Perasaan Ini Apa Namanya?

Pagi hari aku sudah dibuat kesal oleh pekerjaan. Bagaimana bisa pegawai yang sudah bekerja lebih dari satu tahun membuat laporan saja tidak bisa? Kopi hitam yang biasa Mang Ujang buat pun rasanya lebih pahit dari biasanya. Aku semakin kesal.
Bagaimana bisa, hari yang baru ku mulai sudah kusut seperti rambut yang tidak pernah disisir. Aku tidak berencana untuk marah-marah ke manajer divisi terkait, namun bagaimana pun aku harus bicara karena ini dokumen penting yang seharusnya ditangani dengan baik.
“Selamat pagi Bu Manajer Inka,” aku kaget ketika keluar ada Indy temanku semasa kuliah sedang berbicara dengan resepsionis.
“Indy!!!” sejenak aku lupa kalau aku keluar untuk marah-marah. “Apa kabar? Kapan dateng?”
Dia hanya tersenyum, aku tahu di balik senyuman itu ada maksud tertentu. “Lo masih jomblo?”
Aku mencubit lengannya, kesal. “Apaan sih, kok muncul-muncul ngasih pertanyaan itu? Bukannya nanyain kabar gue, atau jawab deh pertanyaan gue barusan,”
“Gue tau kabar lo, pasti baik,” Hsss, dia so tahu sekali. “Gue mau kenalin cowo sama lo,”
“Apaan sih, nggak ah nggak mau!” aku melepaskan tanganku yang melingkar di lengannya dan buru-buru menuju lift. Indy berlari mengejar. “Dia ganteng, kaya, salah satu direktur di anak perusahaan BUMN, pinterrrrrrrr. Gue yakin lo pasti suka,”
“Gue ngga butuh cowo kaya,” kataku ketus. Kenapa dari enam lift yang ada, tidak ada satupun lift yang terbuka.
“Hirearki Kebutuhan Maslow. Okey, kita ulangi ya. Dia ganteng, karirnya bagus, dewasa, pinter, mandiri, tipe lo banget gue yakin,”
Ting. Pintu lift terbuka.
Aku masuk, menekan tombol angka 6 dan pintu tertutup. Indy masih terus mengoceh mempromosikan teman laki-lakinya itu. Tapi aku tidak peduli, jadi aku tak mendengar apa yang Indy jelaskan.
“Kita bicara lagi di jam makan siang ya. Gue kerja dulu,” aku masuk ke kantorku di lantai yang lain. Indy pun terpaksa berhenti di depan respsionis.
“Okay, gue tunggu di kafe depan kantor ya. Bye, Bu Manajer,” aku tersenyum dan masuk. Aku bukannya bermaksud kejam pada teman lamaku ini, tapi harus menjadi contoh yang baik bagi karyawan yang ada di sana. Jangan banyak ngobrol di jam kantor.

“Gue sangat sangat berterima kasih lo peduliin gue dengan coba kenalin temen lo. Tapi serius gue lagi ngga minat kenalan-kenalan gitu,” kataku sambil menyeruput espresso terenak di kota ini.
“Gue tahu lo cape, tapi inget lo tahun ini udah 30 dan lo masih single,”
“I know, Ndy. Tapi, gue udah coba membuka diri, kenalan di aplikasi dating, ketemuan sama temen-temen yang direkomendasiin buat gue. Tapi apa? Semuanya gagal.” Aku menghela napas dan menyandarkan punggung ke kursi biru mungil yang lucu.
“Iya kan mereka semua udah punya pasangan,” kata Indy hati-hati.
Mendengar apa yang dikatakan Indy barusan, aku ingin memaki diriku sendiri. Kenapa yang aku pilih untuk aku sukai adalah laki-laki dengan punya pasangan semua. Suami orang, tunangan orang, pacar orang. Rasanya hanya aku yang single di dunia ini.
“Sorry, Ka,” Indy memasang wajah merasa bersalah.
“Ngga apa, emang itu fakta.” Aku melempar pandangan ke luar jendela. Walau siang ini terik tapi jalanan ramai juga oleh pejalan kaki.
“Lo ngga apa-apa kan, Ka?” melihatku yang menjadi diam, Indy jadi salah tingkah. “Temen gue ini single, belum nikah. Gue pastiin dia bukan tunangan atau pacar orang. Bener-bener definisi dari single,”

Aku wanita dengan karir yang bagus, pendidikan tinggi, dan mandiri. Orang bilang kenapa aku masih single sampai sekarang karena laki-laki minder dengan aku. Tapi apakah itu artinya, di dunia ini tidak ada laki-laki yang setara atau lebih sedikit di atas aku? Apakah jika ada, artinya mereka semua sudah memiliki pasangan? Dan hanya aku pada tingkat itu yang sendirian.
Orang bilang, kenapa aku masih single sampai sekarang karena laki-laki merasa aku terlalu mandiri. Well, apakah artinya aku harus bermanja-manja? Pada siapa? Jika ingin tahu lebih jauh, aku juga wanita yang tidak ingin berjalan sendirian. Wanita yang ingin punya pemimpin sekaligus pendamping. Jika mau perhatikan lebih detil, aku sebenarnya berjalan pincang. Apakah salah berusaha untuk terlihat baik-baik saja? Apakah memiliki pasangan hanya untuk orang yang memperlihatkan dengan jelas bahwa kakinya benar-benar pincang?
“Ka,” suara Indy membuyarkan lamunanku.
“Mm?” aku menoleh ke arahnya.
“Gue ngga maksa. Maafin gue ya?” katanya.

Aku tahu, dunia tidak bekerja untuk memenuhi ekspektasi aku. Aku tahu, dengan memiliki ekspektasi artinya sama dengan menghancurkan diri sendiri.
Semua kegagalan yang aku terima, karena mereka tidak bisa memenuhi ekspektasi aku. Pasangan yang mereka punya bukan halangan. Halangan itu sendiri adalah pemikiran jahat sepihak yang memutus setiap hubungan yang baru aku mulai.
Apakah aku harus bilang iya atau tidak dengan tawaran yang diberikan Indy? Jika aku masih berekspektasi pada laki-laki itu apakah akan menjadi final dan masuk ke gerbang putus asa dengan melupakan semua prinsip yang aku punya?
Mungkin malam aku dituliskan akan selalu pahit seperti rasa dari espresso ini. Mungkin aku dituliskan akan selalu kesepian melewati malam yang panjang dan dingin.

“Kalau gagal, gue minta maaf,” aku akhirnya memberi keputusan.
“Ngga apa-apa. Gue Cuma mau yang terbaik buat lo,” Indy tersenyum. 6 tahun berteman dengannya, aku tahu senyum itu bukan senyum kemenangan, tapi senyum tulus seorang teman.

***

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer