My Neighbor, I Love You Too


Aldi Gatandhi, cowok kurus tinggi kulit sedikit gelap dan senang sekali menggunakan kaos yang dilapisi kemeja kotak-kotak dan celana jeans belel dengan bagian lutut yang robek. Dia tidak menyukai bahwa dirinya berada di jurusan ini, passionnya berada di bidang olahraga dan itulah yang menjadi alasan mengapa dia jarang masuk kuliah. Benar, dia memang jago saat bermain futsal. Sikapnya yang angkuh seketika hilang ketika aku melihat aksinya di lapangan, itu langsung menjadi nilai tambah untuknya.
Di kelas kami tak pernah bertegur sapa sama sekali. Alasan lain kami tak pernah satu kelompok dalam mata kuliah apapun. Kami seperti orang yang tak saling mengenal. Aku dengan teman laki-laki lainnya di kelas sering mengobrol kadang bercanda, namun tidak dengannya.
Aku ketuk pintu kamar nomor 55 itu dengan keras, aku tak perlu mengetuk dengan lembut karena itu tak akan berguna. “Bisa kecilin suara musiknya?”
“Ini kali ke 189nya lu bilang kecilin suaranya. Elu enggak bosen apa?” tanyanya dengan nada malas.
“Karena ini kali ke 189, seharusnya kamu udah ngerti dan enggak harus diingetin lagi!” kataku sedikit menyentak.
“Elu bawel tahu enggak sih, ini hidup gue. Mau denger musik keras apa kecil terserah gue! Lagian ibu kost aja enggak protes,” dia sama membentak.
Aku menghela napas dan ingin sekali rasanya masuk ke kamarnya dan membanting semua speakernya. Tapi ingat aku tak ada hak untuk itu, tapi setidaknya apakah tidak ada sedikitpun peduli pada penghuni kost yang lainnya?
“Kamu bener-bener enggak ngehargain orang lain, besok aku ujian oke dan tolong untuk tidak mengganggu kesibukan orang lain!” aku bergegas pergi karena aku tak mau membuang waktu belajarku. Jika dia tidak mendengarkanku, aku yang akan pergi.
“Gita, tunggu! Besok ujian?” dia menghentikanku.
“Iya, kamu mau dateng? Um, emang kamu masih peduli ya?” dan kali ini aku benar-benar pergi kembali ke kamarku. Tepat ketika aku sampai di pintu, musik dari kamarnya tidak terdengar lagi. “Syukurlah kali ini dia ngerti,”

Aku mahasiswa semester 1 di sebuah universitas negeri. Masih sangat muda! Tadi malam Papa dan Mama menghubungiku memberitahukan sebuah kabar buruk bahwa kini ekonomi keluarga sedang sulit, papa bangkrut. Aku sampai harus menjual handphone dan menggantinya untuk uang simpananku dan yang paling sulit untuk aku terima adalah aku harus bekerja. Aku masih merasa asing di kota ini, aku belum mengenal seluk-beluk dan bagaimana kejamnya dunia kerja. Oh my God!
“Aku harus kerja dimana? Ngandelin transkrip nilai siapa yang mau terima?” dering telepon berbunyi. “Hallo, Ma. Ada apa?”
Masalah baru muncul, Mama bilang Papa sudah tidak bisa membayar sewa kost dan aku benar-benar terancam DO. Untuk tempat tinggal Papa menyarankan aku untuk tinggal dengan Om Li, sepupu jauh Papa. Keluarga Om Li memang baik namun, aku merasa malu atas insiden yang terjadi saat Lebaran, enam bulan yang lalu.
“Enggak! Gue enggak mau berenti kuliah. Mau ditaro dimana muka gue? Dan untuk Om Li, kenapa harus di rumah Om Li? Pasti Tante Ratna dendam sama gue, kalau gue bener jadi tinggal di sana, bisa mampus,” aku kalut, aku takut, aku sedih, aku marah dan semua rasa bercampur menjadi satu mengaduk-aduk pikiranku.
“Gue harus bener-bener cari kerja. Tapi gimana kalau temen-temen mandang rendah gue? Please Gita, jangan mikirin gengsi terus, umur lu pendek kalau mikirin gengsi terus. Oke, gue bakal cari kerja untuk tinggal di rumah Om Li enggak dulu deh kayaknya.” Aku memaksa cermin untuk mendengar keluh kesahku dan kulihat di cermin betapa kecilnya diriku dan aku terlalu muda untuk masuk ke dunia yang mulai menampakkan kekejamannya.
Hari ini libur semester telah dimulai, Om Li menghubungiku dan berencana mengajakku untuk menginap di rumahnya dengan alasan untuk membuat aku menyamankan diri di sana sebelum aku menerima keputusan Papa untuk menitipkan aku kepada Om Li.
