanyaku.
“Dan seorang
psycho,” tambah professor. “Dia ada di sini, di ruang terapi. Saya ingin anda
memberikan cinta padanya agar hatinya melunak,”
“Apakah
professor terinspirasi dengan kisah Harley Quinn dan Joker?” tanyaku mulai
mencium kekhawatiran.
“Tidak, saya terinspirasi
dari materi dari tesis doktor Choi beberapa pekan lalu.” Katanya menjawab
pertanyaanku.
“Tapi
penelitian saya hanya berlaku untuk orang Indonesia saja prof. Saya pesimis
dengan ide Anda,” kataku ragu.
“Anda ingat
bahwa cinta manusia hampir sama kuatnya dengan kasih Tuhan. Sehingga jika pasien
diberikan treatment dengan supply kasih sayang atau cinta,
perlahan-lahan pasien akan melunak,”
“Saya sangat
ingat karena saya sendiri yang menulisnya,” jawabku.
“Maka dari itu
saya percayakan penelitian ini pada doktor Choi,”
“Tapi…”
“Jika doktor
berhasil, anda akan menjadi professor muda yang dimiliki laboratorium psychology experimental.” Tawaran ini
cukup menggiurkan hanya saja aku harus langsung memberikan cinta pada orang
yang tidak aku kenal? Anda pikir aku siapa? Supplier
cinta? Damn it, apa yang harus aku lakukan? Aku bingung, aku kacau, aku takut,
apa yang harus aku lakukan?
***
Satu email
masuk.
Hey, Lizzi aku akan menikah.
Ini aku lampirkan undangannya. Waktunya sudah aku sesuaikan dengan jadwal libur
kamu, jadi aku harap kamu tidak punya alasan untuk tidak datang. Salam bahagia
–Reksa.
Reksa memang
brengsek, tapi kebrengsekannya tidak membuat aku mundur. Untuk kedua kalinya
aku tidak menangis menyesali kepergiannya, aku hanya marah kepada diriku karena
bisa mencintai pria semacam dia. Pria yang selalu memutuskan segalanya secara
sepihak, pria yang tidak pernah mengijinkan aku untuk memberikan pendapatku,
pria yang datang dan pergi sesukanya tanpa berpikir tentang perasaan
pasangannya, pria yang merencanakan semuanya sesuai dengan keiinginannya tanpa
melihat sisi pasangannya, pria yang egois dan gila. Untuk apa aku menikahi pria
yang tidak peduli dengan impian kekasihnya?
Semua kesakitan
hatiku aku bayar tunai dengan sekali lagi hasil yang memuaskan. Aku dikenal
oleh semua professor dan doktor departemen psychology experimental yang aku
diami, aku dikenal oleh semua mahasiswa karena ketika wisuda aku adalah
mahasiswa dengan nilai tertinggi. Ku lihat kedua orang tuaku menagis haru di
kursi pengunjung. Aku tersenyum bangga namun penuh dendam.
“Pa, Ma sambil
nunggu jadwal pulang gimana kalau kita nonton opera? Aku lihat ceritanya
ditulis oleh Shakespere,” ajakku saat makan malam.
“Dimana
teaternya sayang?” Tanya mama.
“Tepat di
sebelah restaurant ini Ma,”
“Ayo kalau
begitu, kapan lagi kan kita bisa nonton opera?” canda Papa.
“Ya kapanpun
kalian mau, soalnya aku mau langsung daftar S3 yaaaaaa,” pintaku. “Jadi kalau
kalian ingin nonton ya sekalian jenguk putri kalian ini hehe,”
Akhirnya
setelah makan malam selesai kami bertiga memasuki teater ini, untung saja masih
tersedia tiket untuk kami, tak akan pernah ada keluarga kecil sebahagia
keluarga kami. Reksa terlalu bodoh untuk keluar dari atmosfer kasih sayang
kami.
“Kamu jaga diri
baik-baik ya di sini, jangan pikirin Reksa. Mama engga suka sama dia sejak kamu
wisuda, datang saja seenaknya,” mama gelisah.
“Iya Papa juga
tidak mengizinkan laki-laki seperti itu menjadi mantu papa, untung saja Tuhan
telah menunjukkan siapa Reksa. Terberkatilah kami selamat dari laki-laki sialan
itu,” papa emosi.
“Sudahlah memang
aku tidak memikirkan dia sama sekali. Aku tidak akan datang ke pernikahannya,
biarkan dia hidup tanpa harus laporan ke Lizzi,” aku terkekeh untuk membuat
mereka tahu bahwa aku baik-baik saja.
Akhirnya
pesawat tujuan London-Jakarta tiba, Mama dan Papa siap-siap pergi dan aku
merasakan pelukan yang agak berbeda dari keduanya. Terima kasih kalian tidak pernah menyerah kepadaku, hati-hati di jalan.
