Naomi.


Saat kecelakaan, dokter memvonis kakiku akan sembuh dalam waktu 8  sampai 14 bulan. Setiap satu bulan aku selalu periksakan kondisi fisik, diantar mama yang setia menemani. Jangan tanya, kenapa aku diantar oleh mama! Dion? Dia sudah menikah dengan perempuan lain. Jesse? Dia tetap menikah dengan Aimee. Aku? Jangan coba-coba tanya. Aku sedang membangun karirku di penerbit yang menerima aku ketika selesai di New York. Ya mereka tidak mempermasalahkan kondisi fisikku yang sekarang, mereka merasa otakku brilian sehingga aku dipertahankan, bahkan akhir bulan ini aku akan mendapat promosi.
Aku menjadi pekerja keras. Tidak mau sedikitpun mengenal waktu untuk diriku sendiri. Menurutku waktu yang tersisa dalam hidup adalah untuk bekerja, untuk keberhasilan promo buku baru, untuk keberhasilan bekerja sama dengan penulis internasional, dan untuk penerbit ini. Otakku tak pernah mau tidur, tidak pernah mau melirik hal lain, hidupku sekarang hanya ada pekerjaan.
“Kak, jangan lupa besok kita check up,” mama mencoba mengingatkan. Aku menghela napas, berhenti sejenak dari mengunyah roti isi yang kubuat sendiri. Apalagi yang harus dicek, Ma? Tanyaku dalam hati.
“Iya, Ma. Nanti aku kosongin schedule,” aku mengiyakan. Karena jika aku menolak, Mama akan sedih dan mengatakan bahwa ia tidak selamanya hidup sehingga harus dipastikan aku bisa membaik setiap waktunya.
Sebenarnya, aku tidak masalah tidak bisa berjalan. Aku tidak masalah duduk di atas kursi roda selama sisa umurku, aku tidak masalah jika tidak ada laki-laki yang mencintaiku, aku bisa sendiri. Tapi, jika aku bilang seperti itu mama selalu diam dan berbicara dengan suara yang bergetar. Menahan tangis, iya pastinya. Jadi selama ini aku periksakan kondisiku semata-mata untuk menenangkan mama, bukan untuk aku. Bahkan, aku tidak peduli dengan hasil temuan dokter, pun aku tidak peduli jika dokter menemukan kemungkinan aku memang harus mati besok.