“Om, Gita minta maaf ya waktu Lebaran Gita enggak sopan sama Om,” kataku hati-hati.
“Enggak apa-apa kok, Git. Om udah lupain itu semua,” jawab Om Li sambil memberikan senyum tulusnya padaku.
“Tapi gimana sama Tante Ratna?” ketakutan itu mulai muncul kembali.
“Tante Ratna juga sama sudah melupakan semuanya. Malah waktu Papa kamu telepon, Tante Ratna antusias banget,” ah itu sih antusias buat bales dendam sama aku. Aku serasa ingin loncat dari gedung tinggi saja. “Kita sudah sampai,”
Tak terasa perjalanan berlalu begitu cepat, dan semakin cepat pula aku bertatap muka dengan Tante Ratna. Sagita Sylva, kuatkan hatimu!
“Hallo, Gita. Apa kabar?” sapa Tante Ratna ramah.
“Ba..baik, Tante” aku menjawab dengan senyum yang dipaksakan untuk menutupi ketakutanku.
“Ayo masuk, Tante udah masak buat kamu,” katanya masih ramah.
“Ayo Ta, Tante Ratna jago banget masak. Kamu bisa belajar masak sama Tante,” ujar Om Li.
“Ah, iya Om” kali ini ekspresiku masih tersenyum namun dengan alasan yang berbeda, aku canggung.
Mereka bercerita dan dari cerita-cerita itu terlihat bahwa mereka memang menerima kehadiranku, apa benar aku terima saja saran Papa untuk tinggal dengan Om Li dan Tante Ratna? Lagipula apa salahnya ya? Tapi.. aku masih takut di balik wajah ceria mereka merencanakan hal lain. Ini sulit. Sangat sulit.
Om Li dan Tante Ratna sudah menikah selama 16 tahun namun sampai sekarang mereka belum dikaruniai keturunan, dan untuk insiden saat Lebaran itu aku sedikit malu untuk menceritakannya namun cerita ini harus aku ceritakan. Setelah salat Ied di masjid dekat rumah, kebiasaan berkumpul dan saling mengunjungi sudah sangat melekat kuat di keluarga kami, dan inilah awal kisah terjadi. Saat itu Om Li dan Tante Ratna datang berkunjung ke rumah kami dengan menggunakan sebuah truck tua yang sedikit diberikan sentuhan cat baru. Kesombonganku saat itu dengan tega dan tanpa rasa malu mentertawakan mobil Om Li. Walaupun sudah ditegur Papa namun, tawaku saat itu tak sekejap langsung berhenti.
 Aku rela jika mereka balas mentertawakanku asal mereka mau memaafkan cerita masa lalu itu. Aku tak tahu apa yang Papa katakan pada Om Li, apakah Papa sampai memohon agar mereka memaafkan aku sehingga aku bisa tinggal di rumah mereka agar pengeluaran kami minimal? Bodoh! I swear tak akan aku ulangi hal konyol seperti itu lagi dan mulai menghargai apa yang aku punya.

“Eh Gita, lo abis  dari mana aja? Gue lihat kamer lu gelap terus,” katanya so akrab ketika aku kembali ke bekas kamarku untuk mengambil sesuatu. “Gue kira lu mati,”
“Apaan sih Di enggak lucu banget tau enggak. Udah ya gue harus cepet-cepet udah ditungguin Om nih,” aku terburu-buru dan kudapati Aldi masih berdiri di belakangku, menungguku di luar kamar.
“Git, lho kok kamar lu kosong?” tanyanya bingung. Yang tersisa hanya sebuah striker yang masih tertempel di tembok.
“Aku udah pindah dua minggu yang lalu. Aku duluan ya, Di. Bye” aku bergegas pergi. Tapi belum jauh dia mengatakan hal yang tidak aku mengerti.
“Kenapa lu enggak pamit sama gue? Lu anggep gue apa selama ini? Enggak nyangka ya Gita, meskipun lu selalu marah-marah tapi lu yang bikin gue mau kuliah lagi.” Dan ku dapati dia sudah tidak ada lagi.
Aku memang merasa bersalah tidak pamit padanya karena saat itu dia sedang tidak ada di kamar, lagipula apa dia tidak membaca suratku? Surat yang ku simpan di bawah pintunya. Ah, bodohnya kamar dia kan berantakkan sekali mungkin saja dia anggap itu sampah. Tadinya aku berpikir untuk menghubunginya lewat SMS tapi aku pikir itu terlalu formal dilihat kita selalu bertengkar ketika bertemu.
