Ibrahim.
Pagi ini aku membaca sebuah berita kecelakaan di
surat kabar yang sengaja diletakan oleh bi Ros di meja makan.
........Sejauh
ini kecelakaan transJakarta yang terjadi tepat di depan halte ….. tidak memakan
korban jiwa. Korban yang mengalami luka berat segera dilarikan ke rumah sakit
……. untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Dari 18 orang penumpang, korban yang
mengalami luka berat dan hingga kini masih menjalani rawat inap adalah Budi
(37), Siti Hajar (46), Naomi (27), Julio (5), Putri (29), Patmala (31), Teguh
(55), Lulu (49), Siska (39), dan Farhan (20)…….
Naomi? Ini
Naomi yang mana ya? Pikiranku tertuju pada wanita yang kutahu sejak kuliah
S2 dua tahun lalu. Walaupun sebenarnya nama Naomi sangat banyak di Jakarta.
Aku memutuskan untuk pergi menuju rumah sakit yang
disebutkan dalam berita tersebut hanya untuk memastikan Naomi yang mana.
Setelah selesai dengan sarapanku, aku langsung berlari menuju kamar, mengambil
dompet, ponsel, memasang jam tangan, mengenakan jaket varsity yang tertangkap
oleh mataku tergantung di balik pintu. Aku berlari segera menuju mobil yang
sudah dipanaskan oleh pak Abidin.
“Pergi dulu, Pak,” kataku terburu-buru. Pak Abidin
yang sedang menyiram tanaman hanya mengangguk. “Traffic!” aku memaki jalanan Ibukota, aku menjadi tidak sabaran.
Hatiku harus segera mengetahui kebenaran untuk mencapai ketenangan.
Aku langsung menuju bagian informasi, bertanya
mengenai korban kecelakaan transJakarta kemarin dan menyebutkan nama Naomi.
“Naomi Alessia, Pak, nama lengkap korbannya,” kata
petugas informasi. Seketika lututku menjadi lemas. Apa yang ku khawatirkan
ternyata benar. Aku langsung menuju kamar yang disebutkan. Kesabaranku tersedot
habis sehingga aku berlari, mengutuk pintu
lift yang tidak kunjung terbuka.
Ketika kamar yang kutuju semakin dekat, aku malah
memperlambat lajuku. Takut-takut menerima faktanya bahwa Naomi yang kumaksud benar
sedang terbaring di ranjang rumah sakit.
Kini aku tepat berdiri di depan pintu kamarnya. Ku
lihat melalui kaca di pintu, benar Naomi terbaring di sana, namun dengan
seorang laki-laki yang duduk di sampingnya. Apakah itu suaminya? Kenyataan
bahwa Naomi sudah memiliki pasangan yang membuat aku shock, lagi dan lagi.
“Cari siapa ya?” tiba-tiba pintunya terbuka dan
berdiri di sana wanita paruh baya yang bertanya penuh selidik padaku.
“Maaf, Tante, saya salah kamar, permisi,” pamit
pergi, ke arah jalan pulang.
Kali ini aku tidak perlu terburu-buru karena aku
tahu kalau itu Naomi yang mana, namun ternyata hatiku masih belum mau tenang
karena informasi tambahannya tidak mau aku terima.
Malam harinya keluargaku dan keluarga Om Jordan
–adik dari mama- makan malam bersama di restauran favorit keluarga kami.
“Kecelakaan kemarin, parah ya minibus loh yang
nabraknya. Maksudnya kalau dilihat dari fisik minibus gitu loh menghantam
transJakarta yang segede gaban kelihatannya enggak mungkin,” adikku, Andi
Sabrina, membuka percakapan.
“Tapi emang katanya kenceng banget,” Andre, putra
semata wayang Om Jordan dan Tante Wulan, ikut bersuara.
“Makanya korbannya enggak banyak, cuma penumpang
yang duduk di bagian yang kena hantaman aja,” Mama ikut dalam pembicaraan ini.
Hatiku berkabung mendengar kabar ini.
“Ada pegawai di kantor juga yang jadi korban,” Om
Jordan masuk dalam pembicaraan.
“Siapa, Om?” selanjutnya aku. Apa peduliku? Lagipula
aku tidak akan mengenal siapa pegawai yang bekerja di kantor om Jordan
“Naomi. Padahal dia pegawai teladan loh, baru minggu
kemarin menangin award,” Om Jordan
menjelaskan.
“Memang ya enggak ada yang tahu,” mama berkata pelan
hampir berbisik. “Terus gimana sekarang keadaanya?”
Aku memasang telinga. Ternyata Naomi satu kantor
dengan Om Jordan.
“Kemarin pas anak-anak kantor jengukin, katanya sih
dia sehat cuma kakinya cedera, kejepit atau ketiban enggak ngerti deh, soalnya
Naominya juga enggak tahu pasti. Kejadiannya cepet banget,”
Setelah pulang makan malam, aku duduk di balkon
memandang langit Jakarta yang tidak gelap.
“Woy,” Sabrina mendorong bahuku, membuyarkan
pikiranku yang tak fokus. “Lagi ngapain lu, Kak?” ia duduk di sampingku.
“Lagi ngadem,” jawabku singkat tanpa merubah posisi
dudukku yang bersandar lunglai.
“Boong! Lagi mikirin apa?” aku menggeleng. “Kayak ke
siapa aja,”
Memandang sebentar pada wajah imut adikku yang
beranjak dewasa mencoba meyakinkan diri apakah si bungsu bisa untuk diajak
berbicara masalah ini. “Okay, lo gua anggap udah dewasa untuk membicarakan hal
ini,” aku duduk dengan tegap, memajukan muka dan Sabrina juga ikut mendekat.
“Apa, Kak?” ia terlihat serius.
“Menurut lo, gue harus nggak jengukin temen cewek
gue yang lagi sakit. Dia temen kuliah dulu sih,” aku bertanya hati-hati,
berharap ia tidak bertanya yang tidak-tidak. “Tapi dia udah punya suami,”
“Hmmmm,” dia mengusap-ngusap dagunya, berpikir. “Gue
nggak ngerti sih kalau dia posisinya udah jadi istri orang. Tapi orang-orang
khususnya suaminya pasti bakal mikir ‘repot-repot amat jengukin kayak yang spesial’.
Meskipun dia spesial buat lo ya, tapi kan lo harus tahu diri,”
“Jadi menurut lo gue enggak usah jengukin dia?”
“Kalau barengan sama temen-temen yang lain, okelah.
Tapi kalau lo sendirian, mending enggak usah. Daripada bikin orang mikir yang
enggak-enggak,”
“Okay, thanks
ya Dek,”
“Wadaw, Dedek?” ia seperti geli mendengar aku
memanggilnya ade. Memang sejak dia duduk di bangku SMP aku selalu memanggil dia
Sabrina tidak pernah memanggil adek, dedek atau apapun sebutannya.
Setelah menghabiskan liburan musim panas di rumah
tibalah saatnya aku kembali ke London dan Sabrina kembali ke Amsterdam. Rumah,
kami tinggalkan lagi untuk menuntut ilmu, sampai jumpa di liburan musim dingin
tiga bulan kemudian.
“Bra, anter Om kondangan, yuk. Andre enggak mau
nganter, si Tante nanti malem mau arisan. Bener-bener orang rumah enggak ada
yang mau nganter Om. Pada tega memang,” om Jordan tiba-tiba menghampiriku yang
sedang bermain piano. Rumah kami memang sebelahan, jadi om Jordan bebas keluar
masuk dengan cepat menuju sini maupun sebaliknya.
“Ya ampun, Om, sampe nyusulin ke sini,”
“Kamu Om telponin enggak diangkat,” aku berjalan
meraih ponselku yang diletakan di meja lain di tengah ruangan. “Enggak enak
soalnya kalau enggak dateng, sesama Kepala Divisi masa enggak dateng,”
Merasa kasihan aku akhirnya mengiyakan permintaan om
Jordan, lagipula malam ini aku tidak pergi kemana-mana.
Acara resepsi pernikahan diselenggarakan di Balai
Sarbini. Dekorasi dengan nuansa emas menambah kesan mewah. Aku melihat ke arah
pengantin yang terlihat sangat bahagia menyambut para tamu yang hadir
memberikan selamat. Untuk kedua kalinya aku melihat ke arah pengantin pria,
wajahnya tidak asing. Aku pernah melihat dia sebelumnya, tapi dimana.
