The Light Up

Angin menerpa wajahku halus, sejuk wangi aroma bunga yang baru bermekaran karena di sini tepat memasuki musim semi. Jalanan masih basah akibat salju yang mencair dan taxi yang aku tumpangi menepi tepat di depan apartemenku. Ku bawa barang-barangku memasuki lift, kamarku tepat di lantai 3. Ruangan ini tertata sangat tak sesuai keinginanku. Aku memang orang yang sangat perfectionist karena aku fotografer bidang arsitektur. Aku memandang sekeliling tiba-tiba aku dikejutkan oleh ponselku yang berbunyi.
“Iya Ma, ini baru nyampe banget. Nanti besok Sam ke kantornya,” aku berbincang selama 2 menit bergantian dengan kedua adikku dan papa. Setelah telepon di tutup aku duduk bersandar di kursi itu dengan kaki terangkat ke meja mencoba membuat tubuhku senyaman mungkin dan mencoba memejamkan mata lalu aku benar-benar tertidur.
***
Pernahkah kalian merasa tidak ingin berada dimana-mana? Jika pernah itulah yang sedang aku rasakan.  Setelah UAS berakhir aku memutuskan untuk pulang. Ke rumah. Tapi rumah pun tidak membuat hati ini kembali tenang.
“De cepet mandi!”
“Aku berangkat ya!”
“Kak, tolong masak dulu Mama mau mandiin si Ade. Bawangnya ulek, terus tumis sama tomat udah gitu masukin gula garem….” Bla bla bla. Segala teriakan itu seperti simfoni yang mengalun rutin setiap pagi. Terkadang aku selalu bangun karena teriakan-teriakan itu.
Setelah semua teriakan itu reda tiba saatnya giliranku untuk mengantar adik kecilku ke sekolah. Dia masih kelas 1 SD dan aku tingkat pertama di sebuah universitas negeri di Bandung. Rentang usia yang sangat jauh sekali. Ketika sampai di sekolahnya aku mengantarnya sampai ke kelas, aku terkejut karena dia tidak mau duduk dengan teman yang lain kecuali satu temannya. Tingkah adikku itu mengingatkan aku dulu sewaktu SD. Aku pun begitu, tidak ingin duduk dengan yang lain. Aku berganti teman duduk pun ketika aku kelas 5 dan mulai bisa berteman dengan yang lain. Adaptasi yang sangat panjang.
Hal yang membuat aku betah di sekolah adalah dengan memiliki teman. Walaupun aku sangat sulit beradaptasi tapi jika seseorang mendekatiku terlebih dahulu aku bisa menerimanya. Aku merasa lebih diterima dan dibutuhkan. Saat memasuki masa SMP dan SMA Aku sering pulang sore karena pergi dengan temanku. Tapi semua berubah sejak kuliah, aku merasa tak diinginkan siapapun. Bahkan kedua temanku yang lebih sering bersamaku dengan santai mengatakan aku adalah ekor mereka. Apakah itu yang dinamakan teman? Bukankah teman adalah orang yang berjalan di samping kita bukan dibelakang atau malah mendahului di depan?
Ngomong-ngomong bicara soal pacar, aku putus empat bulan yang lalu tapi lukanya masih terasa karena hubungan ini bukan hubungan seperti anak SMP yang putus setelah dua minggu jadian dan mendapat yang baru keesokkan harinya. Kita sudah dewasa dan dia lebih memilih untuk mengakhirinya. apa yang dia inginkan? Cinta? Waktu? Aku telah berikan namun tetap saja ia ingin pergi dariku, mungkin dia telah merasa nyaman dengan tanpa diriku. Penolakkan dari dua jenis relationship itulah yang membuat aku tak merasa ingin ada dimana-mana. Aku membenci mereka semua!
***
Aku terbangun ketika bel kamarku berbunyi. Itu pasti makanan pesananku dari delivery order. Perutku berbunyi ketika kubuka kotaknya, aroma lezat langsung tercium di hidungku. Aku menyantapnya dengan lahap. Ini adalah makan pertamaku di London. Welcome London and please be good to me! Teriakku dalam hati dan aku bergegas mandi.
Hari masih sore dan langit belum menunjukkan tanda-tanda matahari akan pergi ke peraduan, jadi tak ada salahnya aku putuskan untuk berjalan-jalan di kota yang untuk beberapa waktu ke depan akan menjadi kotaku. Aku memasuki lift, lantai 3,2,1 dan pintu lift terbuka. Tak ada orang yang memperhatikanku dan aku sangat suka itu, tidak ada yang ingin tahu urusan orang lain.
Lelah menjalari kakiku. Aku berjalan-jalan di West End, tepatnya di Piccadilly Circus yang banyak orang bilang sebagai New York Times Squarenya London. Dengan kamera yang kugantungkan di leher dan ternganga melihat keindahan arsitektur yang berdiri megah. Hey, aku tak salah meninggalkan bangku kuliah yang baru kududuki selam satu semester untuk membayar semua keindahan ini. Oh Tuhan, aku mencintai hidupku.
Asal mula aku berada di London karena salah satu kantor redaksi majalah di London menyukai hasil fotoku. Awalnya aku hanya iseng mengupload ke websitenya, tapi pada akhirnya mereka mengirimiku email dan mengucapkan selamat karena aku terpilih sebagai salah satu karyawan baru di sana. Aku kaget dan kucari history hasil browsing dua minggu lalu. Astaga, aku tidak melihat bahwa perusahaan itu sedang mencari pegawai baru, ketidaksadaran aku membuat aku terbang ke London, sebuah ibukota cantik milik Inggris.
Kopi panas di pagi hari menyambutku ketika aku duduk di meja kerjaku sendiri. Aku 18 tahun dan sudah memiliki meja kerja sendiri, aku tak berhenti tersenyum hingga seorang wanita mengatakan padaku untuk berkumpul di ruang meeting. Becky, namanya. Seorang wanita dengan tinggi kira-kira 175 cm dan berkulit putih pucat dengan kulit pipi berbintik-bintik ciri khas orang eropa. Dia adalah sekretaris bosku, Mrs. Gabriella Rohnstein.
Welcome Jimmy, Samantha, Susan, Ava, Richard, Andrew, Steve, Kelly, Ayinde, Julian, Kurt and Oliver. Kalian adalah karyawan terpilih dan saya memberikan waktu 1 bulan kepada kalian semua untuk bekerja lebih baik agar dapat mempertahankan posisi kalian,” salam pembuka dari Mrs. Rohnstein. Aku memandang ke sekeliling, mereka berwajah eropa semuanya dan ada seorang yang sedang memperhatikanku.. kami bertemu pandang dan aku langsung menunduk tepat ketika dia melemparkan senyumnya padaku. Dia Samuel Schneider.
Sebelum pulang, aku mampir ke suah café untuk mengganjal perut yang merasa lapar sebelum waktunya. Secangkir coklat panas dan sepiring macarons. Dengan headphone terpasang aku benar-benar sedang menikmati hidupku. Mataku terpejam ketika menyesap harum coklat panas dalam cangkirku, surga dunia.
“Hai,”
“Oh my God!” aku tesentak ketika membuka mata untuk menyesap coklat panas yang kedua kalinya, untung saja sudah kutelan jika tidak aku akan tesedak. Tahukah kalian, tersedak bisa membuat orang meninggal dan aku tidak mau mati tersedak di tempat yang baru kuinjak selama 48 jam.
“Maaf mengagetkanmu.” Dia terkekeh. “Kamu anak baru itu kan? Kita belum berkenalan, namaku Samuel. Samuel Schneider.” Dia mengulurkan tangannya dan aku menyambut tangannya dan menyebutkan namaku.
 Kami berbincang sangat lama dan satu yang aku tentangnya dia juga sering mengunjungi café ini hanya untuk sekedar minum kopi. Dia juga fotografer, namun di bidang yang berbeda. Dia lebih memilih nature sebagai objek bidik kameranya, khususnya jenis lanskap. Kami berjalan pulang dan ternyata dia tinggal di apartemen sebelahku dan di lantai yang sama. Kami tidak memiliki nomor ponsel satu sama lain sehingga yang kami lakukan adalah menuliskan pesan yang ditulis di kertas dan memperlihatkannya melalui jendela kami, karena jendela kami tepat bersebrangan.
Satu bulan berlalu dan kami para pendatang baru sangat beruntung karena tetap bekerja di sini. Pesta perayaan dilakukan di bar terdekat sepulang kantor. Kami menghabiskan malam di sana, menari, bernyanyi dan bersuka ria. Aku tak cukup mabuk karena aku hanya minum satu gelas. Hey, aku adalah anak yang baik dan aku tak pernah menyentuh minuman seperti itu. Tapi tidak dengan Sam, dia mauk berat dan aku yang menjadi penanggung jawab ia selamat sampai ke apartemen.
“Sam, kau sudah sampai. Aku akan segera pulang!” seruku.
“Samantha!” aku kaget sekaligus takut. Suara Samuel menyeramkan dan dia sekarang dalam keadaan mabuk, aku khawatir dia melakukan hal-hal yang mengerikan kepadaku. Aku tidak berbalik tapi aku berhenti berjalan. Beberapa langkah menuju pintu, namun aku takut untuk bergerak. “Terima kasih, aku akan tidur” dan kudengar dia membanting tubuhnya di kasur. Syukurlah.
