Mia, Ibuku Menyampaikan Salam Untukmu
Derap langkahnya terdengar di telingaku,
begitu lembut dan terasa kuat. Aku mengenali cara ia berjalan, aku mengenali
saat ia datang.
“Hmm, permisi..” katanya dan aku sudah tahu
itu dia. “Mau beli kopi 2, mi instan 2 sama air mineralnya 1,”
Aku mulai meraba dimana barang yang ia
inginkan berada. “Ini bener nggak?” Ia mengatakan dengan lembut bahwa yang aku
lakukan tepat. Lalu dia pergi. Aku mendengar derap langkahnya menjauh dan
hilang.
“Kakak, tadi ada yang beli?” Tanya ibu dan aku
mengiyakan. “Kakak masuk aja, biar Ibu yang jaga warungng,”
“Enggak usah Bu, biar Kakak aja. Ibu lebih
baik istirahat dulu,”
Aku biasa merajut, membaca buku cara memijat
ataupun hal bermanfaat lain saat menjaga warung kecil di depan rumah sehingga
aku tidak hanya menjadi gadis buta yang tidak bisa melakukan apa-apa.
“Neng, saya beli telur sekilo, garem dua
bungkus, terasi, gula pasir, mentega, detergent, kecap, minyak goring, saos
sebotol yang besar,” suara seorang ibu-ibu yang mengagetkan aku yang sedang
merajut sehingga jariku tertusuk dan mengeluarkan darah. Aku merasakannya
mengalir di jariku. Jariku terasa perih dan si ibu terus membuatku untuk
berbuat cepat.
“Neng, garemnya itu di sebelah kamu. Ke kanan,
kanaan. Atas dikit, nah naaaah. Terus itu kecapnya….” Si ibu terus mendiktekan
aku sehingga aku sulit berkonsentrasi dan membuatku semakin lambat bekerja.
“Haalaaaah, kenapa orang buta disuruh kerja sih? Lama jadinya, udahlah saya
nggak….”
“Maaf Bu, ibu tadi beli apa saja?” suara itu aku
mengenalnya. “Biarkan aku membantmu, ya” ia mengatakannya di belakangku.
Ku dengar ibu itu menggerutu terus, aku merasa
tidak berguna. Aku mulai terisak tapi cepat-cepat aku menguatkan diri karena
aku tahu pemilik suara itu belum pergi dan aku tak mau dia melihatku menangis
hanya karena hal semacam itu.
“Um, Kakak eh Mas terima kasih sudah membantu
saya,” kataku yang tidak tahu harus menghadapkan wajah ke arah mana.
Dia memegang bahuku dan memutarnya sehingga
berhadapan dengannya, aku pikir. “Tidak apa, aku hanya tidak suka jika ibu tadi
merendahkanmu.”
“Dia tidak merendahkan aku, itu benar aku
memang buta,” aku menunduk.
“Hey, sudahlah. Oh iya aku Adam dan kamu?”
“Aku Mia,” aku merasakan tangannya mengambil
tanganku untuk berjabat tangan dengannya. “Senang berkenalan dengan Mas Adam,”
aku menyunggingkan senyum kecilku.
“Jangan panggil mas, aku pikir umur kita tidak
berbeda jauh. Aku sudah dua tahun bekerja di rumah sakit tepat setelah aku
lulus kuliah. Astaga, jarimu berdarah,” aku melepaskan tanganku yang tadi dia
raih untuk melihat lebih jelas apa yang terjadi pada jariku.
“Ah, tidak apa-apa hanya sedikit tertusuk tadi
ketika aku menjahit,” dia mengambil tanganku lagi dan aku merasakan bahwa dia
sedang membalut jariku. Dia baik sekali, apa yang dia inginkan?
“Sudah selesai,” dia mengelus lambut jariku.
“Ngomong-ngomong aku sering memperhatikanmu dari sana, dari kamar kostku
maksudnya. Kau terlihat sering menjahit dan membaca buku,”
“Bukan membaca tepatnya meraba,” aku tertawa
kecil. “Memangnya kamarmu mengarah langsung ke sini?”
“Yap, jelas sekali,”
“Berarti, pagar bambu itu sudah tidak ada?”
tanyaku lagi. “Pantas saja, sinar matahari begitu terasa katika pagi aku duduk
di sini. Sangat hangat,”
Aku tak tahu apa yang ia lakukan saat itu
karena aku tidak mendengar suara apapun. Hanya suara langkah ibu dari dalam.
“Eh ada Nak Adam,” Adam membalas sapa ibuku
dengan sapaan yang renyah terdengarnya.
