Hello, Make Up

Pada dasarnya semua wanita adalah cantik, ya kalimat itu yang membuat aku menyukai make up. Semua kakakku adalah perempuan dan mereka suka berdandan. Semua wanita yang ku temui dalam setiap acara makan malam, perpisahan sekolah, atau wanita-wanita karir yang ku temui saat aku di bus menuju sekolah semuanya berdandan. Make up adalah duniaku, sayangnya ibu mengaharuskan aku masuk jurusan ekonomi, tapi tak apa semua temanku di perguruan tinggi adalah wanita yang suka berdandan. Setelah dosen keluar kami berdandan, setelah makan siang, saat mata kuliah di sore hari, selesai pulang kuliah, saat mau berangkat hang out, saat akan pulang dari hang out, kami selalu berdandan. Tas kami penuh dengan lipstick, bedak, pensil alis, parfum, dan cermin. Kami adalah kumpulan wanita yang menyukai keindahan fisik lewat make up.
“Stella, kamu sama Ardi kan udah pacaran lama. Kapan nih mau nikah?” celetuk ibu ketika kami sekeluarga ditambah Ardi –pacarku- sedang makan malam di rumahku di Bandung.
Aku hanya terkekeh dan melirik ke arah Ardi, berharap dia mau membantu menjawab pertanyaan ibu yang sangat tiba-tiba itu.
“Hm, sebenernya aku udah ada niatan buat melamar Stella Bu, tapi masih belum tahu kapan waktu yang tepat,” jawab Ardi lugas. Dia memang selalu bisa aku andalkan, aku sangat mencintainya.
Kedua kakakku yang semuanya sudah menikah menggodaku, “Cie, mau nyusul” aku hanya cengengesan.
Setelah liburan akhir pekan yang aku dan Ardi habiskan di Bandung berakhir, kami berdua kembali ke Jakarta untuk kembali ke rutinitas kami. Kami satu kantor di kantor pusat salah satu bank besar yang ada di Indonesia. Ardi adalah seniorku dan dia yang membimbingku ketika aku masih jadi anak baru. Setelah masa bimbingan selesai ternyata hubungan kami berlanjut dan menghasilkan jalinan kasih hingga sekarang yang sudah terajut selama empat tahun. Dari sejak aku bertemu Ardi, dia adalah pahlawan. Ardi selalu menjadi orang pertama yang selalu membantu menyelesaikan masalahku, membantu menjelaskan ketika aku dimarahi oleh atasan, dan kejadian kecil lainnya yang mungkin menurut kalian berlebihan tetapi menurutku itu adalah kejadian-kejadian manis yang selalu Ardi coba ciptakan. Kami selalu berpapasan ketika akan pergi ke pantry, ketika akan ke toilet, ketika akan mengambil sesuatu di front desk, ketika baru datang, ketika akan naik lift, dan ketika-ketika lainnya. Mungkin menurut kalian itu hanya kebetulan, tapi menurutku yang sedang jatuh cinta itu adalah suatu kebetulan yang menuntun pada takdir. Namun satu minggu sejak percakapan yang serius itu Ardi belum memberikan kejelasan lagi, kapan dia akan melamarku, kapan dia akan bertemu dengan orang tuaku, bahkan dia tidak pernah menyinggung apa-apa. Apakah dia lupa?
Stella ke ruanganku, sekarang” suara Ardi yang sangat familiar.
“Baik, Pak,” aku mengembalikan gagang telepon ke tempatnya.
Aku mengetuk pintu ruangan Manager dan aku masuk ke dalamnya. Di sana duduk Ardi dengan kedua tangan yang memangku dagunya. “Ada apa, Pak?” di kantor aku tetap memanggilnya Pak walupun tidak ada yang mendengar kami, itu adalah permintaan Ardi sejak dia dipromosikan menjadi manager dua bulan lalu.
“Stella, aku mau membicarakan sesuatu yang serius. Dengar, hubungan kita tidak bisa terus berjalan,” aku kaget dan tidak bisa berkata apa-apa. “Aku ingin jujur padamu karena aku tidak bisa membohongimu lebih lama lagi. Aku jatuh cinta kepada Clara” Clara siapa? Otakku mencoba mengingat apa aku mengenal Clara. “Clara dari perusahaan penerbit di lantai 56,” Ardi menjelaskan.
Aku masih diam tetapi aku menunduk, “Dengar Stella, selama seminggu ini pikiranku terganggu atas permintaan ibumu itu, aku berpikir dan terus bertanya pada diriku sendiri apakah aku masih mencintaimu? Apakah aku harus menikahimu agar aku yakin aku mencintaimu apa tidak? Kau tahu pertanyaan itu terus menggangguku hingga aku tidak bisa tidur selama seminggu. Bayangkan Stella!” dia bangun dari kursinya, berjalan mondar-mandir dan mengacak rambutnya tapi aku masih menunduk dan meremas jari-jariku.
Ardi memegang bahuku dan menatap mataku dalam jarak kurang dari 10 centimeter tapi aku tak kuasa menatap matanya, mataku basah oleh air mata. “Stella aku minta maaf tapi pada kenyataannya aku sudah tidak mencintaimu lagi,” dia berlutut dan meminta maaf. “Sampaikan maafku pada ibumu, maaf” aku memundurkan kursi yang kududuki dan pergi keluar dari ruangan yang menyesakkan itu, berlalu ke toilet.
Aku mondar-mandir di depan wastafel dan mencoba mengolah informasi mengejutkan itu. “Oh, setelah dia menjadi manager lalu dia bisa memilih wanita manapun? Begitu?” aku malah menangis sesegukan.
Keesokkan harinya adalah suatu kebetulan lagi, ketika pintu lift akan tertutup  datang Ardi dan Clara yang berjalan bergandengan tangan, sangat mesra. Saat itu ingin rasanya aku keluar dari lift dan naik tangga saja hingga ke lantai 60 tempat kantorku berada. Tiba-tiba lift yang hanya berisi enam orang menjadi sesak karena Clara terus menempel pada Ardi dan rasanya lift ini berjalan naik dengan sangat lamban. Aku sudah tidak kuat, aku berdoa pada Tuhan agar lift ini secepat kilat mengeluarkan wanita itu dan aku terus berdoa.
Setelah wanita itu turun di lantainya, lift hanya tersisa bertiga aku, Ardi dan salah satu pegawai di lantai lain, lalu pria itu keluar di lantai 58 dan tidak ada orang lain lagi yang menaiki lift ini, aku hanya berdua dengan Ardi dalam suasana yang sangat baru dan aku tidak menyukainya.  Perasaanku mengatakan bahwa Ardi melirik kepadaku, tapi dengan headset yang terpasang di telingaku berhasil membantuku untuk berlagak seakan aku sedang menikmati music, menganggukkan kepala dan menghiraukan keadaan sekitar. Padahal lagu yang sedang ku dengar lagu Someone Like You milik Adele. Aku langsung berlari ketika pintu lift terbuka di lantai 60 dan meninggalkan Ardi yang berjalan lamban.
Walaupun aku tidak pernah memohon pada Ardi untuk kembali padaku bukan berarti aku tahan setiap melihat Ardi dan Clara berjalan bersama bergandeng tangan dan saling tersenyum, diamku bukan berarti aku ikhlas melihat mereka berdua hanya saja aku ingin terlihat tegar di depan Ardi padahal dalam hati aku ingin berteriak di depannya bahwa aku tidak baik-baik saja melihat mereka.
Di kantor aku terlalu sering dimarahi oleh atasanku karena kerjaku tidak baik, tapi bukan Ardi ko yang memarahiku, mungkin Ardi yang menyuruh Pak Herman untuk menegur kinerjaku. Di rumah ibu selalu bertanya ada apa denganku karena aku sering ketahuan sedang melamun, hingga pada suatu saat aku mengatakan bahwa aku sudah putus dengan Ardi karena itu aku sering tidak fokus di kantor dan aku memutuskan untuk resign.
“Kamu yakin Nak, mau resign aja?” Tanya Ibu dan aku mengangguk.
Sudah satu pekan aku resmi menjadi pengangguran, empat hari pertama aku masih mengurung diri di kamar hari kelima sejak aku resign aku mulai mau turun untuk makan atau sekedar mencari udara di teras dan hari ini Ibu mengajakku untuk pergi ke rumah Kak Selena –kakak keduaku- untuk mengantarkan kue yang dibuat ibu. Waktu ibu bikin kue aku sebenarnya disuruh untuk membantu tapi aku tidak punya energi untuk turun dari kasurku, dan hari ini juga ibu yang memaksaku untuk mengantarnya. Pemaksaan itu dilakukan dengan cara ibu duduk di tepi kasurku melihat aku terus tidak pernah melepaskan pandangannya namun tetap diam dan itu sangat mengganggu sampai akhirnya aku sendiri yang memutuskan untuk mandi tetap dengan langkah yang diseret.
“Hai Bu, hai Stella,” Kak Selena menyambut kami dengan pelukan hangat. “Kenapa ini si dede manyun terus?”
“Apaan sih udah gede dipanggil dede,” aku manyun lagi.
“Lagi patah hati dia,” jawab ibu.
“Hah, kamu putus sama Ardi?” Tanya Kak Selena kaget dan sebalnya dia menarik bahuku agar melihat ke arahnya.
“Iya! Udah deh enggak usah bahas dan sebut nama dia lagi,” aku kesal.
“Kita sih enggak boleh nyebut nama Ardi tapi setiap ibu ke atas lewat kamar Stella kedengaran sama Ibu dia manggil Ardi, Ardi,”
“Ibuuuu!” aku kesal, kenapa keluargaku malah menggodaku. Aku buka toples yang dibawa ibu dan aku makan semua isinya.
“Eh Stel itukan buat di sini, kamu makan aja yang di rumah,” aku tetap memakan dari toples yang ibu bawa sambil menonton FTV lebay yang tidak masuk akal, masa seorang manager jatuh cinta sama office girlnya dan mana ada cewek cantik mau jadi OG, aku muak dengan hal-hal yang tidak masuk akal itu seperti tidak masuk akalnya hubungan aku dengan Ardi.
“Bu, Kak, aku mau ke Bali ah mau ke Kak Sheena mau refreshing,” aku beranjak dari sofa dan pergi keluar “aku mau beli tiket pesawatnya dulu,”
“Online aja,” saran Kak Selena.
“Enggak mau di sini digodain terus. Nanti kalau Ibu mau pulang aku jemput,”

Kak Sheena memelukku hangat setibanya aku di bandara, “Kamu tumben ke sini, kamu cuti?” Tanya Kak Sheena.
“Enggak, aku resign Kak.” Jawabku datar, mendengar jawabanku dan raut muka yang kutampilkan membuat Kak Sheena tidak bertanya yang macam-macam, sangat dewasa.
“Bentar ya kita jemput Brian dulu baru kita makan siang, kamu enggak keberatan kan?” Tanya Kak Sheena aku mengangguk.
“Tanteee,” Brian memelukku. Walaupun dia sudah kelas 2 SD tapi aromanya masih seperti bayi, aku memangkunya duduk di kursi depan di samping Kak Sheena yang menyetir.
Satu minggu di Bali aku sedikit lebih produktif, gravitasi kasur di Bali juga tidak sekuat gravitasi di kamarku jadi aku tidak sulit ketika dipanggil oleh Kak Sheena atau Mas Ilham. Di sini juga aku ikut mengurus rumah tangga keluarga kecil ini, aku memandikan Brian sebelum berangkat sekolah, ikut membuat bekalnya, ikut memasak makan siang, ikut beres-beres rumah, dan ikut kegiatan Kak Sheena yaitu menjadi make up artist untuk pengantin.
People fall in love in mysterious way.
May be just a touch of a hand.
Lagu Thinking Out Loud milik Ed Sheeran mengalun di acara resepsi klien Kak Sheena. Aku menikmati musiknya dan tersenyum melihat kebahagiaan yang diperlihatkan oleh kedua mempelai. senyum alami karena luapan bahagia dan tatapan penuh cinta.
“Stel, dicariin dari tadi. Bisa enggak kamu ajak Brian ke sini, soalnya si bibi waktunya pulang,” aku langsung pergi ke mobil dan meluncur ke rumah menjemput Brian dan kembali ke venue.
Selama perjalanan menjemput Brian aku memikirkan kehidupanku, jika aku tidak ingat umur aku senang kok jadi pengangguran yang kerjanya memandikan keponakan, membantu kakak jadi perias pengantin dan datang ke banyak pesta pernikahan berasa tidak ada beban saja dan lebih bebas. Tapi aku tidak mungkin selamanya tinggal di rumah Kak Sheena dan bagaimana kalau mau beli baju, sepatu atau ke salon kalau aku tidak punya pekerjaan lama kelamaan tabunganku pasti habis. Apa aku jadi vlogger kecantikan saja ya? Pertanyaan itu muncul tiba-tiba.
“Steelllaaa…” kak Sheena memanggilku.
Duuh, aku kan lagi taping. Ucapku dalam hati.
“Stella ayo makan malam dulu. Eh, kamu lagi ngapain?” tanyanya sesampainya di kamarku.