“Selamat ya, Naomi. Berdasarkan hasil MRI, kelenjar keringat di kaki kamu sudah membaik bahkan sudah bisa bekerja untuk menghasilkan keringat. Sendi, saraf, dan pembuluh darah sudah berjalan normal sehingga seharusnya bagian tubuh dari panggul ke bawah sudah bisa memberikan respon sentuhan, suhu, dan rasa sakit.” Tepat 15 bulan setelah kecelakaan itu dokter memberi penjelasan mengenai penemuan terbaru pada kakiku, aku hanya mengangguk-angguk, sedangkan mama terlihat tersenyum bahagia. “Satu lagi Nyonya dan Naomi, ligamen dan tendonnya sudah sempurna terbentuk. Artinya, kamu sudah bisa berdiri, berjalan, jongkok, bahkan berlari,” dokter Joseph tersenyum puas, namun pasiennya masih tetap mengangguk saja.
“Kak, kamu bisa berdiri lagi,” kata mama senang sambil meremas lembut lenganku. Aku tersenyum pada mama yang sedang terharu karena anaknya akan sembuh bahkan sudah sembuh kata dokter.
“Mari kita coba uji refleks lutut kamu ya,” dokter mengetuk tempurung lutut kanan dengan hammer reflex namun kakiku tidak merespon. Lalu dokter mencoba mengetuk tempurung lutut kiri. Nihil, tidak ada respon. “Apakah kamu merasakan sentuhan saya?” dokter mencoba menyentuh kakiku. Aku menggeleng, “Apakah terasa sakit?” lalu dokter mencubit pelan kakiku. Aku tetap menggeleng.
Mama yang berdiri di sampingku mulai merasa panik, apakah berita membahagiakan yang tadi ia dengar tidak berlaku lagi sekarang?
“Minggu depan kamu ke sini lagi ya, kita coba tes MRI satu kali lagi,” akhirnya dokter mengatakan untuk tes lagi walaupun tadi tim dokter sudah sangat percaya diri.
Minggu berikutnya aku kembali menjalani tes MRI dan beberapa hari kemudian hasilnya masih menunjukkan hal yang sama. Dokter Joseph menyarankan aku untuk konsultasi dengan terapis. What? I’m not depressed.
Dokter Gaby mempersilakan kami duduk, senyumannya sangat manis, dia cantik. Kuperkirakan usianya baru menginjak kepala 4.
Setelah berbincang ringan akhirnya dokter Gaby mulai membuka catatan kesehatanku. Rupanya dokter Joseph sangat serius memberi rujukan pada terapis.
“Naomi, bagaimana perasaan kamu tentang kondisi kamu sekarang?” tanya dokter Gaby.
I’m feel good. Enggak ada masalah dok,” aku menjawab.
“Berdasarkan riwayat kesehatan kamu dari dokter Joseph seharusnya bagian tubuh kamu yang mengalami cedera sudah bisa berfungsi.” Aku tahu itu dok. Kataku dalam hati. “Jadi kemungkinan terjadi masalah lain di luar kendali dokter Joseph dan timnya.”
“Maksudnya mental saya yang sakit Dok?” aku bertanya sinis padanya. “Mana mungkin lah! Aku enggak pernah melamun ya Ma? Enggak pernah nangis kan menangisi kondisi aku? Aku enggak pernah pecah-pecahin barang, aku enggak pernah enggak mau makan atau bahkan mencoba untuk bunuh diri kan Ma?” aku kali ini bertanya pada mama untuk meyakinkan dokter Gaby bahwa aku tidak sakit. “Hubungan sosial saya di rumah baik, tetangga tetap menyapa saya, teman-teman di kantor juga tidak berubah sedikitpun kepada saya, bahkan akhir bulan ini saya mendapat promosi. Yang artinya itu menjadi indikator bahwa saya tidak menghadapi kesulitan sosial karena pekerjaan saya pun berjalan dengan baik, hidup saya sangat baik,”
“Iya saya mengerti,” katanya singkat. Dokter menghela napas mencoba mencari cara bagaimana memberitahu aku yang keras kepala ini. “Apakah kamu berpikir kalau tidak ada yang menyayangin kamu?”
“Tidak, karena saya punya Mama, Papa, Megan, Om Darto, temen-temen kantor? Saya enggak pernah berpikir kekurangan kasih sayang, Dok” jawabku.
“Okay, lalu apakah kamu pernah berpikir kalau tidak ada laki-laki yang mencintai kamu?” aku bingung dengan pertanyaan terapis kali ini.
“Saya tidak masalah dengan kemungkinan tidak adanya laki-laki yang mencintai saya,” jawabku. “Lagipula saya bisa sendiri, bahkan tanpa Mama. Sudah tidak ada yang perlu dikhawatirkan, saya Cuma harus menjalani hidup sebaik mungkin, tidak menutup kemungkinan sebentar lagi juga saya meninggal,”
“Naomi!” mama kaget dan menyentakku. Terapis terus mencatat setiap aku menjawab pertanyaan darinya. Semua kata yang keluar dari mulutku sepertinya adalah penting.
“Baiklah, namun pertanyaan saya belum menemukan jawabannya. Pertanyaan saya adalah PERNAHkah kamu berpikir bukan APAKAH PENDAPAT kamu mengenai,” Gaby menekankan setiap kata kuncinya.
“Pernah,” kataku singkat.
“Bagaimana frekuensinya. Apakah sering atau jarang?” tanyanya lagi.
“Tergantung situasi. Kalau banyak pasangan yang tertangkap oleh mata saya, saya berpikir seperti itu. Karena pikiran tersebut sangat menyiksa jadi saya menyibukkan diri dengan pekerjaan saya sehingga ta-daaa saya tidak perlu melihat pasangan yang saling melempar senyum bahagia saling tergila-gila satu sama lain,” aku menjawab pertanyaan Gaby dengan beberapa penekanan di kata-kata terakhir. Istilah yang membuatku muak.
“Terima kasih Naomi atas jawabannya. Kita bertemu minggu depan ya,” Gaby berdiri mendorong mundur kursi yang ia duduki. Ia menyalami aku dan mama, keluar dari balik mejanya dan mengantar kami sampai ke pintu ruangannya.
“Saya boleh ikut, Dok?” tanya mama.
“Aku aja lah, Ma. Mama enggak usah ikut,” aku yang menjawab.
“Kamu kalau enggak Mama anter, ntar kabur lagi,” aku menopang kepala dengan tangan kananku mendengar jawaban mama.

“Selamat ya, Naomi,” Pak Jordan memberiku selamat setelah secara resmi menjabat menjadi Kepala Divisi Humas dan duduk di sampingku setelah memberi kode pada Nikita untuk pindah.
“Terima kasih, Pak,” aku tersenyum gembira. Acara makan malam ini sengaja diadakan untuk merayakan promosi jabatanku. Semua pegawai diundang untuk makan malam setelah selesai bekerja.
“Naomi, mau enggak saya kenalin sama keponakan saya. Dia baru beres kuliah program doctoral di London,” tanpa basa-basi lagi Pak Jordan mengucapkan apa yang membuat dia harus mengusir Nikita untuk pindah.
“Ah, Pak, enggak perlu repot-repot,” aku mencoba menolak tawarannya dengan lembut.
“Enggak kok, enggak ngerepotin. Mau ya?” katanya memaksa. “Namanya Ibrahim, kayaknya seumur deh sama kamu, pasti bakal nyambung,” katanya lagi.
“Enggak usah, Pak,” aku masih dengan menolak.
“Kamu harus ketemu orang baru, Naomi,” ia mulai menceramahiku.
“Ya kalau orang barunya sebagai klien sih saya enggak akan nolak, tapi kalau yang lain saya enggak punya waktu, Pak,” aku mencoba menjelaskan.
“Kamu harus mencoba, bekerja terus tidak baik. Kamu harus menyeimbangkan kehidupan kamu,” katanya. Aku hanya terkekeh, “Nanti saya bilang sama ponakan saya kalau kamu mau. Biar dia yang booking tempatnya,”
“Pak,” belum selesai aku berbicara Pak Jordan bangkit dari duduknya dan tidak menghiraukan pendapatku.
“Namanya Ibrahim ya, nanti saya kasih nomor kontak kamu biar dia kasih tau dimana tempatnya, okay?” dia mengedipkan sebelah matanya. “Saya mau ngambil pencuci mulut dulu,” alasannya.

Keesokan harinya Ibrahim benar-benar menghubungiku. Ternyata Pak Jordan serius ingin mengenalkan aku pada keponakannya.
Bip. Ponselku berbunyi, satu pesan masuk.
Hey, Naomi. Ini Ibrahim, keponakannya Pak Jordan
“Iya gue tahu,” aku berbicara dengan ponselku yang menampilkan notifikasi dari Ibrahim.
Hey juga, Ibrahim.
“Astaga, balasan macam apa!” aku memaki diri sendiri.
Bip. Pesan baru masuk lagi.
Nanti malam kamu kosong enggak?
Aku menggigit kuku ibu jari tangan kiriku. Panik.
Aku balas apa? Apa bilang saja tidak bisa? Tapi nanti dia ngadu sama omnya bilang kalau aku cewek sombong, terus Pak Jordan juga kesal padaku, terus karirku yang sudah kucapai bakal berantakan. Aku menopang kepalaku dengan tangan kananku. Lalu dengan kedua tanganku. Bingung.
“Gue bilang lagi di luar negeri aja kali ya?” aku bertanya pada diri sendiri. “Tapi kan Pak Jordan satu kantor sama gue, ya ketahuan banget lah bohongnya,” aku mengacak rambut.
“Gue bilang lagi enggak enak badan aja kali ya? Berarti gue harus pulang cepet. Aduh, tapi kerjaan gue masih banyak,” aku memijat-mijat keningku yang tidak sakit.
Tok..tok…tok..
Nikita masuk ke ruanganku setelah kupersilakan masuk.
“Ini ada beberapa dokumen yang harus ditanda tangani, Bu,” ia menyerahkan dokumen yang dimaksud. Aku membaca dengan baik setiap kata dalam dokumen tersebut. “Bu, tadi Pak Jordan nanyain Ibu,”
Telingaku langsung berdiri. Waduh, dia ngecek gue. Kataku dalam hati. “Apa katanya?”
“Cuma nanya Bu Naomi ada? Terus saya jawab ada di dalem,” ceritanya.
“Terus?” tanyaku lagi.
“Udah, Bu, Cuma nanyain Ibu ada atau enggak, terus dia pergi ke bawah,” aku terus membaca dan memberi tanda tangan ketika dokumen itu aku setujui, Nikita masih setia menunggu sampai aku selesai dengan dokumen. “Kalian enggak ada hubungan apa-apa kan?” tanyanya menyelidik.
“Enggak lah, masa saya sama laki-laki yang sudah beristri. Kayak enggak ada laki-laki lain aja,” aku cepat menanggapi pertanyaan kecurigaan yang dilontarkan Nikita. Tapi emang ada ya laki-laki yang mau sama cewek kaya gue? Pikirku.
“Iyalah, saya percaya. Bu Naomi enggak akan ngeganggu rumah tangga orang,” jawaban Nikita mencoba memercayai atasan barunya.
“Hubungan orang yang mau nikah aja enggak saya ganggu apalagi rumah tangga orang yang udah bertahun-tahun, Nik,” kataku sambil tetap memberikan tanda tangan di dokumen terakhir.
“Hah? Pernikahan siapa, Bu?” tanyanya bingung.
“Hah? Eh, enggak,” aku terkekeh. “Besok ada meeting nggak?” tanyaku mencoba untuk mengalihkan fokusnya.
“Besok? Enggak ada, Bu. Kosong,” jawabnya.
“Besok saya mau ke rumah sakit ya, mau check up. Kalau ada meeting pindahin aja ke hari berikutnya, tapi kalau mendesak kamu yang gantiin saya,” kataku memberi intruksi.
“Siap, Bu,” jawabnya.
Thank you, Nikita,” Nikita tersenyum lalu keluar dari ruanganku. Ruanganku yang sepi membawaku kembali pada pikiran yang terpotong.
Aku meraih ponselku di ujung meja. Membalas pesan dari Ibrahim, menjawab pertanyaannya.
Kosong sih. Terikirim.
Dia langsung membalas. Aku cepat-cepat keluar dari aplikasi pesan agar tidak terlihat online tapi tetap memantaunya dari notifikasi.
Kalau gitu abis pulang kerja, bisa enggak sempetin dinner bareng aku?
“Apa gue coba dateng aja ya? Tapi gue bertaruh dia bakalan nyesel ketemu sama gue,” aku menarik salah satu ujung bibirku. Mencoba menantang diri sendiri.
Okay. Kataku.
Ia membalas dengan mengirim nama restauran tempat kami akan bertemu nanti malam.

