Goodbye You, Welcome You


“Kenapa gue enggak boleh deketin Kak Dion lagi?” tanyaku dalam tangis. Ku lihat Angga diam, dia sedang mencari alasan agar aku yakin.
“Pokoknya lo berhenti deketin dia, ngejar-ngejar dia. Karena dia itu enggak bakal baik buat lo,” jelasnya tak jelas.
“Just give me a reason, Ngga” ucapku lirih. Air mata masih deras mengalir dari mataku.
“Gue enggak bisa katain ini My, yang pasti lo berhenti aja lakuin ini semua. Please, ikutin apa yang gue suruh, karena ini yang terbaik buat lo,”
“Lo itu pihak ke siapa? Lo temen gue tapi kenapa lo malah nyembunyiin alasannya. Kalo lo nggak bisa kasih alasan, lo harus dukung gue, Ngga!” ancamku. “Lo juga kan udah pernah janji bakal bantuin gue deketin Kan Dion,” Angga skak mat. Memang perasaanku pada Kak Dion sudah melebihi batas kesabaran. Sabar melihat dia hanya lewat saja di depanku, sabar melihat dia tak pernah melihat sediktpun ke arahku dan sabar bahwa aku hanya jadi seorang secret admirer.
Aku tak pernah bisa menjadi orang yang sabar. Suatu malam ku beranikan mengirim pesan pada nomor yang telah tersimpan lama dalam kontak di ponselku dan ku beri nama My Lovely Impossible. Ku perkenalkan siapa aku, dan responnya tak ada, putus sudah komunikasi itu setelah ku beri tahu siapa aku. Air mataku seperti biasa mengalir deras. Ku telepon Angga dan ku ceritakan semuanya. Mulai saat itu Angga berjanji akan membantuku untuk mendapatkan kak Dion.
“Iya, karena gue pikir bakal gampang tapi kita tahu kan Kak Dion susah dideketin, lirik lo aja enggak pernah My. Apa itu enggak patahin semangat lo?” tanyanya.
“Apa enggak ada kesempatan buat deket dulu, keputusannya gampang bisa di akhirkan?” aku bersikeras bahwa kak Dion pasti bisa jatuh cinta pada gadis cengeng ini.
“Itu menurut lo, enggak buat dia. Berhenti berpikir bahwa pemikiran orang lain sama kayak pemikiran lo!” suaranya meninggi. Kini air mataku telah mengering. “Dengerin gue ya Ammy, gue pengen lo tuh bahagia tapi bukan sama Kak Dion, kamu bisa terima kan?” ucapnya hampir berbisik. Tangannya menyentuh pipiku untuk menghapus air mata yang berdesakan lagi untuk turun dari pelupuk mataku.
***
Kejadian itu satu tahun yang lalu, dan aku berhasil melupakan kak Dion, berkat Angga. Namun, Angga belum berhasil membuat aku tidak menangis 24 jam penuh, belum.
Entah mengapa untuk saat ini aku bisa naik kelas, dengan nilai yang cukup bagus pula. Guru di kelas tak pernah memberikan pertanyaan padaku, aku tak pernah mengikuti ekskul apapun, dan aku tak punya teman lain selain Angga. Seharusnya orang tuaku memasukkanku ke Sekolah Luar Biasa saja. Tapi mereka menganggap aku baik-baik saja tak ada cacat sedikitpun. Itu salah, ada cacat dalam diriku, yaitu hatiku. Perasaanku yang terlalu sensitif, bahkan terhadap tekanan 10-10.105 Pa sekalipun.
Aku menangis hanya di depan cermin atau di depan Angga. Orang tuaku tak pernah melihatku menangis kecuali saat aku baru lahir, saat aku bayi dan saat aku masih disebut anak-anak. Hanya Anggga, manusia yang sering melihatku menangis dengan gaya yang aku inginkan. Orang lain hanya melihat aku meneteskan air mata dan berlalu pergi. Mereka takkan bertanya ‘Ammy, kau kenapa?’ karena aku tak akan menjawab. Aku bingung harus menjawab apa, maka yang aku lakukan adalah pergi sejauh-jauhnya.
