Pilihanku Bukan Pilihanku
“Kiki, ini ada undangan untuk pelatihan TOT[1]
kamu mau ya wakilin UPT? Kamu kan baru jadi penyuluh pertanian jadi kamu harus
ikut pelatihan,” instruksi Bu Yuni, sekretaris di UPT tempatku bekerja.
“Baik bu,” aku menyanggupi. Bu Yuni menjelaskan
secara umum mengenai pelatihan yang akan ku ikuti, kapan, dimana, apa saja yang
harus kubawa sesuai dengan yang diminta oleh balai pelatihan di lembar lampiran
di belakang surat undangan.
Walaupun pelatihannya masih satu minggu lagi tapi
aku sudah menyiapkan segala keperluan, aku merasa begitu semangat. Sekolah atau
belajar selalu menjadi alasan mengapa aku selalu semangat, apalagi ketika
melihat wajah para petani yang mau menghadiri kegiatan penyuluhan atau pembinaan
yang rutin diadakan oleh UPT. Aku haru selalu memperbaharui informasi atau ilmu
yang aku punya, karena aku akan mentransfer kepada mereka. Mereka memang tidak
duduk di bangku kuliah tapi mereka bisa tetap memiliki pengetahuan yang sama
yang dimiliki lulusan magister sepertiku.
Hari Senin
aku mulai berangkat dari rumah menggunakan travel yang sudah kupesan. Kurang
lebih selama 4 jam berada di perjalanan aku akhirnya sampai di balai pelatihan,
aku disambut oleh petugas yang menjaga registrasi sangat ramah dan sering
bercanda dengan beberapa peserta lain yang sedang mengisi form biodata.
Pengalaman pertamaku ini sangat membingungkan, setelah registrasi aku diarahkan
langsung menuju kamar yang ada di asrama Alamanda. OMG, dimana asrama itu.
“A, maaf” aku berlari mengejar seorang laki-laki
yang berjalan 2 langkah di depanku.
“Iya ada apa?” dia menatap ke arahku setelah aku
berjalan di sampingnya. Aku terengah, hanya lari sedikit saja di jalan yang
menanjak ini cukup membuatku lelah, aku kurang berolah raga.
“Mau tanya, asrama Alamanda dimana ya?”
“Itu di depan,” dia menunjuk ke arah bangunan
bewarna kuning dengan gazebo di depannya. Aku terkekeh. “Masuk aja,”
“Terima kasih A,” aku sedikit malu karena ternyata
aku bertanya ketika yang kucari berada di depan mataku.
Aku masuk ke dalam, mencari kamarku, nomor 13. Aku
ketuk pintunya karena kata petugas sudah ada 2 orang peserta. Ya, Bu Heni dan
Bu Teti adalah teman sekamarku. Kami mengobrol saling berkenalan. Jam di
tanganku menunjukkan pukul 17.46, aku izin untuk mandi dulu padahal udara di
sini sangat dingin. Hari pertama di sini kugunakan untuk banyak bertanya kepada
teman sekamarku karena mereka berdua telah berpengalaman mengikuti beberapa
pelatihan yang diselenggarakan oleh balai pelatihan ini.
Ketika semua sudah dibagi ke dalam kelas, aku
mendapati bahwa aku satu kelas dengan laki-laki yang kemarin menunjukkan asrama
Alamanda, tanpa aku sadari laki-laki itu melihat ke arahku dan tersenyum, aku
buru-buru memalingkan wajah. Mengapa laki-laki itu berhasil membuatku malu
terus?
Akhirnya fasilitator[2]
memasuki kelas dan suasana kelas, oh tidak maksudku pikiranku, menjadi terfokus
pada kegiatan pembelajaran. Tiga hari berlalu kegiatan pembelajaran hanya
berada di kelas dengan materi yang berbeda-beda walaupun memiliki waktu yang
cukup panjang dan membosankan tetapi aku harus tetap semangat, demi kehidupan
petani yang lebih baik. Saat makan siang, aku bertemu dengan laki-laki itu,
bebaris tepat di belakangku.
“Teh, kita sekelas tapi kayaknya belum kenalan,” dia
memulai pembicaraan.
“Lagi antre buat makan siang dulu A, punten” aku mengambil
piring, sendok, dan garpu. Maju selangkah demi selangkah sambil berpikir
makanan apa yang akan aku ambil.
Laki-laki itu mengikuti tepat di belakangku dan
mengikutiku untuk duduk bersama bu Heni dan Bu Teti.
“Eh, Pak Angga.” Bu Teti menyapa laki-laki itu. Oh,
tiga hari satu kelas dengannya aku baru tahu kalau namanya adalah Angga. Yah,
aku terlalu sibuk belajar sehingga tidak memiliki waktu untuk bersosialisasi
dan memperhatikan sekitar.
“Kenalin ini Neng Kiki,” Bu Heni memperkenalkanku
pada Angga.
“Kita satu kelas, Bu,” Angga menjelaskan.
“Oh, iya kalian sama-sama horti[3]
ya?” tanya Bu Teti. Aku tersenyum mengiyakan. “Pak Angga masih di UPT?” tanya
Bu Teti lagi.
“Masih, Bu. Ibu udah masuk ke Kabupaten ya?” tanya
Angga melanjutkan pembicaraan. Aku yang tak mengerti terus saja menyantap makan
siangku.
“Iya, kenapa atuh Pak Angga enggak ikut daftar di
sini jadi widyaiswara[4]
dari pada di UPT?”
“Enggak ah, Bu. Enakan di UPT, lebih dekat sama
petani” jawab Angga.
“Kan di sini juga ada waktunya ketemu sama petani,”
Bu Heni yang sudah berada di Dinas Pertanian Kabupaten daerahnya.
“Iya sih, tapi enggak sesering kalau di UPT,” dia
terkekeh.
“Kan kamu teh lagi S3, sayang kalau Cuma di UPT mah gajinya
kecil,” Bu Teti masuk lagi dalam pembicaraan, hanya aku yang tidak bersuara.
“Saya jadi penyuluh bukan mencari gaji, Bu.” Aku
tersedak, Angga menoleh padaku, kami salaing bertatapan, aku buru-buru
mengambil gelas di depanku. “Saya kuliah di pertanian sampai saya sejauh ini
karena ingin mengabdikan diri pada negara, melalui tenaga dan pikiran saya
khususnya di bidang yang saya geluti yaitu pertanian. Saya kuliah tinggi bukan
agar gaji yang saya terima menjadi semakin tinggi, tapi karena demi petani dan
kemajuan pertanian Indonesia. Bagaimana mau berkualitas petaninya kalau lebih
sering bertemu penyuluh yang maaf ya hanya lulusan SMA yang awalnya Cuma
bantu-bantu. Bukan berarti saya calon doktor lalu menjauhkan diri dari para
petani, justru dengan pendidikan saya yang semakin tinggi saya ingin lebih
dekat dengan petani yang lebih paham kondisi di lapangan,”
Mendengar jawaban yang menohok dari Angga pada kedua
rekan sekamarku, membuat akal sehatku semaput, aku terpesona pada isi
kepalanya. Aku sangat setuju dengan pandangannya mengenai pekerjaan kita
sebagai penyuluh pertanian. Aku sangat setuju sama kamu, Pak Angga.
“Mari Bu, solat dulu keburu kelas mulai lagi,” dia
berpamitan pada Bu Heni dan Bu Teti, juga padaku melalui matanya. Aku
tersenyum, menandakan silakan duluan. He’s really perfect stranger.
Ketika kelas dimulai, semangat belajarku meningkat.
Teringat bahwa aku memiliki visi yang sama dengan teman baruku di balai
pelatihan ini. Teman baru yang kukagumi, teman baru yang memiliki pesona, teman
baru yang memacu semangat belajarku.
“Silakan duduk berkelompok, lalu disukusikan materi
yang sudah dibagi,” instruksi penanggung jawab kelas, widyaiswara senior dari
balai pelatihan ini.
“Perkenalkan saya Edi,” dia menyalamiku.
“Kiki” aku membalas jabat tangannya.
“Pak, kok ke saya enggak salaman?” Angga menggoda
Pak Edi
“Kamu mah udah tau saya, enggak perlu kenalan lagi.
Kan Neng Kiki mah baru,”
“Modus bapak mah,” canda Angga mencairkan suasana.
Ya, aku satu kelompok dengan Angga.
Dua hari berlalu sejak pembagian kelompok, akhirnya
hari ini kami melakukan pembelajaran di luar kelas. Pagi-pagi sekali setelah
sarapan, seluruh kelas termasuk kelas perkebunan dan kelas tanaman pangan juga
melakukan praktek lapangan dengan lokasi yang berbeda.
Lokasi tempat praktek yang jauh dari balai pelatihan
cukup memakan waktu yang lama, sehingga kami sampai pukul 7 malam. Lokasi balai
pelatihan yang berada di ketinggian 1500 mdpl dan gerimis yang menyambut
kedatangan kami membuat suhu udara malam ini sangat dingin, 16 derajat!
Kelas hortikulutura lebih beruntung, karena kelas
perkebunan pukul 8 malam baru sampai. Kabarnya, jalannya sangat sempit, hujan,
membuat harus sangat berhati-hati karena kalau tidak, bisa celaka, tergelincir,
meluncur ke lembah. Aku, Angga, dan Pak Edi yang berkumpul untuk membahas tugas
kelompok kami setelah makan malam, merasa ngeri mendengar cerita dari peserta
kelas perkebunan yang ikut bergabung di gazebo dengan asrama Alamanda setelah
mereka makan malam yang terlambat.
Hujan rintik-rintik yang semakin membesar mengusir
kami agar masuk kamar masing-masing. “Besok lagi aja ya, saya ngantuk banget
nih,” Pak Edi meminta untuk dilanjutkan besok. Kami setuju, karena aku pun
sangat lelah ditambah tawaran bersembunyi di balik selimut hangat lebih
menggoda daripada menghabiskan malam untuk mengerjakan tugas walaupun dengan
Angga.
Hari ke-6 di balai pelatihan, aku sangat disibukkan
dengan tugas kelompok. Pembagian tugas, diskusi, mengerjakan tugas
masing-masing, diskusi kami sempatkan di sela-sela waktu kosong agar tidak
mengganggu waktu belajar.
“Besok siap ya kita presentasi,” tanya pak Edi.
“Siap dong,” jawab Angga.
“Harus siap, Pak,” aku ikut menjawab. Aku berjalan
menuju asrama Alamanda dan memasuki kamar. Sebelum membersihkan diri, aku
mencoba berlatih presentasi untuk besok. Aku harus memberikan penampilan yang
terbaik. Buktikan bahwa fresh graduate sepertiku juga memiliki kemampuan yang
tidak nol. Di tengah latihan, handphoneku berbunyi, satu pesan masuk.
Semangat ya
latihannya, kelompok kita harus bagus. (emoji tertawa).
Siapa ini? Aku lihat foto profilnya. Ah, Angga.
Aku belum pernah melakukan personal chat dengan dia
sebelumnya, sehingga aku tak tahu kalau dia yang mengirim pesan padaku.
Tunggu. Bagaimana dia bisa tahu aku sedang berlatih
presentasi?
Gimana bisa
tau aku lagi latihan? Sent.
Saya depan
kamar kamu. Bling
Aku membuka pintu dan, tadaa dia berdiri di depan
pintu kamarku. Dia tersenyum. Akal sehatku yang sempat siuman, semaput untuk
kedua kalinya.
“Ini saya mau balikin flashdisk,” katanya sambil
menyerahkan flashdisk berbahan logam milikku.
“Ya ampun, kenapa enggak besok aja?” aku menerima
flashdisk dari tangannya.
“Enggak apa-apa, siapa tau mau dipakai kan, jadi
saya kembaliin as soon as possible
hehe,”
“So, makasih ya udah dianterin,” aku merasa
canggung.
“Mari, saya permisi dulu,” aku tersenyum. Masih
berdiri di depan pintu sampai punggungnya sudah pergi menjauh.
Oh tidak, jangan baper, dia hanya teman satu
kelompok, jangan baper. Bersikap profesional, dan yang paling penting,
realistis. Jangan baper, jangan baper. Aku menarik napas. Control Kiki! Control!
Pagi hari
yang cerah, aku menyantap sarapanku bersama Bu Teti dan Bu Heni. Aku mencari ke
sekeliling ruang makan, aku tidak mendapati Angga. Apa dia makan di ruang makan
Aster?
Bling.