Om Jordan mengajakku ikut mengantri untuk memberi
selamat pada kedua mempelai. Ketika aku menyalami mempelai pria aku teringat
kalau laki-laki ini yang aku lihat di kamar Naomi.
“Siapa, Om?” aku mulai penasaran dengan sang raja
malam ini.
“Pak Dion, Kepala Divisi Pemasaran,” kata om Jordan
di sela-sela mengunyah dessert yang
disajikan.
“Ini pernikahan Pak Dion yang pertama?” tanyaku
tidak sopan.
“Iya yang pertama. Dia masih muda enggak mungkin dia
duda,”
“Tapi pernah pacaran sama temen satu kantor?”
pertanyaan tidak sopanku yang kedua muncul.
“Ng, kabarnya dia deket sama pegawai di situ, udah ngelamar
tapi ditolak sama perempuannya katanya tunggu tiga tahun. Ditungguin, malah perempuannya
kecelakaan, jadinya menikah sama yang ini,” untung saja Om Jordan dengan tidak
sadar mau menceritakan tentang kisah asmara Dion dan Naomi tanpa bertanya yang
macam-macam. Mungkin karena ia terlena dengan dessert yang sangat enak ini.
“Kasihan dong perempuannya yang kecelakaan
ditinggalin,” aku menanggapi.
“Enggak tahu juga sih Pak Dion yang ninggalin atau
ceweknya yang minta. Soalnya kalau memang perempuannya ada perasaan sama Pak
Dion, mereka udah nikah dari dulu, enggak usah nunda-nunda sampai tiga tahun.
Kan itu bukan waktu yang sebentar,” masuk akal juga sih.
Untuk sementara aku masih belum punya strategi
apapun untuk Naomi. Aku masih membutuhkan banyak informasi, selain tempat Naomi
bekerja, kondisi kesehatan Naomi, dan beberapa kepingan masa lalu Naomi.
Kalau aku
dekati Naomi setelah aku lulus kuliah dia sudah ada yang punya belum ya? Pikiranku
itu memang egois tapi aku tidak mau fokusku pada Naomi menjadi terbagi dengan
tugas akhirku. Aku ingin fokus 100% pada Naomi. Lagi pula tinggal 6 bulan lagi
aku lulus.
Enam bulan kemudian memang aku lulus, namun hal yang
di luar dugaanku memintaku untuk stay
di London dalam beberapa bulan. Papa meminta padaku untuk mengurus masalah yang
terjadi dengan kliennya di London dan ternyata itu memakan waktu lewat dari
enam bulan juga. Genap satu tahun setelah keinginanku untuk dekat dengan Naomi.
“Om, satu kantor kan sama Naomi?” tanyaku yang
sebenarnya bukan niat bertanya.
“Iya kok kamu tahu?” sepertinya om Jordan lupa kalau
dia pernah menyebutkan kalau Naomi bekerja di kantor yang sama dengannya.
“Dia temen waktu aku kuliah,” aku mencoba terbuka.
Om Jordan masih fokus dengan burungnya. “Boleh minta nomornya enggak, Om?”
“Ibra,” akhirnya om memberiku tanggapan. “Naomi
pakai kursi roda,”
Aku tidak terkejut dengan kabar itu. Memang cedera
akibat kecelakaan membutuhkan waktu yang lama untuk pulih. “Ya enggak apa-apa,
Om,” kataku santai.
Om Jordan menyelidik, mencoba mencari dimana celah
ketidakseriusanku. “Om Cuma ngasih tahu kamu aja. Takutnya kamu malah kabur pas
ketemu sama dia, kan itu enggak sopan.” Aku menggeleng, memantapkan keputusanku
untuk memulai mendekatinya. “Nanti Om ngomong langsung sama Naomi, kebetulan
besok orang kantor ngadain makan malam buat merayakan promosi Naomi,”
“Wah, Naomi dapet promosi, Om?” aku terkejut namun
bangga.
“Iya, dia memang pegawai yang hebat sih dari sejak
dia masuk ke sana. Makanya dia dapet promosi, enggak perlu ragu sama dia deh,”
om Jordan selalu tahu informasi setiap pegawai di sana. Matanya tajam seperti
mata elang, telinganya lebar bahkan suara semut pun ia dengar.