Aku bisa menangis karena alasan konyol, sepertinya keahlianku adalah menangis. Pernah aku bolos sekolah karena tugas yang tak bisa aku kerjakan, aku hanya menangisi ketidak bisaanku itu. Aku akan pulang sekolah pada jam berapapun yang aku mau, aku akan ke ruang piket dan meminta surat ijin pulang, alasan yang akurat adalah ‘Sakit’. Ya, memang aku sedang sakit, perasaanku yang sakit.
“Angga... Angga, gue pengen nangis. Angga....” lirihku. Ku tahu suaraku belum sampai di telinganya. Namun tanpa mendengar apa yang ku katakan, Angga akan datang. Dia akan menjemputku dan menenangkanku, tak peduli dia sedang belajar atau tidak.
Aku membereskan tasku, dan berjalan secepat yang aku bisa sambil menghapus air mataku dengan punggung tangan. Seperti apa yang ku katakan tak ada yang bertanya kepadaku, mereka melihatku keluar dari kelas sambil membawa tas, mereka sudah mengerti pasti aku akan bolos lagi.
Ku pacu mobilku dengan kecepatan paling tinggi sesuai dengan keadaan jalan saat itu. Kecepatan paling tinggi hanya 45 km/jam. Sial, jalanannya tak bersahabat denganku. Ponselku bergetar dalam tas, ku abaikan saja. Sesampainya di rumah milik papa di kota lain, ku rebahkan tubuhku di kasur. Dinginnya sprai karena tak ada yang menempati terasa oleh kulitku. Aku terlelap.
30 panggilan tak terjawab. 17 pesan belum dibaca. Dari Angga semua. Kenapa sih hanya dia yang selalu khawatir? Kenapa tidak papa? Kenapa tidak mama? Ku lanjutkan tidurku, hanya tidur obat mujarab yang menahan aku untuk tdak menagis, tapi aku tak bisa tidur lagi.
Pukul 01. 07 AM. Mataku masih kuat menatap layar kaca. Film Mr. Bean sedikit menbuatku tertawa, tingkah konyol Rowman Atkinson yang tak masuk akal. Sekilas bayangan Angga yang tengah mencoba berlagak seperti Mr. Bean berkelebat. Aku rindu Angga.
Gue, baik-baik aja. Sekarang gue lagi di Lembang, tadi gue ikutan casting, makanya suaranya nyeremin. Maaf udah buat lo khawatir.
Aku berbohong. Dia pikir aku hanya menangis untuk orang lain, dia salah kadang aku juga menangis karenanya. Angga yang selalu baik sama Ammy yang cengeng kaya bayi. Aku menangis lagi.
Ketika ku kembali ke sekolah setelah libur sejenak, ada seseorang yang menungguku, namanya Elang. Dia menatapku menyelidik, seakan sedang mencari jerawat di wajah tak berjerawat.
“Kamu lagi liatin apa sih?” aku tersinggung dengan sikapnya yang seperti itu. Dia hanya tersenyum sebagai jawabannya.
“Ayo pulang!” tangannya menarik punyaku.
“Aku bawa mobil, aku bisa pulang sendiri,” tolakku.
“Siniin kuncinya!” dia merebut kunci mobil yang sedang kupegang lemah. Ini orang baru kenal udah ngajak pulang bareng.
“Tolooooooong! Toloooong!” spontan tangannya menutup mulutku. Teriakanku terdengar aneh dalam bekapan tangannya.
“Sssssst, nanti gue digebukin massa!” bentaknya dalam bisik.
“Bodo!” aku rebut kembali kunci yang kini ada di tangannya. Ku berlari masuk mobil dan pergi. Melalui kaca spion ku lihat dia mendengus kesal. Orang aneh.
Akhir-akhir ini aku pulang sekolah sesuai jadwal yang telah ditetapkan, perasaanku membaik, tapi tidak dengan Angga, karena dia menghilang entah kemana. Ternyata aku butuh hiburan. Setiap pulang pula Elang selalu menungguku. Risih dengan sikapnya, hanya umpatan yang keluar dari mulutku, bukan air mata. Ternyata air mataku berubah menjadi pemalu jika bertemu dengan orang asing.
“Angga, lo dimana? Bantuin gue, ada orang aneh yang suka gangguin gue teruss,” ucapku saat berhenti karena lampu merah. Ku telepon berkali-kali, ku kirim pesan, seperti tak pernah sampai karena tak pernah ada balasan. Ku abaikan jalan menuju rumah, aku akan mencari Angga.
