Kuda Liar Betina
2008 adalah tahun dimana aku bertemu dia. Dia yang satu kelas selama satu tahun pertama di sekolah menengah pertama. Dia yang bertubuh mungil, berambut sebahu, berwajah dingin dan tidak banyak bicara. Namun dia menarik perhatianku dengan ide-ide dalam ceritanya yang brilian. Dia adalah Andrea. Andrea Stella.
Dalam pelajaran Bahasa, di setiap
semesternya akan selalu ada materi yang mengharuskan bermain peran, mengarang
cerita, atau menulis sebuah narasi berisi opini yang dikembangkan dari sebuah
fakta. Sebenarnya materi itu yang paling aku hindari. Aku lebih menyukai
pelajaran olahraga. Dimana pelajaran itu aku bisa bebas dari pelajaran kuno
tentang aljabar, ideologi, sejarah peradaban manusia, tenses, perkembangan
makhluk hidup, ekonomi makro-mikro, jenis batuan, dan lain-lain.
2009 adalah masa dimana aku harus terbiasa
tidak melihat rambut coklat yang terus dipotong agar selalu sebahu di baris
kedua. Atau tas berwarna oranye yang tersampir di kursi kayu sekolah kami. Atau
botol minum berwarna coklat bervolume 600 mL di atas meja yang isinya selalu
penuh setiap setelah istirahat. Atau sosok dingin pendiam yang sudah tidak ada
di pandanganku walaupun aku sudah melihat 360 derajat ke seluruh penjuru kelas.
Di dua malam hari, sebelum aku resmi menjadi siswa kelas 8, aku berusaha
menenangkan diri yang sedari siang berkecamuk panik karena akan kehilangan
Andrea.
“Andrea ada di kelas sebelah kok. Dia
tidak kemana-mana,” Kataku kepada diri sendiri. “Hari Senin besok, aku hanya
perlu datang lebih awal dan menunggunya di depan kelas. Dia akan melewati
kelasku untuk masuk ke kelasnya,”
Aku tersenyum puas dengan ide itu, tapi
sisi lain diriku tidak setuju dan malah mencibir ide pengecut itu. Di tengah
perdebatan batin, tiba-tiba terbersit untuk menghubungi Andrea melalui
Facebook. Kala itu, Facebook adalah sesuatu yang keren, semua orang pasti
memilikinya. Tak terkecuali Andrea. Aku mulai membuka laptop, masuk ke laman
Facebook dan mengetik nama indahnya. Hm, terakhir dia posting dua minggu yang
lalu. Walaupun terlampau lama, mungkin saja dia masih aktif membuka Facebook
hanya sekedar melihat aktivitas teman-temannya, namun terlalu sibuk dengan
aritmatika untuk menuangkan ide-ide briliannya di media sosial ini. Lalu aku
menuju menu pesan dan mulai mengetik basa-basi yang ku temukan dari internet yang
katanya adalah jurus terjitu dalam 101 cara PDKT.
Hei, Andrea. Ini gue, Yobi.
Kita pernah satu kelas waktu kelas 7.
Sekarang gue kelas 8B. Congrats ya masuk kelas 8A.
Sent.
Satu menit. Tiga menit. Bahkan, tiga jam
lima menit tidak ada jawaban darinya. Mataku tertuju pada angka yang bertengger
di paling atas layar, 01.28. Mungkin ia sudah tidur, aku berusaha realistis dan
mencoba berdamai dengan otakku agar mau istirahat dan tidak memaksa agar pesan
yang ku kirim agar segera dibalas.
Keesokkan paginya, aku segera meraih
ponsel dan membuka aplikasi Facebook. Namun, tidak ada pesan dari Andrea.
“Arrrgh, apa dia sengaja mengabaikanku ya?
Mau ditaruh di mana mukaku besok? Kenapa pula kelas kita harus sebelahan?”
“YOBI!! Ada apa teriak-teriak?” suara mama
terdengar panik dari lantai 1.
“Ngga apa-apa Ma, aku kalah main gim,” aku
mengklarifikasi. Menyebalkan sekali.