“Aku lagi ngevlog kak, aku kan enggak punya pekerjaan siapa tahu ada perusahaan make up yang jadiin aku brand ambassadornya,”
“Udah ayo makan dulu, nanti lanjut lagi ngevlognya,” aku menurut daripada kakakku yang satu ini murka.
“Selamat pagi Bali,” pagi ini aku sudah mandi karena akan membuat vlog. Aku cari tempat yang bagus agar orang lain suka. Untuk vlog pertama akan berisi review mengenai salah satu brand make up, dan seterusnya videoku hanya berisi tentang review brand make up.
“Stel, menurut aku ya hasil make up kamu itu bagus loh. Cobain jangan Cuma review aja tapi tutorial make up,” saran Kak Sheena dan saran itu aku coba. Kulihat dari komentarnya ada salah satu perempuan yang memintaku untuk menjadi make up artis di vendornya, wow aku langsung memanggil kak Sheena.
“Kalau enggak salah dia ini bridal designer terkenal loh, aku pernah denger namanya soalnya, coba aja” kata-kata kak Sheena memercikkan semangat baru di kehidupanku. Aku akan jadi make up artist seperti Kak Sheena.
***
Empat tahun sudah aku menjadi seorang make up artist professional bahkan aku memenangkan lomba se-Nasional sehingga kemampuanku tidak diragukan lagi. Banyak klien yang sudah kutangani dengan berbagai jenis kulit, bentuk wajah hingga ukuran tubuh. Aku sudah memiliki pekerjaan sekarang dan tidak merepotkan kakakku lagi walaupun masih tinggal dengan ibuku. Oh iya salah satu keunikan yang aku berikan kepada klien adalah aku meminta klien untuk menuliskan kisah romansanya tentang pertemuan pertama mereka, atau hal apapun yang mereka ingat.
“Mbak Stel, jangan lupa ya tanggal 8 Desember jam 6 pagi harus udah ada di venue,” Mayang mengingatkanku lagi.
“Siap Mbak Mayang, tapi boleh nggak Mbak tulisin kisah Mbak itu di buku ini,”
“Oh saya juga boleh nulis toh, kira orang tertentu aja, hehe”
“Semua klien saya harus nulis Mbak, karena semua orang pasti punya kisah cinta yang luar biasa,” aku tersenyum.
Mayang & Niko
Aku bertemu dengan Niko saat SMP, dia temanya temanku. Katanya dia naksir aku tapi aku enggak nanggepin dia dan aku malah pacaran sama wakil ketua OSIS, sampai SMA Niko deketin aku lagi lalu kita sempet pacaran, tapi disela kita putus si Niko ini jadian sama temen satu kelasnya padahal pas PDKT lagi kita udah sayang-sayangan. Kadang kalau aku inget masa itu ada kesel ada lucu, duh cinta monyet.
Tetapi ada kejadian yang tidak terduga, kita bertemu di Lombok saat kita ada proyek kerjaan masing-masing. Aku bertemu klien dan Niko sedang ada photo shoot salah satu brand minuman. Kami seperti anak SMA lagi, salah tingkah dan speechless. Kami saling bertukar nomor kontak dan janjian untuk dinner, di sana tanpa sadar kami akrab banget dan kami sepakat untuk memperbaiki hubungan kami dulu dan akhirnya sekarang dia melamarku untuk menjadi teman hidupnya. Love is so unexpected.
Mayang
“Nih Mbak,” Mayang memberikan tulisannya lalu aku mengantarnya. Setelah Mayang pulang aku buru-buru mengambil buku catatan itu karena aku tidak sabar mendengar kisah orang lain, aku selalu senang mendengar sejarah yang luar biasa seperti kisah cinta misalnya.
Cukup singkat tapi aku bisa merasakan bahwa cinta lama itu adalah cinta yang tidak buruk, malah membuktikan bahwa ternyata pelabuhan terbaik berada di orang yang dulu pernah mencintai dengan sepenuh hati. Ah, aku merasa ikut bahagia melihat tulisan ini, semoga pernikahan mereka tetap berjalan sampai akhir hayat mereka. Aku kembali menganalisis  bentuk  wajah dan analisis presisi make up yang nanti akan kupadukan pada gaun yang akan dia pakai sesuai tema, bentuk tubuh dan semuanya.
“Stella, udah pulang Nak?” suara ibu terdengar dari kamarnya.
“Sudah Bu,” jawabku dan minum kembali.
“Kamu mau makan dulu?” Tanya ibu tepat di belakangku, aku tersedak karena kaget.
“Ibu ih kaget,” aku terbatuk. “Enggak Bu, aku mau tidur aja”
“Kamu pulangnya malem banget,” ucap ibu cemas.
“Iya Bu, tadi abis meeting sama designer dan klien, fitting baju,” aku menjelaskan.
“Yaudah sana tidur, istirahat. Kan besok kamu harus ke Bogor, jadi mumpung masih di rumah kamu harus istirahat,”
“Siap bos, yaudah Ibu juga tidur lagi, selamat malam Bu,” aku mencium pipi keriput Ibu.

“Mbak make up artistnya?” seorang wanit cantik namun dengan wajah cemas menghampiri aku yang sedang membereskan peralatan. “Saya Trisabella, panggil saja saya Tris,” dia meraih tanganku dan menjabatnya, aku bingung terkesan memaksa dan terburu-buru.
“Saya Stella, tenang Mbak. Ada apa?” Tanyaku mencoba menenangkannya sambil menuntunnya ke kursi.
“Mbak jangan pulang dulu, besok saya menikah jadi saya mohon Mbak jangan pulang dulu ke Bandung,”
“Oh Mbak mau pakai jasa saya? Boleh saja, tapi kenapa mendadak sekali?” dia terdiam sejenak.
“Make up artistnya sakit dan tidak ada pengganti jadi saya beruntung bisa bertemu dengan Mbak di sini,”
“Okay, dimana tempatnya dan jam berapa acaranya?”
“Nanti saya akan hubungi Mbak mengenai hal itu, saya boleh minta kartu nama Mbak Stella? Saya buru-buru soalnya,” aku memberikan kartu namaku dan dia buru-buru pergi, mungkin ada hal yang harus diurusi lagiankan pernikahannya besok. Karena pengantin hari ini tidak pernah sempat menuliskan kisahnya selama di Bandung jadi aku bawa buku ini, pas sekali ada klien baru.
Malamnya Tris memberikan alamat venue dan waktunya, memang menyebalkan satu hari sebelum pernikahan ada kendala untungnya temannya ada yang menikah sehingga bisa menggunakan make up artist yang sama. Orang yang akan melakukan hal yang direstui Tuhan dan Nabinya akan selalu dimudahkan.
Hari ini pernikahan Tris berjalan lancar walaupun Cuma sedikit yang diundang mungkin acaranya tertutup dan Tris sangat cantik dengan balutan gaun warna putihnya dengan seorang pria di sampingnya yang menyayanginya dan akan selalu ada untuk Tris, aku turut berbahagia untuknya. Seusai acara Tris memanggilku,
“Mbak Stella, katanya Mbak meminta klien Mbak buat nulis kisahnya di buku khusus ya?”
“Oh iya aku baru aja mau minta Mbak Tris bua ngisi, ini Mbak” aku menyodorkan buku warna pink pucat dengan hiasan bunga-bunga yang memenuhi sampul depan. Sambil menunggu Tris menulis aku memeriksa kembali barang bawaanku.
Tris dan Willy
Aku ingin mengatakan bahwa semua yang Stella tahu adalah kebohongan belaka. Make up artistku tidak sakit, tetapi memang aku belum mencarinya. Aku mengatakan bahwa aku hanya mengundang keluargaku itu memang benar karena pernikahan ini baru direncanakan kemarin sehingga aku tidak sempat membuat undangannya. Semua dilakukan secara cepat dan seadanya oleh keluargaku dan suamiku, karena ini terlalu mendadak dan aku sudah tidak kuat lagi. aku dihantui oleh seorang pria psikopat.
Aku butuh pelindung, untungnya pacarku –Willy- mau menikahiku hari ini, dia tahu bahwa Julian –pria gila- itu tidak henti-hentinya menggangguku. Dia mengetahui semua nomor ponsel yang pernah aku gunakan dan berkali-kali aku ganti, dia mengetahui dimana aku tinggal, dimana aku bekerja, apa rutinitasku, semuanya dia tahu dan aku takut!
Ku berharap setelah aku menikah Julian bisa sadar bahwa istri pria lain tidak boleh diganggu hanya karena obsesi.
Stella maafkan aku sebelumnya.
Trisabella
“Mbak Stella jangan baca catatanku di sini ya, pokoknya jangan pas kita lagi deketan hehe. Makasih loh ya sebelumnya,” Tris memelukku dan dia pergi. Aku mengangguk mengiyakan permintaannya.
Aku terkejut membaca kisah yang Tris tulis, sebenarnya aku sangat penasaran dengan ceritanya, aku pikir psikopat hanya ada di luar negeri ternyata ada juga di sini. Mungkin pernikahan ini seharusnya dilakukan atas dasar cinta dan kesiapan masing-masing namun walaupun sangat mendadak semoga pernikahan Tris dan Willy diberkati Tuhan.
Sepulangnya aku dari Bogor aku harus tetap membuka kantorku, aku tidak mau manja hanya karena telah melakukan perjalanan ke luar kota langsung cuti, aku tidak sabar ingin mendengar kisah-kisah lainnya yang mungkin aku dengar besok.
“Nanti Kakak telepon lagi,” ucap klienku berbicara pada orang di ponselnya.
“Mbak Una boleh dong tulis ceritanya di sini,” aku tersenyum manis tetapi aku salah tempat sepertinya Una sedang dalam mood yang buruk.
“Nanti saja Mbak Stel, saya pamit,” dalam sekejap mata Una sudah keluar dari ruang tunggu kantorku, aku merasa bersalah.
Dua hari sebelum hari pernikahan, Una kembali datang ke kantorku. “Mbak Stella..” suaranya mengagetkanku yang sedang membaca majalan.
“Eh Mbak Una, silahkan masuk. Kok enggak bikin janji dulu, untung saya lagi di kantor,” sambutku. “Mari silahkan masuk, gimana Mbak ada masalah atau ada apa?”
“Tidak, saya ingin menulis di buku yang dulu Mbak Stella tawarkan tapi saya malah buru-buru pergi,”
“Ya ampun, Mbak Una datang jauh-jauh cuma buat nulis ini,” aku menyerahkan buku bersampul pink pucat dan penuh bunga itu dan Una mulai menulis.
Uni & Dion
Sebenarnya yang akan menikah adalah adikku, Uni. Aku yang mengurus semua pernikahannya karena Uni kurang sehat. Dia tidak pernah sehat selama empat tahun ke belakang sejak calon suaminya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Dulu Uni adalah perempuan cantik dan ceria yang mampu membuat semua orang jatuh hati padanya, termasuk Dion.
Dua minggu yang lalu Dion datang ke rumah dan meminta kepada ayah untuk menikahi Uni. Ayah katakan bahwa Uni tidak sehat, Dion tahu dan ia akan mengurusnya dengan baik karena Uni adalah cinta pertama Dion. Dengan alasan itu ayah menyetujui Dion, tanggal pernikahan telah ditentukan tanpa persetujuan Uni. Uni memang tidak pernah setuju, dia hanya mau menikah dengan Erlangga.
Walaupun Uni tidak setuju, ayah tetap menginginkan pernikahan ini. Undangan sudah disebar, Ibu menyuruhku untuk mengurus semuanya dan sekarang pernikahan itu tinggal dua hari lagi. Uni selalu menangis memohon pada ayah jangan nikahkan dia dengan pria lain, dia hanya ingin Erlangga. Tapi ayah seakan kehilangan rasa iba, demi kebaikan Uni katanya.
Sebenarnya aku tak tega melihat Uni terus menangis seperti itu, tapi aku sependapat dengan ayah ini demi kebaikan Uni, kebaikan adikku sendiri. Ketika dia hidup bersama orang yang menyayanginya mungkin dia akan sadar bahwa bukan hanya Erlangga yang mencintainya, tapi Dion juga yang ikhlas menerima keadaannya sekarang.
Stella, tolong jadikan adikku pengantin paling cantik sembunyikan kesedihannya di balik olesan make up. Buat dia menjadi pengantin tercantik yang pernah ada.
Una
Setelah Una pergi aku yang selalu tertarik dengan kisah orang lain segera membaca tulisan Una tapi aku kaget karena banyak juga kisah miris di balik pernikahan suci, mungkin tidak banyak orang yang tahu dan menganggap ini tidak masuk akal. Aku bukan mengungkap aib calon pengantin hanya saja ini adalah sebuah kisah nyata yang orang tidak mau tau, yang mereka tahu adalah dia menikah dengan dia dan mereka resmilah menjadi sepasang suami istri tanpa tahu apakah mereka saling mencintai atau tidak. Walaupun aku merasa bahagia ketika melihat sepasang pengantin bersanding di pelaminan tetapi aku selalu merasa khawatir setiap memikirkan aku juga harus menikah suatu hari nanti.
