Pernah Sempat Hilang Arah
Aku berdiri memandang keluar jendela kamarku di
lantai 10. Langit di luar mendung dan si matahari mencoba mengintip sehingga
membuat sinar krepuskular. Aku berdiri mematung melayangkan pandangan ke pusat
kota yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Aku sengaja mengambil cuti dan
pergi keluar kota hanya untuk sekedar menghilangkan penat yang menekan. Semua orang
butuh liburankan? Ponselku bergetar di atas kasur yang masih berantakan. Aku sengaja tak mengangkat panggilan yang entah dari siapa. Yang sedang
liburan tidak boleh diganggu.
Aku memutuskan untuk mandi, menyiram kepalaku dengan
tetesan air yang jatuh dari shower terasa menggiurkan. Hari ini aku tidak
berniat untuk pergi kemana-mana, aku hanya ingin tiduran sepanjang hari di
kamar, menonton siaran televisi yang bahkan tidak menarik perhatianku
sedikitpun. Aku sedang malas pergi keluar. Toh, aku pergi ke kota ini hanya
untuk kabur dari rutinitas bukan untuk wisata kuliner apalagi hunting foto
untuk pamer di sosial media.
Ponselku terus bergetar tidak bosan-bosannya. Akupun
menyerah dan mengangkat panggilan dari Dara, teman sekantor.
“Halo, kenapa Ra?” kataku malas. Aku menselonjorkan
kaki ke tembok di atas head board.
“Pakek nanya kenapa? Lo dimana?” dia mulai
menyerocos pura-pura tidak tahu kalau aku sedang mengambil jatah cuti tahunan. “Lo
seriusan di luar kota? Gue depan kosan lo nih? Nggak usah pura-pura nggak ada
di dalem,”
Anjir, dia ngga percaya aku sedang berada di luar
kota. Aku mengubah panggilan suara menjadi panggilan video.
“Nih, gue lagi rebahan di hotel. Percaya?” Dara
hanya berdeham dongkol.
“Yaudah gue pergi sendiri ya,”
“Gue transfer ya. Lu punya amplop 2 kan? Buat gue
satu, nitip. Salam dari gue buat kedua mempelai, sorry ngga bisa dateng gitu soalnya
lagi ada acara keluarga,” kataku beralasan.
Panggilan telepon terputus setelah iya setuju untuk
membawa titipan dariku. Amplop bukti kita turut partisipasi dalam suatu acara
hajatan. Aku melempar ponselku ke samping, menarik napas panjang, memandang langit-langit
kamar hotel yang dipasang lampu gantung bertema industrial.
Entah aku harus merasa bersalah atau tidak karena
tidak menghadiri pernikahan teman sekantor. Entah harus berbahagia atau merasa
sedih karena si mempelai pria adalah cinta pertamaku yang bertepuk sebelah
tangan. Memang sih yang namanya cinta pertama itu bukan pertama yang membuat
jatuh hati, tapi yang pertama kali membuat kita patah hati. Yang aku tahu hanya
bahwa aku ini pengecut amatir yang benar-benar tidak tahu malu. Apa yang akan
aku katakan padanya di kantor nanti? Masa iya aku harus resign? Tapi memang
sepertinya aku harus resign suatu hari nanti. Si pengecut ini mana tahan
melihat si cinta pertama sudah menjadi milik perempuan lain.
Aku menghela napas lagi, meletakan tangan kiriku di
atas dahi dan mencoba terpejam agar bisa overthinking lebih puas. Sebenarnya aku
sudah ada niatan untuk move on, tapi setiap semangat untuk move on itu membara
dia selalu datang memberikan perhatian dan sentuhan mematikan. Sial!
Aku sudah mewanti-wanti diri sendiri bahwa jangan
jatuh terlalu dalam ke pelukannya yang nyaman itu. Pun, beberapa rekan yang
tahu aku tergila-gila padanya memberikan peringatan keras agar aku menjauh
darinya daripada aku patah hati. Dasar aku yang sangat goblok semua peringatan
itu tak aku indahkan, persetan dengan semua apa kata orang aku jatuh cinta
padanya. Biarlah hatiku patah berkali-kali, selama aku masih kuat aku akan
tetap cinta.
Mari kita bicara masa lalu, masa dimana aku merasa
berjaya melihat dia yang benar-benar rapuh karena putus cinta. Aku datang bak
ibu peri yang menawarkan rumah, memberinya pelukan, kehangatan, kenyamanan agar
dia merasa betah berlama-lama denganku. Aku pun merasa telah berhasil, aku
menjadi pendengar setianya ketika ia berkeluh kesah mengenai perasaannya yang
hancur, aku menggenggam tangannya mengusapnya lembut agar ia merasa lebih
rileks sambil sesekali menyesap aroma secangkir kopi yang kita pesan di kedai kopi tidak jauh
dari kantor.
Hingga suatu hari aku yang jatuh cinta padanya
setiap hari bagai dicabut nyawanya secara tiba-tiba melihat ia bersama
perempuan lain. Seketika lututku lemas, seluruh tubuhku rasanya tak memiliki
tenaga bahkan untuk duduk. Kepalaku pening, suhu tubuhku naik. Aku rasa aku
sakit.
Harusnya sebagai teman aku merasa bahagia melihat ia
sudah cerah lagi. Tapi aku yang egois ini lebih senang melihat ia menderita,
yang lemah, dengan itu ia akan membutuhkanku.