“Tolong ya, Om. Bilang aja ada temen waktu kuliah S2
pengen ngajak dinner namanya Ibrahim.
Tapi kalau bisa sih dia sampai mau ya Om,” aku terkekeh membuat permintaan yang
konyol seperti remaja jatuh cinta.
Om Jordan mengiyakan, ia kembali dengan burung
nurinya. Aku berjalan keluar dari rumahnya, menuju rumahku di sebelah. Aku
bersiul-siul riang, tidak sabar menunggu kabar baik besok malam.
Aku menunggu di dalam mobil ketika mendapat jawaban
bahwa kursi pesananku belum terisi. Aku belum cukup mengenal Naomi untuk
membuat peluang kemungkinan dia akan datang atau tidak tapi aku akan masih
tetap menunggunya.
20 menit berlalu, sebuah mobil berhenti tepat di
samping mobilku. Aku mencoba melihat menembus kaca gelap yang mengaburkan wajah
si penumpang. Aku memperhatikan mobil itu terus, penasaran siapa yang menjadi
tamu untuk restoran ini. Tapi si penumpang tidak kunjung keluar, mungkin ia
menunggu seseorang membukakan pintu untuknya, pikirku. Seseorang menutup pintu,
aku mencari sumber suara dan keluarlah seorang laki-laki bertopi berjalan
menuju arah belakang. Oh ini yang akan membukakan pintu, tapi ia tak kunjung
membukakan pintu si penumpang yang menunggu, aku mencari ke belakang. Laki-laki
bertopi itu membuka pintu bagasi, mengeluarkan sesuatu. Membawanya ke depan,
tepat di sampingku yang bersembunyi di dalam mobil. Sebuah kursi roda!
Aku yang penasaran terus memperhatikan si pemilik
mobil dan penumpang yang duduk di sampingnya. Aku berharap itu Naomi, aku
berharap aku benar. Laki-laki bertopi itu membuka pintu ketika kursi beroda itu
dipastikan aman. Pintu terbuka lebar, perempuan berbaju hitam dengan rok
bewarna ivory digendong oleh laki-laki itu. wajahnya yang masih belum terkena
cahaya lampu masih belum memberi jawaban pada harapanku. Seberapa banyak wanita
bekursi roda di Jakarta yang datang ke restoran ini? Yang pasti bukan hanya
satu.
Setelah laki-laki yang mengantar Naomi itu pergi,
aku masuk. Dengan jantung yang berdegup kencang melihat punggung wanita yang
kuundang malam ini sedang duduk tegap merapikan rambutnya yang hitam. Aku
berjalan menghampirinya, berdiri tepat di belakangnya.
“Naomi,” aku memanggil namanya. Ia menoleh ke
belakang, melihat ke arahku.
“Ibrahim ya?” tanyanya memastikan.
“Maaf terlambat, udah lama ya?” aku duduk di
depannya, mencoba berbasa-basi padahal aku tahu ketika ia datang.
“Enggak kok belum, aku juga baru dateng,” katanya
menjawab. Ia benar, dia baru datang.
Aku mencoba membuka pembicaraan takut-takut dia
adalah tipe yang harus didahului. Daripada hanya saling diam, lebih baik
menjadi so asik.
“Ko kamu tahu aku sih? Aku malah enggak inget kalau
kita satu fakultas,” dia penasaran denganku.
“Kita beberapa kali ketemu di tempat photo copy,
sering ketemu di perpus, beberapa kali ketemu di kantin, beberapa kali ketemu
di mushola, beberapa kali satu lift bareng, beberapa kali ketemu di parkiran,”
aku mencoba menyebutkan seberapa seringnya aku melihatnya.
“Wow,”
“Aku yang jaga photo copy, aku juga yang jaga stand
jus, aku yang jagain mushola, aku yang jaga parkir, aku juga yang jadi operator
lift, jadi kita sering ketemu, jangan heran,”
Dia diam, menatapku, lalu tertawa. Cukup lebar tidak
malu-malu. “Well, di fakultas kita
enggak ada penjaga lift, lho.”
“Itu Cuma kiasan bahwa aku enggak akan kamu
perhatiin,”
“Okay,
kamu bilang kita, um sebenernya kamu yang liat aku di kantin, beberapa kali.
Sebagai abang tukang jus, jus apa yang suka aku beli?” dia memberikan aku
tantangan. Aku mencoba membuka memori 3-4 tahun ke belakang.
“Melon?” aku ragu.
Mulutnya mulai menyunggingkan senyuman. “Kayaknya
beneran abang tukang jus deh,” ia mengakui bahwa tebakanku benar. Kami
menertawakan leluconku yang garing. “Kamu tuh nama lengkapnya siapa?” dia
menyeruput teh hijaunya yang mulai dingin.
“Andi Ibrahim,” kataku menyebutkan nama lengkapku.
“Seriously?
Andi Ibrahim?” ia tersedak mendengar namaku. “Kamu kan mahasiswa terbaik di
pasca sarjana,”
“Pada masanya,” aku mencoba merendah.
“Wow, orang yang pengen aku ajak ngobrol waktu
wisudaan malah ngajak dinner,” dia
menerawang.
“Oh jadi sempet ngecengin aku waktu dulu ya?” aku
mulai mesem-mesem.
“Waktu wisudaan doang, penasaran mana nih yang dapet
predikat mahasiswa terbaik, gitu doang,” ia mencoba mengelak dan mungkin memang
itu faktanya.
“Coba tebak kenapa aku bisa jadi mahasiswa terbaik?”
kali ini aku yang memberi tantangan.
“Mmm,” ia berpikir. “Tuntutan ortu? Ambisi?
Kesenangan?” ia mencoba beberapa jawaban.
“Salah semua,” ia menyerah. “Biar kamu lihat aku,” aku
menggodanya habis-habisan, mukanya bersemu merah mencoba menutupinya dengan
pura-pura tidak percaya.
“Gila ya, gue digombalin mulu di first met,” ia mencoba memberi tahu
bagaimana kondisinya.
Kami mengobrol banyak topik. Tidak merasa bosan
hingga, ponselnya berbunyi, panggilan masuk dari keluarganya aku tebak.
“Aku antar ya pulangnya?” aku memberikan penawaran.
“Enggak usah, aku pulang sendiri aja,” dia mencoba
menolak.
“Aku bawa mobil, dan tenang aku kuat kok kalau
angkat angkat” aku menepuk-nepuk lenganku yang membesar karena otot bisep
berkontraksi. Dia tertawa kecil melihat kelakuanku dan akhirnya dia menerima
tawaran dariku.
Aku mengantarkannya dengan selamat. Aku memarkir
mobilku keluar dari rumahnya, dari kaca spion aku masih bisa melihat sosoknya
masih menunggu di luar sampai aku yang tidak bisa melihatnya lagi.
Satu minggu, satu bulan, hingga berbulan-bulan Naomi
masih menyambutku dengan baik walau aku merasa ia tetap membuat jarak.
Sabtu pagi yang cerah ini aku berencana untuk
mengajaknya pergi. Mengajaknya pergi merupakan suatu hal yang perlu upaya
khusus, karena dia selalu menanyakan tujuan perginya apa, manfaatnya apa jika
pergi, apa konsekuensinya kalau dia tidak mau pergi. Yas, dia memang sangat
protektif atau malas pergi denganku atau memang….
“Dia memang suka banyak nanya kalau diajak pergi,”
tante Dinar –mamanya Naomi- menjawab pertanyaanku yang tidak aku lontarkan.
Sambil menunggu Naomi berganti pakaian, aku ditemani
dengan tante Dinar. Dia bercerita banyak tentang Naomi yang dulu dan
perbedaannya dengan yang sekarang.
“Tidak banyak berubah, dia tetep anak Tante yang
sangat pintar, hebat, dan membanggakan. Hanya yang berubah adalah dia menjadi
orang yang sinis kalau berhubungan dengan lawan jenis, hubungan, atau ya kamu
pasti tau maksud Tante,” aku mengangguk paham.