Maaf ya, saya
tidak bisa ikut presentasi. Saya sedang di perjalanan pulang, istri saya mau
melahirkan. Mohon doanya, mohon maaf sekali lagi.
Pesan dari Angga dikirim di grup kelompok, bukan
secara personal padaku. Ah ya, dia mengabari itu kan karena tanggung jawab
kelompok, wajar saja dia harus memberitahu pada Pak Edi dan aku. Pasti sekarang
dia sangat panik bercampur bahagia. Aku menghela napas dan melanjutkan
sarapanku dengan lesu.
“Pak Angga, pulang ya?” Aku mengangguk, “Kita berdua
juga enggak apa-apa kan?” tanya Pak Edi lagi.
“Ya enggak apa-apa lah, Pak,” aku pura-pura tidak
masalah.
“Kok kayak yang sedih sih? Ditinggal Pak Angga ya?
Atau gara-gara jadi nambah presentasinya?” Pak Edi mencoba menggodaku, aku
tertawa malu-malu.
Apakah aku sedih ditinggal Pak Airlangga? Ataukah
aku sedih mendapati kenyataan bahwa dia sudah menikah? Mengapa dia begitu muda,
tidak memakai cincin pernikahan pula. Mengapa dia tidak memberikan petunjuk
kalau dia sudah menikah?
Tiba giliran kelompok kami maju untuk
mempresentasikan hasil temuan kami. Dengan kekuatan control aku bisa menguasi
situasi tapi aku masih kesal karena aku tidak bisa mengontrol yang ini, yaitu
perasaanku pada si Airlangga itu.
Hari ke-8 di balai pelatihan, hari terakhir aku
belajar. Apakah kamu belajar Kiki? Batinku sering mengejekku karena kegagalanku
untuk tidak menaruh hati pada laki-laki beristri yang sangat muda, yang sangat
cerdas dan tampan.
Sepanjang perjalanan kembali ke kampung halaman, aku
memandang keluar jendela. Melihat ke sekeliling kursi travel yang terisi penuh,
membuang pandangan kembali keluar. Aku membuka aplikasi pesan singkat, membuka
personal chat yang ‘dia’ kirim padaku. Aku buka foto profilnya, sial! Kenapa
kamu begitu menarik.
***
“Kenapa sih Bu, pusing amat mukanya?” aku duduk di
samping Bu Yuni, sang sekretaris UPT tempatku bekerja.
“Bakal ada pelatihan lagi, Cuma si Pak Kasim lagi
ada pelatihan juga di Jawa, Yayu anak yang bayinya lagi dirawat. Yang lain kan
bukan horti, sisa kamu. Tapi kan kamu baru kemarin pulang pelatihan, atau mau
lagi?”
“MAU!” aku sangat bersemangat mendengar kabar bahwa
akan ada pelatihan lagi dalam waktu dekat dan hanya aku satu-satunya yang
memungkinkan untuk ikut pelatihan.
Pelatihan kedua ini akan berlangsung 10 lagi dan
hanya 2 hari. Satu yang ada di kepalaku, apakah Airlangga akan mengikuti
pelatihan kali ini? apakah bayinya yang berumur kurang dari 14 hari rela
ditinggal demi pelatihan 2 hari ini?
Hari yang kutunggu pun tiba. Aku berdandan cantik di
pembukaan pelatihan. Aku melihat ke sekeliling aula, mencoba mencari sosok
Airlangga. Gotcha, di duduk di sisi sebelah kiri, mengenakan batik berdominasi
warna coklat. Dilihat dari sampingpun dia terlihat sangat tampan. Aku
mengeluarkan gincu berwarna merah dengan sedikit warna coklat lembut,
mengaplikasikannya pada bibirku yang sebelumnya sudah mengenakan gincu warna
natural.
Saat coffee
break, aku mendekati Airlangga yang sedang menyesap teh manis panas yang
disediakan oleh pihak balai pelatihan.
“Pak Angga,” aku menyapanya.
“Kiki,” Ia menoleh, tersenyum menyambutku.
“Apa kabar, Pak? Cie, sudah jadi ayah nih,” ia
tertawa, renyah.
“Alhamdulillah,” ia menjawab singkat, raut wajah
bahagia tepancar di wajahnya yang tegas. Aku mengagumi wajah itu.
