Kukira Kau Pahlawanku
“Aku mau jadi seperti papaku!” aku berteriak
lantang. Bu guru tersenyum dan menanyakan alasannya mengapa, tidak seperti
anak-anak lain yang ingin menjadi dokter, polisi, tentara, astronot, arsitek,
guru, presiden dan profesi keren lainnya. Menjadi papaku? Bahkan yang hanya aku
dan kakakku yang tau bagaimana profesi itu. “Karena papa keren, dia selalu
membacakan aku cerita kalau aku terbangun tengah malam. Papa tidak pernah
menolak kalau aku merengek ingin main padahal nenek bilang papa sedang sibuk.
Papa selalu menyempatkan waktu untuk membantu kakak mengerjakan PR. Papa selalu
membuatkan telor ceplok kesukaanku. Papa selalu ada buat aku dan kakak. Papa
adalah pahlawanku, aku ingin menjadi pahlawan seperti papa,”
***
“Ulti! Hyaaa! Anjerrrr! Arrrhhhh! Mampussss!” main
game tanpa mengumpat seperti hidup tanpa hiburan. Ada yang kurang dan stresnya
tidak bisa disalurkan.
Papa berjalan menghampiriku yang sedang duduk di
beranda. Bermodalkan lotion anti nyamuk dan segelas kopi, aku menikmati udara
malam.
Aroma asap rokok tercium masuk ke hidungku, artinya
Papa sudah mulai menyalakan rokoknya dan menghisapnya dalam hingga pipinya
cekung.
“Ah kunyuk!” aku mengumpat di depan papa dan beliau
tidak memarahiku karena kata-kata kasar yang sebenarnya tidak sengaja keluar.
“Papa ngga pacaran malam minggu?”
Papa tertawa kecil di balik cangkir kopi yang
sedang ia tenggak. “Harusnya Papa yang kasih pertanyaan itu buat kamu,” aku
terkekeh. Benar juga.
“Papa ngga cari mama baru? Aku udah segede ini loh,
Papa ngga kesepian?” tanyaku hati-hati. Aku sebenarnya tidak mengerti dunia
orang dewasa dan jenis hubungan yang dibangun. Aku hanya penasaran apakah Papa
tidak butuh pendamping, support system ketika pekerjaan menekan terus, dan ehem
seseorang untuk dipeluk. Walaupun aku tidak merasakan secara langsung tapi aku
tahu menjadi single-parent itu sangat berat.
“Kalau ditanya kesepian, sih kesepian. Tapi fokus papa
sekarang Cuma kamu dan kakak. Kamu ngga usah pikirin papa gimana. Kamu belajar
aja yang benar, kaya kakakmu yang sekarang kuliah di universitas terbaik di
Indonesia. Itu sudah sangat cukup buat papa,”
Aku kembali ke layar gawai, waktunya bermain lagi.
Tapi kali ini aku tidak terlalu banyak mengumpat. Hanya mengepalkan tangan
karena kesal.
“Sepi amat, ngga apa-apa kok kalau kamu mau ngomong
kasar,”
“Goblok! Tolol anjeng, bisa main ngga? Babi noob,”
papa hanya tertawa mendengar nenek marah-marah dari dalam karena aku berteriak
terlalu kencang. Malu didengar tetangga katanya.
Tin...
Pak RW memberi klakson ketika lewat di depan rumah
kami. Aku dan papa bersahut menanggapi. Rasanya kondisi hanya berduaan dengan
papa adalah hal langka yang tidak boleh aku sia-siakan. Aku tidak ingin
kehilangan kesempatan untuk menanyakan pertanyaan besar yang sampai 17 tahun
aku hidup belum sedikitpun aku mendapatkan cluenya.
“Pa,” aku berdeham canggung. Papa menoleh ke
arahku, saat mataku bertemu dengan mata papa seketika jantungku berdegup
kencang. Papa marah ngga ya kalau aku tanya ini? Papa sedih ngga ya? Papa mau
jawab ngga ya? Aku ragu tapi aku sudah punya KTP artinya aku sudah cukup
dianggap dewasa untuk mengeluarkan suara, pendapat, pertanyaan dan pilihan.
