Game of Pretend, Wanna Play?
Jarum detik terus berdetak sesuai polanya yang sudah
teratur. Memanggil jarum menit untuk bergantian maju setelah ia berjalan 59
langkah. Begitu terus menerus, waktu tak pernah berhenti yang berhenti kali ini
adalah otakku. Berhenti berpikir, berhenti menemukan ide. Mengganti, mencari,
mencoba menemukan berbagai sudut pandang yang berulang kali berhadapan dengan
jalan buntu.
Secangkir kopi tak berarti, dua cangkir meluncur
begitu saja melalui kerongkongan, cangkir ketiga masih tersisa, bagaimanapun
aku tak mau menyakiti lambung tersayang dan berakibat pada hidupku yang akan
kesakitan di masa datang. Otakku terus bekerja, mencari-mencari-mencari, namun
entah apa yang aku cari. Ide seperti apa? Cerita macam apa yang ingin aku lahirkan?
Kisah seperti apa yang ingin aku tunjukkan? Sindiran untuk siapa? Aku tak tahu.
Aku hanya ingin menulis, aku hanya ingin terlihat tidak sedang bodoh kali ini.
Mata menatap layar monitor, sayu. Berkedip lambat.
“Kamu nggak tidur semalem?” suara dari arah kamar
mengisi ruang yang sepi.
Aku menoleh pada si pemilik suara. Rambut yang
disisir rapi, tercium aroma sambun mandi familiar karena aku gunakan setiap
hari. “Sudah mau pergi?” tanyaku menatap tubuh atletisnya.
“Iya, aku pergi dulu ya. Tidur sana, muka udah kuyu
gitu,” ia mengecup keningku yang tertutup rambut acak-acakan. Aku hanya
menggumam sebagai kalimat perpisahan.
“Sudah berapa lama?” tanya dokter.
“Satu tahun,” aku menjawab.
“Kamu yakin mau mengajukan tes?” dokter akhirnya
menyerah. “Sebanarnya kami tidak menganjurkan untuk tes tanpa keluhan dan
riwayat penyakit tertentu apalagi hanya dengan alasan kamu vakum selama satu
tahun. Tapi apabila kamu bersikukuh, kami akan membuat surat pernyataan.”
Setelah berkonsultasi dan akupun sudah menyanggupi
segala sesuatunya, maka jadwalpun disepakati juga berikut peraturannya.
Setelah aku keluar dari ruang konsultasi, akhirnya
aku menjawab panggilan ke-3 mama. Tumben sekali menelepon sampai berkali-kali,
apakah ada hal penting?
Halo, Ma. Maaf
tadi nggak keangkat. Ada apa?
Kamu kapan mau
pulang?
Ada apa emang?
Papa sakit? Atau mama yang sakit?
Enggak ada
yang sakit, semua baik. Kita kangen aja, pengen kumpul di rumah.
Kan lebaran
kemarin kita kumpul di Jakarta.
Iya memang,
tapi kan kamu sibuk. Kami tetep ditinggal.
Percakapan yang cukup lama akhirnya berujung pada “okay
aku akan pesan tiket kereta malam ini.” Lagipula tidak ada salahnya untuk
pulang, siapa tahu aku mendapat inspirasi setelah Jakarta sudah angkat tangan
dan kehabisan ide. Sore itu juga aku berangkat dengan kereta tujuan akhir
Surabaya.
“6C, mana nih 6C,” kataku bergumam sambil terus
berjalan, mencari. Aku menyimpan ranselku yang ringan di atas kabin,
menjatuhkan pantatku yang tak berisi di kursi 6D. Belum ada yang punya ni kursi, santai lah ya pindahnya. Kataku
dalam hati, lagipula hanya tinggal bergeser, tak perlu banyak tenaga.
Aku melempar pandangan ke luar jendela, orang lalu
lalang di depanku porter mengangkat barang bawaan berkilo-kilo beratnya di atas
kepala mereka. Grasak grusuk orang berjalan di lorong kereta, bising mencari
tempat, ucapan terima kasih, juga candaan dengan teman-temannya. Perjalanan
mereka akan panjang, belasan jam, maka awal perjalanan harus diisi dengan gelak
tawa sebelum malam datang memaksa untuk diam, atau sebelum energi habis tak
sabar dengan tujuan yang tak kunjung tergapai.
Fokus dengan situasi di sekitar, tak sadar seorang
meminta hak tempat duduknya.
“Eh Mas, duduk di sini ya?” aku bangun mempersilakan
si empunya untuk duduk.
“Nggak apa-apa. Mbak di situ aja, saya di sini,” aku
terdiam salah tingkah. “Kalau Mbak suka deket jendela, saya masih bisa tanpa
harus deket jendela,” dia segera duduk dengan begitu dia sudah meresmikan 6C
sebagai tempat duduknya begitupun 6D sebagai tempat dudukku.
