Cigarette After ….

           Akan aku ceritakan satu kisah seorang perempuan gila yang aku kenal, Karina dari bagian Legal. Perempuan yang membuat aku kehabisan pikir, bagaimana isi kepalanya. Bahkan jika bukan karena kejadian itu, aku tak pernah memperhatikan salah satu rekan kerjaku ini. Yang selalu menjadi pembicaraan di suatu tongkrongan jika bukan masalah politik maka itu adalah perempuan.

            “Cakep tuh,”

            “Anak mana dia?”

“Yang mana sih?”

“Oh yang jutek itu? Ngga pernah senyum anjir,”

“Tapi lumayan”

“Iya sih, Cuma susah kayaknya kalau dingin gitu,” aku ikut dalam pembicaraan.

“Yang dingin gitu biasanya panas di ranjang,” semua orang berseru.

Walaupun aku tidak tahu siapa yang mereka maksud tapi aku mencoba menyerap informasi-informasi subjektif yang berkeliaran dari mulut cicak-cikak korporat ini.

“Jam 1 cuy, balik dulu gua!” tepat setelah rokokku habis terbakar, aku berjalan kembali ke kantor bersama dengan Julian. Walau kami berbeda kantor namun kami satu gedung sehingga kami sedikit banyak sering bersama. Tongkrongan dan rokok yang mempertemukan kami.

Pukul 13.07 kami baru sampai lobby gedung dan aku lupa ada meeting pukul 13.30. Sialnya semua lift sedang dalam maintenance, “Bangsat, ngapain sih maintenance semua,” aku mengumpat.

“Tangga, tangga” Julian ikut panik dan memberikan solusi, sambil setengah berlari kami mendorong pintu exit lalu menaiki anak-anak tangga yang pendek-pendek itu. “Hallooo,”

Sempat-sempatnya cumi asin itu menyapa perempuan di tengah situasi krusial ini. Masa bodoh, aku sudah terlambat!

“Eh jalang, senyum dikit bisa kali? Gue nyapa baik-baik ya!” aku menoleh, ketika mendengar suara Julian yang meninggi.

“Bayar berapa lo sampai bisa sebut gue jalang? MOKONDO!”

Aku kembali turun, mencoba melerai mereka mencoba mencegah kejadian yang tidak diinginkan terjadi. “Mbak, sorry” entah kenapa aku meminta maaf padanya. “Lu udah gila?” aku membentak Julian.

Perempuan itu mendengus kesal, membuang mukanya yang merah padam lalu pergi ke tempat yang menjadi tujuannya.

“Perempuan gila! Senyum dikit ngga bisa!” dia meludah sebagai penghinaan. “Dia Perempuan yang diobrolin tadi,”

“Loh dia dari kantor gua!” aku berseru.

“Kasih tau dia, jadi perempuan jangan sok mahal. Cantik juga ngga!”

“Lo bilang di tongkrongan dia cakep!”

“Kenapa lo jadi ngebela dia?”

“Gua cuma bilang apa yang lo bilang di tongkrongan!” aku sahut menyahut dengan Julian, teman sebat yang baik-baik saja sebelumnya denganku. “Gua duluan, ada meeting!” meninggalkan Julian di sana.

Meeting siang itu cukup mengalihkan perhatianku, deadline yang dibicarakan dalam meeting memaksa aku untuk pulang pukul 21, dan itu bukan hal pertama. Aku terlalu lelah dengan pekerjaanku sehingga tidak terpikir untuk menghubungi Julian, lagi pula besok juga pasti bertemu lagi di tongkrongan. Seorang perempuan berjalan di depanku. Memang mengesalkan Ketika kami saling mengenal namun tidak ada tegur sapa, mungkin itu yang dirasakan oleh Julian siang tadi. Tapi kan mereka tidak saling mengenal, kenapa harus kesal? Ataukah ego masculinnya merasa langsung diinjak-injak?

“Mbak Karina!” dia menoleh. “Mbak Karina kan ya?” tanyaku tidak yakin. Bukan karena takut salah menyebutkan nama, hanya saja agak sedikit canggung karena kami tidak pernah mengobrol sama sekali, wajar saja karena dia memang dingin.

“Iya Mas Bayu,” ia tahu namaku.

“Sorry ya perihal tadi,”

“Never mind,”

“Jangan gitu mbak, saya yang deg-degan kalau ada apa-apa gimana? Untung tadi saya ada di sana,”

“Thank you yaaaaa,” katanya bersikap formal. Kedua tangan di saku jaketnya, menundukkan badannya sedikit menyesesuaikan dengan kalimat yang keluar dari mulutnya. Aku menjadi gemas, bagaimana bisa perempuan ini bersikap tenang begitu. Aku tahu betul dia pasti sangat murka, yang menyisakan perasaan kesal di ujung hari ini.