Aku melambaikan tangan tanda perpisahan. Tanpa sadar air mataku menetes jatuh
pada lenganku yang kulipat untuk memeluk diriku sendiri.
Ketika aku
sampai di apartemen, aku rebahkan tubuhku di kursi malas di depan TV. Oh nyaman
sekali rasanya tanpa beban apapun, aku pikir aku akan tidur nyenyak malam ini.
Menurut sebuah studi, tidur yang baik adalah tidur yang tidak memiliki mimpi
dan itu yang terjadi padaku tadi malam, tapi sayangnya aku kesiangan akibat
terlalu menikmati tidurku walaupun tertidur di sofa dan tanpa mengganti baju
terlebih dahulu.
Sesampainya di
laboratorium milik Departemen Psychology Experimental, John tiba-tiba memeluk
diriku. Aku mencoba melepaskan dari pelukannya hanya saja dia semakin memelukku
erat, sebenarnya apa yang telah terjadi?
“Kamu belum
mendengar beritanya?” Tanya John dengan wajah bingung. Bingung bagaimana
sebaiknya ia menyampaikan berita menyedihkan itu. “Pesawat tujuan
London-Jakarta terbakar akibat kerusakan mesin dan jatuh di laut. Tadi pagi
belum ada pesawat London-Jakarta yang pergi, jadi kemungkinan itu adalah
pesawat yang orang tua kamu tumpangi,”
Wajahku kaku,
semua otot dan sendiku seakan tidak bisa bergerak namun jantungku memompa darah
lebih cepat dalam beberapa detik gravitasi berhasil menarik tubuhku yang tanpa
perlawanan. Tapi dengan sigap John menahan tubuhku sehingga mendarat dengan
lebih baik.
“Kau bohong
John! Tapi hari ini bukan April Mop.” Aku berbicara sendiri. “Tidak, tidak
mungkin, bisa saja itu pesawat yang lain. Bukan pesawat yang sama, aku tidak
percaya,”ketika air mataku keluar ketika itu pula John memelukku lagi, lebih
erat dan memberikan kenyamanan dari pada yang awal.
Hari itu, aku
kehilangan sekaligus kedua orang tuaku. Keluarga satu-satunya yang aku punya.
Tahun 1998 aku kehilangan kakek, nenek, paman, bibi dan semua keluargaku akibat
bencinya pribudi kepada kaum kami. Aku, mama dan papa pergi ke Singapura dan di
sanalah kami bersembunyi. Kami hidup selama hampir 4 bulan dan mulai
memberanikan diri untuk kembali ke Indonesia berharap ada yang tersisa.
Keluarga, tanah, bagunan, semua harta benda kami lenyap dijarah pribumi. Kami
membeli kembali tanah kami dulu secara resmi agar terhindah dari masalah
sengketa walaupun menyakitkan tapi kami harus melakukan hal itu. Lalu dengan
tabungan seadanya Papa membuka kembali toko keramik, ternyata mitra bisnis Papa
masih menaruh kepercayaan dan kami mulai berjaya kembali.
Malamnya aku
pulang ke Indonesia bersama John yang bersikeras ingin ikut karena khawatir
akan terjadi hal yang membahayakan diriku. Sikapnya membuatku mengizinkannya
ikut walaupun dalam perjalanan aku hanya banyak diam dan memandang kosong ke
luar jendela. Otakku terus menerus memutar kembali kenangan bersama mereka, dan
air mataku tidak berhenti mengalir.
Aku sempat
tidak ingin kembali ke Inggris, aku ingin di sini. Hidup dalam kenangan, menari
dalam angan dan dipeluk kesedihan. Sehari-harinya aku hanya menangis dan tidak
mau makan, tingkahku membuat John hampir frustasi.
“Liz, biarkan
aku melindungimu. Jangan sedih lagi, aku ada untukmu. Kemarilah biarkan tubuhmu
merasakan tulusnya cintaku, aku mencintaimu Lizzi dan rasa itu tidak pernah
berubah sejak aku pertama melihatmu, kemarilah cintaku,” tangannya mencoba
mempersilakanku untuk menerima pelukkannya, tapi aku takut. “Kenapa kamu ragu?
Aku akan menjadi orang yang menjaga dan melindungimu selamanya karena aku
mencintaimu,”
Kalimat itu
lagi. “Berhenti John jangan sebut kata itu lagi!”
“Kata yang
mana? Kata cinta?” tanyanya tanpa rasa bersalah.
“Stop John!”
aku meringis, aku menutup telingku namun kata-kata John terus berdengung di
telingaku hingga kepalaku menjadi sakit. Terus menerus, sakit. Aku teriak
kesakitan, kata-kata itu memukul kepalaku, memeras otakku.
Ketika aku
terbangun, aku berada di ranjang rumah sakit dengan jarum infuse tertanam di
nadiku. Kepalaku sedikit pusing dan pandanganku kabur karena serbuan cahaya
yang mencoba masuk ke dalam pupilku. Di sana John duduk dengan sabar
menungguiku, memegang tanganku, menciuminya.