Tiga menit lagi kereta ini berangkat, aku memilih
melihat ke luar jendela. Bukan karena teman sebangkuku ini tidak menarik, aku
malu untuk memulai pembicaraan apalagi setelah insiden berebut tempat duduk
yang seharusnya tidak perlu. Ia pun sedang mencari posisi duduk yang enak,
menyimpan barang-barang yang tidak perlu, dan mendekatkan barang-barang yang
perlu.
“Ehem,” ia berdeham. Dia sedang memanggil atau
berusaha membersihkan tenggorokannya? “Mbak Claudia ya?” okay ini sudah pasti
ia sedang berbicara padaku.
“Hai,” aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum.
“Saya Dito, inget nggak saya yang dulu gantiin Mas
Ega jadi ilustrator cover novel Rama?” dia mencoba membuat aku mengingat siapa
yang berbicara denganku sekarang.
“Errr?” aku mencoba mengingat. “Aduh, udah lama
banget, hampir setahun loh novel Rama,”
“Wajar kalau Mbak lupa,” dia terkekeh.
“Ngomong-ngomong saya belum denger Mbak keluarin novel lagi,” That’s!
“Iya nih, kayaknya saya masih mau hiatus dulu. Butuh
waktu buat diri sendiri masa kerjaan melulu,” aku yang kali ini terkekeh.
“Ngomong-ngomong, mau kemana nih, Mas?”
“Ke Pekalongan, Mbak” belum selesai ia berbicara aku
mendominasi.
“Ke pacarnya ya?” tanyaku mencairkan suasana.
“Ah, iya” dia salah tingkah. “Mau sekali-kali
nengokin dia,” hening. “Mbak mau kemana?”
“Ke Semarang,” aku menjawab singkat. Kali ini dia
yang langsung merespon jawaban.
“Akhirnya pulang,” katanya.
“Kok tahu rumah saya di Semarang?”
“Kan dulu kita pernah ngobrol sedikit lebih lama di
luar kerjaan. Di coffe shop depan Geget,”
“Ohhhhhhhh, iya,” aku mulai ingat. “Iya saya inget,”
setelah ingat kami sedikit lebih akrab, lebih luas bahasan, lebih banyak bahan
topik pembicaraan.
Hampir 5 jam berlalu, tidak terasa kami harus
berpisah. Pelit sekali hanya memberi kesempatan bersama hanya selama 5 jam dan
itupun tidak tepat 5 jam!
Ia pamit padaku, lalu tinggal punggungnya yang
menghadap wajahku. Ia berbelok dan hilanglah dari pandangan. Aku berdeham,
menarik napas panjang, setidaknya hanya satu jam waktu yang tersisa sebelum
bertemu lagi dengan orang yang kukenal.
Aku mengalihkan pandangan, ke jendela, lagi. Dunia
luar selalu terlihat menarik, memiliki banyak warna, corak, pola, cerita, tapi
aku selalu menjadi pengecut lalu hanya bersembunyi di balik jendela. Itulah
mengapa aku sangat senang duduk di dekat jendela.
Dito muncul lalu berdiri diam memainkan gawainya
lalu mengantarkan benda itu dekat dengan telinganya. Dia sedang mengangkat
panggilan. Cukup lama aku memperhatikannya dari balik kaca jendela, sampai
akhirnya ia menoleh ke belakang dan mendapatiku yang sedang memperhatikannya.
Ia tersenyum, dengan gawai yang masih menempel di telinganya. Tangannya
memberikan lambaian perpisahan, aku pun membalas lambaiannya dari dalam kereta.
Mengapa ia tidak beranjak pergi? Mengapa ia masih berdiri diam di sana
menghambat orang yang lalu lalang dan malah menungguku hilang dari pandangan?
Secara teknis, aku yang meninggalkannya. Kereta
mulai berjalan lagi, berikut aku di dalamnya seperti hukum fisika. Malam telah
turun, memberikan pemandangan hitam pekat kecuali beberapa titik lampu di
kejauhan membuatku bosan. Aku menatap ke arah gawai, panggilan tak terjawab
dari Mama. Aku mengirim pesan memberi kabar dimana posisiku sekarang.
Di pintu keluar aku disambut pelukan mama dan papa, come on wanita 27 tahun masih mendapat
pelukan seperti ini? Membuatku sedikit kikuk, untung saja ini malam hari. Dan
berdiri di sana sesosok laki-laki yang tersenyum melihat pemandangan reuni anak
dan kedua orang tuanya.
“Ini kenalin Mas Helmi, anaknya Bude Susan” mama
melepas pelukan dan memperkenalkan laki-laki yang berdiri di belakang mereka. Aku
menjabat tangan laki-laki itu dan berakhir sudah basa-basi singkat kami.
Sepanjang perjalanan yang hanya membutuhkan waktu 15
menit untuk sampai ke rumah di isi dengan presentasi siapa Helmi, dimana ia
bekerja, lulusan mana, sekarang tinggal dimana, bla bla bla. Dengan pembicaraan
seperti itu, aku mulai curiga. Bukan aku yang skeptis, hanya saja hal yang
tidak menjadi kebiasaan di keluargaku ini sudah patut dipertanyakan.
Sesampainya di rumah, papa dan mama mengantarku
sampai ke depan kamar. “Kamu istirahat ya, sampai ketemu besok,” papa dan mama
mencium pipi dan keningku bergantian. Untung saja aku perlu ke kamar mandi,
jika sudah siap tidur mungkin saja mereka akan menarikkan selimut sampai ke
dagu atau bahkan membacakan dongeng sebelum tidur.
Pukul 6.30 pagi, kebiasaan ini tidak pernah berubah
bertahun-tahun. Kami akan berkumpul di ruang makan dengan TV menyala di chanel
berita. Mama akan membuatkan roti isi untuk papa, dan papa yang menyeruput kopi
hitamnya memperhatikan berita-berita yang disuguhkan lalu berkomentar dan kami
saling melempar argumentasi mengenai berita tersebut. Ah, sudah lama sekali aku
sudah meninggalkan kebiasan itu sejak aku memutuskan pergi ke Jakarta untuk
kuliah dan tak pernah balik lagi. Maka sekarang aku hanya bisa diam
mendengarkan sambil mengoleskan selai srikaya di selembar roti tawar.
“Menurut kamu Helmi, gimana?” tanya papa di
sela-sela mengunyah roti isi buatan mama.
“Gimana apanya, Pa?” tanyaku pura-pura bingung.
“Dengan latar belakang dia, sepertinya cocok untuk
kamu,” akhirnya papa mengutarakan dengan jelas maksudnya.
Aku tertawa sebagai respon dari pernyataan papa,
sekarang malah mereka yang bingung dengan responku yang aku berikan. Melihat
mereka diam, dengan terpaksa aku pun ikut diam. Apa yang harus aku katakan?
“Helmi sepertinya baik, dia punya masa depan yang
cerah. Cumaaaaaaaaa, aku nggak akan nikah deh kayaknya,” sebenarnya aku ragu
dengan kata-kataku sendiri.
“Kenapa, Nak?” wajah mama terlihat sangat schock,
tergambar jelas. Sangat jelas. Untung kedua orang tuaku tidak punya riwayat
penyakit jantung, makanya aku berani mengatakan ini.
“Nggak apa-apa, Cuma nggak pengen nikah aja, punya
keluarga, kayaknya nggak bebas. Aku kan harus nulis, pasti butuh pergi ke
mana-mana, pasti harus ninggalin keluarga. Kalau mereka keberatan, aku harus
ninggalin passion aku di novel?”
alasan klasik. Tidak berbobot!
“Kami sudah bicara ke Helmi tentang kehidupan kamu,
pekerjaan kamu dan dia tidak keberatan. Tidak ada masalah sama sekali,” papa
masih memberikan solusi. Sial! Apalagi yang harus aku katakan?
Aku menelan besar-besar roti selai yang seharusnya
setiap kunyahannya kunikmati. Akhirnya kerongkonganku terasa seret. Aku
mengambil segelas susu yang khusus dibuatkan untukku. Aku meminumnya
terburu-buru, aku tersedak.
“Kalau makan pelan-pelan. Hati-hati juga kalau
minum. Ada yang meninggal gara-gara tersedak,” papa sangat tau bagaimana
anaknya. Dia tidak sedang menakut-nakutiku ataupun sedang berusaha tenang
padahal ketakutan kalau-kalau aku meninggal. Tidak, papa memang benar, ia
sedang memberikan fakta dengan sangat santai, santai meneguk kopi hitamnya yang
mulai dingin. Mama panik, berlari menghampirku, menepuk-nepuk punggungku lembut.
Mengambilkan segelas air putih untukku di tengah aku yang masih batuk. Akhirnya
batuk-batuk yang aku alami mulai reda, serius ini sangat menguras tenaga.
“Nanti ya aku pikir-pikir lagi, sekarang aku mau
sarapan dengan tenang.”
Aku berbohong, aku tidak pernah memikirkan untuk
menerima Helmi, bahkan memikirkannya pun sama sekali tidak. Aku sedang fokus
dengan diriku sendiri. Hari ini, hasil tes sudah keluar dan aku harus kembali
bertemu dengan dokter. Aku menunggu hasil diagnosis, selangkah lagi aku bisa mulai
produktif kembali. Aku tak sabar.
“Claudia, silakan duduk,” dokter Jeremy, dokter
spesialias neurologi, menyapaku hangat.
Aku menarik kursi, mengambil posisi senyaman
mungkin. “Bagaimana hasilnya, Dok?”
