Love is: Stupid.
“Kenapa lu, kayaknya lagi seneng,” Yansen yang
sedang main game war di ponselnya menyambutku yang baru datang dan seketika
semua orang melihat ke arahku. Aku hanya mengangguk, duduk di belakang Fred dan
Adam yang sedang main PES.
Ketika semua orang sedang sibuk masing-masing, aku
melihat foto Cecil yang aku ambil diam-diam ketika kami bertemu. Tidak bosannya
aku memandangi fotonya, caranya ia memandangku, memperhatikan sekitar, tersipu
malu, tertawa, merengut, berbicara, wajahnya yang serius, semua aku abadikan
dalam ponselku. Hati dan pikiranku dipenuhi oleh Cecil dan hanya Cecil.
“Bro, enggak pengen tahu apa kenapa gue seneng?” aku
mencoba mencari perhatian pada teman-temanku.
“Kenapa?” tanya Adam yang masih fokus pada PES.
“Gue tadi dicium sama Cecil,” aku bersiul-siul
girang.
“Dia yang cium lo duluan?” tanya Bernard,
memandangku, mengalihkan pandangannya dari layar laptop yang menampilkan
ratusan kata-kata dalam skripsinya.
“Yap,” aku menjawab singkat.
“Coba mana yang namanya Cecil,” aku memberikan
ponselku yang masih menampilkan foto Cecil. “Hmmmmm,”
“Apa artinya dari hmmmm itu?” aku ingin tahu apa
yang dipikirkan Bernard. Yansen mengambil ponselku dari Bernard untuk melihat
siapa sosok wanita yang membuat aku tergila-gila bahkan harus main hati dari
Abigail. Ponselku kini berada di samping Adam yang terakhir melihat foto Cecil.
“Maksud si Bernard itu adalah Cecil kayanya
menyenangkan,” Yansen mencoba untuk mengartikan perkataan Bernard yang
misterius itu.
“Bukan anjir, maksud si Bernard itu ni cewek bisa
diajak senang-senang,” Fred yang sedari tadi tidak berkomentar menepuk kaki
Adam.
“Maksudnya?” aku semakin tidak paham. Sebenarnya aku
paham apa yang dipikirkan oleh teman-temanku tapi aku tidak ingin berpikiran
negatif kepada Cecil.
“Kalau lo bisa ml sm dia, gue traktir lo semua
makan, tapi kalau lo gagal lo yang bayarin kita makan, setuju?” Bernard sangat to the point.
“Errr,” aku ragu menerima tantangan itu, aku
memandang semua wajah teman-temanku yang saat itu seketika teralihkan dari
gamenya. Wajah mereka menjelaskan bahwa ‘terserah lo, gue enggak ikut campur’. “Gue
harus mengenal dia lebih dalam dulu, enggak mungkin langsung gue ajak dia,” aku
mencoba mengulur waktu berharap mereka tidak serius.
“Santai, kalau lo siap berkabar aja,”
Sial, secara tidak langsung aku menyanggupi
permintaan Bernard. Sebenarnya aku sedikitpun tidak pernah memikirkan untuk
melakukan hal itu dengan Cecil, aku hanya senang bertemu dia, ngobrol kesana
kemari, membahas hal yang sedang hangat di negeri ini, berbagi opini tentang
semua hal yang terlintas di pikiran kami. Tidak sedikitpun aku memikirkan akan
melakukan ‘hal’ itu.
Cecil perempuan yang selalu aku lihat di halte,
mencuri perhatianku dengan bahasa tubuhnya yang sangat teratur dan lemah
gemulai tapi efektif membuat aku sangat bertanya-tanya siapa perempuan ini. Selama
di bis aku selalu mencoba duduk di seberangnya agar aku bisa memperhatikannya.
Hal yang selalu ia lakukan di bis adalah membaca novel yang sangat tebal,
padahal perjalanan dari halte untuk sampai ke fakultas Sastra hanya memakan
waktu kurang lebih tiga menit tapi ia menghabiskan waktu tiga menit itu dengan
membaca. Terlihat sebagai perempuan yang cerdas dalam memanfaatkan waktu.
Sherlock Holmes. Judul buku itu yang bisa aku ingat,
karena aku sangat familiar dengan kata Sherlock Holmes. Satu bulan mengaguminya
selama berada di bis, akhirnya aku bisa menyapanya. Dan sapaan pertama yang
terasa berat menjadi gerbang menuju kedekatan kami.
Beralih kepada pacarku. Ya aku sudah memiliki pacar,
Abigail namanya. Kakak tingkatku di fakultas, kami jatuh cinta di lift. Mengapa aku selalu jatuh cinta dengan
perempuan di tempat yang tidak diduga? Abigail adalah kakak tingkatku dan
sekarang dia sedang magang di luar kota sehingga sepertinya aku hanya merasa kesepian.
Well, Abigail dan aku sudah menjalin hubungan hampir satu tahun. Abigail adalah
perempuan hebat, cerdas juga, sangat teliti, dan aku mengagumi semua
pendapatnya. Terkadang aku selalu skak mat, ya karena dia sangat ingin menjadi
lawyer. Aku pikir aku harus banyak belajar dari dia bagaimana menjadi orang
yang tidak terkalahkan.
Setiap hari Senin, Selasa, dan Jumat adalah jadwal
dimana aku akan bertemu dengan Cecil di halte menunggu bis kampus yang
memfasilitasi mahasiswa untuk sampai di tujuannya. Pada hari itu dan di halte
sambil menunggu kedantangan Cecil aku selalu membawa setangkai bunga mawar. Bukankah
perempuan sangat senang diberi bunga? Ketika aku memberikan bunganya dia akan
tersipu malu, wajahnya selalu memerah walaupun hal tersebut sudah menjadi
kegiatan yang kesekian kali dan aku juga tidak pernah bosan melihat wajahnya
yang memerah.
Setelah pertemuan ini aku akan duduk di sampingnya
hanya jika bisnya masih menyisakan dua tempat duduk yang berdekatan. Dalam
waktu tiga menit itu kami selalu berbicara apa saja, bahkan mengenai cerita
novel-novel yang iya baca di bis. Melalui pembicaraan-pembicaraan singkat
seperti di bis atau saat kami sengaja bertemu atau melalui telepon aku menjadi
tahu impiannya dan dia juga tahu impianku, aku tahu kesukaannya dan ia tahu
kesukaanku, aku tahu hal apa yang tidak ia suka dan ia juga tahu hal yang tidak
aku suku, aku tahu kebiasaannya dan ia tahu kebiasaanku, aku tahu jadwal
kuliahnya dan ia tahu jadwal kuliahku, aku jadi tahu cara pandangnya, aku jadi
tahu sifatnya, aku jadi tahu sikapnya, aku jadi tahu siapa Cecil. Aku tidak
pernah merasa bosan dengan semua pembicaraan yang berjalan. Entah aku yang
sedang jatuh cinta atau memang aku menyukai semua tentang Cecil, bahkan
pandangannya mengenai gaya hidup orang kebanyakan termasuk gaya hidupku yang
bertolak belakang dengannya yang menyebabkan ketidaksetujuan dia dengan apa
yang aku lakukan justru tidak membuat aku membencinya, aku malah berpikir ulang
apakah aku harus merubah gaya hidupku.
‘Begadang itu enggak baik buat kesehatan, apalagi
sampai kurang tidur sangat sangat aku jauhi,’ katanya. Hal yang membuat aku
mengurangi intensitas bermain game dan seketika aku menjadi ‘laki-laki baik’.
“Eh gue kayaknya bakal traktir kalian semua deh,”
karena aku sudah menjadi laki-laki baik jadi sepertinya menerima tantangan dari
Bernard bukanlah ide yang baik.
“Ditolak? Anjir dia bilang apa?” Yansen bersemangat.
“Enggak, gue emang enggak minta. Gue enggak mau
merusak hubungan baik gue sama dia,” aku menjelaskan.
“Justru hubungan lo bakal lebih baik kalo lo berani
minta, percaya sama gue,” Bernard masih kekeuh dengan pendiriannya.
“No,” aku menggeleng dengan mantap.