“Maaf Non, Den Angganya lagi keluar.” Ucap bi Ijah, pembantu rumah tangga di rumah Angga. Sama denganku, Angga hanya tinggal berdua dengan bibi.
“Yaudah Bi, aku tunggu aja di sini,” satu jam, dua jam, tiga jam ku lewati hanya dengan duduk termenung memikirkan kapan Angga pulang. Aku hanya sendiri di rumah besar itu, bi Ijah di dapur terus, entah apa yang dikerjakan manusia berjasa itu. Hening.
Sreeek... Bug...
Suara apa itu? Dari lantai atas. Bulu kudukku berdiri. Ku lihat foto orang tua Angga tersenyum ke arahku. Apa itu suara makhluk halus? Arwah kedua orang tua Angga? Ku tepiskan bayangan seram itu, air mataku mulai bergumul kembali di pelupuk mataku, aku ketakutan.
“Bi....BI Ijah!” panggilku. Tak ada jawaban, aku mulai panik. Jangan-jangan rumah ini berubah jadi kuburan, dan aku sedang berdiri di tengahnya. Air mata ketakutan mulai berjatuhan. Ketika kudengar jawaban dari bi Ijah segera ku hapus air mataku.
“Aku pulang dulu ya, Bi. Udah sore. Kalau Angga udah pulang, kasih tahu aja tadi aku datang ke sini,” pesanku dengan suara yang ditahan agar tak terlihat habis menangis. Bi Ijah hanya mengangguk manut. Aku segera meninggalkan rumah itu, tak berani melihat ke belakang, takut-takut apa yang ku bayangkan benar terjadi.

“Kata bi Ijah, lo tadi ke rumah ya? Sorry, gue lagi les. Maaf nggak ngabarin tadi batere gue low jadi enggak bisa terima telepon,” belum kuucapkan salam dia sudah nyerocos. Sepertinya setelah dirasa tersambung tanpa aba-aba dia menjelasakan apa yang ingin dia sampaikan sejak tadi.
“Lo tau enggak, gue nunggu di rumah lo berjam-jam. Ampe pegel lo enggak muncul-muncul. Oh ya, lo kemana aja sih? Tahu enggak tiap pulang sekolah ada cowok yang nungguin gue di gerbang, namanya hmmm.... Elang! Ya, Elang. Gue takut sama dia,” curhat.
“Oh, dia ade kelas gue. Kayaknya dia suka sama lu. Gue tau dia baik ko. Oh iya, tadi kata Bi Ijah, lo nangis ya waktu nungguin gue? Hahahaa....” dia tertawa puas. “Lo nangisin gue?”
“Enggak! Gue enggak nangisin lo, tadi gue takut setengah idup,” tanpa membahas lagi Elang.
“Hahaha, emang kenapa? Rumah gue, bebas hantu tau!”
“Bebas hantu dari mana? Lu tinggal Cuma berduakan sama Bi Ijah? Lu lagi keluar, Bi Ijah di dapur terus, gue di tengah rumah sendirian, mana dari lantai atas ada suara aneh,” aku bercerita sambil ketakutan. “Gue pikir gue lagi di tengah hutan apa kuburan gitu,” tambahku. Aku mulai menangis lagi. Jawaban Angga hanya tawa terbahak-bahak.
“Lu sih, waktu itu ngajak gue nonton film horor. Jadi kebayang kan...” suaraku melemah terganti oleh isakan kecil.
“Jangan nangis dong my baby, cupcupcup...” dia menenangkanku seperti menenangkan seorang bayi. “Ammy, gue ngantuk. Tidur duluan yaa..” salam perpisahannya.
“Angga, ini baru jam 8.” Ucapku tak ingin komunikasi in terputus.
“Iya gue tau, tapi gue ngantuk berat nih, bye My Baby Ammy..” benar-benar telah terputus.
Aku mendesah, kecewa dengan sikap Angga yang ku anggap sangat berbeda. Dia sudah tak peduli padaku lagi. Air mataku mengalir kembali.