“Dari hasil pemeriksaan kami mendapatkan hasil positif,
tidak ada penyakit sama sekali. Lalu hal yang menjadi sebab atas keluhan kamu,
kami masih berspekulasi. Oke? Ini masih spekulasi. Kamu jatuh cinta,” jawaban
dokter Jeremy, membuat aku takut. Takut karena spekulasi tersebut merupakan
suatu fakta.
“Bagaimana bisa saya jatuh cinta kalau hati saja
saya tidak punya, Dok?” aku mengelak.
Dokter Jeremy hanya diam memperhatikan aku dengan
tajam, tanpa ekspresi. Akhirnya setelah aku diperhatikan cukup lama, dia
membuka suara. “Saya rekomendasikan untuk bertemu dengan dokter Elysian, dia seorang
psikolog,” katanya sambil menulis surat rujukan. Aku hanya melongo mendengar
apa yang dikatakannya barusan. Aku hanya diam memperhatikan Jeremy yang mulai
menggunakan gawainya untuk menghubungi seseorang.
Hallo,
Ely?...... Hei, bagaimana kabar kamu?.... ya aku baik....... gini ada pasienku
namanya Claudia, aku serahkan dia sama kamu, soalnya sudah bukan ranahku
lagi....... ya, ya, ya aku percaya sama kamu. Tolong bantu dia, oke?......
Nanti aku kirimkan berkasnya...... Oke,
oke. Dan telepon ditutup.
“Saya sudah hubungi dokter Elysian secara pribadi,
besok kamu ada waktu?” selalu ada waktu selama satu tahun ini.
Aku mampir di salah satu kedai kopi di sebelah rumah
sakit. Aku memesan kopi terpahit, aku ingin menguji seberapa besar perasaanku
bekerja. Apakah aku mati rasa?
“Anjir,
pait banget kayak hidup,” aku mengumpat, mengambil tisu dan melap ujung
lidahku. Aku memandang ke luar jendela, memperhatikan suasana di Jakarta yang
panas.
Tiba-tiba anxiety menyerang ketika mengingat bahwa
besok aku harus bertemu dengan psikolog. Mau bohong gimana? Aku penulis bukan
aktris. Dokter Jeremy aja curiga apalagi ini seorang psikolog! Untuk
menenangkan pikiran aku mencoba menyeruput lagi segelas kecil espresso, untuk kali
ini lidahku tak terlalu kaget.
Di tengah kegamanganku, pandangan kosong menatap ke
jendela getar dari ponselku yang sengaja dimasukkan dalam mode hening
mengganggu. Nomor tidak dikenal.
“Hallo,” suara seorang laki-laki di ujung sana.
“Hallo,” aku membalas ragu.
“Clo?”
“Iya,”
“Ini Rayyan,” Rayyan siapa? Aku berpikir. “Lo ada di
apartemen?”
Apartemen? Oh, pasti salah satu dari temanku. “Malem
ini? Gue masih di Semarang,” aku berbohong. Sorry, aku sedang tidak mencari
inspirasi.
“Okay, by the
way save nomor gue. Nomor yang lama keblokir soalnya,”
Haha nomor lama pun aku tidak simpan, namun aku
tetap mengiyakan.
“Okay, Claudia bagaimana kabar kamu hari ini?” kata
Elysian sangat ramah, bibirnya tersenyum lebar. Dia sangat mungil, kulitnya
putih, matanya hitam dengan binar menyambutku. Setidaknya dia membuatku tidak
takut untuk berbicara dengannya karena dia terlihat ceria. Tapi ini baru
permukaannya saja, manusia memang suka berkamuflase.
Awalnya kami hanya berbicara hal yang umum,
berbicara mengenai bagaimana kehidupanku berjalan setiap harinya, bagaimana
perasaanku setiap harinya, berakhir dengan bagaimana pekerjaanku.
“Apakah kamu menikah?” aku menggeleng. “Apakah kamu
punya pasangan?”
“Jika dokter bertanya pasangan adalah pacar aku
tidak punya, jika dokter bertanya pasangan adalah dia yang ada di hari-hari aku
jawabannya juga tidak. Tapi aku bertemu dengan banyak laki-laki,” aku
menjelaskan.
“Mungkin salah satu dari teman laki-lakimu itu?” ia
bertanya menyelidik.
“Aku tidak pernah tahu nama mereka. Kami hanya
bersenang-senang semalaman, dan keesokan harinya tidak ada perasaan merasa
kehilangan salah satu dari mereka. Aku berhenti ketika mendapat ide, aku cuma
memanfaatkan mereka,” aku tertawa sinis.
Elysian mencatat setiap gerakan yang aku buat,
setiap jeda dari jawaban, dia tidak pernah lepas dari bolpoin dan catatannya.
Kami berbicara lagi panjang lebar dan waktu konsultasiku hampir habis, tidak
mendapat kesimpulan apapun.