Semenjak itu, Adam lebih sering mengunjungiku
saat dia pulang kerja. Bau kerigatnya masih tercium olehku bahwa dia langsung
menemuiku tak singgah dulu ke kamar kostnya yang terlihat lebih dulu daripada
warung kecil ini ketika ia muncul dari jalan kecil yang menghubungkan ke daerah
yang lebih ramai. Gedung perkantoran, mobil pribadi, motor, angkutan umum,
peluit polisi, café, butik, mall, semua ada ketika kau terus mengikuti jalan
kecil itu.
Hingga suatu hari Ibu memelukku tiba-tiba.
Mengatakan dengan bersemangat bahwa aku mendapatkan donor mata. Aku menangis
bahagia sampai akhirnya setelah hampir lima tahun aku kehilangan penglihatanku
akibat kecelakaan ketika aku hendak pergi ke kampus baru untuk ospek.
Kecelakaan antar mobil pribadi dan angkutan umum yang aku tumpangi menyebabkan
pecahan kaca jendela mobil masuk ke dalam mataku dan merobek lapisannya. Aku
hampir gila karena aku tidak bisa melihat lagi, aku tidak melanjutkan kuliah
dan aku hanya mengurung diri di dalam
kamar.
Hingga suatu hari ketika aku sedang duduk di
beranda rumah suara seorang laki-laki mebuyarkan pikiranku. Ibu tidak menyahut
dan aku tahu bahwa ibu tidak di sini. Aku mengatakan bahwa aku akan memanggil
ibuku ke dalam dan suara itu mengatakan bahwa ia akan menunggu. Aku
memanggil-manggil ibu tapi ibu tak menyahut. Mungkin ibu tadi mengatakan akan
pergi kemana tapi aku tak mendengarnya karena pikiranku tak di sini.
Aku kembali menemui laki-laki itu, dan
berusaha mengingat dimana letak barang yang laki-laki itu inginkan meraba dan
menanyakan apa ini yang ia pesan, 85% aku salah. Aku berdoa agar ibu kembali
sebelum laki-laki itu pergi dan doaku terkabul.
Ibu kembali dan laki-laki itu pergi setelah urusannya selesai. Dan hal
mengejutkan, “Ibu tunjukan aku letak-letak semua dagangan di sini. Aku akan
menjaga warung ketika ibu bekerja,”
Hari itu Senin pagi, tepat empat hari setelah
operasi. Aku duduk di beranda memandang ke depan dan mengeliling berhenti di
salah satu rumah warga yang kamarnya ia kontrakan. Itukah kamar yang pemiliknya
selalu memperhatikan kemari dari dalam? Lalu kemanakan dia pergi? Pertanyaan
terakhir itu yang selalu kuulangi dan selalu terulang jawaban tidak tahu.
Hari ini kembali kepada hari Senin, aku sedang
sibuk membereskan barang-barang dagangan yang baru dibeli ibu tadi pagi. Warung
kami belum dibuka, tapi
“Mbak, saya mau beli kopi 2, mi instan 2 sama
air mineralnya 1”
“Maaf Mas, warungnya belum buka,” suaraku
melemah di akhirnya. Aku kenal suara itu. Aku tahu. Aku membalikkan badanku
dengan cepat seperti tak ingin membuang waktu agar aku tidak kehilangan si
pemilik suara itu. “Adam?”
“Hai, apa kabar?” wajahnya penuh senyuman,
tapi aku malah menunduk dan mulai menangis.
“Kemana saja kamu selama ini? Apa kau tahu
bahwa aku sudah bisa melihat?” dia hanya mengangguk lemah dan menjawab iya.
“Aku menunggu kamu dating untuk menceritakan kabar baik ini, tapi kamu tidak
pernah muncul”
“Maafkan aku, ibuku sakit keras sehingga aku
harus menemuinya dan akhirnya dia meninggal…”
“Oh maafkan aku, akuu..”
“Tidak apa, tapi sebelum dia meninggal dia
memintaku menyampaikan salam pada calon istriku,”
“Kau sudah memiliki calon istri?” aku berkata
lirih. Dan dia mengangguk layu. “Um, lalu apakah sudah kau sampaikan salam
ibumu untuk” rasanya berat sekali untuk mengatakannya. Aku tercekat.
“Untuknya?” dia hanya menggeleng. “Hey, kau tidak boleh melakukkan itu,
seharusnya kau menyampaikan salam ibumu secepatnya,”
“Baiklah, aku akan menyampaikannya sekarang,”
“Iya itu lebih baik, cepat pergilah.” Namun
dia tidak bergerak sedikitpun. “Kenapa kamu masih di sini?”
“Mia, ibuku menyampaikan salam untukmu,”
Komentar
Posting Komentar