“Enggak langsung pulang, nih?” tanya Om Darto, tetanggaku tapi ia disewa olehku untuk mengantar jemput aku.
“Enggak, Om. Mau ketemu temen dulu,” aku terkekeh mencairkan suasana.
“Temen apa temen?” tanyanya menyelidik.
“Temen, Om,” aku tertawa.
Sepanjang perjalanan ibukota yang macet Om Darto bercerita tentang penumpangnya yang ketinggalan pesawat, penumpangnya yang sedang membuntuti istrinya yang diduga affair, penumpangnya yang dikejar sama pacarnya pakai motor ojek pangkalan gara-gara enggak mau putus.
“Rame ya, Om hari ini?” tanyaku.
“Ya, Om bersyukur ada aja. Kosong sebentar ada lagi,” katanya. Akhirnya aku sampai di restauran tempat janji bertemu dengan Ibrahim. “Nanti dijemput lagi nggak?” tanya Om Darto sebelum pergi.
“Belum tahu Om, nanti aku kabarin aja. Kalau Om ada penumpang nanti aku pesen taxi online aja, enggak usah khawatir.”
“Jangan! Udah sama Om aja. Nanti kalau kamu dirampok gimana? Nanti Om datang secepat kilat,” aku tersenyum hampir tertawa. “Om juga udah janji sama Mamamu buat jagain kamu yang udah kayak anak Om sendiri,” aku dan Megan sedari kecil suka main di rumah Om Darto dan Tante Mira. Mereka tidak dikaruniai keturunan, sehingga aku dan Megan sudah dianggap anaknya oleh mereka. Memberiku angpao kalau lebaran, membelikanku oleh-oleh kalau pulang dari luar kota, membuat kue bersama Tante Mira kalau kita main di rumahnya, dan banyak kenangan lainnya. Kini Om Darto hidup sendiri, Tante Mira sudah pulang kepelukan Tuhan.
Aku melihat punggung Om Darto yang sudah tidak tegap lagi melangkah keluar dari restauran. Waitress mengantar kami menuju meja yang sudag dipesan Ibrahim, namun dia belum muncul juga.
“Naomi,” suara seseorang memanggilku dari arah belakang. Aku menoleh dan berdiri di sana laki-laki dengan kemeja bewarna abu-abu dengan lengan yang digulung, jam tangan dengan diameter besar melingkar di pergelangan kirinya, kacamata bertengger di hidungnya, rambutnya ditata rapi, aroma parfume menyerbu hidungku. Tak terlalu wangi namun cukup membuat indra penciumanku nyaman.
“Ibrahim ya?” tanyaku.
Dia tersenyum, mulai duduk di seberangku. “Maaf terlambat, udah lama ya?”
“Enggak kok belum, aku juga baru dateng,” kataku berusaha seramah mungkin.
Kami mengobrol santai, dia yang terlihat santai, sedangkan aku berusaha santai. Bercerita sana sini, hingga waktu yang mengingatkan aku untuk pulang.
“Aku antar ya pulangnya,” ia menawari.
“Enggak usah, aku pulang sendiri aja,” aku menolak. Lagi. Kenapa kamu selalu membuat penolakan Naomi? Aku bertanya pada diri sendiri.
“Aku bawa mobil, dan tenang aku kuat kok kalau angkat angkat,” dia menepuk-nepuk lengannya yang membesar karena otot bisepnya berkontraksi. Aku tertawa melihat kelakuannya dan akhirnya aku menerima tawaran dari dia.
Om aku pulang bareng temen. Aku mengirim pesan pemberitahuan pada Om Darto, agar ia tidak perlu cemas.
Selama perjalanan Ibrahim tidak berhenti bercerita, aku juga tertawa mendengar semua ceritanya yang lebih mengarah kepada mentertawakan dirinya yang konyol daripada ceritanya.
“Makasih ya udah anter,” kataku. “Dan udah mau direpotin karena harus angkat angkat hehe,”
“Aku yang berterima kasih karena kamu udah mau dateng, hehe. Aku pamit ya,” dia melambaikan tangan dan aku membalasnya.
Aku masuk ke dalam rumah, Mama masih sibuk dengan mesin jahitnya saat menyambutku pulang. Aku membersihkan diri, berganti pakaian lalu masuk ke kamar setelah memaksa mama untuk istirahat. “Palingan besok dia menghilang,” kataku sambil siap siap untuk tidur.

Setelah membuat janji dengan dokter Gaby, aku diantar oleh mama dan Om Darto. Aku memasuki ruangan yang sama, ruangan dokter Gaby yang sangat rapi dan selalu tercium aromaterapi yang membuat rileks.
“Hallo, selamat yaa sudah resmi nih dipromosikan?” dokter Gaby menyambut penuh raut wajah ceria.
Aku hanya tersenyum tersipu malu sembari menjawab terima kasih. Seperti biasa ini adalah sebagai pemanasan, inti pembicaraan yang sebenarnya sedang menunggu. Dan tibalah saatnya momen mendebarkan yang akan diutarakan oleh dokter Gaby.
“Naomi, setelah menindaklanjuti hasil pertemuan kita minggu kemarin, kamu terdiagnosis mengalami psikosomatis. Kamu pernah dengar sebelumnya?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Dr Watson juga mengalami psikosomatis,” kataku menerawang.
“Dr Watson?” tanya Gaby.
“Hm, temannya Sherlock Holmes.”
“Baik, jadi kamu sudah mendengar sebelumnya. Dia tidak stress seperti yang kamu bayangkan kan?” aku mengangguk. “Dia tidak perlu perawatan medis untuk mengobati soma atau fisiknya. Tapi perlu perawatan psikis.”
“Dokter saya tidak tahu apa yang menyebabkan saya mengalami ini,” kataku lirih.
“Efek stress bukan hanya banting-banting barang atau menjadi pemurung, tergantung bagaimana individu mengekspresikan emosinya. Kalau kamu mengekspresikan emosi kamu dengan bekerja keras, over, itu tidak apa selama tidak mengganggu kesehatan kamu tapi pada kenyataannya itu bukan menjadi penawar psikosomatis yang kamu alami,”
Aku terdiam mencoba menyelami hati dan pikiran mencari jawaban.
“Dari perbincangan kita minggu lalu, saya berasumsi bahwa pemikiran tidak ada yang akan menerima kamu adalah kunci yang menyebabkan hati kamu tertutup. Pikiran kamu ikut tertutup lalu muncullah stimulus bahwa cedera kamu tidak perlu sembuh. Pemikiran tersebut terlalu kuat sehingga cukup untuk membuat fisik kamu terpengaruh,” jelasnya.
“Saya hanya tidak mau kecewa, membuka hati lalu ditinggal pergi,”
“Semua orang punya cara untuk mempertahankan diri. Kamu under attack. Bukan oleh peluru, granat atau serangan-serangan seperti yang terbayang oleh kita ketika mendengar kata ‘perang’ tapi kamu sedang berperang dengan perasaan khawatir, takut, cemas, insecure, dan perasaan-perasaan negatif lainnya.”