“Kamu tidak perlu mengatakan pada saya atau pada
siapaun siapa orang itu. Yang pasti kamu cukup confess dengan diri kamu sendiri dan itu bukan lah suatu dosa. Saya
sangat tertarik ketika Jeremy mengatakan bahwa kamu mengeluarkan sebuah
statement ‘bagaimana bisa jatuh cinta kalau hati saja tidak punya’. Itu yang
menjadi kekhawatiran Jeremy terhadap kamu, saya pun begitu. Kita bertemu lagi
minggu depan ya, di hari dan jam yang sama. Selamat siang, Claudia,” ia
mengantarku sampai pintu. Aku memberikan sebuah senyuman yang aku pun tak tahu
artinya.
***
“Claudia kenalin ini Dito, dia ilustrator cover
Rama. Ega kan lagi cuti nikah,” jelas Pak Aji sebelum dimulai presentasi. Aku
menjabat tangan ilustrator novel teranyarku. Aku mengambil tempat duduk dan
presentasi dimulai. Kami semua berdiskusi, aku menjabarkan konsep yang ku
inginkan, si ilustrator baru cukup cepat tanggap dan pertemuan selesai.
Dua hari berlalu, sebuah pesan masuk dari nomor
tidak dikenal.
Mbak Clo, saya
sudah kirim email desain sampul ya.
Dito
Aku langsung membuka email dan OMG keren juga
responnya. Dia paham apa yang aku inginkan artinya dia mau masuk dalam
pikiranku dan mencoba untuk menyesuaikan diri. Terkadang aku sampai
berganti-ganti ilustrator karena tidak ada yang sesuai dengan apa yang aku
harapkan. Aku memang penulis yang sedikit rewel jadi merasa terharu bisa
mendapat ilustrator seperti Dito. Okay, ini pendapat profesional ya bukan
pribadi. Aku membalas pesannya dan membuat janji untuk pembahasan sampul yang
dibuat Dito, di sebuah coffee shop depan Geget.
“Over all, saya suka sama desain yang kamu buat. Good job,” dia tersenyum. “Anyway, kok bisa paham maksud saya?”
“Hmmmm,” dia berpikir, mengalihkan pandangannya dari
layar laptop dan menatap ke arahku. “Pertama, saya harus mengesampingkan ego
saya dulu Mbak...”
“Clo, panggil aja saya Clo,” aku menginterupsi.
“Okay, Clo. Dengan begitu kan di diri saya sudah
kosong. Sudah bukan saya lagi,” dia diam sejenak untuk memastikan aku menangkap
apa yang dia jelaskan. Ketika ia yakin aku mengerti, dia melanjutkan
penjelasannya. “Saya sudah siap menerima permintaan klien. Saya coba pahami,
dalami, sesuai karakter si penulis dan tentunya isi ceritanya.”
Okay, jawaban yang ia berikan aku sangat suka.
Berbobot.
“Sampul harus menarik tapi bukan hanya sekedar lucu,
bagus, atau apa tapi harus bisa menjadi wajah si isi. Jangan sampai sapulnya
apa isinya apa. Tentunya saya harus membaca ceritanya dan benar-benar
memahaminya” dia menambahkan.
Aku manggut-manggut mendengar ia berbicara. Well,
tidak semua orang mau berpikir untuk memberikan jawaban yang baik. Kebanyakan
mereka yang aku tanya hanya menjawab sekenanya. Dan, satu hal yang menjadi poin
plus dari Dito yang sangat menarik perhatianku adalah selama ia berbicara ia
tidak pernah sama sekali mengalihkan matanya selain kepada wajahku.
“Ada pertanyaan lagi, apa yang terlintas di pikiran
kamu ketika kita ketemu tadi dengan penampilan saya hari ini?” aku yang
menggunakan kaos crop bewarna abu-abu dengan belahan dada rendah dan jeans high
rise bewarna biru muda mencoba untuk menarik perhatiannya. Tapi sayang, aku
gagal.
“Gimana Clo?” dia salah tingkah.
“Kebanyakan laki-laki yang ketemu sama saya mau ngobrol
lama mau ngobrol sebentar, mau pakai baju terbuka mau pakai baju tertutup,
mereka suka salah fokus walaupun Cuma sebentar ya. Tapi saya perhatiin kamu
sopan. Kenapa bisa begitu?” aku memang sengaja dan selalu suka melihat reaksi
laki-laki. Social experiment boleh dikatakan, tapi dengan catatan tanpa merasa
keberatan karena menggunakan tubuhku sendiri.
“Karena saya ngobrol sama muka bukan sama dada,” dia
tertawa.
“Ah, ganti jawaban. Kenapa?” aku merengek, mulai
merasa dekat.
“Karenaaaaaaa,” dia mencari jawaban. “Karena saya
menghormati kamu. Bukan berarti kamu tidak menghormati diri kamu sendiri ya.