“Lu mah sama Abigail enggak mau gara-gara dia pake
kerudung, nah Cecil kan enggak berkerudung,” Bernard mulai mengomporiku.
“Jadi lo ngasih tantangan itu dan sok tahu bahwa
Cecil mau itu gara-gara enggak pake kerudung?” aku sedikit terkejut dengan
pemikiran temanku ini.
“Ya lu pikir gue tahu dari mana?” dia dengan santai
menjawab.
“Iya sih emang, gue juga setuju sama Bernard.
Bukannya dia muslim ya, kenapa enggak pake kerudung? Bukanya sekarang baju
muslim pada bagus ya jadi dia enggak akan jadi jelek kalo pake kerudung,” Fred
mengambil suara.
“Gue pernah nanya sih ke temen-temen cewek gue yang
enggak berkerudung, mereka bilang belum siap atau kelakuan masih belum bener.
Nah, kelakuan kaya gimana coba yang enggak bener tuh?” Adam juga ikut di forum
diskusi ini.
“Gue enggak nanya sih kenapa dia enggak pake
kerudung, karena menurut gue itu privasi dia dan gue enggak ada urusannya. Tapi
mau pake kerudung atau enggak dia perempuan harus dihormati,”
“Gimana mau dihormati dia aja enggak menghormati
diri sendiri,” Adam menimpali lagi.
“Udahlah, si Brian mau traktir kita ngapa pada
larang sih?” Yansen yang memang netral mencoba menyudahi diskusi paradox ini.
“Yaudah kalau lo mau traktir kita boleh dong makan
makanan mahal?” Bernard masih mencoba mengoyahkan keputusanku.
“Nanti ya, gue lagi bokek. Nanti kalo gue ada duit,
gue janji.” Sebagai seorang laki-laki yang baik harus menepati janji yang
seharusnya tidak aku buat sebagai janji. “PES, PES,”
Universitas tempatku belajar ini memiliki lahan yang
sangat luas, sehingga tidak disangka karena lahan yang luas ternyata menjadi
sejarah pertemuanku dengan Cecil. Ah, aku pintar juga mencari cerita yang tepat
jika aku ditanya bagaimana asal usul perkenalanku dengan Cecil. Di tengah
khayalan-khayalan yang berhubungan dengan Cecil tiba-tiba ponselku bergetar.
Efek getar bertemu dengan permukaan meja menimbulkan suara yang mengagetkan.
Abigail.
Yang, nanti
sore aku pulang. Jemput aku di stasiun ya
Langsung ku jawab ‘Siap, yang. Jam berapa nyampe sini?’
Sebelum bertemu dengan Abigail aku langsung mencek
chat list dari Cecil, langsung ku hapus. Kupastikan tidak ada sisa-sisa chat yang
tertinggal. Walaupun Abigail sangat jarang memeriksa ponselku tapi berjaga-jaga
tidaklah salah.
Sore ini, aku sudah bertemu dengan Abigail, kami
memutuskan untuk pergi mengisi perut di salah satu kedai makanan cepat saji.
“Coba yang aku pinjem handphone kamu,” dengan rasa percaya diri tingkat tinggi aku
memberikan ponselku pada Abigail. Oh, ternyata dia hanya selfie, aku
melanjutkan makan.
“Yang, dimakan itu makanannya,” kataku.
“Enggak mood,” dia menjawab singkat sambil terus
menswipe layar ponselku.
“Lho, kenapa?” aku bingung dengan tingkahnya yang
tiba-tiba menjadi dingin seperti itu.
Dia memperlihatkan foto Cecil kepadaku, tatapannya
tajam, aku hampir tersedak namun tetap berusaha stay cool. “Who is she?”
tanyanya sambil memberi penenkanan pada kata she.
“Dia gebetannya Bernard,” aku menjawabnya santai
sambil menyuap makanan untuk menyembunyikan rasa yang bercampur aduk. Kenapa
aku lupa banyak foto Cecil?
“Banyak gini,” jawabnya lagi.