“Kamu mau
minum?” dia menuntunku untuk minum segelas air putih. Rasanya enak sekali,
dingin mengaliri tenggorokkanku yang kering. John tidak mengatakan apa-apa, dia
hanya tersenyum dan menemaniku hingga akhirnya aku merasa sehat dan memaksa
untuk keluar dari rumah sakit.
“Ayo kita
pulang,” ajakku. “Masukan semua baju dan barang-barangmu, aku harap kita masih
bisa pergi hari ini. Aku yang akan memesan tiket pesawatnya, kamu tidak usah
khawatir aku bisa melakukannya,” aku tersenyum untuk meyakinkannya.
Kami tiba di
London pada siang hari dan aku memilih untuk langsung ke lab. Semua orang
terkejut lalu menyambut kedatanganku. “Aku akan mengabdikan diriku untuk ilmu
pengetahuan yang tidak akan menemui batas akhir demi menyelamatkan dunia dari
hal-hal buruk yang bisa manusia lakukan,” semua orang terkejut mendengar
pernyataan langsung dariku yang tanpa aba-aba tersebut, termasuk John. Aku
lakukan hal ini semata-mata untuk mengobati rasa sakitku.
***
Mengenai
tawaran dari Profesor Gardner aku rasa tidak ada salahnya untuk mencoba. Aku
pikir penelitian ini sekaligus untuk mencoba menumbuhkan cinta dalam hatiku
yang gersang ini. Ya, aku akan mengambil tawaran ini.
“Liz, ini
terlalu bebahaya. Dia adalah psycho paling berbahaya di dunia. Kau tahulah
kasusnya aku tidak mampu membayangkan dan menyebutkan padamu jika kamu belum
tahu,” John mencoba mempengaruhiku untuk mundur.
“Tenang saja
John, aku tidak akan apa-apa. Aku akan menerapkan teoriku padanya, sebagai tim
yang baik aku harap kamu tidak mengacaukan ini,” ucapku sembari berlalu pergi.
Apakah aku akan
berhasil? Ataukah akau yang malah menjadi pasiennya? Apakah aku akan berteriak
lagi seperti orang gila lagi? Apakah aku akan baik-baik saja? Aku melangkah
masuk ke ruang terapi dimana Antonio berbaring membelakangiku, dengan kedua
tangan dan kaki yang dibelenggu.
“Selamat
siang,” kataku mencoba seramah mungkin. “Aku Dokter Choi, um apakah kamu sudah
makan siang hari ini?”
“Aku tidak lapar,”
kata suara berat itu dengan kasar.
“Baiklah jika
kamu tidak ingin makan. Kami akan menyediakan makanan hangat sehingga kalau
kamu merasa lapar kamu tinggal menekan tombol di samping ranjangmu, okay?”
tanyaku riang walaupun dia tidak melihat ekpresi wajahku yang sengaja kubuat
seceria mungkin.
“Dokter, apa
yang akan kau lakukan jika aku memiliki ini?” dia memiliki pistol di tangannya,
disembunyikan di bawah selimutnya agar tidak terlihat oleh CCTV yang mengawasinya
24 jam. Wajahku pucat pasi, tetapi dia malah tertawa dan tawanya semakin keras
mencoba menyembunyikan suara tembakan yang mengarah tepat ke jantungku.
Aku terduduk
lemas, menahan sakitnya akibat peluru yang bersarang di jantungku sekarang dan
menghambat kerjanya. John langsung masuk ketika Antonio telah berhasil
menembakku, kejadiannya sangat cepat sehingga semuanya terlambat. Semua orang
menjadi siaga karena pasien masih bisa menjadi lebih berbahaya. John memeluklu
lalu membawaku keluar dari ruangan itu menuju ruang bedah, memanggil semua dokter
bedah untuk menyelamatkanku. Namun kerja jantungku semakin lama semakin melambat,
seketika banyangan aku bersama mama dan papa saat menonton opera, saat aku
wisuda, saat aku dengan reksa, saat aku dengan John, semua kenangan bertebaran
di ingatanku.
Aku terlalu
takut untuk mengakui bahwa aku mencintai orang lain selain diriku setelah semua
yang kucintai pergi. Aku terlalu takut menerima kenyataan bahwa ada orang lain
yang mencintaiku, aku takut kehilangannya. Aku takut itu adalah suatu
kebohongan belaka. Aku takut tertipu karena sebenarnya itu adalah suatu
sabotase yang dilakukan oleh otakku agar tetap selalu siaga. Aku takut itu
adalah kamuflase agar aku terbuai dan jatuh pada kesedihan yang merengut
malam-malam tenangku. Aku takut, aku terlalu takut menyadari bahwa cinta itu
ada untukku.
Komentar
Posting Komentar