Tubuh kamu milik kamu, maka saya menjaga diri dari yang bukan milik saya,”
“Kenapa?”
“Masih belum cukup, Clo?” ia salah tingkah lagi
melihat aku menggeleng. “Karena saya, hmmmm, karena kamu orang yang saya
kagumi. Saya nggak mau merusak rasa kagum saya yang murni ini dengan
perasaan-perasaan tambahan lainnya.”
Ohhhh kagum, ada perasaan senang menelisik ke hati.
Aku tersenyum puas.
“Makasih jawabannya,” aku terkekeh. Kami
menyelesaikan apa yang menjadi alasan kami bertemu di sini. Ketika semua
selesai, kami masih bertahan di tempat duduk masing-masing tidak ada yang
beranjak. “Bilang kalau mau pergi,”
Akhirnya dua jam kami duduk berbincang. Membicarakan
apapun dari mulai profesional sampai ke hal lain. “Rumah dimana Clo?”
“Kedua orang tua aku di Semarang. Papaku tugas di
sana dari 10 tahun lalu,” aku menjelaskan. Sampai akhirnya panggilan dari
kantor memaksanya untuk pergi dari hadapanku. Itulah pertemuan pertama dan
terakhirku yang terkandung unsur di luar pekerjaan. Setelah Rama diterbitkan
selesai sudah hubunganku dengan Dito, aku tak mau masuk ke dalam kehidupannya
dan mengganggu polanya. Maka, biarkan saja hubunganku dengan Dito sebatas
hubungan profesional.
Tapi ada pertemuan kedua yang tidak direncanakan.
Ketika mama memaksaku untuk pulang, aku duduk dengan malas di dalam kereta
tujuan akhir Surabaya. Memandangi ke luar jendela, melihat pemandangan ratusan
manusia dengan kepentingannya masing-masing. Tertangkap oleh pandanganku
sesosok orang yang kukenal. Dito!
Aku memperhatikan setiap langkahnya, dan ia masuk
tepat ke kereta yang sama! Aku harus bagaimana? Membuang muka pura-pura tidak
melihat? Menunduk sibuk dengan gawai? Aku harus bagaimana?
“Permisi ya, Mbak,” aku yang sedang berdiskusi
dengan diriku sendiri terperanjat dengan suara seorang laki-laki yang tiba-tiba
terdengar. Sebelum aku menengadah melihat siapa yang berbicara, aku berdoa
dalam hati semoga itu bukan suara Dito.
“Eh, Mas duduk di sini ya?” aku bangkit, pura-pura
bersalah karena mengambil tempat duduknya.
Ia tidak mempermasalahkan aku yang telah mengambil
tempat duduknya, ia langsung duduk di tempat milikku. Aku berdiri kikuk lalu
ikut duduk, kini kami resmi bertukar. Semoga dia tidak mengenaliku. Aku selalu memalingkan wajahku ke arah
jendela, berdoa berharap ia tidak menyadari bahwa kami berdua pernah sempat
sedikit lebih dekat.
“Mbak Claudia ya?” okay, dia mengenaliku.
Aku tersenyum geli menertawakan tingkah bodohku.
Setelah berdamai dengan diri sendiri dan sepakat untuk berbicara dari hati ke
pikiran aku mulai merasa tenang. Aku mengambil ponselku dari dalam tas tangan,
membuka aplikasi pesan instan mengetik nama Dito dan mulai mengetik suatu
ajakan pertemuan. Tak lama ia membalas, satu jam dari sekarang kita membuat
janji bertemu.
Pintu coffee shop terbuka, aku mengalihkan
pandanganku dari layar monitor menuju pintu. Pandangan kami bertemu, ia
tersenyum dan melambaikan tangan. Langkahnya memiliki irama yang tetap, aku
memperhatikannya yang semakin dekat. Kami membuka pertemuan ini dengan bertanya
tentang kabar liburan singkat kami seminggu yang lalu.
“Thanks ya udah mau dateng,” aku menuju ke arah
alasan utama mengajaknya bertemu.
“Iya, udah lama juga lagian nggak ngobrol bareng.”
Baru seminggu dia sebut lama? OMG!
“Okay langsung aja ya. Pertama,” dia menunggu aku
mulai berbicara. Lagu Orang Ketiga dari Hivi mengalun mengisi ruangan.
Keberanianku masih belum 100% tapi aku bertekad untuk mengatakan ini.
“Pertama,”
“Pertama?” ia mengulangi apa yang aku katakan.
Apakah dia masih sabar menunggu aku berbicara?
“Pertama,” aku berdeham. Okay, tidak ada waktu untuk
bersiap-siap lagi. Katakan sekarang, Clo! “Pertama, aku mau minta maaf,” aku
minta maaf karena jatuh hati sejak pertama kali kita bertemu di presentasi
cover Rama.
Ia bingung dengan apa yang terucap dari mulutku.