Perkataan dokter Gaby melayang-layang dalam pikiranku. Sesampainya di pintu, aku menangkap satu buket bunga mawar merah di atas meja kerja.
“Nikita,” aku memanggil sekretarisku. “Itu bunga dari siapa? Udah dicek itu bunga beneran atau ada bom di dalemnya?” tanyaku menyelidik.
“Itu bunga beneran, Bu” kata Nikita terlihat geli dengan ekspresi wajahku yang waspada. “Dari Pak Ibrahim, tadi orangnya ke sini, anterin sendiri. Dia nyariin tapi saya bilang Ibu lagi check up di rumah sakit, terus dia pergi,” Ia bercerita sangat lengkap karena biasanya aku selalu bertanya sampai ceritanya berakhir.
Okay, thanks, Niki,” aku masuk menuju ruanganku. Menutup pintu, menuju buket bunga yang sangat cantik itu. terselip kartu ucapan berisi:
Have a nice day, Naomi.
Ibrahim.
Aku kalah taruhan dengan diriku sendiri.
Jangan meremehhkan niat baik orang di sekitar kamu agar kamu terlihat kuat. Kamu tidak perlu melakukan itu, karena kamu masih ada dunia ini pun adalah karena kamu kuat. Pesan dokter Gaby muncul di kepalaku.
“So, sikap positif apa yang harus aku tunjukan pada Ibrahim?” tanya pada diri sendiri. Ujung lancip kartu ucapan manis dari Ibrahim mengetuk-ngetuk daguku.
Makasih ya, bunganya berdiri cantik nyambut aku dateng.
Saat jam kerja hampir usai, Ibrahim baru membalas pesanku.
Kalau gitu mau dong dinner bareng aku lagi?
Oh itu tuh suap ya?
Bisa dikatakan seperti itu.
Sebal!
Engga deng, bunga dan dinner adalah dua hal berbeda yang tidak berkaitan sama sekali. Kalau mau aku jemput sekarang ke kantor.

Tok…tok..tok…
“Masuk” kataku sambil masih mengenakan gincu merah pada bibirku. “Ibra?” aku kaget ternyata yang berdiri di ambang pintu adalah Ibrahim.
“Udah siap, Bos?” dia melangkah maju mendekatiku. Berdiri di belakangku, mendorong kursi roda yang kududuki.
Membuka diri, merubah mindset, merubah strategi pertahanan diri. Itu menjadi resolusiku mulai saat ini. Seandainya Ibra meninggalkanku aku tidak akan takut.
Malam ini menjadi malam pertama dan malam seterusnya Ibrahim menjemputku di kantor untuk mengantarku pulang. Bahkan mama yang selalu khawatir dengan anaknya yang tidak pulang lagi dengan orang kepercayaannya meminta untuk sekali-kali untuk makan di rumah.
Malam ini Mama pengen kamu makan malam di rumah, jangan makan di luar.
Pesan ini kukirim untuk menyampaikan amanat dari mama. Ibrahim tidak menolak, ia bilang ketemu keluarga kamu? Makan malem bareng mereka? Why not?
“Wah masak masak nih, Tante,” Ibrahim menggoda mama. Meja makan kali ini lengkap bersama Papa, Megan dan Ibra. Mungkin Ibra juga bisa mematenkan tempat duduknya di rumah ini menjadi miliknya.

“Jalan yuk,” katanya di hari Sabtu pagi yang cerah.
“Apa keuntungan yang aku dapat kalau aku mau jalan sama kamu?” aku memberi tantangan.
Dia memajukan tubuhnya mendekatiku. Aku mundur.
“Sini mau dibisikin,” katanya gemas. Aku memasang telinga baik-baik. “Ada festival makanan di Menteng,” katanya berbisik.
Okay, tunggu aku ganti baju,” aku berbalik, masuk ke dalam rumah.
“Jangan lama,” pintanya.
“Enggak jamin,” balasku sambil berteriak dari dalam.

Ibrahim menjadi teman baik selama satu bulan ini. Teman yang sangat baik. Tetapi aku khawatir apa yang dirasakan oleh Ibrahim selama ini adalah suatu beban baginya dan aku tak ingin hal itu terjadi.
“Bra, kamu enggak malu jalan sama aku?” tanyaku.
“Eh, makananku udah habis. Beli itu yuk,” bukannya menjawab pertanyaanku, ia malah mengalihkan pembicaraan. “Mau nggak?”
Aku mengangguk, ia mendorong kursi rodaku menuju stand makanan yang ia tunjuk tadi. Untuk saat ini aku mencoba menahan diri untuk tidak mendesaknya dengan pertanyaanku yang tadi. Ia tidak menjawab mungkin karena ia tidak suka dengan pertanyaannya atau dia tidak merasa enak hati padaku jika ia mesti memberikan jawaban.
Jalanan sekitaran Food Festival yang diadakan oleh pemerintah daerah sangat macet, semua orang tumpah ruah, pedagang, pengunjung, barang-barang, kendaraan, semua hal. Ibrahim mendorongku lebih cepat karena rintik hujan mulai turun.
“Bra, kok enggak jawab pertanyaan aku tadi?” tanyaku. Ia masih belum memberi tanggapan. Suara wiper berbunyi naik turun.
“Naomi,” katanya akhirnya. “Aku sayang sama kamu, itu faktanya,”
“Jadi?” tanyaku belum puas.
“Jadi, aku enggak perlu merasa malu selama itu dekat dengan kamu. Lagipula memangnya kamu kenapa?” tanyanya.
“Jangan pura-pura tidak terjadi apa-apa,” kataku sambil menatap lurus ke depan. Hujan turun deras, mengaburkan pandangan di depan.
I love you unconditionally. I love all of you, bukan Cuma sayang sama kaki kamu,” katanya juga sambil memandang ke depan. “Jadi, kamu enggak perlu khawatir apa yang aku lakuin ini sebagai beban.” Aku terperanjat kaget, bagaimana ia bisa membaca pikiranku?
How….?” Kali ini aku melihat ke arahnya. Ia menoleh padaku.
“Aku tulus melakukan ini semua,” katanya tersenyum, tangan kirinya meraih tanganku. Meremasnya lalu membelai lembut.
“Aku ramal kamu enggak akan bertahan lama,” aku menarik tanganku dan melipatnya di dada.
“Jadi cenayang sekarang?” tanyanya mengerlingkan mata.
“Itu gombalan ala Dilan!” kataku merengut.
“Eh sorry aku enggak nonton filmnya atau baca bukunya,” ada nada bersalah dalam suaranya.
“Enggak asik ah,” aku masih merajuk.
“Lagian ngegombal kok yang jelek-jelek?” kali ini iya mulai menggodaku.
“Gombalan ala Naomi soalnya yang ini,”
“Ala Dilan atau Naomi?”
“Dilan,”
“Katanya ala Naomi. Ala Naomi atau ala Dilan?” ia terus bertanya sampai aku menyerah. Sebal!

Ibrahim menjadi telinga, menjadi sandaran, menjadi penopang, menjadi pelindung, menjadi penyemangat, menjadi duniaku. Duniaku bertambah sekarang, ketika Ibrahim datang, bukan hanya karir, tetapi juga perjuangan menjalani hidup lebih lama dan memandang dari sudut pandang lain.
Aku menekan tombol panggil ketika nama Ibrahim muncul di layar ponselku. Om Darto fokus dengan jalanan, sedangkan aku rindu.
Dering ketiga suaranya baru menyambutku.
Selamat pagiii duniaaaaa
Selamat pagi. Kamu hari ini ikut meeting?
Hm, belum tahu
Masa udah mau meeting masih belum tahu. Tanyain dong ke bos, bos ada di rumah kan?
Ada,
Coba tanyain
Udah aku tanyain
Kapan?
Kemarin.
Katanya belum tahu.
Kan mau surprise. Gagal ah jadinya.
Aku tertawa, menertawakan gambaran wajahnya yang pasti sok-sok merengut kesal karena rencananya aku beri gagal.
Jangan ketawa.
Kenapa?
Nanti aku suka.
Kayaknya kenal deh.
Hehe, aku jadi nonton Dilan biar kamu ga receh kalau ngegombal. Haha.
Niat ya Masnyaaa,

