Gerimis
“Aku
janji Pa, ini yang terakhir” kukatakan itu dengan berat hati. Namun aku tak
pernah punya niat sediktpun tuk melupakannya. Dia tetap bagian terindah dalam
hidupku. “Aku akan mulai dari nol, Papa harus percaya bahwa aku bisa dan jangan
sedikitpun campuri hidup aku kecuali aku meminta”
***
“Kerja
bagus Paris,” Jonathan memuji hasil kerjaku. Aku segera duduk di tempat kosong
itu. Siang selalu panas di sini dan aku tidak biasa bekerja di lapang gersang
seperti ini.
“Panas
sekali ya,” kalimat pembuka dalam percakapan muda kami. Dia mengambil posisi di
sebelahku, wajahnya memerah karena panas. Anggukan kepalaku cukup mewakili
jawabanku.
Hari
ini kami –aku dan Fila- membintangi iklan sebuah merk mobil terkenal. Iklan ini
menggunakan gurun Sahara sebagai objeknya, menggambarkan mobil ini mampu
melintasi jalanan berpasir dengan desain mobil sport. Canggih. Tapi kalau bisa
kenapa harus aku yang membintangi iklan mobil macam ini, seharusnya aku
membintangi iklan sebuah mobil mewah teranyar yang berjalan anggun di jalanan
pusat kota.
“Oh
iya, selamat ya, kau memenangi circuit Indiana Polis. Gayamu di sana keren,
apalagi saat menyalip mantan juara dunia Valencia Fitto,” aku bercerita, memuji
gayanya. Dia hanya tersenyum simpul, manis sekali. “Seandainya aku punya waktu
untuk melihatmu mengendarai motor besar itu”.
Aku
kira kalimat terakhir kuucapkan dengan suara yang sudah pelan, namun aku salah.
“Datanglah bulan depan, aku akan main di Sepang, Malaysia. Bukankah dekat
dengan negaramu? Jadi tidak mengganggu sekolahmu. Lalu setelah usai balapan aku
akan memboncengmu menggunakan motor andalanku,”
Aku
terbelalak tak percaya, wajahku memerah akibat perubahan suhu yang drastis.
Perubahan suhu itu pulalah yang membuat senyumku mengembang. Ah tidak, bukan
perubahan suhu tapi sentuhan nakal senyumnya yang membunuh itu.
Ya,
dia adalah Mark Fila. Aku pikir dia yang akan menggantikan sang legendaris
Fitto, dia yang akan menuliskan namanya dalam sejarah motoGP. Aku suka melihat
acara balapan itu. Papa yang selalu menggangguku menonton acara kartun
kesukaanku dengan motoGP, ketika aku hendak berdiri papa menahanku dan
mengatakan ‘temani Papa menonton’. Aku mendengus kesal, seorang dewasa yang
kekanak-kanakkan.
Seiring
berjalannya waktu, aku mulai terbiasa dengan kebiasaan papa. Namun, karena
tingkat kelas yang kujejaki semakin tinggi, semakin banyak tugas pula yang
menyita waktu. Aku sekarang akan menjadi murid kelas 3 SMA, secara resmi belum
karena ini belum dimulai.
Hubunganku
dengan Fila berlanjut. Dan aku tak sabar menunggu hari minggu tiba. Tanpa sadar
pintu kamarku diketuk lembut, “Sayang, Papa lihat nilai kamu selalu bagus. Papa
kasih reward nih.” Papa menggaggu suasana hatiku yang berbunga, aku tak peduli
reward. “Papa punya tiket nonton motoGP Sepang!” ujarnya berapi.
What?
“Papa bukan PHP kan?” tanyaku selidik. God, apa ini pertanda baik hubunganku
dengan Fila? Rencanaku sama dengan rencana Papa.
“Apa
itu PHP?” papa kebingungan, aku tahu itu. Tapi aku tak peduli, aku abaikan
pertanyaan papa. Wajah papa yang menuntut jawaban berubah menjadi wajah Fila
yang sedang tersenyum padaku. Oh, apakah ini yang dinamakan rindu? Seandainya
ini rindu, apakah aku jatuh cinta padanya?
Fila adalah salah satu
pengunjung setia situs webku. Itu yang membuat aku merasa nyaman dengannya, ku
merasa ada orang yang peduli selalin papa. Setelah kejadian itu.
Seharusnya mereka bangga padaku. Di
sekolah lain tidak ada model internasional seperti aku. Tapi kenapa? Kenapa
mereka malah menjauhiku? Iri? Mereka tak kalah kaya denganku, mereka tak kalah
cantik denganku, mereka sama denganku, yang membedakannya adalah mereka memilik
teman sedangkan aku tidak!
Sedikit ceritaku yang kuposting di blog
milikku. Dengan berbagai terjemahan, agar teman-temanku di belahan bumi lainnya
mengerti. Mereka dengan entengnya mengatakan ‘Sudahlah, kau masih punya aku,
kita. Pindah saja, dan kau pasti tidak akan kesepian’. Semuanya mengatakan hal
yang sama. Mereka pikir selemah itukah aku sehingga dengan mudahnya hijrah ke
negeri orang demi menghindari masalah. Aku bukan koruptor, aku tidak usah takut
berada di negara sendiri.
Ditengah kekesalan yang melanda hatiku, Fila
mengirim pesan. Singkat namun membuat aku kuat. Fila tak mengatakan pindah
saja. Fila membuat aku tenang, bahwa aku seharusnya tidak bergantung pada
mereka. Biarkan mereka melakukan apa yang mereka mau, jalani hidupku seperti
yang aku inginkan.
Jadilah dirimu sendiri. Jangan menjadi pribadi yang bukan kamu,
jika hanya ingin mempunyai teman. Tak usah takut bahwa kau akan sendirian, kau
banyak dicintai. keep spirit :)
Pesan yang sangat singkat bukan?
Hari minggu yang sangat cerah, walaupun hari
ini mendung sekalipun sepertinya akan tetap cerah, secerah hatiku karena akan
menonton aksi Fila secara langsung. Balapan sudah berlangsung sekitar satu jam,
namun jadi membosankan karena 2 jam lagi aku harus menunggu jika ingin melihat
Fila. Dari mikrofon di sudut atap, sebuah pengumuman terdengar bahwa aku harus
pergi ke backstage. Suasana tiba-tiba menjadi gaduh, mereka bertanya-tanya
siapa seorang yang beruntung itu.
“Sayang, Papa ikut dong” rengek papa. “Papa
nanti sendirian di sini,”
“Papa, ini urusan anak muda. Just stay and
enjoy the show,” aku mengedikan sebelah mataku. Papa seorang dewasa yang
kekanak-kanakan menambah alasan betapa aku ingin selalu tersenyum lebar saat
ini.
Fila sudah menungguku, aku tersipu. Semua mata
yang ada di situ tertuju pada kami. Bahkan ayah Fila pun mengalihkan
pandangannya dari aksi putra bungsunya itu hanya ingin melihat seperti apa
gadis yang membuat putra sulungnya memaksa informan untuk memanggilku ke sini.
Ini daerah terlarang bagi penonton. Penonton?
Tidak lagi. Wajar saja bukan jika orang penting ada di stand si rider, karena
sekarang aku menjadi orang yang penting bagi Fila. Sebagai apa? Mekanik
mesinya? Tidak, tapi sebagi mekanik perasaannya.
Aku berjanji, tidak akan membuat Fila
terjatuh. Seperti halnya sang mekanik mesin, tidak akan membuat Fila terjatuh
lalu kecewa. Akupun akan melakukan sebaik sang mekanik yang telah membawanya
sampai ke podium kejuaraan.
Hari minggu itu sungguh spesial, bahkan
senyuman manispun masih menggelayuti bibirku sehingga membuat lengkungan indah.
Papa terkadang seringkali menggodaku, terbukti lagi dia adalah dewasa yang
kekanak-kanakan.
“Pa, Papa tahukan rasanya jatuh cinta?” papa
hanya mengangguk sambil tetap mengunyah rotinya. “Papa nikah lagi aja, aku
setuju ko. Biar kita sama-sama punya pendamping, double date deh. Hehehehe...”
Papa tersedak, sebelum kudengar teriakannya aku
langsung pergi ketika terlihat rotinya sudah tertelan semua. Aku tidak salahkan
jika aku ingin melihat papa bahagia seperti yang kualami sekarang. Aku tidak
suka ketika papa pulang, aku benar-benar melihat kesendirian nyata papa.
Ketika kulangkahkan kaki memasuki kelas, tawa
teman-teman berhenti yang terdengar hanya bisik-bisik. Lalu ketika aku duduk di
meja terdapat surat yang mengancam dengan tulisan yang sangat jeleek sekali.
Lo kalo mau cari muka ke guru mending jangan
di kelas ini deh!!
“Astaga, siapa yang cari muka? Kenapa kalian
benci banget sama aku sih? Kenapa?!!!” aku teriak, air mata sudah berkumpul di
pelupuk mataku. Namun tak sempat mereka menjawab, guru pelajaran masuk. Semua
menuju tempat masing-masing.
“Selamat pagi anak-anak!” sapa Bu Laila. “Pagi
ini cerah sekali ya, namun yang ibu lihat tadi pagi di ramalan cuaca,
Yogyakarta hujan deras. Sungguh cuaca sudah tidak bisa diprediksi lagi,”
Sama seperti apa yang dikatakan oleh bu Laila,
hatiku memang sedang dilanda hujan deras seperti di Yogyakarta. Saat itu aku
tidak dapat berkonsentrasi, yang aku pikirkan adalah berlari kepelukan Fila,
menangis betapa dunia ini kejam. Seketika memberiku kebahagian, seketika pula
memberi aku kasedihan. Sama seperti cuaca kali ini.
Kejadian yang membuat aku menangis bukan hanya
terjadi satu kali. Berulang ulang mereka mencoba untuk menggangguku dan enas
tidak ada yang membelaku. Papa sering bertanya apa yang terjadi dengan mataku.
Kenapa mataku sembab, kenapa suaraku terkadang parau. Aku tak pernah menjawab,
kualihkan pembicaraan dan pura-pura tertawa melihat tayangan yang ada di
televisi.
Fila menghubungi beberapa kali, namun aku tak
menghiraukannya. Pesan bertubi-tubi masuk, ponselku tak tersentuh. Melihat
kelaukan putrinya ini papa sepertinya curiga. Keesokan harinya papa mengantarku
ke sekolah, ketika papa ingin mengantarku sampai kelas ku tahan, aku tak ingin
melihat topeng mereka yang dipakai di depan papa. Aku muak.
“Kamu homeschooling saja!” aku yang baru saja
pulang langsung dihujani kalimat papa yang tiba-tiba itu, membuaku tersetak.
“Aku nggak mau, aku tetep sekolah!” kataku tak
mau kalah.
“Papa engggak mau lihat kamu nangis lagi tiap
pulang sekolah. Papa sekarang tahu kenapa mata kamu sering sembab yang bahkan
suara kamu sampai parau, Papa tahu!”
“Pokoknya aku tetep sekolah Pa!” kupercepat
langkahku ke kamar. Kudengar papa memanggilku. Aku menangis lagi. Dibully itu
memang menyakitkan, tapi aku enggak mau kelihatan lemah di depan mereka.
Perbedaan waktu yang pas, kuhubungi Fila.
Kukatakan selamat pagi selembut mungkin agar tak terdengar bahwa aku sedang
menangis. Namun, Fila tahu dan aku tak bisa menyembunyikannya.
“Kenapa kamu menangis? Karena mereka? Maaf
Paris, kali ini aku tidak akan mengatakan kau harus bertahan,”
“Aku memang akan bertahan di sekolah itu. Tak
peduli apa yang akan mereka perbuat kepadaku,”
“Tapi benar apa yang papa kamu katakan,
sebaiknya kamu homeschooling saja. Aku tak mau orang yang aku cintai harus
menangis oleh orang-orang yang tak penting seperti mereka.” Ternyata papa sudah
cerita pada Fila.
“Karena mereka tidak penting, aku akan
bertahan di sekolah itu. Aku akan bertahan, kau dengar Fila?”
“Aku tak mendengarmu, kau yang harus
mengdengarkanku oke. Ikuti apa yang papamu katakan, aku akan tenang. Kau akan
memilih yang mana?”
“Tapi Fila....” sambungan terputus. Apa yang
harus aku lakukan? Jika aku mengikuti apa kata papa dan Fila, maka aku mundur
dengan teratur, dan apabila aku tetap bertahan aku akan mengecewakan Fila dan
papa.