Hanya sebuah permintaan maaf? “Buat apa Clo? Kamu udah ngelakuin apa?”
“Aku melakukan suatu kesalahan tapi aku menikmati
melakukan kesalahan itu jadi aku melakukannya berulang kali. Aku minta maaf,”
aku menundukkan kepala tidak berani menatap wajahnya. Aku takut keputusan untuk
berhenti jatuh hati padanya gagal.
“Tapi aku nggak merasa ada hal yang mengganggu dari
kamu. Artinya apapun yang kamu lakukan tidak berdampak buruk sama kehidupanku,
Clo,”
“Benar, kesalahan yang aku buat nggak merugikan kamu
karena aku berusaha agar efek dari kesalahan yang aku perbuat nggak menyebar
terlalu luas. Jadi dengan begitu, tolong terima permintaan maaf aku,” aku
mengatupkan kedua telapak tanganku, memasang wajah memelas.
“Okay, aku maafin. Kedua apa?” satu hal lain yang
membuat aku jatuh hati, dia selalu lembut jika berbicara kepadaku. Selalu.
“Yang kedua aku mau mengucapkan banyak terima kasih.
Karena berkat kamu hidup aku punya banyak..”
“Masalah?” ia mencoba menggoda. Aku menepuk
lengannya pelan, ber-ih akrab dan dia tertawa. “Okay lanjut,”
“Tuh kan lupa,” aku merajuk. “Pokoknya dengan
berteman sama kamu, aku merasakan banyak hal sehingga mata, hati, dan pikiranku
menjadi lebih terbuka. Itu.” Akhirnya tersampaikan sudah apa yang ingin aku
sampaikan.
Dia terdiam. Tidak mengatakan sepatah katapun. Tidak
memberikan respon apapun. Aku menunggu. “Udah segitu. Udah selesai, selesai.
Jadi kamu boleh balik ke kantor,” aku mempersilakanya untuk pergi tapi ia masih
bergeming.
“Clo,”
“Gue nggak lagi nyatain cinta ya. Buang pikiran itu
jauh-jauh!” aku tidak ingin ia berpikir yang macam-macam.
“Harusnya aku yang berterima kasih. Sangat-sangat
berterima kasih, dengan kenal kamu aku lebih terbuka. Terima kasih,” aku ingin
berspekulasi tapi cukup, aku tidak ingin menjadi so tahu dan lebih baik aku
tidak tahu.
“Ganti ih kata-katanya, itu kata-kata gue!” kami
tertawa bersama. Walaupun masih tersirat tapi entah mengapa ada perasaan lega
menyelinap di hati. Aku merasa sangat cukup dengan ini semua.
“Produktif lagi ya, Clo, biar kita bisa ketemu di
kantor,” aku mengangguk sangat setuju dan kami berpisah tapi kami tahu sejak
saat ini kami mulai menjadi teman yang serasi, melengkapi, dan ah sudahlah.
Cukup, cukup dengan begini saja.
Aku tersenyum mengantarnya pergi, sampai ia berbelok
dan hilang dari pandangan tidak ada rasa penyesalan dalam diri. Aku tahu mulai
ikhlas. Satu hal lain selain ketenangan yang aku dapat adalah aku mulai
mengandung. Hal yang aku harapkan dari sejak satu tahun kemarin.
Agendaku selanjutnya adalah bertemu dengan Helmi.
Kami membuat janji makan siang di sebuah restoran cepat saji. Merek restoran yang
selalu jadi pilihan utama ketika aku lapar.
“Bukannya aku ngga bisa makan fast food tapi aku Cuma ngasih tau kamu nggak boleh terlalu sering
makan fast food.” Biasanya aku akan
mengomel balik, namun karena aku sedang baik aku tidak mau marah-marah.
“Aku mau bicara sesuatu yang menyakitkan,”
“Waw,” hanya itu respon dari Helmi.
“Aku jatuh hati sama seseorang tapi sayangnya aku
nggak bisa milikin dia. Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah karena aku
selalu menghindari perasaan tersebut, mencoba untuk membunuh rasa itu, mencoba
untuk tidak berperasaan membuat aku sedikit kasar dan tidak peduli. Aku mau
minta maaf atas sikap aku kemarin-kemarin,” aku membuka pembicaraan serius ini
setelah orange juice with vanilla ice
cream menyegarkan kerongkongan.
“Aku bisa merasakan itu. Aku tahu kamu sejak lama,
Clo. Aku tahu ada yang salah,” ia tertawa pelan. “Tapi aku senang kamu sudah
mulai menulis lagi,” ia menunjuk ke arah laptop di samping tempat dudukku.
Ia bertanya mengenai cerita yang aku kandung saat
ini, kami berdiskusi, bertukar argumen. Helmi tidak buruk. Benar kata papa,
Helmi sangat mendukung karirku sebagai seorang penulis.
“Mas Helmi,” aku memanggilnya takut-takut.
