(Tenang) Masih Ada Kereta yang Akan Lewat


Dulu aku pernah bermimpi akan lulus bersama, saling support ketika masih belum mendapat pekerjaan, menata impian bersama, membangun rumah tangga, menjalani hidup susah senang bersama. Ah, mimpi indah seorang mahasiswi yang saat itu punya kekasih, namun sayang kekasih yang dulu juga memiliki mimpi yang sama pamit untuk mundur.
“Yaah, putus duluan. Nggak bawa pendamping wisuda dong?” ejek teman-temanku ketika aku dinyatakan lulus sidang.
Aku tersenyum melihat foto-foto di album ponselku. Foto berbulan-bulan lalu yang memiliki cerita di setiap lembarnya. Swipe-swipe-swipe, sampai foto terakhir.
“Lily ya?” merasa ada yang memanggil namaku. Aku mendongak dan seorang pria berdiri di depanku.
“Iya,” aku tahu wajah itu! Tapi aku lupa namanya. “Sorry, bentar aku lupa siapa. Tapi aku tau kamu anak IPA kan?” aku berdiri sambil menunjuk.
“Angga,” ia memberi tahu.
“Iya bener Angga.” Kataku semangat. “Iya Angga,” aku berkata pada diri sendiri.
“Lo baru naik atau mau turun?” Aku bingung dengan pertanyaannya, oh iya kenapa aku belum turun? “Tunggu di luar ya, gue ambil barang dulu. Tunggu! Bentar.”
Aku menunggu di peron, siang ini tidak terlalu banyak orang di stasiun. Angga lupa ngga ya kalau aku masih nunggu? Lama banget. Aku mau menghubungi tapi aku tak punya nomornya, sabar. Aku memutuskan untuk pulang, siapa tahu Angga lupa sedangkan aku  malah menunggu yang tak pasti. Aku berjalan menuju tangga, belum jauh ada suara yang memanggil.
“Lama banget, kirain lupa,” kami berjalan bersama. Ia masih dengan seragamnya tapi kini ia mengenakan jaket dan tasnya tersampir di bahu kanan dan kiri.
“Tadi ada yang minta foto. Ini aja nggak sempet ganti baju, takut lo keburu cabut,” aku sempat bingung apa yang Angga katakan, dia berbohong atau sombong? Jadi katanya, kalau ada masinis atau petugas pelayanan kereta (PPK) berkeliaran dengan seragam kalau sial ada beberapa orang yang minta foto ngakunya sih komunitas kereta. “Gue baru sempet ambil tas sama jaket doang. Yang bikin lama ya kecegat sama mereka padahal gue udah pake jaket,”
Aku mengapresiasi usahanya agar tak membuat aku menunggu dengan cara memaafkannya. Ia bertanya apakah aku harus pulang buru-buru? Aku menjawab tidak lalu ia tertawa. Aku bingung apanya yang lucu?
“Biasanya dulu kalau sekolah lo selalu pulang cepet,” aku bertanya bagaimana ia bisa tahu. “Tahu lah, keliatan dari kelas gue. Tuh Lily lagi nunggu angkot,”
“Memangnya kamu suka merhatiin?” ia mengangguk.
“Makan siang dulu yuk, laper. Gue nggak sarapan,” tadinya aku makan di rumah kalau Angga tidak menarik tanganku untuk menepi di suatu tempat makan pinggir jalan di luar stasiun.
Gerobak ketoprak yang menjadi tujuan utama mataku ternyata tertangkap pula oleh Angga. Sebenarnya aku juga sangat lapar dan wangi dari bawang putih menyeruak berebut masuk ke indra penciuman kami.
“Nggak keberatan kan makan di pinggir jalan?” tanyanya ketika kami sudah mendapat tempat duduk.
“Nggak. Dimana aja aku sih nggak ribet, selama menunya bukan ikan” aku menjelaskan. “Cerita dong, masih penasaran sama yang tau aku suka pulang cepet,”
Dua piring ketoprak tersaji di depan mata kami. Sambil mengaduk hidangannya, ia mulai bercerita. “Dulu gue suka sama lo. Dulu ya, dulu. Tapi gue nggak berani bilang. Tahulah gue gimana waktu SMA, nakal. Sedangkan lo, terlihat sebagai anak baik mana mau sama gue?”
“Enak aja Cuma terlihat, emang anak baik kok!” aku membela diri.
“Okay anak baik. Jadi gue Cuma bisa perhatiin lo dari jauh. Untungnya lo juga jomblo jadi gue nggak perlu cemburu,” ia tertawa. “Inget nggak waktu perpisahan pertama kalinya gue ngobrol sama lo?”
“Aduh kamu bukan siapa-siapa, jadinya aku lupa” aku  mengejek.
“Parah sih. Tapi emang bener mau gimana?” aku Cuma tersenyum tak punya jawaban.
“Kok kamu bisa sih suka sama aku si anak baik? Cowok-cowok kan suka cewek yang cantik, famous, yang banyak temennya, yang ya tahu sendiri,” aku penasaran, aku terheran-heran, kok bisa?
“Karena lo pendiem nggak banyak tingkah, karena lo segitu sih pinter. Gue pengen punya ibu yang pinter buat anak-anak gue,”
Omaygat!”
“Iya gue tahu itu menjijikan, tapi namanya pikiran anak SMA kan ya?” kami menggeleng mentertawakan mimpi masa SMA. “Kalau sekarang lo udah punya cowok?” aku menggeleng. “Jomblo terus nggak bosen apa?”
Sekarang aku yang diejek. “Bakal agak susah dapet cowok kayanya,” aku pesimis. “Dan jangan tanya kenapa!”
Sejak pertemuan itu, kami rutin membuat janji temu. Hanya sekedar minum jus atau minuman boba pearl yang berada dekat rumahku atau memang menyempatkan untuk makan siang, jika aku ada di rumah. Alah, memangnya aku pergi kemana? Setahun setelah lulus aku belum dapat pekerjaan.
“Sini main, di rumah lagi banyak makanan.” Ajakku. Tetangga sebelah besok akan mengadakan hajatan pernikahan. Bude kebagian jatah makanan sangat banyak. Aku pikir Angga tidak punya keberanian untuk mampir ke rumah, tapi ternyata dia sampai juga.
“Bude ini kenalin,  Angga, temen SMA Lily,”
Bude Mayang menjabat tangan Angga. “Gantian, dulu waktu SMA di Purwakarta Angga yang tinggal sama neneknya, sekarang aku yang tinggal sama bude.” Aku menjelaskan. Bude memperhatikan Angga sambil tersenyum, aku memperhatikan Angga yang salah tingkah karena diperhatikan oleh bude.
“Sini makan, makan. Lagi melimpah nih,”
“Aduh nggak enak, ke sini Cuma buat bantu ngabisin makanan aja, Bude,” basa-basi-busuk Angga.
“Udah nggak apa-apa. Ayo makan,”
Sejak hari itu, Angga sudah tidak segan lagi untuk main ke rumah dan anggota keluarga di rumah pun sudah tahu mengenai Angga. Seketika kami menjadi dua anak manusia yang tak terpisahkan.
Gue dapet kerja.
Ketika sedang menggunting kain, satu pesan masuk dari Angga. Enak banget sih dia, masih punya pekerjaan tapi dapet pekerjaan yang lain. Sedangkan aku, masih saja membantu bude menerima pesanan jahitan.
Sebenarnya aku iri, tapi setiap aku mengeluh Angga selalu bilang “Emangnya salah ya kalau lo kerja sebagai penjahit? Emang disebut kerja itu ketika lo keluar dari rumah pagi-pagi dan pulang ke rumah sore-sore bahkan malem?” dan aku langsung terdiam ketika ia sudah mulai menceramahiku. Aku tahu dia sedang tidak marah, memang sebagai teman harus mengingatkan. “Nanti juga  dapet, sabar. Okay? Yuk kita beli jus melon,”
Angga selalu baik, walaupun kadang galak kalau aku mulai susah diberi tahu. Tapi dia baik, selalu. Kalau dia ada waktu, kadang ia mengantarku untuk memenuhi panggilan kerja atau sekedar memberi semangat. Kalau aku sibuk menenangkan diri dari perasaan nervous dan tak membalas pesannya, ia langsung menelpon berteriak di ujung telepon “SEMANGAT!” suaranya terdengar sangat kencang sehingga aku harus menjauhkan ponsel dari telingaku. Ini bukan baper, ini hanya opini.
Dan benar seperti yang dikatakan Angga. Tak lama aku mendapat pekerjaan, gedungnya dekat dengan gedung tempat Angga bekerja. Suatu kebetulan, “Bisa ke stasiun bareng dong, tiap pulang,”
Saling menunggu setiap sore, berbagi tempat duduk di kursi belakang bajaj. Apakah ini yang dinamakan berbagi suka dan duka? Sayang, kami tidak memiliki rencana. Sore ini stasiun terdekat dari kantor sangat penuh sesak oleh lautan manusia. Walaupun memang setiap hari di rush hour sangat padat, tapi hari ini sangat berbeda.
Pemberitahuan kereta commuter untuk Angga akan segera datang, sedangkan keretaku masih agak jauh. Kami berdesak-desakan, panas. “Kereta kamu tuh, sana,”
“Nunggu lo dapet kereta aja dulu,” katanya. Kalau aku jadi dia sih, aku akan segera naik tak kuasa dengan suasana seperti ini.
Angga selalu melihat ke arahku, memastikan aku tidak jauh-jauh darinya. Aku pikir dia takut aku hilang, padahal ayolah hilang juga masih dalam satu peron walaupun memang akan sulit dicari karena terhalang banyak orang. Akhirnya keretaku sampai, aku berpamitan padanya. Berebut masuk dengan belasan orang lainnya. Aku tahu aku tidak akan mendapat tempat duduk, bukan itu yang kuharapkan. Aku berjejalan, tubuhku terhimpit dengan mereka yang berbadan lebih besar dariku. Perempuan dan laki-laki. Tua dan muda. Semua berebut masuk. Tangan seseorang menarikku, aku tak tahu milik siapa, tak punya ruang bahkan untuk menoleh. Tarikkan itu semakin kuat, sehingga tubuhku tertarik ke belakang keluar dari kerumunan.
“Nanti aja. Gila! Bahaya,” wajahnya panik, kesal, takut, semua bercampur aku tak bisa memastikan. Aku tak tahu harus bersyukur atau marah dengan upaya penyelamatan barusan. “Masih ada kereta yang akan lewat,”
Aku hanya terdiam tidak tahu harus bagaimana karena akupun shock. Akhirnya kereta yang penuh sesak itu berangkat, masih menyisakan banyak orang namun sedikit lebih lenggang. Kereta Angga muncul lagi, aku melihat ke arahnya ia menjawab ‘nunggu lo pulang duluan’ dengan matanya. Aku menatap lagi ke depan, kami saling terdiam. Kami menjadi canggung untung tak lama kereta selanjutnya muncul, Angga memegang tanganku menahanku memastikan tidak berdesakan seperti tadi. Ketika sedikit lebih lenggang aku merasakan tangannya lepas dari lenganku akupun maju menoleh padanya “duluan ya,” ia melepasku dengan ucapan hati-hati di jalan. Tak lama setelah aku naik, kereta berangkat meninggalkan Angga di stasiun bersama kerumunan manusia yang sama-sama sedang menunggu.
Satu bulan, dua bulan, tiga bulan tak ada beda. Bude bertanya perkembangan hubunganku dengan Angga. “Kita Cuma temenan Bude. Lagian dia juga udah punya pacar. Masih ada kereta yang lewat,” aku menggunakan istilah yang  pernah dipakai olehnya dulu ketika berebut kereta.
“Bude lagi ngomongin laki-laki kok kereta?” tanyanya dengan mata masih fokus melihat ke arah kain yang sedang dijahit.
“Masih banyak laki-laki lain, nggak cuma Angga, Bude. Jadi nggak usah khawatir,” aku mencoba bersikap tenang. Lagipula dari awal kami memang teman.

Lily. Lily. Lily.Lily. Selalu Lily.
“Gue terus dipanggil. Gue terus yang dikasih kerjaan,” aku mengeluh. Azis hanya tertawa dan mendorong kursinya ke sampingku.
“Lily was little girl,” katanya sambil bernyanyi. “Lu suka kerja kan? Suka kalau lu banyak kerjaan kan? Lu suka kalau lu sibuk kan?”
“Tapi kaaan...” aku masih mengeluh.
“Nanti pulang kerja, KFC deh,”
“Ngga suka KFC,” aku merengut.
“Gemes banget, jangan kaya gitu ah depan gue, ngga kuat pengen gue...” aku cubit tangannya dengan kencang dan dia kembali ke mejanya.
Azis, temanku satu divisi, sedikit gila tapi kami saling sayang. Sayang sebagai teman. No baper-baper, lagipula dia sudah punya tunangan. Kita cukup menjadi teman, sangat sangat cukup. Padahal kita sudah seperti dua sejoli menjalin cinta, cinta bersemi dari SMA. Okay, cukup bercandanya. Aku tegaskan sekali lagi, kita hanya teman tak ada yang perlu diceritakan.
Hidupku berjalan normal, berbulan-bulan sudah aku menjalani rutinitas yang hanya satu: Kerja. Tidak ada pasangan tak perlu berbagi fokus maka tidak ada galau, seharusnya tapi kenyataan berkata lain. Salah seorang teman bilang padaku, kalau kita merasakan baper dengan perlakuan ‘baik’ laki-laki artinya kita merindukan kasih sayang. Aku tergelak ketika mendengar temanku berkata seperti itu, sekritis itukah hatiku? “Eh ke Pulau Seribu, yuk! Sekali-kali liburan, capek kerja melulu” katanya membuka pembahasan lain. “Ajak si Anggi,”
Aku menghitung kalender, pemesanan penginapan, tour guide, tiket kapal semuanya telah beres diurusi. Semua teman yang akan ikut sudah dikonfirmasi, tinggal berangkat besok pagi.
“Aku masih di kantor,” aku berbicara dengan Anggi di telepon. “Lagian masih jam segini,”
“Yaudah aku ke kantor kamu aja ya, berangkat bareng. Nggak enak ah di rumah Bayu sendirian, nggak ada temen,” katanya. Anggi, teman kecilku di Purwakarta mendapat kerja di Jakarta. Ia masih baru, makanya aku ajak ke tempat nongkrong, mengenalkan pada teman-temanku juga pada Angga. Serasi sekali nama mereka.
Anggi menunggu di lobby, dengan wajah imutnya ia memanggilku. “Lily,”
Aku yang sedang mengobrol dengan beberapa pegawai sontak menoleh dan harus memperkenalkan temanku ini. Dengan sikapnya yang terbuka dan atraktif Anggi langsung akrab dengan teman-temanku. Selalu begitu.
Aku sudah bilang pada Angga bahwa aku akan pergi berlibur, ia sudah mengerti maka ia tak perlu menungguku untuk pulang bareng. Dengan Anggi, aku memesan taksi online menuju rumah Bayu, titik kumpul kami sebelum pergi.
Dua hari satu malam kami dalam acara escape from routine, berharap lepas penat namun satu mengusik. Dalam perjalanan menuju homestay, berlayar di tengah lautan dan langit yang mulai menghitam melawan arah angin, rambut menampar-nampar berkibaran sesukanya. Hanya terdengar deru kapal cepat dan air yang terbelah, kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak ada percakapan, tak ada gurauan, semua terdiam.
“Ly,” suara imut Anggi bersahutan dengan suara bising mesin kapal.
“Hah?” aku berteriak.
“Temen kamu yang kemarin ngajak ngobrol aku di kantor siapa namanya? Yang cowok,” ia masih berusaha agar pertanyaannya sampai dengan lengkap kepadaku.
“Yang mana?” aku bingung karena yang mengajaknya mengobrol bukan satu orang dan semuanya laki-laki.
“Yang ngobrolnya lama,” aku masih bingung tapi aku mencoba mengingat siapa yang Anggi maksud.
“Oh Bagas? Yang item bukan? Yang tinggi?” Anggi mengangguk antusias. Aku pikir ia suka pada Bagas, aku ceritakan saja apa yang aku tahu. Tidak banyak tapi bagi orang yang sedang jatuh cinta informasi sekecil apapun sangat berharga dan sejak saat itu aku punya peran tambahan, menjadi mak comblang untuk Anggi dan Bagas.
“Anggi deket sama Bagas,” kataku membuka percakapan.
“Bagas temen kantor? Bukannya dia gebetan lo?” Aku mengangguk dia kaget juga mendengar pembukaan dariku. “Makanya, jangan bawa temen cewek lo ketemu sama gebetan,”
Mulai aku diceramahi dengan berbagai macam karakter cowok, aku hanya iya iya saja. Lagi patah hati malah diceramahi. Okay, satu kereta terlewat olehku tapi sekarang masih sore, masih ada kereta yang akan lewat.
Dua tahun berlalu, bukan waktu yang sebentar untuk sembuh dari suatu patah hati. Tapi setidaknya aku berhasil dan mau membuka hati buat orang lain. Ciko namanya, dia klienku. Aku sempat underestimate dengan percintaan yang dimulai dengan ‘cinta karena terbiasa’. Pasti setelah kontrak kerjaku selesai dengan dia, turut sirna juga perasaan ini. Tapi hampir 4 bulan berlalu kami masih keep in touch. Masih sering bertemu, berbicara di telepon, kita hanya teman. Ya, kami tidak pacaran dan aku tidak masalah dengan itu. Tidak menutup kemungkinan kan teman bisa menjadi teman hidup?
“Tumben ngajak pulang bareng lagi? Ciko kemana? Lagi sibuk atau benar-benar menghilang?” dia menyindirku.
“Menghilang,” jawabku singkat.
“Yaudah yu beli jus,” aku menggeleng. “Boba pearl?” menggeleng lagi.
“Kopi,” aku bilang. Kami meminta supir bajaj untuk berhenti di coffee shop dekat stasiun.
“Deket sama cowok 4 bulan move on 2 tahun. Akhirnya deket lagi sama cowo eh dia malah menghilang,”
“Ngenes banget kan hidup gue?”
“Ngga Ly, belum seberapa. Lagian kalau jomblo memang artinya hidup lo mengenaskan? Mengenaskan tuh bukan gara-gara jomblo tapi ketika  lo nyerah padahal sebenernya lo bisa hadepin semuanya. Itu baru mengenaskan,” kadang apa yang dikatakan Angga banyak yang benar.
“Jadi gue harus gimana?”
MOVE ON! As always. Lo kan udah jago,” aku geplak kepalanya.
Orang bilang kalau mau move on berhasil harus ada penggantinya. Memang tidak selalu benar tapi cukup banyak membantu untuk terlihat sudah move on. Masalahnya adalah tidak ada pengganti untukku, itu yang membuat orang lain berpikir aku belum bisa move on.
Seperti memiliki sebuah pola yang sama seperti yang dikatakan Angga, dua tahun kemudian di kantorku ada asisten manajer baru, berbeda divisi, dan dekat denganku. Baper? Bisa dikatakan seperti itu. Bukankah semua hubungan selalu diawali dengan aktivitas baper?
Nggak pulang bareng ya. Gue mau jalan dulu.
Pesan singkat itu aku kirim, tak lama kemudian ia membalas mengcengcengi aku. Dia tahu kalau aku bicara seperti itu artinya aku sedang dekat dengan cowok dan dengan perasaan tahu diri setiap sore dia tidak akan mengabari kalau sudah pulang dan akan menunggu di titik pertemuan kita seperti biasanya.
Satu bulan, dua bulan pertama kami bekerja di atap yang sama namun masih terlihat biasa. Tepat di bulan ketiga Biru mulai menyapaku, menyapa ketika ia sendirian bukan saat bersama dengan stafnya.
“Lily,” sapanya ketika kami berpapasan, tidak lupa dengan senyum tersungging di bibirnya.
“Hai, Mas Biru,” Aku menjawab dengan sangat ramah lalu kami pergi ke tempat tujuan masing-masing. Sebatas itu saja.
Selama satu bulan hanya itu yang kami lakukan, tak ada progress yang berarti. Namun, ketika ia tidak menyapa atau tak ada di tempatnya aku mulai bertanya-tanya, kemana dia?
Bulan demi bulan berlalu, hubungan kami semakin dekat. Dekat sedekat dekatnya dan aku pikir kami adalah pasangan yang serasi. Kantor kami tidak melarang adanya suami-istri dalam satu perusahaan, aku semakin yakin dengannya.
Malam ini, aku terdampar di salah satu coffee shop jauh dari kantor, jauh dari rumah, jauh dari stasiun. Dengan sengaja aku memesan taksi dan membiarkan sang supir mencari sendiri coffee shop yang tidak terlalu ramai namun tempatnya nyaman. Aku ingin keluar sebentar menjelajah Jakarta.
Gue lagi di School Scandal
Hanya itu pesan yang aku kirim. Setidaknya ada orang yang tahu dimana lokasiku berada.

***

Aku melihat tubuh kecil yang kuat itu sedang menopang dagu, pandangan lurus ke depan entah apakah matanya sedang fokus memperhatikan sesuatu atau pikirannya sedang tidak ada di sana. Aku berjalan menghampirinya, menarik kursi lalu duduk di sampingnya dengan sedikit jarak, diam sampai dia menyadari keberadaanku. Aku tak mau mengganggunya, tak mau mengagetkannya.
“Dia ngga mau berkorban demi gue,” katanya tanpa merubah posisi.
Aku tak tahu kalau dia sadar bahwa aku datang untuk menjemputnya pulang namun aku paham apa yang dia maksud tetapi aku diam mendengarkan dulu.
“Dia lebih milih istrinya daripada gue,” suaranya mulai pecah. Aku tahu dia berusaha sangat keras agar air matanya tidak tumpah.
Aku masih diam. Sebenarnya aku ingin menggenggam tangannya, atau sekedar menepuk pundaknya tapi aku tahu bukan gaya seperti itu yang Lily harapkan dari teman curhatnya ini. Aku hanya menyodorkan tisu, karena hidungnya mulai berair.
“Gue kurang apa? Gue bisa terima anak-anaknya. Gue bisa sayang sama anak-anaknya walaupun mereka bukan anak gue. Gue, gue...” akhirnya ia tanpa malu menangis. Ia menunduk, terisak-isak.
Aku masih diam. Mungkin orang-orang akan berpikir laki-laki macam apa, melihat seorang perempuan menangis tapi aku tak mencoba untuk menenangkannya. Tapi mereka tidak tahu, Lily tak suka aku belai, tak suka aku peluk, tak suka aku tepuk lembut sekedar memberi sinyal bahwa ia tidak sedang menangis sendirian.
Akhirnya tangisnya mulai reda, ia masih sesegukan, matanya merah. Aku memberikannya sebotol air putih dari tas yang ku bawa. Ia membuka tutupnya dan menenggaknya sampai setengah habis.
“Udah tenang?” aku bertanya. Dia diam memandang keluar jendela.
“Gue harus gimana Angga? Gue capek selama ini deket sama cowok tapi ngga ada satupun yang berhasil. Gue capek patah hati, gue capek nyembuhin diri, gue capek.” Ia mengambil lagi air mineral yang aku berikan. “Gue udah 29  dan belum nikah. Gue capek juga denger bude ngomongin mana nih calonnya. Nyokap nanyain, belum ada yang mau dikenalin? Lo pikir gue ngga stres denger pertanyaan macam itu?”
“Lo cari pacar atau cari suami?” tanyaku.
“Suami.”
“Cari suami orang atau suami?” tanyaku lagi. Untuk pertanyaanku kali ini dia diam, tak langsung menjawab. Aku tahu dia mengerti pertanyaanku. “Lo barusan nangisin laki-laki yang mempertahankan rumah tangganya atau lo nangis gara-gara keinginan lo untuk memiliki seseorang itu ngga tercapai?”
Dia diam.
“Ini masih jam 11. Masih ada kereta terakhir jam 12. Lo belum terlambat, lo masih bisa pulang,” aku tahu dia selalu membuat analogi kereta dalam mencari pasangan. Aku mau membuatnya mengerti bahwa waktu kadang membuat kita merasa kehilangan segalanya, tapi satu hal yang dia lupa bahwa waktu adalah hal yang tak terbatas.
“Angga, kenapa lo ke sini?” tanyanya mulai hampir menangis lagi. “Kenapa lo selalu baik sama gue?”
“Karena kita temen. Gue ngga mau temen gue kenapa-napa. Gue peduli sama lo,”
“Lo ngga naksir sama gue kan? Please jangan, gue masih patah hati ngga mau ngomongin hati,” aku melempar gumpalan tisu mencoba merespon candaannya. Ia tertawa, tapi aku tahu hatinya masih menangis.
“Mau di sini atau mau pulang atau mau makan?”
“YA’ MAKAN!” ia langsung berdiri, aku tertawa mengejek dengan membawa stigma kebanyakan perempuan kalau sedang sedih akan mencari makanan. “Iyalah hati boleh ambyar tapi perut tak boleh lapar,”
Kami menuju tempat soto terenak yang buka selama 24 jam, soto legendaris dan favorit kami.  Tempat ini selalu ramai, kami bahkan harus menunggu cukup lama demi semangkuk penuh kenikmatan. Aku melihatnya berdiri menunggu dengan sabar. Tatapannya tak lagi kosong, ia sedang memperhatikan kuah yg menggoda dari jauh. Aku tersenyum melihat perempuan yang berdiri di sampingku ini. Cinta pertamaku.
“Ly,” aku memanggilnya.
“Iya,” dia menoleh padaku. Matanya masih sembab sisa menangis tadi, tapi binarnya masih sama.
“Ada yang suka sama lu. Ada yang serius sama lu. Temen lu,” kataku.
“Siapa ah? Nanti aja bahasnya, gue lagi laper,”
Aku. “Azis,” kataku berusaha tenang.
Tidak ada orang yang tidak pernah patah hati, hanya ada orang yang memperlihatkan dengan jelas atau menyembunyikannya dengan rapi. Ada yang bertahan dengan kesedihan atau ada yang mencoba melepaskan diri. Ada yang patah hati karena ego, ada yang patah hati demi cinta.  Semua orang punya sejarah patah hatinya masing-masing dan menurutku patah hati bukan suatu hal yang buruk selama masih ada logika. Untuk itu aku memilih menyembunyikan dengan rapi patah hati ini demi cinta pertamaku dan itu bukan suatu alasan yang menjadikan aku harus bertahan dalam kesedihan.
Hati boleh ambyar tapi perut tak boleh lapar. Aku sangat suka quote ini. Quote dari perempuan yang selalu membuat aku kuat, kuat bertahan dari ‘keharusan memiliki’ dalam suatu zona percintaan.

Selamat Makan.
Selamat Patah Hati.

Komentar

Postingan Populer