“Iya jadi si Bernard mintain aku buat foto cewe itu
secara sembunyi-sembunyi dan aku lupa belum ngasih ke si Bernard hasil foto aku
itu,”
“Oh ya gebetannya Bernard? Terus kenapa malah kamu
yang telponan sama cewek yang namanya Cecil? Bahkan intensitas teleponannya
lebih lama dari aku, frekuensi teleponannya lebih sering dari pada sama aku”
pertanyaan dia sangat menohok.
“Si Bernard itu kere suka mintain pulsa aku buat
telpon Cecil, lagian operator aku sama Cecil sama jadi dia suka manfaatin aku
gitu. Kenapa aku enggak sering telpon kamu? Ya kan handphone aku dipake sama si Bernard buat telepon Cecil,” aku
berdoa dalam hati semoga Abigail percaya padaku. Tapi aku sangat pesimis,
Abigail bukanlah perempuan yang bodoh, dia sangat cerdas mencari bukti.
“Brian, aku tahu kamu lagi bohong. Aku bisa baca
ekspresi wajah dan gerak tubuh kamu,” wanjir dia serius.
“Kamu ngomong apa sih yang? Kamu teh enggak boleh
nyia-nyiain makanan. Kasian sama petani dan kasian sama mereka yang enggak bisa
makan enak kayak kita,” aku mencoba mencairkan suasana.
“Brian, aku serius. Cecil dan kamu punya hubungan
kan?” aku terdiam. “Kita udah sepakat kan kalau kamu suka sama perempuan lain
bilang sama aku, kalau kamu jalan sama perempuan lain juga tetap bilang sama
aku. Enggak usah pake alesan mikirin perasaan aku atau enggak. Ketika pikiran
kamu milih suka sama perempuan lain aja itu udah nyakitin perasaan aku, maka
dari itu tell me the truth!” suaranya
yang kencang membuat beberapa orang memandang ke arah kami.
“Ya kamu benar, Cecil sebenernya deket sama aku
bukan sama Bernard.” Aku mencoba mencari prolog untuk menjelaskan semuanya.
“Then?”
tanyanya.
“Kita Cuma temenan, kenapa intensitas teleponan sama
Cecil lebih lama karena aku butuh temen ngobrol. Aku enggak mau ganggu kamu
karena aku tahu kamu enggak suka diganggu kalau lagi kerja. Tenang, aku ngobrol
sama Cecil ngobrolin yang berbobot kok, masalah politik negeri ini, masalah
sosial, ekonomi, budaya, agama, Pancasila, pemilu,” aku ngomong apapun yang
terlintas di pikiranku.
“What?”
dia tidak percaya.
“Ya, itu kebenarannya. Dia Cuma temen diskusi,
selain kamu enggak bisa diganggu kalau kerja ngobrol sama kamu juga kadang aku
enggak pernah diberi kesempatan bicara. Kalau kita ngobrol kaya satu arah aja,
semua control kamu yang ambil, semua pembicaraan kamu, tentang kamu, semuanya
kamu, kamu dan kamu”
“Ya orang setiap aku tanya kamu selalu ngelak,
selalu bilang enggak tahu, selalu jawab kamu enggak tertarik sama topik itu,
selalu bilang bukan urusan kamu. Aku malah surprise, wow ternyata kamu bisa
ngobrol ya sama orang lain,”
“Ya karena mungkin aku lebih cocok sama dia,” aku
menjawab.
“Ya udah, kalau kamu ngerasa lebih cocok sama dia,
good bye.” Dia pergi, mengambil tasnya dan pergi. Aku tak menyesal, aku hanya
mengungkapkan apa yang selama ini aku pendam. Ya permasalahannya adalah bukan
aku kesepian karena raganya yang jauh, tapi karena hati kami yang memang
berjauhan.
Dulu aku memang sangat mengagumi kecerdasan Abigail
tapi ego dia terlalu besar sampai sepertinya aku hanya semut di bawah egonya,
tak terlihat. Semua obsesinya, semua ambisinya mengalahkan keberadaanku. Aku
rasa dia memang tidak menganggapku sebagai hal yang penting sehingga kami tak
saling membutuhkan.