Om Darto menggendongku ketika Pak Amin –security di gedung tempat kantorku berada- membantu mengeluarkan kursi rodaku dari bagasi mobil Om Darto. Om Darto selalu mengantarku hanya sampai depan pintu masuk. Itu yang kuminta, karena aku ingin terbiasa menggunakan usahaku.
Aku memasuki ruang rapat, menyiapkan keperluan presentasi. 5 menit menuju pertemuan dengan perusahaan milik ayahnya Ibrahim untuk melakukan kerja sama yang akan menjadi prestasi besar bagi perusahaan penerbit ini.
Semua orang sudah memasuki ruangan, terakhir sosok Ibrahim menutup barisan. Setelah menutup pintu, pandangannya langsung mengarah padaku yang sudah siap, ia mengepalkan tangannya mengangkatnya ke udara, bibirnya menggumamkan ‘semangat’ lalu tersenyum lebar. Aku tersipu-sipu.
Semua mata tertuju padaku, semangatku semakin membara. Pak Andi Darmawan, menatap fokus memperhatikan setiap detil penjelasan yang keluar dari mulutku. Aku tidak akan membuat klien kecewa. Presentasi selesai, aku dan pak Darmawan bergantian menanda tangani dokumen kerja sama kami. Lalu pak Darmawan mengulurkan tangannya untuk menjabat tanganku mengucapkan selamat karena kami secara resmi telah bekerja sama. Secara refleks aku berdiri dan mengulurkan tangan untuk menjabat tangan beliau.
Semua orang yang ada di ruangan terkejut, begitu pula aku. Tanpa sadar aku meremas tangan klienku.
“Bu Naomi?” tanyanya mencoba mengembalikan aku dari rasa terkejut. “Selamat lagi!” pak Darmawan dan aku secara bersamaan melepaskan jabat tangan kami.
Aku masih belum sepenuhnya sadar, aku masih shock.
“Bu Naomi, anda tidak apa-apa?” melihat aku yang diam tidak bereaksi membuat klienku gelisah.
Dengan mata yang tidak berkedip aku mengangkat kepalaku yang sedari tadi masih memandang takjub kepada kakiku yang mau berdiri tegap menopang tubuhku, memandang wajah pak Darmawan yang terlihat khawatir. Aku mulai tersenyum, senyuman paling lebar yang bisa aku lakukan hingga pipiku naik menjepit mataku hingga sipit.
“Baik saudara-saudara Bu Naomi tidak apa-apa, beliau hanya shock,” pak Darmawan mencoba menenangkan semua orang di ruangan ini. “Kamu. Pegawai di sini kan? Kasih kabar baik ini ke semua orang di kantor. Bu Naomi sudah sembuh,” tawa klienku memenuhi ruangan, aku masih belum bisa mengatakan sepatah kata pun. “Mana sekretarisnya Bu Naomi? Mari kita urus semuanya di luar, dan semuanya mari beri ruang untuk Bu Naomi,”
Perlahan satu per satu orang di ruangan mulai keluar. Aku hanya tersenyum ketika semua orang mencoba untuk permisi pergi. Tersisa Ibrahim di ruangan ini, berjalan pelan dengan wajah tersenyum yang bertanya-tanya pula.
“Wow,” hanya itu yang keluar dari mulutnya. Kami saling pandang, lidahku masih kelu, otakku beku. “Naomi?” melihatku yang hanya diam membuat Ibrahim cemas.
Ia mengguncang-guncang pundakku dengan kedua tangannya. Are you okay? Wajahnya menampilkan pertanyaan itu.
“Aku bisa berdiri lagi Braaaa!!!!” ia mencengkram lenganku. Kami saling berpegangan.
“Iya aku tahu, selamaaatt!!” aku kembali bisu. “Coba jalan,”
Aku mencoba melangkah pelan, satu langkah, dua langkah, tiga langkah, kemudian mulai berjalan cepat. Lalu, mencoba berlari menghambur ke pelukan Ibrahim. Ibrahim memelukku, erat. Untuk sementara waktu, kurasakan dunia berputar dengan cepat sehingga aku tak mau melepaskan Ibrahim hingga kesadaranku muncul sepenuhnya.
“Aduh,” aku melepaskan pelukan dari Ibrahim.
“Kenapa?” tanyanya bingung.
“Aku harus minta maaf sama Papa kamu, dari tadi aku diem terus, pasti beliau ngerasa dicuekin,” aku mencoba mencari ponsel dalam tas.
Ibrahim mendekat, mecoba membalikkan badanku yang tadinya memunggunginya. “Nanti aku yang sampein,”
“Aku harus ngomong sendiri, minta maaf langsung,”
“Tenang aja, bentar lagi juga jadi papa mertua kamu,” katanya santai.
Aku memicingkan mata, menyelidik. “Oh, ini surprise yang kamu maksud. Kamu mau lamar aku ya?”
“Iya, kamu mau enggak?” tanyanya langsung.
“Minta yang bener dong,” kataku menantang.
“Baiklah,” ia berdeham. “Naomi Alessia P.”
“P-nya apa coba?” belum selesai ia berbicara aku mencoba menggodanya.
“Plankton?”ia tersenyum jahil.
“Ih!”
“Oh bukan ya? Payung?” ia mencoba bertanya.
“Ibra!” aku merengut.
“OH! Panu ya?” mendorong pelan di bahu kirinya, memasang wajah kesal. “Iya tahu, Panduwidjaja kan?”
“Kok tahu?”
“Tahu lah, masa nama calon istri sendiri enggak tahu. Pas ijab qabul gimana?”
“Aku kan belum bilang mau,”
“Okay, sebentar,” ia berjalan ke arah tasnya. Memunggungiku, berusaha menutupi apa yang sedang ia lakukan. Ia berjalan kemari, dengan satu tangan dimasukan ke dalan saku celana. Ia mendudukan aku, aku mengikuti saja. Lalu setelah aku dengan duduk dengan benar –sebenarnya aku duduk dengan perasaan tegang, sangat tegang- ia mulai berlutut, menunduk mencoba menenangkan badai di hatinya. Setelah menarik napas, “Naomi, mau kah kamu menikah denganku?” ia membuka kotak cincin dan berbaring di sana sebuah cincin yang sangat cantik, sangat cantik!

***

Komentar

Postingan Populer