“Laki-laki atau perempuan? Siapa namanya, Pak?” aku
bertanya lagi.
“Laki-laki, namanya Bima Wastu Adiswara,” ia
mengeluarkan handphone dari saku celana warna hitamnya dan menunjukkan foto
bayi tampan yang digendong oleh seorang perempuan, ya perempuan itu ibu dari
anaknya Airlangga, istrinya. Wanita beruntung, yang ya cukup cantik.
“Selamat ya, Pak,” aku mencoba menjaga nada suaraku
agar terdengar normal dan ikut berbahagia.
“Terima kasih, berkat doa kamu juga. Hm, saya minta
maaf karena tidak ikut presentasi,” katanya sambil menuntunku memasuki aula
yang menjadi kelas kami selama dua hari.
“Tidak apa-apa, saya dan Pak Edi bisa menghandle
dengan baik, malah saya turut senang karena siapa sih yang tidak mengharapkan
kelahiran seseorang,” aku tersenyum sambil menatapnya. Saat memandang matanya
yang menampilkan binar kebahagiaan, akal sehatku kembali siuman. “Pak, permisi
saya mau ke toilet dulu,”
“Silakan, saya akan jaga kursi kamu,” katanya.
Oh Tuhan, apa yang aku rencanakan setelah mendengar
akan ada pelatihan lagi sungguh keterlaluan. Aku menghapus gincu warna merah
yang aku pakai mengganti lagi dengan gincu berwarna natural yang biasa aku
pakai. Aku kembali memasuki aula, menemui Airlangga.
“Pak Angga,” belum sempat aku berbicara, dia
membicarakan hal lain.
“Lipstiknya dihapus ya?” aku terkejut dengan
pertanyaannya. Dia memperhatikan warna gincu yang aku gunakan.
“Iya, tadi saya makan di luar, jadinya luntur,” aku
memberikan pernyataan yang dusta. “Pak, saya duduk di depan ya,”
“Lho, kenapa?” tanyanya bingung, dan sedikit nada
kecewa yang dia tekankan dalam pertanyaannya.
“Saya kadang enggak bisa melihat dengan jelas kalau
terlalu belakang,” aku memberikan pernyataan dusta untuk kedua kalinya. “Mari,
Pak. Terima kasih sudah menjaga tempat duduk untuk saya,” aku berjalan ke
depan.
Jangan
coba-coba menengok ke belakang, Kiki! Batinku memperingatkan.
Itulah keputusan akhirku untuk melepaskan Airlangga.
Keputusan yang muncul setelah akal sehatku kembali muncul setelah terkalahkan dengan
bisikan untuk menggoda suami perempuan lain.
Aku juga telah menyadari bahwa aku tidak perlu
khawatir dengan satu laki-laki yang tidak menyukaiku. Aku tidak perlu khawatir
aku tidak akan mendapatkan pendamping hidup hanya karena laki-laki yang aku sukai
adalah kepala keluarganya.
Menjadi perempuan tidak perlu khawatir tidak akan
memiliki pasangan hidup, sehingga harus mencoba untuk merebut laki-laki yang
sudah memiliki istri, seakan di dunia ini tidak ada laki-laki lain selain dia.
Teruslah meningkatkan kualitas diri, kembangkan karir dan pendidikan, Tuhan
tidak akan berbuat jahat pada hambanya jika kita berusaha di jalan yang baik.
Kamu terlalu berharga jika harus melakukan segala cara untuk mengejar laki-laki
yang tidak seharusnya menjadi pasanganmu karena banyak juga laki-laki yang
lebih baik dari dia.
[1]
TOT (Training of Trainer) adalah
jenis pelatihan dengan pesertanya adalah trainer
atau pelatih.
[2]
Fasilitator adalah narasumber yang mengisi materi di pelatihan, bisa seorang
widyaiswara, kepala dinas bidang tertentu, atau bahkan petani
[3]
Horti(kultura): jenis tanaman yang dibudidayakan, seperti aneka cabai, mangga,
jerusk, dll.
[4]
Widyaiswara: Pegawai Negeri Sipil yang diangkat menjadi pegawai fungsional yang
bertugas untuk mendidik, mengajar, atau melatih pada lembaga pendidikan dan
pelatihan (diklat) pemerintah.
Komentar
Posting Komentar