Setiap pagi aku harus melawan kenyataan bahwa aku
bukan lagi orang yang akan dia cari. Setiap malam aku menangis. Ingin aku
merubah perasaan cinta ini menjadi benci tapi setiap aku mengingat betapa
brengseknya dia, saat itu juga aku memaafkannya. Sebenarnya ini cinta atau
suatu kegoblokan?
Aku lelah menangis setiap malam dan lelah harus
berangkat ke kantor melihat dia bermain dengan ponselnya dan terbersit di
pikiranku “pasti dia sedang mengabari perempuan itu” dan saat itu rasanya hatiku
turun ke perut dan hancur tergerus asam lambung. Ini harus diakhiri!
“Cieeeee, udah move on nih dari mantan. Gimana
progresnya? Udah jadian?” aku berusaha terlihat asik.
“Belum, masih bingung soalnya,” dan ia menceritakan
kegundahannya dengan perempuan yang sedang dekat dengannya.
Aku tahu ini adalah keahlian si brengsek untuk
menahanku agar tidak pergi menjauh walaupun tanpa harus melepaskan si pemeran
tambahan itu. Entah IQ yang kumiliki sekarang tersisa berapa karena aku lebih
baik menjadi yang kedua ketimbang harus merelakan dia dan move on.
Setiap hari ia mencuri pandang aku tenggelam dalam
tatapannya yang memikat. Dia tahu aku sangat sangat sangat sangat menyukainya. Bahkan
kami terperangkap dalam status Friends With Benefit. Aku tahu ini gila, tapi
itu salah satu cara agar aku tetap bisa dekat sedekat nadi.
“I love you,” katanya.
Kata-kata itu terasa sangat manis namun entah
mengapa aku masih merasa tidak nyaman selama masih ada dia. Baiklah, hubungan kami sedikit
lebih mengalami kemajuan dan aku cukup puas dengan ini.
Pernah suatu malam, aku mendapati pesan yang
mendukung fakta bahwa perempuan itu sudah dikenalkan pada mamahnya yang
tersayang. Janji yang dulu terpaksa ia ucapkan namun memang tidak terealiasi
karena mana berani dia mengambil resiko besar, yaitu jika suatu saat aku ingin
segera dinikahi.
Bentar lagi
nih pasti. Pikirku, tapi untuk kali ini badai di hatiku sudah mulai bisa
aku hadapi walaupun kadang kondisi kesehatanku masing sering drop ketika
mengingat dia dengan perempuan itu. Sial!
“Ra, gue kayaknya mau resign aja deh. Nggak kuat,”
kataku saat di toilet. Kesempatan langka untuk curhat berdua saja.
“Udah dapet kerjaan?” aku menggeleng. “Bertahan! Lo pasti
bisa! Dia itu cuma pelampiasan doang, sebenernya si itu masih sayang sama
mantannya. Mendingan jadi elu,”
Ada benarnya juga sih, walaupun dia selangkah lebih
maju daripada aku tapi percuma hanya sebagai bayangan. Kadang kalau dipikir-pikir,
posisiku ini sangat tepat akunya saja yang egois selalu ingin menjadi pemenang.
Dan ada satu rahasia yang Dara tidak tahu, aku juga sudah tidur dengannya,
bahkan lebih dari sekali.
Kalau aku boleh menjadi orang yang jahat, aku ingin
sekali menghubungi perempuan itu dan membeberkan bahwa “bukan Cuma lo doang
yang jalan sama dia. Gue bahkan tidur sama dia!” lalu tertawa jahat di atas
tangisan perempuan itu.
Tapi sayangnya, akal sehat masih tersisa di IQ yang
juga tinggal remahan. Katanya, terlalu sadis. Lagipula apa yang aku dapat
ketika aku sudah mengatakan itu semua? Mungkin hubungan mereka akan selesai,
tapi apakah si brengsek itu akan memilih aku untuk jadi perempuan selanjutnya yang
dikenalkan kepada mamahnya yang tersayang? Kalau memang ada hati untukku dari dulu
pasti tidak ada perempuan lain. Bukankah sebelum ada perempuan itu, ia sempat
jatuh hati padaku? Sebenarnya perempuan itulah yang “orang lain” bukan aku. Dan
mungkin sudah saatnya aku menyerah saja, bukan kalah tapi memang tidak semua
harus dipaksakan sesuai keinginan.
Dari sudut mataku yang terpejam bulir air mata
menyeruak keluar. Sial, ngapain mewek? Kesel banget! Aku buru-buru mengusap air
mata dengan kasar.
“Bangun ah! Mari kita wisata kuliner. Gendut gendut
deh gue balik dari sini,” aku menyambar scraf yang aku sampirkan di kursi dan
melilitkannya di leher. Mengoleskan sun block ke seluruh tangan dan kakiku juga
wajah. Jangan lupa kacamata dan topi.
Aku tahu dengan pura-pura baik-baik saja lalu menjadikan aku seperti tidak pernah menyimpan sejarah patah hati. Mungkin, kesehatanku akan drop beberapa kali. Aku akan
memaklumi, biarkan tubuhku merasakan sakit dahulu yang akan berujung kebal. Bukahkah
memang harus begitu?
Aku tidak pernah tahu seberapa kuat aku bisa melihat dia
akan selalu pulang lebih dulu, melihat ia dengan senyumannya yang manis dan
bukan aku alasannya. Aku tidak pernah tahu berapa lama kekebalan itu akan
terbentuk dan membungkusku, tapi bukankah memang harus menyerah dari ego untuk
tetap hidup daripada terus mempertahankan ego tapi akhirnya harus mati?
Komentar
Posting Komentar