Saturday. Ah, menyenangkan sekali jika aku sudah bertemu dengan yang namanya akhir pekan, tidak melakukan apa-apa sepertinya pilihan yang bagus tapi astaga apa-apaan ini? Meja berantakan oleh foto dan banyak piring dan gelas yang belum kucuci. Astaga aku lupa, kemarin aku bangun terlambat dan aku buru-buru ke kantor tanpa sempat mencuci piring dan aku pulang larut malam and the great choise is cancelled out. Kubuka tirai dan pandanganku tertuju pada jendela besar di depanku. Disana terdapat pesan ‘Are you busy today? If you don’t let’s go to Camden Passage’. Lalu ku balas, ‘I’m sorry, but we can go there tomorrow’
Ketika aku meletakan pesan balasanku di jendela Sam muncul dengan cangkir porselen berwarna putih di tangannya, aku rasa itu kopi. Dia tidak bisa lepas dari kopi. Dia mengangkat gelasnya ke udara sebagai salam dan aku membalasnya dengan mengangkat kertas berisi pesanku lalu dia mengangguk dan aku kembali menulis. ‘The house is in a clutter. Spring cleaning’ dan dia hanya tersenyum menandakan ajakannya masih berlaku untuk besok. Aku ikat rambutku tinggi-tinggi dan ting tong, bel berbunyi dan di sana berdiri Sam.
Sam berdiri di depan pintu apartemenku mengajukan diri untuk membantu membereskan hunian mungilku ini. Diawali dari meja dan piring yang belum dicuci. Dengan bantuan Sam, akhirnya aku membersihkan total semuanya dan aku mulai lelah. Sam menuju dapur dan mengambilkan segelas air putih yang langsung tandas ketika gelas itu sampai di tanganku. Akhirnya semua selesai, baru segurat senyum menghias wajahku Sam mengatakan bahwa aku berhutang untuk membersihkan apartemennya. Oh tidak!
Minggu pun tiba aku dan Sam berangkat menuju Camden Passage, sebuah tempat yang menjual barang-barang vintage. Aku berseru ketika melihat itu semua. Kuangkat lensa kesayanganku ke mataku dan menekan tombol shutter. Klik. Sore menjelang, kami kembali menghabiskan waktu hingga makan malam di café langganan kami. Canda tawa dan keakraban semakin tumbuh menjalari kami berdua, walaupun baru sebulan aku masih merasa canggung maka saat ini waktu yang tepat untuk menghapus semua kecanggungan yang ada.
“Sam, kita belum foto berdua,” selfie dengan kameraku. “Ini buat koleksi aja ya, jangan di upload. Oke?!” dia mengiyakan.
Waktu berjalan sangat cepat, sudah setahun aku bekerja dan aku sudah mengikuti beberapa training untuk menambah wawasan tentunya Sam ikut, dia mulai menguasai teknik foto arsitektur, bagaimana mengatur angle yang tepat agar terliat indah. Begitupun aku, Sam mengajarkan banyak hal. Dia mengajakku ke berbagai tempat hampir ke seluruh Inggris. Karena kalian akan menemukan seseuatu yang paling indah di sudut yang tidak terduga. Sama seperti The Blues Mansion, sebuah mansion yang bernuansa kesedihan yang bisa terlihat dengan memandangnya sedikit. Kesan horror tergambar jelas, dengan letak yang terpencil dan track yang sulit untuk mencapainya ditambah dengan suasana sepi karena hanya mansion itulah satu-satunya gedung berdirii di sana.
“Sam,”
“Iya Miss,” kami berdua serentak menjawab panggilan Gabriella. My Boss.
“Samantha, I mean” Gabrielle menjelaskan. “Saya ingin kamu pergi ke The Blues Mansion. Banyak email yang masuk dan menginginkan untuk mengexpose mansion itu. Memang terlihat horror, tapi alasan itulah yang membuat pembaca penasaran,”
Excuse me Madam, track ke sana sangat berbahaya. Bagaimana jika project itu saya yang ambil, biarkan Samantha menangani project saya,” Samuel berkata hati-hati. “Dan saya sudah mengikuti banyak training sehingga saya bisa mengatasi ini,”
I know, sebenarnya saya ingin Samantha yang pergi. Bukannya saya meragukan kamu tapi, baiklah dan…. jangan tampilkan wajah seperti itu lagi di depan saya, itu sangat menjijikan!” Gabrielle pergi dari meeting room dan aku hanya bisa bingung melihat apa yang dilakukan Sam dengan mengambil alih projectku, sedangkan aku tidak sepenuhnya menguasai bagaimana foto lanskap.
