Duka

                 Sore itu keadaan outlet sangat ramai, bahkan aku harus turun tangan untuk membantu operasional. Baik untuk pencapaian penjualan, tidak baik untuk energi.

“Terima kasih Teman-teman, kalian luar biasa!!!!” team sore itu bersorak walau peluh  bermunculan tipis di kening mereka. Suhu udara yang dipasang cukup dingin tak terasa karena banyaknya gerak yang berubah menjadi panas. Kami bertolak ke tujuan masing-masing. Malam itu pukul 23.57 aku bahkan lupa mengecek ponsel bahkan aku lupa menaruhnya dimana, dikarenakan gempuran perasaan semangat bercampur kegembiraan atas kesuksesan hari ini.

52 panggilan tak terjawab, 125 pesan belum dibaca dari Mama dan Salsa, adikku 4 jam lalu.

Aku buka pesan dari mereka, “Papa masuk UGD,”

Aku terperanjat kaget, seketika roda kehidupan kehilangan tuasnya dan memutar ke bawah. Aku segera memacu skuterku, berusaha menyeimbangkan agar tak terjatuh. Tengah malam, jalanan kota ini sudah sepi sehingga kalaupun aku terjatuh semoga aku tak tertabrak kendaraan lain. Bodoh, apa yang aku pikirkan?

Aku berusaha menyeka air mataku seadanya. Saat itu mengalir pelan menimbulkan efek gatal dan geli sehingga aku harus menyeka dengan punggung tanganku. Bergantian karena harus membuat stang skuterku tetap terkendali. Aku memarkir dengan sopan walaupun pikiranku ingin segera buru-buru bertemu Papa.

Aku berjalan tergesa, berharap kakiku yang pendek bisa menghasilkan langkah yang cukup panjang. Namun, sesampainya di UGD aku berharap kaki pendekku tetap menghasilkan langkah wajar. Aku ragu dan takut mengetahui kondisi Papa. Aku takut dan khawatir, informasi terakhir yang aku dapatkan tidak berubah menjadi baik.

“Ma,” akhirnya aku memberanikan diri menghampiri keluargaku. Mama menengok ke arahku. Matanya sembab, wajahnya bengkak.

“Kamu sudah datang Nak,” aku mengangguk.

“Maaf ya, Ayi baru bisa ke sini,” aku berusaha menahan tangis. Walaupun Mama pasti tahu dari suaraku yang bergetar.

“Ngga apa-apa. Mama tahu kamu pasti sibuk hari ini,” aku merasa malu dan tidak tahu diri. Aku memandang wajah Papa yang tak sadarkan diri. Wajah yang keriput terlihat habis menahan sakit yang hebat. Tangannya dipasang selang yang dialiri cairan bening berisi kandungan-kandungan yang aku tak pahami, namun napasnya terdengar teratur.

Aku mengirim pesan kepada atasanku, meminta izin tidak hadir bekerja untuk besok. Pukul 01.29 pesan itu terkirim. Aku bersandar pada dinding ruang tunggu UGD, berusaha membuat pikiran dan tubuhku beristirahat walaupun posisiku tidak nyaman. Tapi aku tidak mau meninggalkan Mama yang menunggu Papa, dan aku tidak mau berada jauh dari Papa.

Sekitar pukul 5 pagi Mama membangunkan aku yang ternyata bisa tertidur. Katanya Papa sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat inap. Aku segera membantu Mama membereskan barang-barang dan mengekor di belakang perawat. Dokter yang berjaga menjelaskan bahwa kondisi Papa mulai membaik sehingga dalam beberapa waktu ke depan diprediksikan tidak perlu melakukan tidakan emergency. Namun, jika hal itu terjadi petugas akan bertindak cepat. Penjelasan singkat yang menenangkan bagi kami berdua.

Pukul 8 Salsa datang membawa sarapan yang ia beli di perjalanan menuju rumah sakit. Kami bertiga sarapan dengan lahap. Karena secara psikologis tekanan kekhawatiran sudah mulai menurun dan meningkatkan selera makan kami.

Walaupun seharian ini Papa masih belum sadar, tapi apa yang dikatakan oleh dokter tadi pagi benar terjadi. Dalam pemeriksaan sore pun mengatakan bahwa kondisinya tetap baik, kami tak perlu khawatir.

Aku, Mama dan Salsa sibuk menerima telepon dari sanak keluarga yang turut prihatin dengan kondisi yang menimpa Papa. “Terima kasih ya, mohon doanya semoga Mas Andi bisa segera pulih,” Mama berusaha tegar. Hatiku teriris mendengarnya.

 

Kewajiban menjadi dewasa adalah bertanggung jawab dengan pekerjaan. Aku berpamitan dengan Mama dan mengatakan habis pulang kerja aku akan segera kembali. Mama mau dibawakan apa? Tanyaku.