Aku mulai menerima selama satu bulan
diabaikan oleh Andrea. Jika teman-teman berkumpul di depan kelas, aku tidak
sembunyi lagi dan ikut berkumpul di sana. Jika beruntung, Andrea akan lewat di
depanku bersama dengan Tasya setelah dari toilet, mushola ataupun kantin. Satu
hal yang membanggakan, aku sudah tidak sembunyi lagi dari Andrea. Dan itu
adalah poin paling penting.
Hei, Yobi. Sorry baru balas. Gue jarang
banget buka Facebook.
Btw, gue tahu kok kita teman satu kelas.
Thanks, congrats for you too. Di kelas B,
not bad at all.
Satu notifikasi Facebook. Satu pesan. Dari
Andrea. Jantungku berdebar. Aku membaca berulang kali pesan darinya. Bukan
membalas pesannya, otakku malah seketika menjadi encer dan seperti mendapat
pencerahan dari Tuhan, aku menuliskan jawaban dari tugas Geometri yang cukup
membuat otakku buntu sedari tadi. Setelah, tugasku selesai aku sangat berterima
kasih pada Andrea. Walaupun aku juga tidak terlalu yakin apakah jawaban yang
aku tulis itu benar atau tidak.
Selama satu tahun, aku harus puas hanya
dengan bertukar pesan melalui Facebook yang rasanya seperti mengirim pesan
menuju ruang angkasa. Membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mendapatkan
balasan. Hal ini tentunya, konsekuensi karena aku terlalu pengecut untuk
meminta nomor ponsel Andrea.
Akhirnya kami harus fokus pada ujian
akhir. Lalu, hubunganku dengan Andrea cukup dekat. Aku sudah sering berbincang
langsung tanpa ditemani Tasya, bahkan aku sudah memiliki nomor ponselnya dan
kadang bertukar pesan singkat dengannya.
Andrea memilih SMA terbaik kedua di kota
ini, maka aku akan masuk SMA terbaik pertama. Sejak mengagumi Andrea 3 tahun
lalu, membuat motivasi belajarku meningkat dan tidak hanya menghabiskan
setengah kali 6 hari selama seminggu di sekolah untuk mendengarkan guru
mengajar namun juga mengambil pelajaran. Walaupun masih sering kesulitan dengan
beberapa materi pelajaran, namun aku tidak lantas menyerah dan membencinya.
Justru aku ikut dalam kelompok belajar di kelasku, terlihat sebagai murid
teladan kan? Itu semua karena Andrea. Andrea membuat masa-masa sekolah menjadi
menyenangkan karena pandangan-pandangan yang selalu ia lontarkan setiap kali
kami bercakap. Aku tidak sabar, akan menjadi wanita seperti apa Andrea di masa
depan. Anak berumur belia, sudah memiliki pemikiran yang luas dan terkesan
bebas.
Setelah ujian nasional selesai, tak
berarti kami kelas 9 lepas dari semua penderitaan. Masih ada ujian sekolah yang
hasilnya akan dituliskan pada buku laporan kami, di halaman kelas sembilan
semester dua. Sistem pendidikan di Indonesia memang penuh dengan ujian yang
entah ini apakah efektif atau tidak. Karena semua siswa yang satu angkatan
denganku semuanya lulus. Padahal banyak di antara mereka yang sangat tidak
peduli dengan sekolah dan belajar. Senangnya jadi mereka. Oh iya, ujian sekolah
ini pun terdiri dari ujian tulis dan ada beberapa ujian praktik untuk beberapa
mata pelajaran. Dan pekan ujian sekolah akan dilaksanakan selama 2 minggu.
Walaupun aku adalah salah satu siswa yang mengeluhkan mengapa tidak
henti-hentinya ujian, namun aku menemukan sisi baik dari ini. Aku bisa
menikmati karya Andrea lagi yang akan disajikan dalam bentuk bermain peran.
Akhir perjalanan kami sebagai siswa SMP ditutup dengan 3 drama dari pelajaran
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Sejarah. Walaupun, aku harus menghafal
naskah, namun aku sangat tidak sabar menantikan pekan ujian praktik.
Role play Bahasa Inggris 9A pukul 13.00
WIB yang kebetulan kelasku pada pukul 13.00 hari ini sedang tidak ada ujian.
Jadi, aku bisa menonton Andrea yang katanya akan berperan menjadi beruang. Kalian
tahu kenapa Andrea mau menjadi beruang ketimbang memerangkan peran seorang
wanita cantik seperti putri? Karena, dia bercita-cita ingin menjadi pemeran
antagonis dalam setiap kehidupan orang. Gila memang, tapi aku tahu itu hanya gurauannya
saja. Kelompok Andrea mendapat giliran paling terakhir, artinya sekitar pukul
14.30 jika tidak ada kendala dan tepat waktu. Aku akan sabar menantikan
penampilan kelompok Andrea. Dengan sebotol minuman isotonik yang akan aku
berikan pada Andrea setelah selesai pertunjukkan sembari mengucapkan betapa
hebatnya karya dia.
Dalam posternya, scrip-writter tentu saja
dipegang oleh Andrea, sedangkan director diisi oleh nama lain. Jam di
pergelangan tanganku masih menunjukkan pukul 12:58. 1 jam 32 menit sebelum
pertunjukkan yang aku nantikan dan cukup untuk membuat minuman isotonik yang ku
bawa berubah suhunya menjadi suhu ruang. Aku ingat betul, Andrea tidak suka
jika minuman isotonik ini disajikan dalam keadaan dingin. Rasanya pahit,
katanya.
Satu jam berlalu, ruangan teater sekolah
kami perlahan mulai ditinggalkan oleh penonton yang hendak mendukung para
pemain di 2 kelompok pertama. Jika Andrea melihat kondisi kursi penonton yang
kosong, apakah ia akan sedih? Tidak! Dia tidak perlu bersedih, karena aku akan
tetap duduk di sini, setia menonton setiap adegannya dengan antusias. Bahkan
aku akan bertepuk tangan sangat keras sampai rasanya gedung ini bisa roboh.
“Alur ceritanya 100. Peran tokoh
protagonisnya hmm 83. Antagonisnya 100. Latar suaranya 80. Latar cahaya.....”
jari telunjuk tangan kanan Andrea mendarat di bibirku, menyuruhku berhenti.
“Semua lo kasih nilai bagus. Ngga suka!”
katanya sambil menenggak minuman isotonik yang aku berikan. “Gue pengen
dikritik, pengen dikata-katain,”
“Kalau kenyataannya memang bagus,
bagaimana?”
“Ngga mungkin! Kalau lo maksa kalau drama
gue tadi itu keren tanpa pengecualian, berarti lo buta,”
Buta? Di saat aku masih disibukkan dengan pikiran
mengenai makna buta yang dia maksud, ia menarik lenganku untuk menonton voli.
“Nonton voli yuk!” penonton perempuan yang
berdiri di pinggir lapangan berteriak histeris ketika atlet voli kebanggaan
sekolah melakukan selebrasi penuh pesona. Andrea hanya tersenyum sinis, melihat
adik kelas bahkan teman satu angkatan yang masih mengenakan kostum ujian
praktik yang tak sempat diganti hanya takut ketinggalan momen saat si jagoan
voli berlaga di lapangan.
“Gue ambil praktik apa ya untuk mapel
Penjas?” wajahnya merengut bingung. “Ngga ada bakat olahraga nih di darah gue,”
Mata pelajaran olahraga dan kesenian
adalah dua mata pelajaran yang memberikan kebebasan kepada siswanya untuk
memilih akan mengikuti jenis praktik, sesuai yang dikuasai masing-masing siswa.
Melihat Andrea yang kebingungan dan tidak bersemangat, membuat aku ikut
berpikir mencari jawabannya.
“Atletik saja. Besok bareng gue,” pikiran
impulsif ini harusnya aku sesali, tapi dengan lantang sebagian besar diriku
menolak saran itu.
“Loh, lo kan sudah ikut tes renang
kemarin,” tanya Andrea.
“Remedial,” aku terkekeh. “Gue daftarin
ya. Kalau ngga salah, besok atletik. Terakhir cuy, jadi lo harus ikut.
Siap-siap saja, hari ini makan yang banyak. Kalau perlu makan telur mentah,”
“Lo kira gue atlet pro sampe harus makan
telur mentah,” aku tertawa.
Setelah aku memastikan Andrea menaiki
angkot yang benar, aku bergegas menuju ruang guru, khawatir para guru sudah
pulang. Lebih tepatnya, khawatir guru olahraga kami sudah tidak berada di sana.
“Kamu kan sudah ikut tes renang kemarin,
dapat nilai sempurna pula! Jika, kamu memaksa ingin ikut tes atletik besok,
kamu harus dapat nilai sempurna untuk mempertahankan nilai yang telah kamu
dapat kemarin,” aku menyetujui apa yang digambarkan oleh pak Firman mengenai
masa depan nilaiku pada mata pelajaran Penjaskes di akhir masa sebagai siswa
SMP.
Setelah mengantungi izin dan memastikan
namaku dan Andrea sudah terdaftar untuk besok, tidak semerta-merta aku bisa
langsung pulang dan memberi kabar ini pada Andrea. Nyatanya, aku masih harus di
sana memasang telinga mendengar ocehannya tentang dunia olahraga. Namun,
kebanyakan keluhannya dengan nilai siswa-siswi yang banyak tidak memuaskan. Juga,
mata pelajaran olahraga selalu dijadikan pelajaran pelarian dari penatnya ruang
kelas. Tidak ada kesehatan jasmani di dalamnya, mata pelajaran ini seperti media
untuk membasuh rohani mereka yang terkekang dengan sistem pendidikan yang
mengharuskan pelajar fokus dengan matematika dan sains. Pelajaran lainnya? Hanya
pemeran pendukung. Ketika tausiahnya selesai, aku segera berlari keluar takut-takut
sang guru mendapat ide topik dan memulai tausiahnya lagi.
Tiga tahun sebagai siswa SMA tidak memberikan
peningkatan dalam hubunganku dengan Andrea. Sesekali aku mengirimnya pesan
singkat, namun hanya berakhir begitu saja. Percakapan kami semakin dingin oleh udara
kesibukan masing-masing.
Andrea yang disibukkan dengan kencan,
belajar dan menulis tidak memberikanku kesempatan untuk masuk ke dalam hidupnya
lagi sebagai teman baik seperti di masa SMP. Pemikirannya sekarang menjadi
lebih liar dan bebas, menuju masak dalam perjalanannya mencapai 17 agar tidak
dianggap anak kecil tak pantas. Namun, perangai dingin dan pendiam tidak
mencair dan menghangat. Hanya berubah menjadi lebih memberikan pesona yang meluap-luap.
“Yo, mantan bu guru,” aku menanggapi salam
pertemanan yang dia sodorkan seketika setelah tangannya menepuk pundakku lembut
namun cukup membuatku menyadari kehadirannya.
“Terusssss. Terus panggil gue mantan bu
guru, padahal jadi calon guru saja ngga pernah.” Keluhnya. “Mantan bu guru ga
fit di nama belakang gue, Yobiiiiiii”
Aku pura-pura menertawakannya, mencoba bermain
peran menjadi teman yang menjengkelkan dan menyebalkan. Aku lakukan ini agar
sikap memujanya yang bertahan dari beberapa tahun ke belakang tidak terlalu
nampak.
Saling bertanya kabar sembari menunggunya
memilih pesanan membuat sebatang rokok yang sedang ku hisap dari sebelum Andrea datang mulai memendek. “Americano
double shot, please,”
Andrea melemparkan sebungkus rokok yang
kemasannya terasa asing bagiku. Pemberian dari teman kencannya, katanya. Aku meraih
bungkus rokok itu, ku buka dan ku ambil satu batang tembakau yang terlinting
dengan sangat rapi dan dibuat dengan diameter yang lebih kecil daripada rokok
yang biasa aku hisap. Kotaknya menampilkan huruf yang bisa ku tebak, rokok ini
dari teman kencan Andrea yang dibawa dari Negeri Gingseng. Teman kencan? Hm.
Andrea menghisap pangkal rokoknya kuat dan
menghebuskan asapnya dengan lembut dan sangat perlahan, seakan tak rela
melepaskan asap penuh nikotin itu ke udara. Satu batang rokok dari teman kencan
Andrea habis terbakar, kami masih saling diam. Hanya Andrea yang mengeluarkan
suara ketika mengucapkan terima kasih kepada seorang waiter yang sudah
mengantar secangkir kopi hitam yang dia pesan. Aku diam memandangi wajahnya
yang mulai berkerut saat melihat layar ponselnya. Ujung bibir kiri tertarik ke
atas, menunjukkan ketidaksukaannya.
“Kenapa?” tanyaku setelah Andrea melempar
ponselnya ke meja, yang hampir membuat isi cangkir Andrea tumpah karena terdorong
ponselnya.
“Salah satu teman kencan gue ngajak
pacaran,” katanya dengan raut wajah semakin kesal. “Gue sudah bilang sama dia,
kalau gue ngga mau ada hubungan dan yeah dia setuju. Tapi sekarang, lihat, dia
malah mohon-mohon,”
Aku mengangguk memberikan sinyal bahwa aku
mendengarkan curahan emosinya. “Gue tahu pesona gue, makanya gue selalu bilang
sama semua teman kencan gue sebelum ketemu, ‘jangan suka sama gue. Let’s just have
some fun’” katanya melanjutkan.
Hal yang menyebalkan namun entah kenapa
aku sangat menyukainya adalah tingkat kepercayaan dirinya sangat tinggi. Alasan
lain selain rasa suka adalah apa yang dia sampaikan barusan adalah fakta bukan hanya
sekedar rasa kepercayaan diri dan sikap narsistik yang terlampau tinggi.
“Lo ngga ada niat untuk nikah?” tanyaku
hati-hati.
“Menikah? Kata bodoh macam apa itu?”
tanyanya sambil melempar senyum menyeringai membuatku berpikir apakah pertanyaanku
terlalu sangat bodoh?
“Yes, we already 30 now,” kataku. “Denger
lo bilang gitu, gue jadi khawatir lo bakalan jadi perawan tua,”
“And die alone? I’m ready, by the way,”
lagi! Jawaban penuh kemantapan keluar begitu saja dari mulutnya yang masih saja
menghembuskan asap nikotin.
“Gue pernah sempat mau nikah, beberapa
tahun lalu. Tapi gue malah pergi,” dia tertawa kecil, menertawakan diri sendiri
atau keadaan?
“Kenapa? Dia selingkuh?” tanyaku
penasaran.
“Nope, he’s so perfect, end to end,” katanya
singkat.
“Lalu, lo yang selingkuh?” aku mencoba
menebak.
“Jangan set di otak lo kalau suatu
hubungan hancur pasti karena ada orang baru!”
“Oh iya, sorry,” kataku menyesal. “Lalu
kenapa?”
“Mungkin kebanyakan hubungan berakhir
karena orang lain, tapi tidak semua. Atau lo bisa ganti dengan sebagian, beberapa,”
“Gue ngerasa lagi ikut kelas intensif
CPNS,” kataku mencoba melempar komedi.
“Nah, lo tahu. Jadi lo belajar di sekolah
itu berarti berguna dan ngga sia-sia. Menurut lo, kalau lo kuliah di Ilmu
Politik, matematikanya ngga berguna? Biologi? Fisika? Kimia?”
“Malah bahas sekolah, gue sudah lulus jadi
PNS jadi artinya gue belajar di sekolah dengan baik. Jadi, if you don’t mind,
why you left him?” tanyaku.
“Jadi yang ngga lulus PNS artinya ngga
belajar dengan baik di sekolah?” katanya kesal.
“Maksud gue, selain faktor belajar dengan
baik di sekolah, faktor lain juga mengikuti gue sehingga gue lulus PNS. Begitu.
Lo sensi banget sih,”
“Lagian bilangnya begitu, gue ngga lolos
PNS nih. Nanti dikira gue ngga belajar dengan baik dan benar di sekolah,” aku tertawa
terbahak-bahak. Andrea dengan wajah tersinggungnya semakin membuat aku ingin
tertawa.
“Lo adalah cewek terpintar yang gue kenal.
Meskipun lo ngga pernah bawa medali dari olipiade atau lomba apapun, bahkan
seperti yang baru lo sampaikan kalau lo ternyata ngga lolos PNS bukan jadi
ukuran yang memberikan kesimpulan bahwa lo cewek bodoh,” kataku mencoba
menenangkan.
“Menyebalkan” dia mengambil satu batang rokok
lagi. Kali ini dia ambil dari bungkus rokok yang aku beli di minimarket sebelum
duduk di kedai kopi ini. “Bagi ya, takut abis rokok gue. Susah ini dapetnya, sudah
ngga kontakan lagi sama yang ngasihnya soalnya,”
Malam itu, aku kembali merasakan Andrea
dengan jiwa anak-anaknya yang terlalu dewasa seperti bertahun-tahun lalu.
Andrea yang selalu bersikap masa bodoh. Andrea yang selalu mencoba keluar dari
kungkungan stigma dan kebiasaan yang terpatri sangat dalam di kehidupan manusia.
Cenderung memberontak dengan cara yang lembut.
Melalui tulisannya, aku bisa merasakan
betapa rapuhnya dia. Menyangkal adalah hal yang bisa dia lakukan. Menyangkal dengan
mengatakan pernikahan adalah hal bodoh, karena terlihat tidak ingin menyedihkan
ditinggal oleh kekasihnya. Mengatakan bahwa hubungan juga adalah suatu hal yang
tidak penting karena tidak ingin terlihat menyedihkan terlibat dalam
romantisasi muda mudi yang mencekik.
Mengatakan bahwa pekerjaan utamanya adalah
suatu hal terbaik dalam hidup karena tidak ingin memberikan waktu walau sedetik
untuk keluarganya, hidupnya yang kesepian dan membosankan, atau kisah percintaannya
yang gagal. Bekerja keras sebagai pelarian, dan menulis penuh kritikan untuk
melepas dahaga setelah berlari tanpa henti.
Sekaleng bir menemaninya menulis di bawah
temaram lampu di atas meja kerjanya. Menyalahkan hidup kenapa membiarkan dirinya
terlalu bebas tanpa kendali. Membiarkan dirinya selalu dihantui tanda tanya,
kenapa hidupnya tidak dilatih agar terkendali sejak masih kanak-kanak. Diberikan
akses untuk mengetahui eksistensi Tuhan, dunia dan manusia beserta sistem sosial
yang didukung teori-teori dari para cendekiawan. Dirinya dibiarkan tumbuh
sebagai wanita dewasa yang terombang-ambing tanpa fondasi kehidupan dan kiblat,
lalu kini dipaksa harus duduk tunduk pada sesuatu yang kasat mata disebut norma
sosial. Dalih, hidup dan mati di sini, hormati tata krama yang sebenarnya lebih
banyak harus diubah ketimbang dipertahankan mati-matian demi tradisi yang
sangat-sangat terbelakang.
***
Epilog
“Lo ngga kesepian?”
“Menurut lo, kenapa gue pasang aplikasi
dating online?”
“Kebutuhan lo cuma sex doang?”
“Yang butuh sex itu mereka. Kebutuhan gue
adalah gue tahu mereka butuh gue,”
“Maksudnya?”’
“Gue yang pake mereka, bukan gue yang
dipake mereka”
“Lo tinggalin?”
“Gue tinggalin,”
“Dengan itu, apakah cukup mengisi jiwa lo?”
“Cukup? Cukup, mungkin. Selama mereka ngga
ngejar-ngejar gue dan meminta untuk stay. Seperti orang tadi. Buat gue
tercekik,”
“Gue rasa ngga akan pernah cukup, kalau lo
ngga yakin apakah dengan cara itu lo ngerasa terpenuhi,”
“Cukup ketika gue melihat orang jengkel
dengan gue. Cukup dengan orang marah sama gue karena gue bukan gadis penurut. Cukup
dengan orang membenci gue, karena gue ngga mau ikut alur dan memberontak. Cukup
dengan lihat orang membenci gue, akhirnya orang itu ngga pernah merasa menyesal
marah sama gue,”
“Andrea.... What if, I don’t leave you?
What will you do?”
“Gue bakal berusaha agar lo pergi sejauh
mungkin, gue bakal dorong lo menjauh seperti yang gue lakuin ke mantan tunangan
gue,”
“Andrea, bagaimana kalau, sekuat apapun lo
mendorong gue pergi. Gue bakalan terus membayangi kehidupan lo yang sepi?”
“Gue akan menyalakan lampu agar tidak ada
bayangan,” katanya tersenyum.
“Damn, kalah gue,”
“Lo, ngga usah khawatir. Menua dan mati
sendiri sudah menjadi pilihan gue. Gue seneng kalau gue berhasil menjaga diri
gue tetap kesepian,” dia tertawa getir di balik isapan lembut pada pangkal rokok
yang dia ambil dari bungkus rokok milikku.
“Kalau begitu, gue ngga akan nikah juga,”
“What!?” dia tersedak karena kaget dan
bertanya-tanya yang bersamaan.
“Gue masih punya janji bakalan tunggu lo
nikah duluan,”
“Lo gila ya? Itu janji waktu kita masih bocah!
Sumpah lo ngga waras!”
“Menurut gue janji tetaplah janji,”
Andrea mendelik kesal, “Yaudah, gue cabut
janjinya. Sekarang lo terbebas dari janji itu dan boleh nikah sama perempuan yang
pantas jadi pendamping hidup lo,”
“Daripada cabut janjinya, bagaimana kalau lo
nikah saja?” Denganku. Aku berusaha agar kata itu tidak keluar.
“Gue ngga akan nikah, ribet. Lo sudah dengar,
kebahagiaan gue adalah lihat orang sekitar gue kesal sama gue. Ini yang dulu gue maksud, gue pengen jadi pemeran antagonis. Gue sudah berhasil
buat nyokap dan bokap kesal dengan bilang untuk jangan berharap cucu dari gue,”
“Lalu lo malah diceramahin,”
“Dan gue balas tausiah mereka,”
“Anak durhaka,”
“Gue ngga cari surga. Dikutuk jadi batu
lebih baik,”
“Pikiran lo terlalu ekstrem,”
“Yes! Sudah mulai sadar lo kalau gue
upnormal? Lo boleh melangkah pergi,” katanya menantang.
“Arrgh. Ayo minum, suntuk gue,”
“LET’S GO!” ajakan ku langsung dia aminkan
dan merapikan barang-barangnya dan memastikan tidak ada yang tertinggal. Kami tidak
membahas lagi hal yang orang lain akan memulainya dengan “seharusnya”. Aku
mengendarai mobil sport hasil gratifikasi ke arah club malam di pusat ibukota yang
masuk dalam daftar 10 teratas club malam populer jika kalian mencarinya di mesin
pencari di internet.
Saat ini Andrea sangat liar, bahkan dia sendiri
yang melabeli dia sebagai kuda liar yang sampai kapan pun tidak akan pernah
bisa dijinakkan walaupun hidup di peternakan. Untuk tetap berada di sampingnya,
aku tidak boleh memaksanya mengenakan pelana dan tali kekang. Sudah cukup
dengan dia tidak meringkik atau melompat-lompat karena stres dan makan dengan
baik.
Menurutku itu bukan epilog, lebih baik masuk di badan cerita
BalasHapusthanks for your advice ya. seneng, sudah mau mampir
Hapus