“Kau ini kenapa? Kenapa kamu mengambil projectku? Masih banyak project yang belum kau selesaikan, kau ini jangan tamak” aku mengeluarkan semua pertanyaan yang ada dalam pirkiranku.
“Samantha, aku minta maaf tapi…”
“Kamu tidak suka aku kerja di sini? Kamu ingin aku pergi dari kantor ini? Hah?” Sam hanya diam dan aku tak mau berlama-lama diam menunggu pembelaan dari dirinya, aku pergi. Aku kesal dengan apa yang dilakukan oleh Sam. Dia pikir dia bisa mengambil apa saja yang dia inginkan? Aku benar-benar kesal.
Keesokkan harinya aku bangun dengan kepala berat, ku buka tirai dan mataku langsung tertuju pada sebuat pesan yang ditempel di jendela tetanggaku itu. Tetanggaku itu pamit padaku dan mengatakan ia akan kembali besok. Hah, aku tak peduli dia akan pulang kapan. Kantor tampak sepi hari ini tanpa Sam, tapi itu lebih baik karena aku sedang tidak mau melihat wajahnya.
Batas hari ini sudah berlalu sejak satu jam yang lalu, dan sekarang sudah pukul 1 malam aku belum merasakan kantuk yang seringkali menyerang dari pukul 11. Aku berjalan menuju dapur, menuangkan segelas air putih dan duduk menyalakan televisi. Semua channel sudah kulihat, tidak ada yang menarik. Sepertinya aku butuh udara segar.
“Hey, ada apa dengan matamu? Kau tidak tidur semalam?” Tanya Ava khawatir ketika aku baru duduk.
“Iya, aku baru tidur pukul 2 pagi,” jawabku lemah.
“Apa yang kau kerjakan? Bukannya kau sedang tidak sibuk?” tanyanya lagi namun aku hanya mengedikkan bahu. Aku mulai menyalakan laptop namun Ava tidak beranjak dari tempat semula, aku melihat ke arahnya dan wajahnya tersenyum menggoda. “Kau merindukan Samuel ya?”
“Wha..aat? Tidak, lagipula untuk apa aku merindukannya?” aku tertawa garing. Aku tidak bisa memungkiri memang aku merindukannya, tapi hanya sedikit!
Apa ini yang dinamakan rindu? Tidak merasakan nyaman ketika melakukan sesuatu dan selalu merasa bosan? Apa yang harus kulakukan? Menghubunginya? Aku tidak punya nomor ponselnya. Lagi pula hari ini ia akan pulang dan mungkin besok dia sudah akan kembali bekerja.
 “Bad news, Samuel dan tim mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang. Mobil kantor terjungkal dan hancur yang ditemukan oleh serombongan turis yang akan mengunjungi The Blues Mansion. Tapi mereka tidak dapat menemukan Sam dan yang lain,” Gabriella mengabarkan berita ini dengan wajah berduka yang dibuat tegar untuk menjaga wibawanya.
SAR sudah mencari korban, namun hasilnya nihil. Berita ini menjadi headline di banyak surat kabar. Aku menyesal karena telah marah padanya, aku sangat sangat menyesal. Awan gelap menggelayuti atmosfer kantor. Semua orang bekerja dalam diam mencoba untuk focus dalam pekerjaan masing-masing, tapi tidak denganku. Aku tidak focus dengan apapun.
Rutinitas terbaru yang aku lakukan adalah duduk di balkon dan memandangin jendela besar yang ada di depanku. Tirainya masih tertutup dan pesan yang dulu sudah kubaca tidak berubah tempat menandakan tidak ada orang di dalamnya. Seminggu, dua minggu berlalu insomnia mulai bersahabat. Pukul 2 rasa kantuk belum muncul dan aku hanya duduk menghadap layar televisi yang mati. Suara klakson mobil bersahutan dan aku tetap bergeming tapi dari dalam diriku muncul suatu perasaan yang mengharuskan aku untuk melihat keributan itu.
Perasaan kuat itu masih terkalahkan dibandingkan dengan perasaan kacau yang menderaku. Aku tak bergerak masih memandangi layar televisi gelap. Tiba-tiba, layar televisiku berubah warna akibat ada pantulan sinar di depannya. Aku menyadari perubahan itu, tapi aku tetap diam. Hanya bola mataku yang merespon dengan gerakan bahwa aku sedang tidak melamun.

Otakku mulai mau memerintahkan seluruh anggota tubuhku untuk bergerak, membalikkan tubuhku sehingga pandanganku tepat ke depan, ke seberang apartemenku ke sebuah jendela besar yang tirainya tidak tertutup tapi, lampunya menyala. Sam apa kau sudah kembali?

Komentar

Postingan Populer