Menikahi Pak Bowo

                   Kala itu aku masih terlalu muda untuk memahami apa yang semesta ini lakukan. Bagaimana cara kerjanya. Bagaimana aturannya. Apakah aku bersalah? Aku tak tahu. Yang aku tahu hanya, aku tidak pernah menyesal.

Dengan usaha mempertahankan citra diri sebagai wanita dewasa yang mengesankan, aku duduk tepat di hadapannya. Seseorang yang aku hormati dengan sepenuh hati, bukan karena siapa dia namun karena dia adalah dirinya.

“Ada apa?” tanyanya mencoba membuka pembicaraan. Aku sudah tahu mengapa aku berada di sini, aku sangat tahu. Berulang kali aku berpikir mana jawaban yang akan memuaskannya. Jawaban apa yang bisa membuat aku tetap terlihat sebagai pemenang. Jawaban mana yang akan membawaku pada keinginanku yang sangat sederhana, yaitu merasakan seseorang berpihak padaku.

Kami cukup lama bertukar pendapat, cukup sengit dan sedikit muncul perasaan bahwa aku bisa bicara apapun dengannya tanpa merasa canggung atau segan atau kaku atau apapun itu. Aku menikmati waktu ini. ‘Apakah harus menghidupkan drama rakyat kecil untuk memancing perhatiannya? Atau drama rakyat kecil ini terlalu membosankan sehingga dia memutuskan untuk mengambil sikap bahwa ini harus dihentikan’

“Saya memiliki rencana, namun seperti yang kita tahu projectnya belum berjalan,” aku tersenyum kecut. “Saya berusaha menyelamatkan kamu agar tidak tenggelam. Saya melihat kamu, dengan jelas. Kamu harus saya selamatkan,”

Air mata yang berkumpul mendesak untuk dilepaskan. Karena menahan itu semua, aku tercekat dengan suara pecah dan terbata-bata terlena dengan sikap professional yang sangat mapan dan matang. Ciri khas pria dewasa, teduh dan menenangkan.

Agung.

Hangat.

Damai.

 

Kali ini aku sudah tumbuh menjadi Wanita dewasa. Sudah mulai cukup mengerti bagaimana cara semesta ini bekerja dan satu hal yang paling aku pahamai bahwa yang semesta inginkan hanya jangan pernah menyesal setelah melakukan apa yang kamu pilih. Menjadi makhluk lemah dan gegabah adalah dasar semua orang yang hidup di semesta ini. Namun, bertanggung jawab dan berani menerima konsekuensi hanya untuk orang-orang terpilih.

Kali ini aku tidak dibuai dengan suara tenang, tatapan teduh, dan Bahasa tubuh yang santai. Berhadapan dengan makhluk lemah dan gegabah lainnya dengan mata terbelalak, suara meninggi bersikap menekan dan menundukkan memainkan peran sebagai sang semesta. Mencoba menguasai semuanya dalam satu genggaman tangan, mencengkeram, mencekik, mencabik. Makhluk lemah dan gegabah itu berubah menjadi sesuatu yang mengerikan dengan ambsisi dan harga diri yang sudah banyak ia pertaruhkan, menolak mundur, menolak melepaskan genggaman yang tidak berguna karena semuanya hancur, remuk. Kepuasan diri akan keberhasilan menundukkan segalanya tidak berarti membuatku takut wahai salah satu makhluk lemah dan gegabah.

Menyayangkan apa yang terjadi, melewatkan makhluk lemah dan gegabah bernama Pak Bowo namun tak boleh menyesal. Akan aku nikahi jiwanya, menyerap ajarannya, auranya, caranya, sikapnya, semuanya. Menjadi makhluk lemah dan gegabah yang dipilih semesta, yang diharapkan semesta, yang diimpikan semesta. Akan aku nikahi Pak Bowo dan terus melakukan yang harus aku lakukan.

 

****

Komentar

Postingan Populer