“Habis lembur Mbak? Pulang kemana?”

“Iya, mas. Gue ke halte depan,” dia tak menyebutkan kemana ia akan pulang.

“Ayo gue anter sampe halte depan,” dia mengambil posisi di jok belakang. Duduk dengan kaku namun seiring perjalanan yang hanya 300 meter dia mulai rileks. “Di sini?” ia mengiyakan.

“Lu pulang aja Mas, ngga usah ditungguin. Masih banyak TransJakarta, santuy,” sekali lagi ia bersikap tenang atau mungkin sedang menyepelekan keamanan.

“Gua tunggu lu sampai dapet TJ atau dijemput,” aku menawarkan diri. Entah kenapa penawaran itu keluar begitu saja, anggap saja insting pelindungku aktif di depan seorang teman.

Memang tak lama TransJakartanya tiba, aku memastikan ia sampai mendapat tempat duduk karena saat itu ku lihat tidak begitu ramai cenderung banyak kursi yang kosong. Walaupun kami tak sampai melambaikan tangan untuk perpisahan, setidaknya melihatnya pergi dengan wajah sisa kesal dan lelahnya yang ia palingkan ke jendela sudah cukup sedikit membuatku tenang. Walaupun aku tak tahu perjalanan macam apa yang akan ia lewati setelah turun dari bus yang membawanya pergi.

Aku memacu motorku, melewati banyak lampu merah, palang pintu kereta commuter, satu pasar yang sedikit menjadi alasan jalanan menjadi padat dan traffic tersendat-sendat. Satu jam setelah melihat Karina pergi dengan TransJakarta, aku sampai di rumah. Istriku di depan laptop, berkutat dengan pekerjaannya menungguku. Walaupun masih bekerja, setelah aku masuk ke ruangan tempat di mana TV dan sofa diletakan ia bangkit menyambut kehadiranku. Memelukku, mengecup kecil pipiku yang lengket dengan minyak wajah dan bau macam-macam aroma kehidupan ibukota.

“Sudah makan?” aku menggeleng. “Mandi dulu, aku panaskan makan malam,” aku mengikuti arahannya. Aku masuk ke bilik mandi, melepas semua yang menempel di tubuhku membiarkan air hangat membawanya luruh. Masakan yang baru dihangatkan aku langsung habiskan, walaupun hanya sate yang dibeli di ujung gang namun itu terasa cukup karena istriku dengan khidmat melayaniku.

Si kecil terdengar merengek, istriku sigap menghampirinya, mencoba menenangkannya mungkin dengan menyusuinya. Setelah makanku selesai, aku merapikan meja makan dan mencuci peralatan makan yang kotor. Walaupun ini bisa dilakukan oleh istriku, yang aku tahu pekerjaan rumah bukan kewajiban seorang istri. Sehingga bukan masalah aku membantu membersihkan hal yang tidak sama sekali memberatkan. Terdengar sangat manly kan?

Saat aku sedang membilas item terakhir, istriku memelukku dari belakang. Suatu kejutan yang menyenangkan. “Makasih ya sayang udah dibantuin beresin,” aku tersenyum walaupun ia tidak melihatnya. Setelah selesai aku membalikkan badan, menghadapnya. Mengelap tanganku yang basah ke celana yang mulai terasa sesak.

Malam ini, sofa terhimpit oleh kami. Desahan lembut mengalir pelan khawatir membangunkan si kecil yang akan sulit ditidurkan. Suhu ruangan yang disetting sejuk menjadi seperti siang hari di tongkrongan, panas dan membuat berkeringat. Ketika aku merasakan kenikmatan itu harus diakhiri, aku segera menarik mundur bokongku dan sesuatu membanjiri punggung istriku.

“Kok di luar?” istriku memicingkan mata dan tanda tanya besar muncul di ekspresi wajahnya.

“Ah, iya. Lagi pengen aja sayang. Aku sebat dulu ya,” aku segera ke luar, menyalakan sebatang rokok menghirupnya membiarkan nikotin memenuhi paru-paruku. ‘Kenapa gue keluar di luar ya?’ pikirku sendiri.

Aku masih menyesap tembakau dengan rasa menthol itu dengan pikiran masih berusha mencari-cari alasan untuk memvalidasi apa yang aku lakukan barusan, ‘apa karena kepikiran Karina ya? Padahal gue main sama bini sendiri’.

***

Komentar

Postingan Populer