Siang itu, outlet ramai seperti biasanya. Baik untuk pencapaian penjualan outlet dan pencapaianku juga, namun aku tidak terlalu bersemangat karena pikiranku berada di samping Papa. Setelah jam kerjaku usai, aku mampir ke pasar dan membeli beberapa jenis buah yang dipesan oleh Mama.

Setelah aku memarkir skuterku dengan sopan, aku merogoh saku untuk menjawab telepon.

“Sore Bu, ada yang bisa dibantu?” aku menjawab dengan sopan. Sesopan aku memarkirkan skuter bewarna hijau mint yang baru aku beli satu tahun lalu.

Suara di ujung telepon berubah menjadi makian yang cukup panjang dan berulang-ulang. Kau kehabisan kata-kata caci maki, ha? Pikirku.

“Baik Bu, nanti saya cek kembali ya,” aku berusaha menanggapi setenang mungkin, walaupun pandanganku mulai kabur tertutup air mata kemarahan.

Hari itu terasa sangat berat. Aku yang sedang tidak ingin tersenyum atas pencapaian penjualan, atau bahkan tidak ingin memenangkan perdebatan yang biasanya aku sukai. Aku hanya ingin melihat Papa. Aku berusaha menyelesaikan masalah yang aku buat terlebih dahulu, menghubungi outlet dan meminta konfirmasi. Sore itu kepalu seperti mau pecah rasanya. Setelah mendapat konfirmasi dari outlet aku mengirim pesan konfirmasi ke kantor pusat. Done. Masalah selesai bukan?

Aku berjalan menuju kamar inap dengan buah-buahan dan beberapa makanan ringan yang ku bawa. Saat itu Dokter sedang berkunjung, ponselku menerima panggilan masuk lagi, dari orang yang sama.

“Halo Bu Ayi, senang mendengarnya. Terima kasih ya atas konfirmasinya,” kata suara di ujung sana.

“Terima kasih juga ya Bu, maaf saya baru cek,” kataku.

“Iya ngga apa-apa, yang penting kan sudah clear ya. Bu Ayi, sebentar atasan saya mau bicara,”

Terdengar suara yang sekitar 10 menit lalu mencaciku mulai mengoceh meluapkan kekesalannya padaku. Aku hanya cukup merespon, baik ataupun iya bu. Tak perlu membalas ataupun menjelaskan sesuatu. Panggilan telepon itu berlangsung 5 menit, membuang waktuku.

 

Maaf ya bu, atas sikap atasan saya. 1 pesan masuk

Iya bu, ngga apa-apa. Saya yang salah karena tidak teliti. Aku membalas

Mohon maaf sekali lagi ya bu.

 

Satu minggu yang berat dengan Papa yang tidak menunjukkan kondisi membaik. Wajah Mama yang terlihat lelah meredupkan cahayanya. Salsa yang setia menunggu Papa dengan pensil dan buku di tangannya. Aku? Aku yang juga lelah dengan kenyataan bahwa kenapa Papa yang baik-baik saja bisa terbaring tak berdaya sudah selama ini?

Aku memutuskan untuk mengajukan cuti 2 hari, mencoba menyatukan pikiran dan tubuhku pada satu tempat. Lagi pula aku juga harus membantu Mama menjamu tamu yang menjenguk Papa. Tetangga dan keluarga yang jauh-jauh datang untuk memberikan dukungan moral untuk kami. Keberadaan mereka cukup membuat kami merasa lebih kuat. Keberadaan mereka membantu kami melewati hari-hari dengan laporan medis yang tidak begitu memuaskan. Keberadaan mereka membantu kami tetap hidup.

 

Tengah malam aku tiba-tiba terjaga karena napas Papa terdengar sangat berat, tubuhnya kejang. Aku membangunkan Mama yang terlelap dengan damai, “Ma, Papa, Ma”

Mama terduduk dan mencoba untuk fokus. Setelah kesadarannya kembali Mama langsung menghampiri Papa, menekan tombol emergency yang berada di samping tempat tidur pasien. Aku juga mencoba memanggil perawat khawatir mereka tidak menerima pesan kami.

Mereka bergegas ke ruangan dan mendapati Papa sudah tenang, selamanya. Kurang dari 5 menit setelah aku meninggalkan ruangan, ternyata saat itu Papa juga pergi. Harusnya aku menunggui saja di kamar, biarkan tombol emergency itu bekerja, itupun kalau berfungsi. Harusnya aku di kamar saja melihat Papa kesakitan. Harusnya aku di kamar saja…. melihat Papa yang ternyata pergi.

Aku melepas kepergian Papa yang pamit dengan cepat. Aku percaya kepergian ini lebih baik. Baik untuknya, maka baik untuk kami. Aku percaya duka ini hanya sementara, sesementara kehidupan manusia di dunia. Selamat jalan Papa. Semoga Papa bisa beristirahat dengan tenang dan tidak kesakitan lagi. Ayi sayang Papa, kami sayang Papa.


***

Komentar

Postingan Populer