Ini Menyiksa
Zivana Maria,
perempuan yang membuat aku baper menurut anak muda zaman sekarang. Entah apa
yang telah ia lakukan yang pasti aku telah terbuai dalam pesonanya. Padahal dia
hanya gadis biasa, yang tidak terlalu cantik seperti perempuan lain dalam
balutan hijab penuh style atau
memiliki halis yang melengkung indah di atas matanya. Dia hanya gadis biasa
dengan kacamata yang membingkai di kedua mata coklatnya. Dia hanya gadis biasa
yang senang sekali menggunakan kaos dan celana jeans atau rok yang dipadukan dengan sneaker warna putihnya.
Sejak pertama
bertemu dengannya, aku rasa dia adalah perempuan yang jutek dan galak apalagi
kepada orang sepertiku yang berpenampilan sedikit tidak karuan, tidak rapi
seperti salah seorang laki-laki yang tergabung dalam komunitas ini, Jojo.
Aku dikenal
sebagai orang yang senang bercanda, ya hidup ini terlalu singkat jika harus
selalu serius bung! Tapi melihat Zivana rasa-rasanya dia tidak akan mau
mengobrol denganku, jadi hari pertama aku tidak berani untuk menyapanya. Hari
ketiga kebetulan aku duduk dekat dengannya, sangat tidak adil jika aku sudah
berbicara dengan yang lain tapi tidak dengannya.
“Hai, kamu
tuh namanya siapa?” aku memulai pertanyaan.
“Zivana
Maria,” jawabnya sambil tersenyum. Singkat sekali jawabannya, bahkan dia tidak
menanyakan namaku. Ah mungkin saja dia sudah tahu tentangku hanya saja aku yang
tidak tahu tentangnya.
Hari
selanjutnya aku kebetulan duduk lagi dekat dengannya, lalu aku kembali
menanyakan namanya, dia menjawab agak panjang dengan menambahkan “masa kamu
lupa”. Hanya itu lalu kembali menyelami handphonenya. Entah apa yang sedang ia
lakukan.
Walby, teman
paling dekat di sini. Dengan pekanya dia melihat usahaku yang mencoba untuk
mendekati Zivana, akhirnya Walby menambahkannya dengan cara memprovokasi
keadaan, maklum di sini aku dan Walby lebih senior daripada Zivana jadi kami
sedikit berani.
“Cie Yoga
lagi PDKT nih, cieeeee” sontak semua orang mencari sosokku dan siapa kira-kira
perempuan yang sedang kudekati.
“Gagal lagi
nggak nih sekarang?” seru yang lain. Aku dengan tenang menjawab semua keributan
ini mencoba melindungi Zivana dari keadaan yang mungkin tidak nyaman untuknya.
Dalam setiap hari aku tidak terus melakukan kontak dengan Zivana karena akan
menimbulkan kesan yang tidak bagus di matanya, jadi ketika kami berbaur maka
kami berpisah.
Hari
berikutnya, aku sengaja duduk di dekatnya bukan suatu ketidaksengajaan. Dalam
balutan canda aku mencoba mengajaknya berbicara, semua orang tahu aku ini
siapa, aku rajanya guyonan.
“Zee, aku mau
ngomong,”
“Ngomong
apa?” tanyanya sambil menatap langsung ke mataku. Aku deg-degan.
“Udah siap
belum kamunya?”
“Harus siap
lahir batin dulu kalo mau denger mah,” celetuk Walby yang juga membantuku.
Kulihat Raya dan Hera yang duduk berdekatan dengan kami cekikikan.
“Iya siap,”
katanya sambil tetap menatap padaku.
“Duduknya
hadep-hadepan dong,” ucap Walby lagi. Sungguh dia sobat terbaik. Tetapi Zivana
agak ragu dan setelah dibujuk akhirnya kami duduk saling berhadapan. Ketika aku
membeku ditatap olehnya secara sempura seketika itu Kang Ali memberikan instruksi untuk segera mulai latihan dan aku
tak sempat mengatakan apa-apa. Hari itu cukup dengan menatap wajahnya secara
langsung dalam beberapa sentimeter saja, tidak apa jika ini berjalan dengan
lambat.
“By, si Zee
bikin aku jedag-jedug nih,” curhatku pada Walby.
“Tembak aja bro,” saran Walby sambil tetap bermain
sosial medianya.
“Kalau dia
nolak gimana?”
“Kok pesimis
sih?” Tanya Walby tenang tidak merasakan resahku. “Coba cari tahu dulu dia
punya pacar apa enggak. Kalau enggak cari tahu dia itu pengen apa”
“Maksudnya
pengen apa apa?” tanyaku bingung.
“Siapa tahu
dia baru putus jadi belum mau pacaran, atau mungkin jomblo tapi engga mau
pacaran, atau emang buru-buru pengen ditembak,”
kadang Walby ini cerdas.
Kepercayaan
diriku meningkat ketika hubungan kami semakin dekat, dia yang kurang bisa
bercanda membuat aku kalang kabut dan jedag-jedug. Gaya bicaranya yang tenang
membuat aku semakin suka, tatapan dan perhatiannya saat mendengarku berbicara
membuat aku selalu membeku dan ingin menenggelamkan diri di laut kutub utara.
Setelah
mencari tahu cukup lama dan belum sempat aku nyatakan cinta karena kami
disibukkan dengan jadwal latihan Angklung yang semakin serius menjadi keadaan
yang salah sehingga kumanfaatkan untuk mencari tahu tentang Zee. Dia jomblo,
pemirsa!
Ketika hari
ini aku sangat semangat untuk pergi latihan, sudah kusiapkan diri untuk segera
meresmikan perasaanku padanya. Pada saat sedang briefing sebelum kami tampil dalam pembukaan sasana baru aku melihat
ke arah Zee, tapi yang kulihat Zee sedang menatap Jojo. Aku sedikit takut,
kecewa, sedih, khawatir dan semua bercampur menjadi satu membuat aku menjadi
tidak fokus. Apakah Zee memang sedang menatap Jojo atau memang kebetulan saja
dia sedang menatap semua orang dan yang kulihat tepat saat menatap Jojo?
Kulihat sekali lagi, Zee menatap Jojo dan lagi dan lagi dia menatap Jojo!
Hancur, dan aku memutuskan mulai menggoda Putri untuk menenangkan pikiranku. Tapi
pesona Zee tidak menghilang begitu saja. Hingga setelah acara ini selesai,
bayangan Zee masih saja melekat dalam pikiranku. Aku tidak bisa melepaskan Zee,
aku memberanikan diri untuk mengirim pesan pertama pada Zee yang selama ini
selalu kutunda-tunda dan akhirnya pesan itu terkirim.
Berhari-hari
kita saling membalas pesan hingga akhirnya aku katakan bahwa aku merindukannya.
Tapi jawabannya hanya tawa, dia bilang sedang tidak tertarik untuk menjalani
suatu hubungan. Oh Zee kamu sungguh menyiksaku.
***
Dia adalah
teman dalam satu komunitas pecinta budaya Sunda. Dia adalah pria pendiam dengan
senyuman yang dilengkapi lesung pipit di pipi kanannya. Dia adalah pria yang
disenangi oleh banyak wanita. Dia adalah pria yang santun dan ramah. Dia pria
yang membuatku bingung. Dia adalah pria yang membuat aku selalu
memperhatikannya.
Dia Jojo,
satu kampus denganku hanya saja berbeda departemen. Kami sering bertemu karena
kegiatan komunitas ini sangat menuntut untuk selalu latihan karena kami akan
tampil dalam suatu launching gedung
baru.
Dia Jojo,
pria yang semakin aktif terlibat dalam pembicaraan di grup media sosial setelah
aku didekati oleh salah seorang teman, Yoga. Apakah hanya perasaanku saja?
Setiap ada
kesempatan aku tidak bisa memalingkan pandanganku dari wajahnya, darinya.
Sebelum Yoga mendekatiku, seringkali tatapannya bertemu dengan tatapanku dan seketika
kami mengalihkan dengan malu-malu. Sampai tiba Yoga mendekatiku secara terbuka
di depan semuanya. Aku tahu dia hanya bercanda, ya tingkahnya mengundang gelak
tawa kami. Yoga adalah nafas dari perkumpulan budaya ini.
Dalam suatu
acara pembukaan sasana budaya baru milik pemerintah, kami selaku tim pemain
Angklung sudah selesai tampil dan duduk menyebar mencari tempat yang nyaman
sesuai mereka. Aku berdiri di barisan kursi paling atas bersama Jojo, Daisy,
dan Raya. Jojo yang telah duduk terlebih dahulu langsung bergeser memberi
tempat kepada Daisy dan Raya.
“Zivana mau
duduk juga?” apa? Dia bertanya padaku? Aku hampir salah tingkah.
“Enggak deh,
aku anaknya enggak bisa diem hehe,” jawabku sambil tersenyum berharap
senyumanku ini adalah senyuman paling manis yang bisa aku berikan. Ini adalah
pertama kali interaksiku secara langsung dengan Jojo dan penawaran pertama yang
kutolak. Untung saja suasana ini tidak diganggu oleh Yoga yang pasti akan
menggodaku.
Tapi mengapa
aku merasa untung karena tidak ada Yoga? Apa hubungannya? Aku tidak ingin Jojo
melihat aku digoda Yoga? Aku tidak ingin Jojo melihat aku berduaan dengan Yoga?
Pertanyaan itu terus menggangguku. Peduli apa aku dengan semua ini? Peduli apa
aku terhadap perasaan Jojo?
Benar saja
tidak lama aku pergi dari Jojo, Raya dan Daisy menuju keluar ruangan mencari
udara. Tak sengaja di luar aku bertemu dengan Yoga dan Walby. Dapat kuprediksi
mereka langsung menyergapku dengan berbagai candaan yang menggoda.
“Zee, yakin
enggak mau sama Yoga? Kasian ih Yoga, kalau dia bunuh diri gimana? Udah
kepalang suka sama kamu,” Walby mencoba mencekokiku dengan hasutan agar mau
menjadi pacarnya. Aku hanya cengengesan, karena logat Walby sangatlah khas.
Sedangkan Yoga yang pura-pura marah melewatiku begitu saja, tidak masalah aku
tahu itu hanya bercanda.
Setelah acara
selesai aku langsung pulang ke tempat kost, aku rasa hari ini sungguh
melelahkan, ya karena hari ini adalah agenda terakhir komunitas kami. Agenda lainnya
ada untuk tujuh bulan mendatang, maka hari ini adalah hari terakhirku secara
intens bersama-sama dengan Jojo.
Malam ini
ketika aku akan pergi tidur, sebelumnya aku sempat memandangi profile picture Jojo dalam obrolan grup
kami. Seperti biasa, Jojo aktif dalam obrolan dan yang tidak kusuka dia malah
membicarakan perempuan lain, ternyata aku salah aku pikir dia suka padaku.
Keesokan paginya
aku melihat Yoga mengirim pesan padaku. Pukul 22.08 tadi malam ketika aku sudah
tidur, bukankah dia sedang pura-pura marah padaku? Dalam pesan itu dia
memanggil namaku dan aku membalasnya menanyakan ada apa? Kami saling membalas
pesan hingga tiga hari berikutnya karena jarak membalas yang terlalu lama
hingga dilanjutkan hingga besok, keesokan harinya dan terus begitu. Hingga
suatu saat dia bilang rindu padaku. Tidak, aku tidak rindu padamu Yoga, aku
malah berharap Jojo yang menghubungiku dan perasaan ini menyiksaku.
***
Dia perempuan
anggota baru di komunitas ini, dia Zivana Maria. Sejak pertama dia
memperkenalkan diri aku melihatnya sebagai pribadi yang cukup serius dan
malu-malu tidak mengambil hatiku sama sekali. Hingga beberapa kali kami
bersama, komunitas kami selalu mendapat tawaran untu tampil dalam beberapa
acara dalam waktu satu bulan ini sehingga kam harus latihan agar penampilan
kami tidak mengecewakan.
Dia menjadi
bunga yang baru mekar di komunitas ini. Banyak perempuan di komunitas ini namun
hanya dia bunga yang paling mekar. Seperti kesan pertama dia agak pemalu, ah
tapi rasanya bukan itu lebih tepatnya dia pendiam dia hanya berkumpul bersama
kedua temannya Raya dan Hera. Setelah beradaptasi dengan baik aku melihat Zee
sebagai sosok yang sangat peduli akan lingkungan. Suatu hari ketika kami makan
siang bersama banyak sampah bekas nasi kotak berserakan, ketika orang lain
tidak peduli dan merasa mengambil sampah yang berserakan itu bukan pekerjaan
mereka Zivana malah dengan leluasanya berjalan dan memungut sampah dan
membawanya ke trash bag yang tersedia
cukup jauh. Hey, dia semakin menarik. Namun ternyata yang terpaut padanya bukan
hanya aku, ada pula Yoga anggota laki-laki lain yang sama tertarik pada Zee.
Hanya saja Yoga selangkah lebih maju ketimbang aku yang hanya mampu mengagumi
dia dari jauh. Keberanian Yoga untuk mengajaknya berbicara hingga Zee pun
menanggapi Yoga dengan respon yang positif walaupun sedikit kaku, tapi itu
sangat menggangguku. Kini tidak ada lagi mata yang diam-diam menatapku karena
dia akan menatap Yoga.
Ya, mereka
semakin hari semakin dekat saja. Tapi suatu saat Yoga menggoda Putri, ada apa
dengan Zee? Aku semakin aktif saja dalam obrolan grup kami berharap Zee juga
muncul ataupun teman-teman membahas apa yang terjadi antara Yoga dan Zee.
Namun, Zee tidak pernah muncul, Yoga hanya menulis bahwa dia rindu pada Putri.
Mengapa Yoga begitu berani menuliskan kata-kata seperti itu di obrolan ini?
Bagaimana dengan Zee?
Aku mencoba
memancing-mancing pembicaraan dengan mengatakan suka kepada Rachel, siapa tahu
ada yang mau merangkum siapa-siapa saja dalam komunitas ini yang terlibat cinta
lokasi. Sayangnya tidak ada, tapi apakah aku malah salah melakukan strategi?
Apakah kelakuanku malah membuat Zee kecewa? Aku tidak tahu dan tidak pernah
tahu, andai saja aku sedikit memiliki keberanian untuk mendekati Zee,
seandainya saja maka aku tidak akan pernah merasa tersiksa seperti ini.
Komentar
Posting Komentar