“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” suara Freesia terdengar menyambut tamu. “Tunggu sebentar saya akan memanggil Mbak Stella,” ternyata klien yang datang aku langsung menuju ke foyer untuk menemui klien baru.
“Selamat pagi, saya Stella,” aku menjabat tangan klien baruku ini, seorang laki-laki dengan badan atletis, aku tebak dia adalah seorang atlet.
“Selamat pagi, saya Keenan,” katanya memperkenalkan diri.
“Silahkan duduk, Ada yang bisa saya bantu?” aku bertanya.
“Saya mengantar sahabat saya Teh, tunggu sebentar tadi katanya lagi di jalan. Dia pacarnya gitaris band Ozone, tahu enggak Teh?” aku menggeleng karena tidak tahu. “ Tadi malem pacarnya ngechat katanya suruh persiapan buat pernikahan mereka, pacarnya lagi tour album barunya Ozone” Keenan menjawab pertanyaanku ditambah penjelasan lainnya.
“Oh ya? Wah senang sekali pacarnya sahabat kamu, album baru rilis dan akan menikah juga” Keenan mengangguk dan tak lama yang ditunggu datang.
“Punten,” suaranya lembut dengan bahasa Sunda khas Bandung.
“Lama ih,” kata Keenan kepada temannya. “Kenalin ini Teh Stella make up artistnya.”
“Luna,” jawabnya memperkenalkan diri. “Maaf tadi di jalan macet,” aku tersenyum mengartikan tidak apa-apa. “Tanggalnya sih belum ditentuin Teh, tapi Zain pacarku itu pulangnya nanti minggu depan jadi kira-kira dua sampai tiga minggu setelah Zain pulang baru kita bisa menikah,”
“Wah, belum ditentuin tanggalnya mah saya engga bisa jamin bisa Teh,” jawabku ragu.
“Yaudah atuh tanggal berapa aja Teh Stella kosong, saya maunya pake jasa Teteh,” aku bingung untuk menjawab apa.
“Yaudah kalau gitu, nanti kalo kamu udah nentuin tanggal konfirmasi lagi biar bisa dijadwalin,”
“Iya Teh, nanti aku ke sini lagi aja ya tapi bisa nulis cerita di buku yang terkenal itu enggak? Hehe” Luna berkata malu-malu.
“Malu-maluin, bukan temen saya ini mah Teh,” Luna mencubit lengan Keenan, aku tersenyum seraya memberikan buku putih dengan sampul bunga-bunga itu. Sembari Luna menulis, aku dan Keenan mengobrol banyak tentang kegiatannya. Tepat seperti dugaanku dia seorang atlet, taekwondo.
“Suut ya jangan berisik, lagi konsen nih” pinta Luna.  Ya mereka adalah anak muda berusia sekitar 22 tahun yang masih sangat muda dan lucu.
Luna dan Zain
Siapa yang tidak bahagia jika kekasihmu memintamu untuk menjadi pendamping hidupnya? Jika ada tentunya bukan aku. Zain nama calon imamku itu sebelum tour debut albumnya dia memberiku sebuah cincin yang sangat cantik, ia sematkan di jari manisku. Dia bilang cincin itu yang akan menjagaku selama Zain keluar kota dan setiap waktu aku selalu memandangi cincin ini.
Hingga suatu hari saat aku pulang kuliah, ada pesan dari Zain menyuruhku untuk menyiapkan pernikahan karena setelah tour ini selesai dia akan menikahiku, aku senang sekali sampai-sampai aku lupa kalau saat itu aku masih berada di lingkungan kampus tapi tak mengapa karena aku sangat bahagia.
Jadi Teh Stella, dandanin aku yaaaaaaaa buat Zain enggak berkedip hehe.
Luna
Setelah selesai menulis, mereka berdua pamit pulang dan aku mengantarkan mereka hingga depan kantorku yang sebenarnya hanya rumah berlantai dua yang ku sewa. Tepat ketika aku akan kembali masuk ada SUV berwarna hitam berhenti di depan kantor dan seorang laki-laki turun dan menuju ke sini. Aku tersenyum menyapanya.
“Mbak Stella ya?” tanyanya.
“Iya saya sendiri,” jawabku.
“Saya Reza Mbak,” aku membalas jabat tangannya.
“Mari silahkan masuk, ada yang bisa saya bantu?” tanyaku membuka percakapan.
“Saya ingin pakai jasa Mbak Stella, untuk tanggal 13 bulan ini. Apakah kosong Mbak?” tanyanya to the point.
“Frees, coba cek jadwal saya tanggal 13,” Freesia membuka bukunya.
“Kosong Mbak,” jawab Freesia, resepsionis yang baru bekerja denganku beberapa minggu.
“Syukurlah,” kata Reza pelan. “Soalnya saya enggak tau lagi harus nyari kemana,”
“Biasanya yang urusin vendor calon istrinya Mas,” kataku.
“Vanessa sibuk, jadi dia yang meminta saya untuk mengurusi semua persiapan. Dia percayakan semuanya pada saya,” terangnya tapi ini aneh, sesibuk itukah calon istrinya?
“Oh baiklah, jadi pernikahannya tanggal 13 bulan ini, venuenya bisa dituliskan di sini Mas,” aku menyuruh Freesia untuk mengambilkan buku jadwal kegiatanku dan membiarkan Reza untuk menulis tempat dan waktunya di sana.
“Sudah saya tulis Mbak, jadi tanggal 13 ya dan nanti tanggal 8 kita ketemu sama vendor busana pengantinnya ya,”
“Oke Mas, tapi kalo Mas enggak buru-buru boleh tulis cerita Mas di buku ini?” saya memberikan buku putih bersampul bunga-bunga padanya membiarkan dia melihat-lihat dan memutuskan apakah akan menuliskan kisahnya atau tidak.
“Boleh,” aku memberikan bolpoin padanya.
Reza dan Vanessa
Kami adalah teman semasa kuliah, kami satu kampus hanya saja berbeda fakultas tetapi kami adalah teman di sebuah komunitas pecinta olah raga parkour. Aku tidak menyangka dia mau jadi pacarku, sudah hampir 7 tahun kami berpacaran dan aku memutuskan untuk memperbaharui status kami menjadi suami istri, maka aku melamarnya and she said yes. Dunia seakan tanpa gravitasi dan aku melayang karena bahagia. Walaupun Vanessa kini sibuk dengan karirnya sebagai model tetapi bukan masalah jika aku yang mempersiapkan semuanya. Bukan suatu hal yang melanggar aturan ketika pria yang menyiapkan pernikahannya bukan?