“Kenapa Clo?” tanyanya lembut. Ya, Helmi juga selalu
bersikap lembut padaku.
“Mas Helmi nggak kesel denger aku suka sama
laki-laki lain?” aku bertanya hati-hati.
“Aku harus gimana?” tanyanya. Aku mengangkat bahu,
tidak tahu. “Kenapa aku harus kesel padahal kita tidak bisa memilih siapa yang
kita cintai. Kenapa harus kesel padahal kita sudah tahu itu hanya cerita.
Cemburu? Iya, tapi apakah aku harus bilang sama kamu dengan marah-marah ‘jangan
ceritakan laki-laki lain di depanku?’” ia tertawa. “Nggak lah, Clo. Itu suatu
hal yang tidak perlu.”
Hening. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Aku salut kamu bisa berpura-pura selama itu. Berat
loh,” memecah keheningan. “Apalagi berpura-pura nggak cinta, aduh berat,”
“Artinya aku udah naik level jadi expert?” aku mencoba mencairkan suasana.
“Tapi berpura-pura juga sebenarnya sifat alami
manusia sih. Kita lihat ke sekeliling kita, semua orang di ruangan ini sedang
berpura-pura. Pura-pura bahagia, pura-pura menyesal, pura-pura pintar,
pura-pura baik-baik saja, pura-pura tidak tahu, pura-pura lupa, pura-pura tidak suka, pura-pura suka, dan pura-pura plus kata sifat lainnya,” aku mengangguk
setuju. Memang benar jika manusia memiliki banyak wajah.
“Mas Helmi,” aku memanggilnya takut-takut. Lagi.
“Iya Clo. Ada apa? Bilang aja,” aduh, aku berani
bilang nggak ya?
“Mau nggak pura-pura bahagia sama aku? Setidaknya
aku nggak pura-pura sendiri. Mas juga ada temen buat main pura-pura,” aduh
bicara apa aku ini.
“Kamu yakin nggak ngejar cinta kamu?” tanyanya
memastikan.
“Enggak, Mas. Bukannya aku pesimis tapi aku tahu di
dunia ini nggak semua yang kita sukai, yang kita inginkan selalu menjadi milik
kita. Bukan aku menyerah kalah, tapi ini bukan kompetisi. Aku bersyukur
ternyata hati aku masih berfungsi tapi aku ingin melanjutkan hidup dengan
seseorang yang bisa membuat aku maju ke depan bukan hanya diam di tempat yang
hanya menyajikan kenyamanan dari jatuh cinta,”
Aduh, pasti dia benci banget sama aku. Pasti mikir,
apa-apaan ini perempuan, dan beberapa pikiran negatif mulai memenuhi pikiranku.
Aku bukan takut ditolak, aku hanya takut dengan penilaian yang akan ia berikan.
Ia masih belum memberikan respon dari pertanyaanku
yang awal sebelum penjelasan barusan. Aku siap-siap menutup muka.
“Claudia,” akhirnya ia berbicara. Aku tiba-tiba
menjadi tegang. “Let’s play pretend
together,” ia mengeluarkan kotak cincin beludru biru gelap di dalamnya ada
sebuah cincin emas putih. “Are you in?”
Responnya sama sekali tidak aku duga, sama sekali.
Aku pikir dia membenciku, aku hampir menangis. Aku mengangguk dengan mantap aku
menjawab tawarannya, “I’m in!”
Mungkin dunia tidak bekerja dengan selalu memberikan
apa yang kita inginkan, bukan berarti dunia menjadi kejam dan tak berperasaan.
Pernah berpikir untuk menyerah saja tapi banyak pertimbangan yang membuat kita
jadi tidak gegabah. Mungkin kalian pikir cinta tidak pantas dikatakan sebagai
permainan, tapi pada kenyataannya aku masih bertahan dalam permainan
berpura-pura ini. Kabar baiknya, aku tidak hanya bermain berdua dengan Mas
Helmi. Ternyata hati manusia mudah berubah, yang awalnya aku hanya berpura-pura
mencintai Mas Helmi kini aku benar-benar cinta pada suamiku. Kini aku dan Mas
Helmi mempunyai anggota tim baru, dua pasang bayi lucu nan menggemaskan yang
menambah perasaan cinta kasih kami masing-masing.
Kini aku baru mengerti, tidak semua hal yang aku sukai
belum tentu bisa membawa kebahagiaan. Dan belum tentu hidupku menjadi buruk
ketika memutuskan berkomitmen dengan seseorang yang tidak aku pikirkan.
Semuanya tergantung sudut pandang. Mau tetap memandang aku menyedihkan karena
tidak bisa bersama orang yang aku sukai atau mau memandang sebagai orang yang
punya kesempatan untuk bahagia walaupun dengan orang lain? Karena cinta masalah
hati, tapi hidup urusan akal sehat.
***
Komentar
Posting Komentar