Izinkan Aku Menjadi Egois Malam Ini
“Selamat
malam hadirin, tibalah saatnya kita memasuki acara puncak yaitu prosesi wajib
untuk melakukan make a wish
dilanjutkan dengan meniup lilin dan memotong kue,” suara MC merambat di udara
memasuki telingaku, seluruh undangan bersorak ketika kue ulang tahun bertingkat
tiga memasuki panggung.
Maria naik ke
panggung dan aku mulai mendekat ke panggung berkumpul untuk menyaksikan senyum
bahagianya. Semua bersorak dan bertepuk tangan ketika tangan Maria memotong kue
yang bertingkat tiga itu, sepotong kue ia berikan kepada ibunya yang sedari
awal setia mendampingi putrinya yang beranjak dewasa, lalu selanjutnya ia
memberikan potongan kue lain kepada Adam, tunangannya. Senyum dan tawa
bahagianya membingkai menyempurnakan wajah cantik perempuan itu, perempuan yang
menjadi temanku sejak SMP.
“Maaf mas,
kamu enggak boleh naik ke panggung. Kalau mau nyanyi tunggu dua lagu lagi, kamu
harus antri,” cegah salah satu event
organizer.
“Saya enggak
mau nyanyi kok, tapi saya perlu berbicara di atas panggung itu dan menggunakan
mic agar semua orang mendengar,” jelasku.
“Okay, sama
saja mas. Kamu harus menunggu dua lagu dari sekarang. Kamu bisa menunggu di
sana,” event organizer itu menyuruhku
untuk duduk dan menikmati penampilan dari band papan atas favorit Maria.
Mungkin ide
ini gila, tapi hal ini harus dilakukan tepat malam ini tidak ada malam lain.
Aku sudah
memikirkan hal gila ini selama satu minggu yang membuat aku tidak bisa tidur,
tidak selera makan bahkan pekerjaanku menjadi berantakan. Maria kamu harus
mengetahui ini, malam ini juga!
Aku merangsek
masuk, merebut mic dari sang vokalis. Semua penonton kaget dan terjadi
bisik-bisik di sana, kulihat Maria berjalan mendekati panggung dengan wajah
penuh cemas, bingung dan marah sedangkan Adam mengikutinya di belakang. Sempurna.
“Selamat
malam semuanya,” vokalis dan bandnya pergi dari panggung. “Maria, kamu harus
mendengar ini malam ini juga,” Maria bertanya apa dengan mimic wajahnya. “Maria,
kamu tahu aku ini siapa, ya temanmu yang kau kenal sejak SMP. Temanmu yang
selalu memperhatikanmu dari jauh, kau tahu seberapa cupunya kamu sejak SMP?”
aku terkekeh sejenak terlintas di kepalaku si Maria SMP, sang cinta pertamaku.
“Maaf aku
mengacaukan pesta ulang tahunmu yang mungkin telah kamu desain jauh-jauh hari
dan ingin terlihat sempurna, maafkan aku tapi malam ini aku harus egois. Dengarkan
aku,” raut muka Maria tidak terbaca karena terlalu banyak ekspresi yang saling
tumpang tindih.
“Aku cinta
samu kamu,” semua tamu undangan berteriak tidak percaya, bagaimana mungkin aku
berani menyatakan cinta di depan tunangan sang pemilik malam ini? Suara berbisik
mulai terdengar lagi semakin keras dan aku menghiraukannya. “Sebelumnya aku
ucapkan selamat ulang tahun kamu nampak cantik dengan gaun itu dan kamu akan
selalu nampak cantik sepanjang waktu. Aku ingin mengatakan padamu bahwa
kelakuan gilaku ini merupakan satu-satunya jalan untukku bisa melupakanmu. Seberapa
sering kau membuatku cemburu dengan cerita-cerita cinta yang kamu sebutkan kala
kita bertemu tentang betapa hebatnya kekasihmu, betapa hebatnya liburan romantis
kalian, berapa banyak hadiah yang telah kamu terima dari lelaki yang berhasil
mengambil hatimu. Semua hal itu tidak membuat aku membencimu Maria. Seberapa sering
kamu mendorong aku untuk pergi menjauh pun tidak membuat cintaku padamu hilang.”
Aku menahan
napas, event organizer di samping
panggung geleng-geleng kepala atas kelakuanku untuk melakukan ide gila ini.
“Aku telah
melalukan berbagai cara agar aku bisa menyadarkan pikiranku bahwa kamu bukan
untukku, mencoba mengencani beberapa wanita tapi wajahmu yang selalu terbayang.
Aku hampir gila. Kamu bisa bayangkan sudah berapa besar perasaan ini tumbuh
jika kau tanam dari 13 tahun yang lalu? Sudah berbuah selama 13 kali dan
batangnya pun sudah sangat besar dan kokoh Maria.” Aku berbicara seakan sedang
meyakinkan si pembuat keputusan untuk menerimaku di perusahaannya.
“Mungkin kamu
hanya menganggapku sebagai sahabat setia seperti yang ada di dongeng-dongeng
sebelum tidur karena aku tidak menyerah ketika kamu seminggu di rumah sakit dan
berbulan-bulan berada di bawah pengawasan psikiater, tapi ketika aku menjadikan
diriku sebagai sahabatmu itu hanyalah kamuflase agar aku tetap bisa dekat
denganmu, melihatmu perlahan membaik adalah kebahagian tersendiri bagiku
seperti yang dirasakan oleh keluargamu.”
Perasaan
lapang perlahan mulai aku rasakan meskipun kulihat amarah yang tak terkira di
wajah cantik Maria, tak apa aku hanya akan egois pada malam ini saja.
“Aku tahu
semua impian kamu dan kamu 89% telah mencapainya. Aku tahu kesukaanmu, aku tahu
apa yang kamu benci, aku tahu apa yang membuatmu sedih, dan aku tahu apa yang
membuatmu marah. Ya aku tahu aku telah membuatmu marah karena menghancurkan
malam indah ini, tapi kamu harus tahu Maria bahwa hidupku selalu bergantung
padamu, sedangkan kamu akan menikah dengan dia,” aku mengarahkan tanganku pada
Adam dan Adam tetap menatapku tanpa berkedip.
“Maka aku
tahu aku harus mencari pegangan lain selain kamu, tapi hati dan pikiranku masih
diisi olehmu aku terpaut padamu. Memoriku semuanya hanya tentang kamu Maria,
dan sekarang aku sedang mencoba menghapus kamu, mengosongkan segala tentang
kamu dari hati dan pikiranku. Aku harus memberikan ruang untuk diisi oleh
wanita yang akan menjadi penghuni hati dan pikiranku nanti jika sudah aku
temukan, maka bantu aku untuk melepaskan jeratan pesonamu dengan jangan marah
padaku, aku berjanji aku egois pada malam ini saja di hari ulang tahunmu tahun
ini saja. Selamat untuk pertunangan kalian,” aku turun dari panggung melewati event organizer yang sedari tadi tidak
percaya dengan kelakuanku tadi. Walaupun aku bilang hanya malam ini saja aku
menjadi egois, aku yakin Maria tidak akan mengundangku di acara-acara lainnya
karena khawatir akan aku kacaukan lagi ketika ternyata aku gagal melupakan dia.
Aku segera berjalan
pergi dari kerumunan menuju pintu keluar, dan aku memutuskan tidak akan
menengok ke belakang hanya untuk melihat Maria. Tidak! Sudah hampir 100%
pikiranku menghapusnya sehingga aku tidak mau menggagalkan proses ini, semua
kegilaanku tadi hanya akan menjadi sia-sia. Dan ketika aku memasuki mobilku,
memasang sabuk pengaman aku tersenyum kecil mengingat betapa konyolnya aku
tadi.
Tak apa,
bukankah jatuh cinta harus melakukan pengorbanan? Maka ketika aku harus move on pun, aku harus melakukan
pengorbanan juga.
Komentar
Posting Komentar