Mending kamu beresin kamer kamu deh, kalo beruntung kamu nemu amplop biru.
Ku kirimkan pesan singkat itu ke nomornya. Tapi sampai besok tak ada balasan darinya.
“Kenapa Git, ko murung gitu? Barangnya enggak ketemu?” Tanya Om Li memecah kesunyian.
“Oh, enggak Om. Gita enggak kenapa-napa kok” jawabku sekenanya.
“Kamu enggak mau pergi ya dari kamar kamu itu? Kalau kamu enggak mau pindah, kamu bisa tetap tinggal di sana untuk biaya nanti Om yang urus,” Om Li mencoba menebak apa yang aku pikirkan.
“Enggaklah Om, masa udah dua minggu Gita belum betah tinggal sama Om Tante. Gita seneng kok, Gita jadi bisa masak. Hehe” aku membalas dan menyanggah apa yang dipikirkan oleh Om Li.
Iya aku tahu aku salah kenapa aku melakukan hal bodoh lagi. Tapi sisi hatiku yang lain mengatakan bahwa orang kesusahan seperti ini tidak ada waktu untuk mengurusi hal sepele seperti itu apalagi Aldi tidak pernah menunjukkan perasaan bahwa dia menyukaiku, lebih baik memikirkan bagaimana caranya agar besok masih bisa tetap hidup. Itu.
Suatu saat di hari Minggu, aku memutuskan untuk tetap tinggal di rumah, selain mengirit untuk ongkos dan aku tidak enak selalu meninggalkan rumah. Aku memutuskan untuk membersihkan seluruh rumah dan ketika aku bersiap-siap untuk membersihkan diri dari peluh tiba-tiba Tante Ratna mengajakku berbelanja di salah satu mall terdekat.
“Gini ya rasanya jalan-jalan sama anak,” kata Tante Ratna lirih. Aku tak menjawab hanya tertawa dan merasakan perih yang dirasakan Tante Ratna. “Makasih ya Git, kamu mau tinggal di rumah Tante,”
“Harusnya Gita yang berterima kasih sama Tante. Om sama Tante udah baik banget mau terima Gita. Gita enggak tahu harus gimana bales kebaikan Om sama Tante,” aku sedikit menahan suara karena, suaraku sedikit bergetar.
“Ah udah ah, jadi mellow gini. Tante mau ke toilet dulu ya.” Aku mengangguk.
Aku berjalan melihat baju-baju yang menggangtung menunggu untuk dibeli. Cantik, lucu dan aku ingin memilikinya. Lihat dompetku? Aku menatap sedih pada isi dompetku. Ah, hanya Rp. 100.000 lagi. Ketika aku mencoba mengalihkan pandanganku ke arah yang lain, aku menemukan beberapa orang yang menggunakan seragam berbeda. Ku coba tanya pada salah satu di antara mereka, dan mereka mengatakan bahwa mereka adalah pekerja yang magang dan mereka adalah mahasiswa dan siswa. Sebuah ide baru muncul.
Tiga minggu berlalu, satu minggu lagi aku akan mendapat gaji pertamaku, aku sudah tak sabar ingin membeli handphone dan baju baru dan masih banyak lagi dan berarti masa liburan akhir semester pun berakhir. Aku teringat kata Aldi saat kita terakhir bertemu, bahawa dia akan kuliah lagi. Kita buktikan hari senin. Benar dia memang kuliah tapi sikapnya berbeda. Iklim dai antara kita juga berbeda, lebih dingin dan ini sangat tidak nyaman. Apa perlu aku menyapanya? Ah, tidak! Untuk apa? Dulu juga di kampus memang tidak saling menyapa.
Sore ini aku kembali bekerja, namun lebih berbeda karena ada suatu alasan mengapa aku sangat semangat sekali bekerja hari ini. Aku akan menerima gaji pertamaku, hore! Saat amplop itu mendarat di telapak tanganku, aku bergetar. Ya ampun, aku mendapat uang dari hasil keringatku sendiri. Aku tak menyangka, aku ingin beli ice cream. Setelah aku berganti baju dan tepat keluar dari mall tempatku bekerja dengan raut wajah gembira dan langkah yang ringan tiba-tiba ku lihat Aldi duduk di halte. Dengan tangan saling terkait, seperti mendapat panggilan dia menoleh tepat ke arahku. Mata kami bertemu, aku diam mematung.
“Gita!” dia memanggil namaku seperti yang sudah tahu bahwa aku akan melewati jalan ini. Dia menghampiriku dan memelukku.
“Apaan sih, Di malu tahu banyak orang” aku mengelak namun pelukkannya makin erat dan memang aku merasakan hangat yang menjalari tubuhku. Lalu dia melepaskan pelukkannya itu lalu dia pergi. “Aldi! Ayo kita makan ice cream. Aku yang traktir,” Aku harap kata traktir membuat dia berbalik.
Kita duduk berhadapan, namun raut wajahnya bersebrangan dengan suasana hatiku. Dia terlihat murung. Apa yang harus aku lakukan? Menghiburnya? Oh, tidak itu bukan aku jika tiba-tiba kita bersahabat dan saling mendukung. Tapi aku muak dengan raut wajah murung saat aku bahagia.
“Aldi, kamu kenapa sih? Cerita dong, mumpung aku lagi baik nih,” rayuku.
“Aku cuma seneng aja bisa ketemu kamu… di sini. Apa kabar?” tanyanya tak semangat.
“Kabarku baik, kamu gimana?” tanyaku bersemangat.
“Um, enggak terlalu. Oh, iya setiap hari kamu pulang jam segini?” tanyanya hati-hati.
“Kamu tahu aku kerja di sini?” nada suaraku mulai turun.
“Maaf sebenarnya, aku tahu kamu kerja di sini. Aku pernah ngikutin kamu karena waktu itu kamu kelihatan buru-buru banget. Kamu masuk ke dalam, aku pikir kamu janjian dengan seseorang dan saat itu pikiranku kacau jika memang kamu janjian dengan seseorang, terlebih jika dia cowok,”
“Kacau? Apaan sih Di,” aku tertawa geli. Lagipula tumben Aldi enggak panggil elu gue. Dia bener-bener berubah 180 derajat.
“Kenapa aku selalu bersikap nyebelin ke kamu? Karena aku takut ngelakuin hal memalukan jika aku perlihatkan bahwa aku suka sama kamu. Kenapa kita lebih dingin? Karena aku merasa bersalah enggak baca surat dari kamu dan malah membentak kamu waktu itu dan aku terlalu egois buat bilang hai. Kenapa aku kacau jika kamu janjian sama cowok lain? Karena aku takut cemburu. Sebenernya setelah aku tahu kamu kerja di sini, aku selalu nunggu kamu pulang, tapi pas kamu keluar aku buru-buru pergi,” aku menampilkan ekspresi bertanya. “Kenapa? Karena aku belum siap menahan rindu kalau aku ketemu kamu,”
Aku terperangah, aku sebenarnya bingung tapi aku juga senang. Bukankah pernyataan-pernyataan tadi adalah pernyataan cinta Aldi padaku? Lalu  apa yang harus aku lakukan?
“Aku minta maaf karena cuma jadi pengecut,” dia benar-benar merasa bersalah itu jelas tergambar di wajahnya. Aku meraih kedua tangannya yang memegang gelas ice cream. Tangannya dingin akibat perpindahan energi dingin dari ice cream yang dari tadi hanya iya perhatikan. Dia memandang wajahku, aku tersenyum.
“Kenapa aku galak sama kamu? Karena kamu selalu menyebalkan. Kenapa aku enggak suka nyapa kamu? Karena kamu enggak pernah lihat ke arah aku..”
“Kenapa aku enggak suka perhatiin kamu karena aku enggak berani kalau pandangan kita bertemu yang ada aku lemah. Tapi aku suka kalau kamu enggak jauh dari pandangan aku,”
“Ssst, aku belum selesai. Kenapa aku bodoh pamit lewat surat? Karena aku enggak bisa ngendaliin perasaan kalau kamu belum bales pesan aku. Dan kenapa aku traktir kamu? Coba tebak” kataku semangat.
“Karena kamu kangen sama aku, bener enggak sih?” dia mencoba menebak.
“Bukan, karena hari ini aku dapat gaji,” aku menggodanya dan jelas  bahwa dia tampak kecewa. “Bukan, bukan cuma kangen tapi aku rindu, rindu banget dan aku pengen duduk berdua walaupu sebentar sama kamu sebelum aku pulang,”
“Mungkin sekarang sebentar, tapi kita masih punya banyak waktu berdua. Sagita Sylva, would ypu be my girlfriend?” kali ini dia yang menggenggam tanganku, erat. Sangat erat.
“Um, jawabannya lihat bulan depan ya aku traktir kamu makan ice cream lagi atau engga ya” wajah kecewanya benar-benar ia tampilkan, aku tergelak. “Lucu ya muka pacar  baru aku,”

Ketika ia mendengar kalimat yang terakhir ia mengangkat wajahnya dan dia tampak berseri. Ia mencium tanganku dan kami bercanda di sabtu malam yang indah ini. Telat pulang enggak apa-apakan? Hehe. 

Komentar

Postingan Populer