“Angga, besok kita jalan yuk!” ajakku. Empat hari ke depan kelas satu dan dua tingkat SMA libur, karena status sebagai pelajar akan dipertaruhkan dalam UN. Penderitaan itu hanya untuk siswa kelas XII dan bukan aku dan Angga.
“Sorry My, besok gue harus ke Bogor biasa ada bisnis. Kalo enggak gue bisa mati miskin.” Alasannya. Angga mengurus bisnis yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, hanya bisnis itu yang tersisa selain rumah dan tabungan.
Merasa kecewa aku menangis lagi, kenapa sih Angga berubah? Angga satu-satunya orang yang peduli padaku kini sudah berubah, maka sekarang tak ada yang peduli padaku. Nobody care of  me.
Di luar kudengar suara deru motor, sudah lama tak ada tamu yang datang ke rumahku. Ku lihat melalui jendela. Sepertinya tamu itu melihat pergerakan gorden lantai atas, sehingga dia melambai ke arahku.
“Elang!” segera ku lihat cermin dan menghilangkan bekas air mataku dengan bedak seadanya. Segera aku turun untuk menemuinya. “Kamu ngapain di sini?” tanyaku ketus.
“Jutek amat. Lagi ngapain?” tanyanya.
“Lagi belajar!” jawabku singkat.
“Besok libur kok belajar. Let’s go holiday!” ucapnya bersemangat.
“Holiday aja sendiri, aku mau di rumah aja” jawabku cepat.
“Mau jadi bangke idup?” tanyanya.
“Mana ada bangke yang idup,” jawabku ketus.
“Haha, kamu lucu ya..” katanya sambil tertawa. Matanya yang sipit tenggelam saat tertawa, kumisnya yang tipis terlihat sempurna di tengah kulit putihnya. Tak sesuai dengan namanya yang terdengar sangar. “Ammy, nanti besok aku ke sini lagi ya. Sekarang aku mau pulang,” pamitnya. “Besok jangan lupa harus udah siap, oke”
Deru motor gedenya menghilang dengan cepat, secepat pertemuan aku dan dia hari ini. Aku kembali ke kamar, ku buka laptopku mencari tempat liburan yang menyenangkan. Anyer!

“Motor kamu simpen aja, kita pake mobil.” Kataku ketika Elang sudah berada di depanku, tanpa turun dari motornya mempersilahkan aku membonceng di balik punggungnya.
“Emangnya kita mau kemana?” tanyanya bingung.
“Anyer!” jawabku singkat. Dia kaget.
“Tapi gue enggak bawa baju, enggak ada persiapan apa-apa,” jawabnya.
“Let’s shopping!” ku lemparkan kunci mobilku padanya, dia memasukan motor sedangkan aku menarik koper yang sedari tadi stand by di balik pintu. Dia terbelalak lagi melihat koper yang ku bawa.
“Gede banget..” ucapnya tak percaya hampir berbisik.
Di perjalanan kami hanya terdiam, ku lemparkan pandanganku ke luar jendela. Seperti lebih menarik di luar ketimbang teman seperjalananku yang duduk di sebelah.
Dia berdeham, aku tak merubah posisi kepalaku. “Kita udah nyampe nih, mau hotel yang mana?” tanyanya.
“Yang itu!” aku menunjuk ke hotel yang sangat mewah. Dia menelan ludah.
Dua hari berlalu, waktu yang tersisa pun tinggal satu hari. Ketika aku tengah duduk di pasir sambil memandang horizon sore menunggu sunset, Elang ikut duduk di sampingku.
“Ammy, waktunya gue jujur sama lo,” aku tercekat mendengar kata jujur. Wajahku menegang. Ku jaga sikapku agar tetap terlihat biasa saja. “Dari hari Senin, Angga lagi UN!”
Apa? UN?
“Dia boong sama lo kalo dia bilang lagi ada bisnis di Bogor. Dia ikut kelas akselerasi, dia enggak bilang kan? Dia nyuruh gue buat gantiin dia nemenin lo. Dia bilang lo butuh seorang yang harus nemenin lo terus,”
“Gue bukan anak-anak yang perlu dijagain terus-terusan,” ucapku tak setuju.
“Dia bilang, dia takut enggak bisa ada buat lo karena dia hampir dikeluarin dari sekolah gara-gara sering keluar saat jam pelajaran.”