Kau katakan akan kuliah di Oxford. Apakah Oxford akan menerima
murid yang nilainya yang turun? Apabila kau terus menerus tidak konsentrasi
saat belajar, nilaimu akan buruk di akhir semester. Think big, untuk kebaikanmu
dear.
Aku buka pintu kamarku dan berjalan sangat
pelan sehingga tak ada suara lain selain suara dari acara yang sedang dilihat
papa. “Pa, berikan aku guru privat yang bagus”
Ponsel papa yang tergeletak di sampingnya
segera ia raih, beberapa menit ia berbicara dengan serius. Aku tak
mendengarnya, karena aku terfokus untuk meyakinkan hatiku bahwa pilihan ini
adalah benar.
“Besok seperti biasa kamu harus mandi, sarapan
dan meninggalkan rumah 3 menit sebelum pukul 7, mengerti?” papa berkata serius.
“Sudah malam, kamu tidur. Nanti besok kau harus sekolah,”
“Besok, Pa? Tapikan Papa harus mengurus
kepindahan sekolahku, tentang syarat-syarat yang harus kita penuhi....” belum
selesaiku bicara papa langsung menyuruhku masuk ke kamar dengan kepala yang
disentakan untuk menunjukkan arah. “Baik, Pa”
Terima kasih, atas saran yang kau berikan. Aku sudah bicara dengan
papa. Kau tahu papa langsung mengambil ponselnya dan berbicara entah dengan
siapa. Setelah itu dia menyuruhku tidur, dia mengatakan besok aku harus sekolah,
padahal aku ingin cuti sehari dulu, hehe. Papaku itu baik sekali, kau harus
bertemu dengannya. Dan untukmu....... aku sangat mencintaimu Fila♥
Waktu berlalu dengan cepat, Fila mengatakan
akan datang ke Indonesia untuk berlibur denganku. Di sana musim dingin, lebih
baik menghabiskan musim panas karena bisa melakukan banyak hal. Musim dingin
hanya bisa bermain ski, membosankan.
Akhirnya Fila dan papa bertemu, saling
bertatap muka, saling bertegur sapa. Papa dan Fila sudah saling akrab, senang
melihat kedua lelaki itu bermain catur.
“Ayo siapa yang menang, akan dapat kecupan
dariku” aku terkekeh melihat reaksi yang mereka tunjukan ketika mendengar itu
dariku. Namun ternyata aku bosan melihat mereka berdua.
“I win!” seru Fila. “Paris, lihat aku menang!”
“Fila, kamu jangan berharap dapat ciuman dari
Paris,” papa seketika menghalangi Fila.
“Tapi Paris yang mengatakan sendiri siapa yang
menang dia yang....” Fila mencoba membela.
“Baiklah aku akui itu, tapi sudahlah untuk
sekarang kau mengalah saja. Kau akan dapat ciuman yang lebih setelah kau
menikah. Untuk sekarang, biarkan Paris menciumku,” papa keukeuh.
“Papa tidak bisa seperti itu. Papa sudah
kenyang ketika Paris berangkat sekolah kau pasti dikecupnya. Sedangkan aku
belum pernah sekalipun, lagipula Paris itu pacarku,” Fila tetap membela.
“Tapi kau baru pacar, sedangkan aku adalah
ayahnya” papa tak mau kalah.
“Sudahlah, kalian tidak usah meributkan hal
itu. Karena aku tak akan mencium kalian berdua,” aku melangkah pergi. Tiba-tiba
pinggangku dirangkul oleh Fila, aku diangkatnya membuat kesan geli dan kami
tertawa bersama.
Hari Natal semakin mendekat, Fila berpamitan
untuk pulang. Lagipula waktu liburanku hampir usai. Aku mengantarnya sampai
bandara. Di pelukkannya aku katakan bahwa aku sangat mencintainya.
“Tunggu aku, setelah aku lulus dari Oxford aku
akan mendampingimu kemana pun saat kamu race. Kau harus berjanji padaku, kau
harus menungguku,”
“Iya, aku berjanji akan menunggumu, Paris my
beloved.” Fila mengecup lembut pipiku sebagai salam perpisahan. Papa dan aku
melambaikan tangan melepas kepergiannya.
5 bulan kemudian
“Fila. Aku lulus! Aku berhasil masuk Oxford!”
ucapku kegirangan di telepon.
“Syukurlah, aku bangga padamu. Coba jika kau
tetap sekolah di sana aku yakin kau tidak akan lulus masuk ke Oxford,”
“Fila, kau ini bukan paranormal jangan so
tahu!” tawa renyah yang kudengar di ujung telepon itu membuatku tersenyum. “Aku
akan melihatmu tampil, tapi biarkan aku duduk di kursi penonton. Ya, ya, ya”
“Kenapa harus di kursi penonton? Kau tidak
suka berada di....” tak sempat dia lanjutkan
“Apa kau suka aku dikelilingi cowok-cowok
macho seperti ayahmu dan rekan setimmu?” aku terkekeh mendengar suara Fila yang
cemburu.
“Tidaaak...” katanya lemah.
“Nah, aku berjanji di kursi penonton aku akan
duduk dekat dengan wanita. Setuju denganku?”
“Iya baby, aku nggak sabar menunggu hari itu.
Hari dimana aku bisa bertemu denganmu lagi,” percakapan mesra itu berlanjut
sampai tengah malam di Indonesia. Aku benar-benar merindukannya.
Hari ini, cuaca mendung agak mengkhawatirkan
namun cuaca kembali cerah. Semakin cepat waktu itu datang, semakin berdebar.
Saatnya Fila tampil, mulutku tak hentinya berdoa. Race berjalan dengan mulus,
namun awan gelap kembali menggelayuti ujung langit Australia. Perintah utuk
para rider untuk mengganti bannya. Namun saat Fila hendak berbelok, salah satu
rider tergelincir dan beruntun beberapa rider termasuk Fila ikut tergelincir.
Fili terpental jauh, melintasi rerumputan dan kembali ke jalan di seberang
tanah itu. Salah saru rider muncul dan kejadian mengenaskan terpampang jelas di
mataku. Fila meninggal.
Beberapa hari semenjak kejadian itu membuat
aku kehilangan selera makan, badanku kurus dan papa mengkhawatirkan keadaanku.
Yang kulakukan hanya memandangi fotoku bersama Fila yang tersenyum sangat
manis, tak lama air mataku terjatuh. Setiap hari itu yang kulakukan. Hingga
saatnya guru privatku datang menjengukku dan mengatakan bahwa bulan depan aku
sudah harus masuk kuliah.
“Pa, aku mau pindah ke Spanyol saja,”
pernyataan itu tiba-tiba keluar dari mulutku.
Papa terkejut, “Apa? Kamu sia-siakan Oxford
yang sudah ada digenggaman kamu? Paris jangan gegabah!”
“Ini sudah aku pikirin matang-matang, Pa. Aku
pindah agar aku bisa mengunjungi pusara Fila setiap waktu,”
Keputusan konyol itu sudah pasti ditentang
oleh papa. Awal-awal semester sungguh menyiksa, aku belum bisa sepenuhnya fokus
pada studyku, pikiranku masih tertuju pada Fila. Satu tahun aku belum
menunjukkan perubahan, bahkan aku hapir drop out akibat aku sering bolos hanya
untuk menjenguk Fila. Dengan janji yang sengaja aku buat untuk meyakinkan pihak
kampus aku katakan aku akan memulai dari awal.
Papa marah padaku, tapi dengan bukti bahwa aku
benar-benar akan berubah papa luluh dan membiarkanku sendiri dan memperbaiki
tatanan hidupku. Lima tahun sudah aku belajar di Inggris, dan empat tahun
terakhir aku tidak mengunjungi Fila akibat janji yang kubuat pada papa.
“Fila, aku lulus! Lihat baju yang ku kenakan
sekarang, terbukti aku tidak bohong, aku lulus aku mampu jalani semua hari-hari
berat. Aku bisa, aku berhasil, Fila!” Aku menangis meraung memanggil namanya.
Sambil masih terisak, kucoba berbicara walau sulit karena tangisan yang
menguras tenaga. “Kau pernah berjanji padaku, bahwa kau akan menungguku setelah
aku wisuda. Aku bertanya padamu, apakah kau masih menungguku?”
Komentar
Posting Komentar