Reza
Aku menerima buku itu dan Reza pamit unuk pergi, aku menyimpan kembali buku itu dan melanjutkan apa yang sedang aku lakukan –mempersiapkan peralatan yang akan kubawa malam ini ke Garut untuk acara pernikahan besok- dan aku harus sudah siap dalam dua jam lagi sebelum malam, aku pamitan pada Freesia dan dia bertanggung jawab untuk menerima klien selama aku tidak ada.
Sepulangnya dari Garut tepat tengah malam kuangkat koperku agar tidak menimbulkan suara bising yang bisa membangunkan ibu. Ketika kubuka pintu, ibu menungguku di ruang keluarga ditemani dengan secangkir teh yang tinggal setengah.
“Ibu kok belum tidur?” tanyaku.
“Sedang menunggu kamu pulang, Nak” langsung kucium tangannya dan duduk di samping ibu ikut menonton film lawas Jackie Chan.
“Padahalkan enggak usah nungguin aku. Sekarang kan aku udah pulang Ibu tidur aja,” aku menyuruh ibu untuk segera tidur.
“Sebelum Ibu pergi tidur ada yang ingin Ibu bicarakan sama kamu Stel,” wajah ibu sangat serius, aku khawatir.
“Mau bicara apa Bu sampai ngebelain begadang nungguin Stella pulang,” aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Habisnya kalau nunggu besok pasti kamu sibuk langsung berangkat, sarapan aja buru-buru,” ibu memberikan penjelasan.
“Yaudah, Ibu mau ngomongin apa?” tanyaku lembut walau aku tahu kemana arah pembicaraannya.
“Kamu terus-terusan merias orang lain, kapan kamu yang dirias Stel?” belum sempat aku menjawab ibu melanjutkan lagi. “Kamu takut sama laki-laki? Ibu udah tua loh, merasa sediiih sekali anak bungsu Ibu belum nikah,”
“Ya Ibu jangan bawa-bawa umur, Ibu harus sehat,” aku tak membahas topic intinya.
“Umur siapa yang tau Stel, ibu pengen lihat kamu jadi pengantin loh” ibu kekeuh membahas hal itu.
“Iya nanti Stella nikah ya, sekarang Ibu tidur udah jam 1,”
“Jadi kapan kamu mau nikah?” aku terdiam.
“Ibu doain aja biar ada laki-laki yang mau nikahin Stella,”
“Ibu sering berdoa dan banyak kan yang datang ke sini tapi kamunya enggak mau. Enggak cocok lah, terlalu muda lah, tidak mau yang seumur lah, apa lah,” ibu sepertinya sangat gemas dengan sifat keras kepalaku.
“Yaudah Stella janji, nanti kalau ada laki-laki lagi yang dating Stella coba untuk kenalan dulu ya,”
“Nah gitu dong, kamu tuh harus membuka hati kamu biar Ibu enggak khawatir. Kalau ibu meninggal siapa yang jagain kamu?”
“Ibu ih ngomongnya kemana-mana, ngantuk ya? Hayu tidur, malem ini Stella tidur bareng Ibu deh. Ibu duluan ke kamar, Stella ke toilet dulu,” akhirnya setelah mengalah pada keinginan ibu akhirnya ibu mau pergi tidur. Ternyata selama ini ibu selalu mengkhawatirkan aku.
Setelah percakapan tadi malam ibu mulai bersemangat pergi mengunjungi teman-temannya untuk mencari apakah ada anak mereka yang belum menikah. Aku semakin malas untuk pulang cepat tetapi untuk memenuhi janjiku pada ibu aku mau menemui calon-calon yang dipilihkan ibu. Setiap akan pergi kencan, ah tidak sebut saja makan malam aku selalu khawatir dan cemas sehingga aku menjadi kaku ketika bersama dengan mereka dan itu membuat suasana menjadi tidak nyaman, aku rasa aku tidak bisa melakukan ini.
“Bu, malam ini aku tidak pergi dengan Pandu ya. Aku besok meeting sama vendor dank lien jadi aku harus istirahat,” sebelum ibu menjawab aku sudah buru-buru pergi ke kamar dan menutup pintu. Aku tidak tahu apa yang terjadi tetapi hatiku selalu menolak berbagai romansa yang datang menghampiri aku. Tolong jangan paksa aku, aku tidak bisa terus seperti ini.
Mbak Stella, jadi ya kita meeting sama vendor. Saya dan Vanessa aka nada di sana tepat jam 2 siang” Pesan dari Reza , aku membalasnya mengamini.
Seperti yang tertulis di buku putih dengan sampul bunga-bunga Vanessa yang berprofesi sebagai model sangat cantik dengan postur tubuh yang tegap dan aura yang memikat pantas saja membuat Reza mau melakukan semuanya demi menikahi Vanessa. Hari ini semua telah ditentukan, gaun pengantin yang akan dikenakan oleh Vanessa tak kalah cantik dengan payet dan bunga-bunga menghiasi gaun berwarna merah muda pucat itu. Dalam hati aku akan membuat Vanessa menjadi berkali-kali lebih cantiknya.
“Reza ayo pulang, kan kamu tau aku lagi photo shoot udah bagus aku sempetin buat dating ke sini,” pinta Vanessa ketus.
“Iya ayo kita pulang, Mas Yohanes dan Mbak Stella makasih loh ya, kami pamit dulu,” kami tersenyum membalas Reza yang duduk di samping Vanessa yang tetap menatap ke arah depan seakan jalanan lebih menarik dari kami.
Hari bahagia itupun tiba, semua vendor sibuk dengan tugasnya masing-masing. Aku membantu Mas Yohanes untuk memasangkan gaun indah itu ke tubuh sempurna milik Vanessa. Setelah gaun indah itu terpasang aku mulai merias wajah yang sempurna itu juga, tak perlu polesan make up yang berlebihan Vanessa sudah terlihat sangat cantik.
“Udah beres nih?” aku mengangguk. “Kebelet nih pengen ke toilet dulu ya,”
“Jangan lama-lama ya Mbak, udah dimulai acaranya,”
“Iya bawel,” ucapnya sambil berlalu. Hatiku mencelos mendengar itu, tapi tak apa hal itu biasa terjadi ucapan-ucapan pedas yang dilontarkan oleh konsumen.
Ketika prosesi pernikahan hampir ke tahap utama yang mengharuskan mempelai wanita harus hadir aku mulai panic karena Vanessa belum juga kembali. Memang ruang rias dengan kamarnya berbeda sehingga mungkin saja ia pergi ke kamarnya dan tidak kembali. Aku menyuruh orang untuk mencari Vanessa ke seluruh ruangan dan aku mencari ke kamar, tapi kamarnya dikuci. Mas Yohanes pun ikut panic.
“Aduh gimana ini, bisa-bisa Reza marah sama aku,” gayanya yang lucu tidak mengundang selera humorku, tidak untuk saat ini karena aku sedang panik. Aku menyuruh petugas hotel untuk membuka kamar Vanessa dengan kunci cadangan dan simsalabim kamar itu kosong dengan gaun putih yang tadi Vanessa kenakan disimpan di atas kasur, Mas Yohanes kaget dan hampir pingsan. Semua orang panik dan di penghulu telah memanggil mempelai wanita untuk hadir bersanding dengan mempelai prianya. Karena lama tak kunjung hadir Reza datang menemui kami. Reza bertanya kemana perginya Vanessa aku hanya tertunduk tidak menjawab.
Reza akhirnya masuk ke kamar dan menemukan gaun pengantin yang saat fitting dikenakan oleh Vanessa disimpan rapi di kasur, Reza terduduk lemas mengetahui mempelai wanita telah pergi tanpa pesan. Beberapa menit Reza terdiam, ia meraih ponsel dalam saku celananya dan mulai menelopon seseorang namun tak dapat jawaban. Ia bangkit dan keluar dari gedung mengendarai SUV hitamnya, para tamu bingung dan MC mencoba menenangkan hadirin.
Ini pengalaman pertamaku menyaksikan menghilangnya mempelai wanita, apa ini salahku karena tidak mengawasi Vanessa? Aku takut. Aku tidak mendengar suara apapun yang pasti aku melihat semua tamu undangan mulai berjalan pergi keluar meninggalkan hotel ini. Seseorang menawariku segelas air agar aku tenang tapi aku diam saja karena otakku seakan beku setelah dikejutkan oleh listrik tegangan tinggi.
“Enggak apa-apa Stel, ini bukan salah kamu kok. Ayo kita pulang,” suara lemah lembut milik Mas Yohanes mencoba membangunkanku dari koma, sambil mencoba membangunkanku aku mulai berjalan mengikuti arahannya.
Kejadian kemarin membuat aku shock, aku harus meminta maaf pada Reza.
Mas Reza, tolong maafin saya. Saya enggak profesional menyebabkan semua kekacauan kemarin :( Saya mohon maaf sekali lagi“ tidak dibalas aku memutuskan untuk pergi ke kantor karena aku harus menjadi benar-benar orang yang profesional.
Dalam suasana hati yang sedang tidak baik, telepon di mejaku bordering dari Freesia yang mengatakan ada klien. Aku segera turun dan menemui klien tersebut berbicara dengan seseorang bisa meringankan stress dan perasaan tidak nyaman selama bukan kritikan yang kuterima dari klienku yang ini.
“Teh Stellaaaaaa….” Ketika aku sampai di foyer Luna langsung memelukku sambil terisak.
“Kenapa hey,” aku bertanya sambil tetap dipeluk oleh Luna dan akhirnya dia melepaskan pelukannya dan mulai bercerita.
“Maafin…” ucapan kedua yang keluar dari mulut Luna.
“Minta maaf kenapa?” Luna agak lama terdiam dan masih tetap terisak.
“Aku enggak jadi pakai jasa Teteh,” katanya tetap menundukk.
“Oh ya enggak apa-apa. Kirain kenapa ih,” kataku. Yah dapat kabar tidak menyenangkan lagi, kataku dalam hati.
“Teh, aku enggak jadi nikah.” Akhirnya Luna mengatakan apa yang mengganjalnya tetapi itu juga sontak membuatku hampir kena serangan jantung. Oh Tuhan, apalagi ini? Dua orang klienku batal menikah dalam waktu yang berdekatan.
“Saya minta maaf Luna,” malah aku yang minta maaf atas kegagalan yang terjadi pada Luna.
“Ih kok Teteh yang minta maaf, ini mah salah Zain bukan salah Teteh,” suaranya mulai menunjukkan rasa marah.
“Apa yang terjadi Luna?” Luna kembali menunduk. “Kalau kamu enggak mau cerita juga enggak apa-apa kok, maaf”
Luna menggelengkan kepala dan dia mulai bercerita:
“Tadi aku dijemput sama Zain ke basecamp bandnya. Pas udah nyampe aku ngobrol sama dia, terus aku bilang ,
Luna: Yang aku udah booking semua vendor, kita tinggal tentuin waktu biar nanti aku konfirmasi ke vendornya’
Zain malah bilang gini sambil kaget,
Zain: Tanggal apa ai kamu?
Luna: Bukannya kamu ngajak nikah pas kamu udah selesai tur?
Zain: Enggak. Aku enggak pernah ngajak kamu nikah da
Luna: Terus ai ini apa? (aku menunjukkan pesan dari Zain tentang ajakan menikah)
Zain pergi ke dalam aku mengikutinya,
Zain: Siapa yang mainin handphone urang waktu di Kendari? Maneh bukan?
Galih: Iya urang minjem HP maneh
Zain: Ngapain ngechat si Luna ngajak nikah? (Zain megang kerah baju Galih)
Galih: Enggak, urang enggak ngechat si Luna. Kan dikunci LINE manehnya.
Zain: Ah bohong! Ngaku teu? Atau aing hajar!
Galih: Sumpah urang mah enggak ngoprek LINE maneh! Urang kan main game.
Zain: Terus siapa yang ngechat Luna? Saha? Jawab anj***! (Zain marah-marah dan mulai menendang semua yang ada di hadapannya di situ aku takut tetapi tidak ada yang mengaku)
Zain: Denger ya, siapapun yang ngechat si Luna buat ngajak nikah mending ngomong langsung tah si Luna ada di sini da aing mah enggak pernah kepikiran sedikitpun buat nikahin si Luna! Kalau emang di antara kalian ada yang suka sama si Luna dan pengen nikahin dia, yaudah ambil aja!
Mendengar itu semua aku shock dan aku pergi keluar tidak kuat dengan semua kejujuran yang dikatakan oleh Zain, pacarku sejak SMA sejak enam tahun lalu.”
Luna menceritakan semuanya secara jelas, bahkan Freesia yang berada tidak jauh dari kami ikut terdiam bahkan menunduk dan mengusapkan tisu ke wajahnya karena Luna menceritakannya dengan jelas dan membuat kami ikut merasakan sakitnya mendengar kenyataan itu. aku kembali memeluk Luna yang baru beberapa jam lalu mengalami sakitnya dipermalukan di depan teman-teman kekasihnya itu. Setelah aku memberikan Luna segelas air putih dan dia mulai tenang, Keenan datang untuk menjemput Luna.
“Dengar ya Luna, aku enggak akan buat perhitungan sama si Zain!” Luna menggeleng, aku pun turut bilang jangan macam-macam pada Zain, tetapi Keenan sangat emosi mendengar informasi ini.
“Siapa yang nggak emosi Teh, liat orang yang disayang nangis-nangis sampai matanya bengkak?” Nada bicara tetap tinggi walaupun sedang berbicara padaku.
“Tapi enggak hari ini. Hari ini kamu temenin Luna aja, jangan buat dia ngerasa sendiri,” akhirnya Keenan pamit dan mereka berdua pulang.
“Teh, kalau aku jadi Luna ya aja mau nikahin Keenan aja da. Jelas-jelas Keenan bilang dia sayang sama Luna, pake acara mau ngomong sama Zain. Pahlawan bangetlah,” Freesia seperti remaja yang baru selesai menonton film roman di bioskop dan langsung mengkhayal seakan menjadi pemeran dalam film tersebut. Aku geleng-geleng kepala dan kembali ke ruanganku tenggelam lagi dalam rasa bersalahku pada Reza.
Ponselku bergetar dan satu pesan masuk buru-buru ku ambil ponselku dan kulihat pesannya yah dari ibu.
Stella, nanti malam Pandu mau ke rumah. Kamu jangan lembur, sebelum waktu makan malam harus udah di rumah, ibu udah masak.
Malam ini adalah pertama kalinya Pandu makan malam di rumahku, satu meja dengan ibu seakan dia adalah calon suamiku.
“Pandu kurang apa lagi sih Stel? Dia mapan, ganteng, baik, kita juga tau siapa keluarganya. Bilang sama Ibu! Cerita, ini Ibu kamu bukan orang lain,” Ibu emosi mendengar aku mengatakan untuk tidak mengundang Pandu makan malam lagi di rumah dan berhenti untuk menjodohkanku dengannya.
“Satu yang kurang dari Pandu, dia tidak bisa membuatku jatuh cinta padanya Bu,” aku menjawab menerawang.
“Cinta bisa tumbuh nanti, yang penting kamu mau menjalaninya saja dulu. Pokoknya, kamu harus mau menikah dengan Pandu. Nanti makan malam berikutnya kita bicarakan hal ini.” Ibu membuat aku tidak berkutik, dengan bergegas pergi ke kamar tidurnya dan membanting pintu membuat aku terperanjat. Ibu murka.
Dua minggu kemudian Pandu diundang makan malam lagi oleh Ibu, aku tidak bisa berbicara apa-apa biarkan ibu yang mengurus semuanya. Mungkin ibu benar sudah saatnya aku mencoba untuk menjalani apa yang aku takutkan. Keluar dan berani menantang rasa takutku.
Tok.. tok.. tok..
“Biar aku yang buka,” suara ketukan pintu menolongku keluar dari suasana tidak nyaman di meja makan. “Mas Reza,” aku kaget.
“Selamat malam Stella,”
“Mas Reza kok bisa tahu rumahku?” tanyaku bingung.
“Aku bulak-balik ke kantormu tapi kamu selalu tidak ada. Aku SMS kamu juga tidak pernah dibalas, aku telepon kamu selalu sibuk kadang tidak aktif. Lalu aku paksa saja resepsionismu untuk memberitahu alamatmu,” jelas Reza. Memang sih Freesia selalu bilang ada laki-laki yang mencariku tapi dia selalu lupa untuk menanyakan namanya dan ternyata itu Reza.
“SMS? Tidak ada SMS dari Mas Reza ah,”
“Aku ganti nomor, aku dirampok saat pulang kantor. Mungkin terlalu banyak pesan yang masuk jadi kamu tidak sempat membaca pesan dari nomor tidak dikenal ya,” dia terkekeh menyembunyikan kekecewaannya.
“Siapa Stel?” suara ibu semakin lama semakin terdengar kencang karena jaraknya semakin dekat denganku. “Eh ada tamu,”
“Selamat malam, Bu.” Sapa Reza sopan.
“Ibu kenalin ini Reza, kliennya Stella.” Aku memperkenalkan mereka berdua.
“Yaudah atuh masuk dulu A,” ajak Ibu antara basa-basi dan ingin segera melanjutkan makan.
“Aduh, saya datang di waktu yang tidak tepat ya?’ Reza salah tingkah merasa tidak enak melihat tangan ibu yang kotor berarti sedang makan malam. “Ya sudah saya pamit ya Bu. Nanti aku SMS,” lalu Rezapun pergi.
“Ibu jangan ngomongin nikah ke Pandu ya, pliiiiissss.” Aku berbisik sambil merangkul bahu ibu mencoba merayu.
“Kamu suka sama dia? Kalau emang ada laki-laki lain di hati kamu ya Ibu enggak akan maksa kamu nikah sama Pandu. Ibu mau nikahin kamu teh khawatir bisi kamu enggak suka sama laki-laki,” terang Ibu datar.
“Ih Ibu ngomongnya,” aku memeluk ibu manja.
“Cepet ke dalem, kasian Pandu nungguin,”
“Ya Bu ya? Jangan ngomongin nikah sama Pandu,”
“Iya,” janji ibu dan segera berlalu sebagai bentuk penegasan agar aku kembali ke ruang makan menemui Pandu.
Urusan mengenai Pandu aku serahkan pada Ibu, setelah makan malam selesai dan Pandu sudah pulang aku memegang terus ponselku berharap ada pesan masuk dari Reza dan akhirnya ponselku berdering.
Bisakan kita besok ketemu? Reza” pesan dari nomor tak dikenal langsung ku buka. Dari Reza.
Bisa Mas,” aku menjawab singkat padahal dalam hati aku sangat senang sekali.
Keesokan harinya kami janjian untuk makan siang di kafe sekitar kantorku. Entah mengapa ritme jantungku menjadi lebih cepat namun ada sedikit rasa bahagia menyelimuti hatiku. Aku tidak sabar bertemu Reza.
“Hey Stel, lama nunggu enggak?” sapanya, aku menggeleng. “Udah pesen?”
Kami mengobrol panjang lebar, berganti topik pembicaraan secara random, tertawa pada hal yang disampaikan masing-masing, hari ini aku merasa sangat bebas dan.. bahagia.
“Stella, see ya.” Aku melambaikan tangan dan kami berpisah karena waktu istirahat kami sudah habis dan lebih dari cukup untuk hari ini.
***

Walaupun aku tidak merias diriku sendiri saat pernikahan, tetapi namaku tetap tercantum di buku putih berhias bunga-bunga di sampulnya tepat satu halaman setelah nama sepasang calon pengantin bernama Keenan dan Luna karena Reza yang menulisnya, memperbaharui kisahnya yang dulu ia tulis dengan kisah baru yang pasti karena buktinya kami resmi menjadi suami istri.

Komentar

Postingan Populer