Dia lakuin itu buat ketemu gue yang lagi nangis.
Tak terasa air mataku mulai meleleh. Aku terisak. “Gue emang bukan orang kayak Angga yang berani keluar saat jam pelajaran, makanya gue nemuin lo kalau pulang sekolah aja. Maaf My, bukan gue mau bikin lo nangis, tapi gue enggak mau lo have fun sama gue sedangkan dia lagi berjuang sekarang,” air mataku semakin deras. Aku menunduk semakin dalam.
“Maaf My...” ucapnya lirih.
“Enggak apa-apa Elang. Udah keahlian gue kali nangis mah, haha” aku tertawa dibuat-buat.
“Gue rasa liburan kita sampai di sini aja, ayo kita pulang,” tangannya terulur mencoba menjadi pegangan untukku berdiri.
Kurasakan tangan itu mengenggamku kuat. Dia orang yang secara tidak langsung menahan air mataku tidak jatuh. 48 jam lebih aku tidak menangis. Aku berhasil.

Semangat ya My Angga. Gue yakin lo bisa, udahnya kita makan-makan ya hehe
Pesan penyemangat yang ku kirim ke nomor Angga. Ku dekap ponselku ketika laporan pesan telah terkirim, aku mulai meneteskan air mata penyesalan. Bodoh! Kenapa gue enggak tahu apa-apa?
Pukul 11.05 AM
Bisnis beres, mau makan apa nih? Nanti gue jemput gue otw sekarang.
Aku tersenyum dalam tangis, Angga masih bisa menyembunyikan apa yang telah aku ketahui.
Angga tersenyum puas, ku coba menghubungi Elang agar dia bisa ikut bergabung dengan kami, namun nomornya tidak aktif. Ku coba selalu tersenyum di depan Angga, merasa ikut bahagia.
“Angga lo tahu enggak 48 jam lebih gue enggak nangis!” ucapku bangga.
“Wah, keren. Mau dibeliin apa sebagai hadiahnya?” tanyanya sambil sesekali melirik ke arahku dari balik kemudi.
“Gue enggak mau dibeliin apa-apa, cuma mau minta lo jangan ngilang lagi” ucapku lirih.
“Hey, suaranya kayak yang mau nangis lagi. Perlu gue panggilin Elang biar lo bisa lebih lama enggak nangis lagi?” tawarnya. Aku terkejut.
“Enggak! Gue mau gue nggak nangis gara-gara ada di samping lo bukan siapapun!” ucapku tegas.  “Oh iya, Elang kemana? Lo usir ya?” tambahku.
“Ya dia balik lagi ke Australia, kuliah” jawabnya ringan.
“Hah? Dia bukan anak SMA?” aku dikejutkan lagi.
“Bukan, dia emang di atas kita. Dia temen gue waktu kecil. Temen petualangan gue. Gue minjem dia buat jagain lo selama gue harus konsen buat UN. Maaf ya gue enggak bilang,” dia tersenyum, sungguh dia tak sopan memperlihtkan wajah tanpa dosanya. “Gue berutang banyak sama karena dia udah ngejagain lo,” Angga tersenyum lagi.
Aku terdiam sebentar. “Angga, jangan panggil Elang lagi ke sini. Gue enggak mau ada drama lagi, gue mau lo percaya kalau gue bisa diandalkan,” kataku.
“Lo enggak marah? Maaf” katanya merasa bersalah.
“Enggak, gue berterima kasih karena dengan cara aneh lo gue berhasil.. menjadi seperti cewek yag tegar,” untuk sekarang senyuman yang muncul menggantikan air mata. Tanpa sengaja Elang ikut berperan penting dalam drama ini. Thanks Elang.
“Ammy, gue janji enggak akan ngebiarin lo nangis lagi entah apapun alasan yang buat lo nangis dan satu lagi enggak akan pernah ada orang lain lagi seperti Elang yang buat lo berhenti nangis, yang ada orang itu hanya gue” aku hanya tersenyum mendengar pernyataan itu.
Dari dulu Cuma lo kok yang bisa bikin gue berenti nangis, Cuma air mata gue aja yang pengen kebebasan dengan terjun bebas dari pelupuk mata gue.
Selamat tinggal Elang, Selamat datang lagi Angga.

Komentar

Postingan Populer