“Kenapa?”
“Aku mau nanya tentang mama, boleh ngga?”
“Boleh, tanya aja,” jawaban papa membakar kembang
api di dadaku. Rasanya aku senang karena papa tidak marah ataupun sedih karena
aku tidak melihat 2 ekspresi itu.
“Mama kenapa pergi? Kapan?”
“Satu bulan saat kamu lahir, mama memutuskan pergi
ke rumah orang tuanya di kampung. Papa sudah mencoba menahan mama agar tidak
pergi. Papa sudah coba segala cara, tapi keputusan mama sudah bulat,” Papa
menundukkan wajahnya seakan memori itu menimbulkan rasa sakit yang teramat
sangat.
“Kenapa, Pa? Kenapa Mama tega ninggalin kita?”
pertanyaan itu belum terjawab.
“Papa selingkuh,” kembang api yang tadinya menjadi
hiburan bagi penontonnya seketika menjadi malapetaka. Meledak berbarengan
membuat semua yang menonton menjerit ketakutan. “Papa sering main perempuan.
Papa buang-buang uang untuk perempun lain. Itu yang membuat mama pergi
meninggalkan kita,”
Kenyataan yang ngga aku sama sekali. Aku pikir mama
udah ngga sayang sama aku. Aku pikir mama ngga peduli dan hanya memikirkan
dirinya sendiri. Aku pikir mama adalah pemeran antagonis yang patut dibenci,
tapi ternyata aku salah. Aku kesal, bagaimana bisa papa berbicara jujur seperti
itu?
“Kamu pasti benci sama papa sekarang. Papa punya
nomor mama, tapi papa ngga tahu sekarang mama tinggal dimana. Papa harap
nomornya masih aktif,”
Aku tidak menanggapi apa yang dikatakannya. Aku marah,
aku benci laki-laki yang aku kagumi sejak aku kecil. Selama 17 tahun aku hidup
tanpa kasih sayang seorang ibu karena kelakuan laki-laki yang aku anggap
pahlawan.
Aku berjalan tergesa, masuk ke dalam kamar membanting
pintu dan melempar tubuhku ke kasur yang sebentar lagi terkulai lemas.
“Aaaarrrrghhhh!” aku berteriak, memukul-mukul
kasurku yang tak bersalah. “Orang tua bangsat!”
Dadaku sesak sekali. Kenyataan ini lebih pahit
daripada ketika aku tahu pacarku memutuskan aku karena ada laki-laki lain. Aku tak
habis pikir, aku menangis sesegukan.
Gawaiku bergetar, ada panggilan masuk tapi aku
tidak peduli aku sedang ingin sendiri. Benda itu terus bergetar membuat suara
bising yang mengganggu. Aku kesal, hampir saja aku lempar gawai pemberian si
pahlawan jika saja nama di layarnya bukan dari orang yang ingin aku hubungi
setelah aku merasa cukup tenang.
Hallo. Ada apa?
Papa bilang lo udah tahu
Lo udah tahu?
Udah, waktu gue lulus SMA
Kenapa lo ngga kasih tahu gue?
Papa bilang, ngga mau ngeganggu sekolah. Itu kenapa
gue juga dikasih tahu setelah ujian selesai.
Gue benci banget sama dia.
Lo ngga boleh ngomong gitu. Inget, dia pahlawan lo
dari sejak kecil sampai sekarang.
Itu sebelum gue tahu.
Dia tetap pahlawan lo, pahlawan gue juga. Gue juga
marah sama dia, tapi lo tahu kenapa dia masih ngurus kita sampe sekarang? Masih
banting tulang demi ngebiayain sekolah kita? Dia lakuin itu semua buat nebus
kesalahannya. Dan dia ngga mau kehilangan orang dia sayang karena kebodohan dia.
Dia mau pertahanin keluarga ini, walau ngga utuh.
Dia ngga bodoh, tapi tolol.
Gue tahu lo masih marah sama papa. Wajar.
.....
Jangan benci papa. Dia sayang sama kita.
.....
Yaudah, gue tahu lo butuh waktu. Kabarin kalau ada
apa-apa, gue bukan orang lain. Daaah.
Komentar
Posting Komentar