Pillow Talk

    Beberapa minggu terakhir aku merasa gusar. Walaupun aku berusaha untuk hidup dengan semestinya, seharusnya, dan sewajarnya, menutupi dengan bertingkah seakan hidup baik-baik saja. Berharap kegusaranku tertelan dengan sendirinya.

     Sore itu aku mengulaskan lipstick merah, menyalakan music dengan volume tinggi, mengenakan gaun tidur sutra satu-satunya yang aku beli dengan malu-malu. Sup dengan sisa daging yang sudah tersimpan lama di freezer sehingga membutuhkan proses thawing yang cukup. Aku mencoba menikmati satu hari itu saja, tanpa marah-marah. Cukup, tolong.

    Terdengar suara pintu diketuk, namun aku tidak begitu menghiraukannya karena aku tidak pernah mendapatkan tamu, mungkin tamu penghuni unit sebelah. Namun suara ketukan pintu itu tidak berhenti, mengganggu. Aku mudah terganggu dengan suara yang berturut-turut. Aku membuka pintu untuk mengecek unit siapa yang diketuk dan mencoba memberitahun sang tamu mungkin penghuni sedang tidak di rumah, aku menarik napas cukup dalam sebelum mencoba untuk ramah.

    Seseorang berdiri di depan pintu, tanganya dengan segera melambai memberikan sinyal “Hai,”

    Aku sedikit terkejut dengan siapa yang aku temui di depan mataku. Aku sedikit kikuk, lalu akhirnya kesadaranku kembali, “Hai, long time no see. Please come in,” aku mempersilakan tamu itu masuk ke kamar tipe studioku. Walaupun kecil, namun ruangan ini cukup nyaman untuk menjadi tempat pesembunyian dan mengisi energi.

    “Sudah makan?” tanyaku.”

    “Nyemilin salak dan nyicip-nyicip makanan,” jawabnya yang sudah mengambil tempat di ujung ranjang.

    “Aih, mana ada itu disebut sudah makan,” jawabku. “Sebentar lagi matang,” sambil menunjuk pada panci yang dibakar dengan api cukup besar.

    Kami menyantap sup sederhana buatanku. Tidak begitu enak namun cukup membuat kami puas. Aku membersihkan mangkuk kotor dan mencucinya segera, mencuci tangan dan melepas apron yang masih ku kenakan walaupun saat makan.

    “What?” aku bertanya karena tamu itu mengekor setiap pergerakanku. Biasanya yang ia lakukan Ketika berkunjung hanya sibuk dengan ponselnya membuatku merasa kesepian dan diabaikan. Entah mengapa hari ini ponselnya ia biarkan berada di meja kecil di samping tempat tidur.

    “Kamu ngga pake ya?” matanya menunjuk ke putingku yang menyembul di balik gaun malamku. Aku hanya menjawab sekenanya, mengambil sekaleng bir dari kulkas dan bergabung dengannya. Aku menyodorkan kalengku, tidak berbagi karena ia sedikit menolak mengkonsumsi bir walaupun dengan kadar kecil. Ia menjaga tetap menjadi “laki-laki baik”.

    Kami mengobrol santai seperti biasa. Aku bersandar di pahanya yang ditekuk, sedangkan dia bersandar di tempat tidur.  Ia melihat ke jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, “kenapa ya kalau sama kamu waktu cepet banget,”

    Aku menahannya dengan muka memelas, ia menjadi tak tega. Lalu kami mengobrol lagi, “apa kabar?” katanya akhirnya.

    “Not good,” jawabku.

    “Apa yang sakit?”

    “Memangnya kalau kabar tidak baik artinya sakit?”

    “Antonim dari sehat, bukannya sakit?” kami membahas hal-hal remeh, tidak perlu dan tidak penting, tapi cukup menyenangkan karena obrolan tidak penting itu diiringi tawa.

    Hingga ada moment kami saling terdiam dan seperti tertarik ke titik tertentu bibir kami mulai saling berpagutan, tubuh kami saling mendekat, merengkuh dan menjamah. Napas kami mulai menderu, jantungku mulai bergerak lebih cepat, dan aku mulai merasakan suhu tubuhku meningkat, aku terangsang.

    Aku membuka kancing kemejanya, ia melepaskan sehingga aku bisa melihat bulu-bulu halus yang tumbuh di dadanya. Aku membuka tali yang melingkari pinggangnya, ia berdiri untuk memudahkan aku melepas sisa luaran yang masih ia kenakan. Aku duduk di pinggir tempat tidur menurunkan celana dalam hitam yang membuat ia semakin sexy. Aku mengeluarkan isinya yang telah membesar dan menggenggamnya, menariknya perlahan menuju mulutku. Aku menghisapnya perlahan, lidahku memutari permukaannya, ia mengerang pelan.

    Tangannya menarik turun tali yang tersampir di bahu kiriku dan terjatuh perlahan membuat sebelah buah dadaku menyembul keluar. Menarik perhatiannya, ia menurunkan tali sebelah kanan membuat gaun malam itu meluncur turun tertahan di pinggangku membuat kedua buah dadaku tersingkap seutuhnya.

    Ia mengangkatku berdiri, tersisa celana dalam berenda warna senada dengan gaun malamku, abu dengan sedikit warna kebiruan. Dia mencium leherku, mengendusnya, menjilat sesekali. Ia menuntunku menuju tempat tidur, membuatku berbaring terlentang, menarik celana dalamku turun menelusuri kedua kakiku. Aku yang tak berdaya oleh dorongan Hasrat bersabar menunggunya merobek pembungkus karet pelindung, mengurai gulungannya dan mulai memasukiku perlahan. Aku yang sudah basah memudahkannya masuk dan menguasaiku. Untuk beberapa saat aku merasa sedikit santai dan hanya menikmati dirinya yang keluar masuk, mendengar erangannya yang seksi.

    Kami selesai di waktu yang bersamaan. Ia terkulai lemas di atasku, aku merasakan ada penurunan tekanan di bawahku dan mulai mengecil. Kami masih mencoba mengantur napas kami dan saling menertawakan ternyata hasrat kami masih sama setelah hampir satu tahun tak bertemu. Ia berguling ke sampingku, membuka tangannya mengundangku untuk merebah berbantalkan lengannya. Aku menelusuri lekuk dadanya dan masa-masa santai itu akhirnya habis.

    “Kayaknya aku nggak akan pernah bisa nikah deh. Pun kalau nikah, kayanya berujung pada perceraian,” kataku dengan getir. Ia menanggapi dengan menarik tubuhku semakin dekat.

    “Kamu itu lovable, cukup mudah untuk orang jatuh hati sama kamu. Kamu itu punya karisma dan daya tarik unik yang ngga bisa dijelaskan kenapa orang bisa suka sama kamu,” akhirnya jawabnya. “Kamu itu wanita cerdas dan itu seksi di mata aku, Itu dari luar ya. Kalau dari dalam, yang aku rasain adalah aman dan nyaman. I feel appreciated. Tapiiii, tapi,”

    “Tapi?”

    “Masalahnya kamu ngga butuh cowok-cowok tai kucing kaya mereka dan mereka akan merasa tidak dibutuhkan sama kamu. Kamu wanita hebat, mandiri dan jujur aku ngga perlu khawatir kamu susah hidup. Ibarat kalau aku harus pergi ke sebuah pulah terpecil dan dikasih kesempatan untuk mengajak 1 orang, aku akan pilih kamu,”

    “Kenapa?”

    “Karena aku bisa mengandalkan kamu. Dalam semua aspek ya, baik untuk berkembang biak aku yakin anak aku bakalan jadi anak yang hebat kaya mamanya. Kamu ngga akan ngeluh pengen ke salon dan bersantai hanya aku yang bekerja untuk bertahan hidup di pulau itu, yang ngga akan buat aku stress. Tapiiiii, tapiii, kita ngga ada di dunia itu. Dunia kita yang seperti ini. Aku sebagai laki-laki pengen jadi tempat pasangan aku bergantung, membuat aku merasa dibutuhkan,”

    Aku menyeringai mendengar fakta yang menyakitkan. “Oke, gue terlalu independent dan gue ngga menyesali kenapa gue too independent, ada satu lagi yang ngga cocok,” ia tidak terpengaruh dengan emosiku yang mulai meninggi, ia tetap membelai lembut kepalaku dengan mata terpejam dan sikap yang tenang. “Ngga cocok dengan harus begini karena gue pasangannya, harus begitu karena harusnya begitu, harus begini karenan harusnya begitu. Padahal kan semua keharusan itu siapa yang buat?”

    “Stigma,” jawabnya.

    “Membuat sifat rebellious gue muncul, sial!”

    “Aku inget banget cita-citamu jadi antagonis,” katanya sambal tertawa tipis. See? Aku memang tidak cocok dengan dunia ini. Rasanya seperti terlahir di universe yang salah.

 

    Satu lagi, for your information ia adalah teman tidurku yang sudah dimiliki seseorang dari 9 tahun lalu. Awalnya aku sangat suka apabila ia lebih memilih menemuiku daripada pacarnya, membuat aku merasa memenangi suatu kompetisi illegal. Berhasil membuatnya nyaman hanya dengan menghabiskan waktu denganku, sudah cukup, I win bitch!

    Tapi, malam ini aku tidak berpikiran demikian. Persetan dengan kompetisi itu! Aku sedang memberontak pada dunia, bahwa aku tidak “harus” tidur dengan orang yang tidak ingin aku tiduri. Aku tidak “harus” menjaga perasaan orang yang tidak perlu dijaga perasaannya, perasaan orang lain adalah tanggung jawab masing-masing. I’m so f-ing sick dengan segala “keharusan” yang sebenarnya aku punya hak untuk tidak melakukan semua “kaharusan” itu dan itu yang membuat aku kacau setiap kali ada laki-laki yang mencoba untuk “serius”.

    “Kamu ngga mau hamilin aku?” kataku tiba-tiba.

    “Perempuan ini bener-bener udah gila,” katanya sambil mengacak rambutku.

    “Bakalan jadi pemberontakan terbesar kalau aku hamil sekarang,”

    Ia bangkit membuat aku harus mengangkat kepalaku untuk membiarkan tangannya bebas. Ia mengambil kondom yang tersisa, membuka bungkusnya, memakainya, membalik tubuhku, dan memasukiku seperti binatang.

 


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer