Hello, apa kabar?
Hari Sabtu yang cerah, tumpukan pakaian kering yang melambaikan tangan meminta untuk disetrika. Suhu sore itu masih tinggi di musim kemarau Jakarta, aku membutuhkan sesuatu yang segar, pikirku.
Tanganku dengan lihai mengusap layar ponsel mencari restoran yang menarik. Hingga muncul nama salah satu coffee shop tempat aku bekerja dahulu, sejenak aku terdiam. Entah apa yang aku pikirkan, aku bangkit dan berganti pakaian, memoleskan sedikit perona pipi dan lipstik warna kecoklatan. Ku sisir rambut lurusku, menyemprotkan parfum pemberian seorang teman dari Italia secukupnya. Untung saja aku sudah mandi pagi-pagi tadi.
Aku menekan tombol power dan mesin mobilku menderung halus. Mobilku keluar dari tempat parkir di basement apartemenku di daerah pinggiran Jakarta. Pagi ini jalanan cukup lengang tidak membuat suasana hatiku memburuk. Kemana perginya semua orang di Sabtu sore yang cerah ini?
Aku memarkirkan mobil dengan sempurna, tanpa ba bi bu aku memutuskan untuk masuk ke gerai coffee shop itu. Bisa saja dia sudah pindah lokasi, apa yang harus dikhawatirkan? Aku memantapkan diri keluar dari mobil dengan penuh kepercayaan diri. Aku berjalan ke arah order station lalu seseorang muncul dari balik mesin cashier. Aku terkejut, begitu pulang orang itu. Aku membalikkan badan dan melangkah pergi.
“Bu An!” seseorang memanggil namaku. Aku menoleh ke sumber suara tersebut. “Kenapa pergi?”
“Ah, itu.” kataku kikuk. “Bukannya pesan malah akan bertanya apa kabar,”
Orang itu mencoba menyembunyikan senyumnya , membuatku canggung. “Kabar saya baik. Silakan duduk dulu, saya bawakan minuman,”
Aku mengikutinya dan duduk di kursi yang dia persilakan. “Tunggu di sini, shift saya sebentar lagi selesai. Sebentar,”
Aku duduk dan diam seperti anak penurut. Aku memandang ke sekeliling, bernostalgia dengan kenangan masa lalu seberapa sering aku berkunjung ke sini hanya untuk meminum segelas Matcha Latte. Sebenarnya untuk melihat orang itu bekerja. Bukan, bukan, untuk menemuinya saja.
Seorang waiter mengantarkan segelas Matcha Latte less ice, seperti kebiasaanku. Aku mengucapkan terima kasih. “Tumben Bu baru ke sini lagi,”
“Saya sibuk akhir-akhir ini,” kataku sedikit berbohong. Sibuk adalah fakta, namun bukan menjadi alasan utama kenapa aku sudah tidak pernah ke sini lagi.
Aku menyesap Matcha Latte itu, membiarkan rasa manis dan kecut berbaur sempurna. Seketika mengembalikan kesadaranku. Apa yang aku lakukan di sini? Aku pasti sudah gila. Aku berdebat dengan pikiranku sendiri, apakah harus tinggal atau pergi? Jika aku pergi sekarang, bahkan minumanku belum habis setengah. Di tengah dilema, orang itu muncul tersenyum walaupun rambutnya terlihat kusut dan berantakan. Aku harus berusaha menahan agar tanganku tak menyentuh rambutnya dan mencoba merapikannya.
Dia duduk di depanku, meminta maaf karena telah membuatku menunggu lama. Ada masalah katanya. Ternyata sudah lama aku tak mendengar ceritanya, terakhir jika tidak salah ingat hampir 2 tahun yang lalu. Dia duduk manis menunggu aku menghabiskan minuman gratisku. Biasanya jika kami buru-buru pergi dia akan membantuku menghabiskan baik itu minuman, dessert bahkan makananku. Tapi, kini tidak bisa seperti itu lagi.
“Pergi keluar?” dia menawarkan.
“Di sini juga boleh,” jawabku.
“Di luar saja ya,” aku mengiyakan.
“Saya bawa mobil. Nanti balik lagi ke sini ya,” kataku di pintu keluar.
“Woa, keren sekarang,” katanya menggodaku.
“Agar saya tidak diantar pulang,” dia tertawa.
Aku duduk dengan kaku di belakang. Mencoba menyeimbangkan tubuh di tengah kebiasaannya mengerem mendadak. “Bisa diatur ngga kapan harus ngerem biar ngga mendadak?”
“Saya sengaja biar kamu rewel,” aku menepuk punggungnya dan pura-pura kesal. Dia membalas tertawa.
Kami cukup sulit menentukan akan pergi kemana, dikarenakan hampir semua tempat penuh sesak oleh manusia-manusia yang menginginkan kebebesan di Sabtu malam. Akhirnya kami berhenti di salah satu kedai kopi yang cukup jauh dari tempat mobilku terparkir.
Selama waktu yang kami habiskan bersama, aku merasa benar-benar diperhatikan. Bukan senang, hanya terasa aneh.
“Saya perhatiin, kamu sama sekali ngga nyentuh handphone-mu loh,”
Dia menarik napas, “Saya agak kaget karena kamu tiba-tiba muncul lagi. Dan selama di perjalanan tadi, saya memutuskan untuk tidak menyia-nyakan waktu,” medok jawanya yang aku rindukan kini sudah terbayar. Wajahnya yang selalu lelah, kini sudah ketemui. Tawanya yang tak pernah lepas, kini ku dengar kembali.
“Woa, ada apa ini?” aku cukup terkejut dengan keputusan yang dia pertimbangkan selama perjalanan tadi.
“Saya ngga tahu kapan kita bisa ketemu lagi kan?” aku mengangguk setuju. “Ternyata butuh waktu cukup lama ya untuk adaptasi hidup tanpa kamu,”
Aku hanya tertawa, berusaha keras untuk tidak memberikan respon yang akan membawa kami pada jurang ketidakpastian lagi.
Keputusanku mengunjungi cabang coffee shop itu memang tidak benar, namun entah mengapa aku tidak menyesalinya. Justru ada perasaan baru yang muncul, yaitu aku merasa aku siap menlanjutkan hidup baru tanpa bayang-bayang masa lalu dengannya. Aku putuskan kali ini, aku sudah selesai dengan masa laluku.
Komentar
Posting Komentar