“Ibrahim,” suara tante Dinar dipelankan dan ia
memajukan tubuhnya, aku juga ikut memajukan tubuh untuk dapat mendengar apa
yang ingin disampaikan. “Naomi sebenarnya sudah sembuh, kenapa dia masih duduk
di kursi roda? Karena dia mengidap psikosomatik. Malah semakin jauh dari
obatnya, karena kita enggak tahu apa yang bisa bikin dia sembuh,”
Informasi ini membuatku berpikir, separah itu kah
pengaruhnya pada kondisi mental Naomi. Di balik ketegasan dan tawanya aku
menyadari bahwa dia sangat rapuh dan terbebani.
“Dulu dia pernah dilamar sama bosnya, tapi emang si
Naomi tuh susah banget dideketin jadi ditolak, alesannya pengen berkarir dulu.
Sampai akhirnya kecelakaan, makin aja jauh sama laki-laki,”
“Saya janji enggak akan nyerah sama Naomi, Tante,”
“Kamu harus kuat batin, tahan banting, dia butuh
seseorang yang bisa jadi penyemangatnya. Tante enggak minta kamu buat anter
jemput Naomi, karena tugas itu sebelumnya dikasih ke Om Darto, jadi kamu enggak
usah khawatir. Kamu cukup bertahan di samping dia,”
“Saya janji Tante, enggak akan buat Naomi susah,”
“Yu,” suara Naomi menghentikan percakapan rahasia
antara aku dan tante Dinar. Entah sudah berapa lama ia berdiri di belakang
kami. Apakah ia mendengar apa yang kami bicarakan?
Tanpa deklarasi janji di hadapan tante Dinar atau
mengetahui apa yang terjadi pada Naomi pun aku sudah berjanji pada diriku
sendiri untuk tidak meninggalkan Naomi. Apapun kondisinya, aku tetap mencintai
Naomi dengan alasan yang tidak bisa aku jelaskan. Naomi telah mengambil hatiku
sejak pertama bertemu bertahun-tahun yang lalu.
Pagi ini aku berencana untuk melamar Naomi. Aku
ingin membuktikan padanya bahwa aku serius ingin menjalani kehidupan
bersama-sama. Aku memohon pada papa agar aku diikutsertakan untuk meeting
dengan kantor Naomi. Walaupun aku tidak memiliki andil apapun namun aku bisa
jadi perwakilan kantor saja. Itu yang akan aku katakan.
Aku datang paling terakhir, menutup pintu dan
memandang ke arah Naomi yang sudah siap untuk presentasi. Ia sangat cantik
dengan caranya berpakaian, caranya duduk, caranya menatap semua peserta
meeting, caranya tersenyum walaupun bukan padaku.
Perjanjian kerja antara perusahaan papa dan
perushaan yang diwakilkan oleh Naomi berjalan dengan lancar, hingga tanpa sadar
ia berdiri untuk menyalami papa. Papa yang tetap duduk, terperanjat tidak
percaya. Semua orang yang berada di ruangan terperangah, termasuk aku. Apa
obatnya?
Papa yang sudah tersadar mencoba menyadarkan Naomi
dari rasa kaget dan tidak percayanya. Namun Naomi belum kembali, ia masih
membeku.
Papa mengajak semua orang khususnya sekretaris Naomi
untuk menyelesaikan urusan di luar dan memberi waktu untuk Naomi. Adakah orang
yang sebaik papa?
“Wow,” aku menghampirinya yang tidak bergerak
sedikitpun, seperti tidak akan pernah mendapat kesempatan ini lagi jika ia bergerak
barang sedikit.
Hingga akhirnya ia meyakini kalau ia benar-benar
bisa berdiri. Dia mencengkram kedua lenganku, sangat keras. Terasa ia sangat
bersemangat.
Setelah yakin dan benar-benar yakin bahwa ia tidak
membutuhkan kursi rodanya lagi, ia teringat dengan surprise yang pernah aku
katakan padanya.
Aku mengeluarkan kotak beludru bewarna biru gelap,
membukanya ketika aku berlutut dengan keseimbangan penuh, memperlihatkan
padanya.
“Naomi, mau kah kamu menikah denganku?” tanyaku.
Jeda cukup lama, karena mata Naomi bergiliran
melihat pada cincin dan padaku, berulang kali. Apa yang dia pikirkan?
“Yes! Absolutely yes!” katanya.
Selesai.
Komentar
Posting Komentar