Aku menghabiskan makananku yang tersisa sedikit
lagi. Abigail sama sekali tak menyentuh makanannya jadi aku bawa saja untuk
diberikan pada tuna wisma yang mungkin aku temui di jalan. Aku memacu sepeda
motorku dengan kecepatan sedang sambil berpikir apakah yang aku lakukan adalah
salah?
Cecil. Aku butuh bicara dengannya.
Aku sempat berhenti di depan apartemennya namun aku
berpikir sudah malam untuk bertamu, aku akan mengunjunginya besok.
“Hey bro, hayu mobile legend,” tempat pertama yang
aku masuki adalah kamar Yansen, basecamp
kami.
Aku membuka aplikasi game tersebut, sambil menekuk
wajah dan bermain dengan asal-asalan.
“Lu kenapa sih Bri, cacat, kalah kan,” Fred si gamer
marah-marah karena tim kami gagal meraih kemenangan.
“Putus gue sama Abigail. Dah ah gue mau tidur,” aku
berdiri untuk pergi ke kamarku.
“Eh mau kemana, masih jam 7,” Adam menambahkan.
“Hayu dugem,” Fred mengajak kami untuk pergi.
“Suntuk gue,”
“Kalian aja ah, males gue nunggunya lama, gue mau
tidur aja”
Aku langsung masuk ke kamarku, mengunci pintu,
membanting tubuhku ke kasur. Aku mencoba memejamkan mata, namun aku belum
mengantuk. Entah mengapa putus dengan Abigail, perempuan yang telah tergantikan
bahkan sudah tidak ada di hatiku cukup membuatku uring-uringan. Lagipula siapa
yang menyukai perpisahan? Aku berpikir banyak tentang hari ini. Ternyata
menjadi orang baik tidak menjamin memberikan kesejukanan dan terhindar dari
menyakiti orang lain. Aku berpikir banyak hal semua hal yang tidak perlu aku
pikirkan malah aku pikirkan, aku mencoba untuk tidur, di tengah usaha itu
akupun tertidur.
‘Gue putus,
bisa ketemu?’ aku mengirim pesan pada Cecil. Aku ingin berbicara dengannya,
caranya berbicara selalu memberikan nasihat secara tidak langsung dengan
memberikan pandangan-pandangannya jadi aku membutuhkan Cecil.
‘Gue lagi di
kampus, bentar lagi pulang, kita ketemu di kafe samping apartemen gue.’ Dia
menjawab, tapi aku tidak ingin bertemu di kafe atau tempat ramai lainnya, aku
butuh privasi.
‘Enggak deh,
enggak jadi,’ aku menjawab.
Aku yang uring-uringan merasa malas untuk pergi
kuliah, aku berpikir untuk bolos hari ini karena aku sedang tidak ingin
melakukan apa-apa. Aku bermain PES seharian, tanpa mandi, tanpa makan, dan
tanpa perlu keluar dari kamar.
“Bri, jangan galau mulu napa.” Suara Fred terdengar
dari luar sambil sesekali mengetuk pintu.
“Hayu makan, itu si ibu warteg masak sayur asem,” tiap hari juga si ibu warteg emang masak
sayur asem kali Ber, kataku dalam hati.
“Main PESnya barengan dong, jangan sendiri aja,”
Yansen menambahkan.
“Hayu lawan gue,” Adam menutup formasi bujuk rayu.
“Enggak seru atuh lawan komputer mah, terlalu cetek,”
Aku tak menjawab semua usaha mereka. “Bukannya lu
kuliah hari ini?” Bernard bertanya sambil mengingatkan.
“Males,” aku menjawab singkat. Setelah mendengar
suaraku, satu persatu mereka meninggalkan pintu kamarku, terdengar dari suara
langkah kakinya yang semakin menjauh.
Malam harinya mereka sebagai teman masih mencoba
membujukku untuk keluar dari kamar. “Bri, hayu makan. Ini gue beliin ayam
goreng,” Fred memanggil dari depan pintu kamarku.
“Iya kalian aja yan makan,” lalu Fred pergi. Tak
lama setelah Fred pergi perasaan lapar mulai muncul, ditandai dengan perutku
yang keroncongan akibat tidak dimasuki makanan sedikitpun. Aku melangkah keluar
dan masuk ke kamar Yansen, mencoba berkumpul dengan mereka.
“Gue laper,” semua menyorakiku dan mengata-ngatai
segala macam karena aksi mogok keluar kamar yang aku lakukan sejak kemarin
malam.
Keesokan paginya aku mandi dan bersiap untuk menemui
Cecil. Aku akan menunggunya di depan pintu kamarnya. Beruntung ketika aku akan
mengetuk pintunya dia keluar sembari membawa kantong pelastik yang besar, ku
tebak itu adalah sampah.
“Brian?” tanyanya terkejut dengan kehadiranku.
“Boleh aku masuk?” tanyaku.
“Oh ya, bentar aku buang sampah dulu,” aku masuk
menunggunya di sofa. Melihat ke sekeliling ruangan yang sudah aku lihat
sebelumnya. Mencari hal yang tidak aku cari sambil menunggu Cecil kembali. Dia
datang, langsung mencuci tangannya di wastafel dan duduk di kursi yang jaraknya
berjauhan denganku.
“Aku udah putus sama pacar aku,” aku membuka
pembicaraan karena wajahnya seperti menunggu aku untuk bicara.
“Kenapa? Mau cerita?” dia bertanya, seperti orang
kebanyakan.
“Perasaan kamu gimana sama aku? Aku enggak minta
kita pacaran kalau kamu enggak mau, aku cuma mau benahin diri aku, kalau kamu
enggak mau ada di dekat aku, aku akan menjauh,” aku tak mau membahas Abigail di
sini, bersama Cecil.
“Aku nyaman bareng kamu, kadang aku juga kangen
kalau kita enggak kontekan,” dia menjawab.
“Artinya kamu enggak mau kita jauhan kan? Mungkin
artinya kamu juga sayang sama aku,”
“Memangnya kamu sayang sama aku?” dia tidak
memberikan jeda.
“Aku sayang sama kamu Cecil, setelah kemarin aku
bisa fokus sama masa depan aku, sama kuliah aku, dan fokus sama kamu,” dia
sepertinya senang mendengarnya. “Mungkin kamu enggak mau terikat komitmen tapi
aku percaya kamu juga enggak mau dekat-dekat sama hal yang bikin kamu terjebak
dengan komitmen lain, aku percaya kamu enggak akan dekat-dekat sama cowok
lain,” dia mengangguk tanda setuju denganku.
“Cecil, aku boleh peluk kamu?” dia berjalan ke
arahku dan memelukku, erat. Aku sangat nyaman berada di pelukkannya, namun aku
juga ingin mencoba menciumnya. Hal yang mengejutkan bagiku, dia langsung
menolehkan wajah dan memasang sikap defensif. “Kenapa? Ini kan bukan menjadi
hal yang pertama, dulu malah kamu yang memulai,”
“Iya aku tahu, dulu aku ya memulai,” dia menekan di
setiap kata-katanya. “Tapi aku enggak mau ada yang kedua kalinya,”
“Kenapa? Cuma kita berdua di sini, lagian kita
sama-sama sudah dewasa, apa lagi yang kamu takutkan?” aku bingung dengan
sikapnya.
“Aku enggak takut, cuma memang aku enggak mau Bri,”
dia menjelaskan.
“Katanya kamu sayang sama aku dan lihat gaya
berpakaian kamu. Aku kira kamu enggak akan bersikap seperti itu sama orang yang
kamu sayang,”
“Excuse me?
Gara-gara aku enggak pakai kerudung jadi kamu pikir aku perempuan yang tidak
akan menolak dengan semua pesona kamu?” dia mencoba membebaskan diri, aku
semakin liar.
“Kamu udah lupa ya Bri? Udah berapa lama aku bilang
kalau aku bukan penganut paham sex di luar nikah? Atau mungkin, selama aku
ngoceh terus kamu enggak peduli sama sekali apa yang aku bicarain? Jadi teleponan
sepanjang malam itu hanya sia-sia? Aku pikir kamu denger, aku pikir kamu kenal
aku, aku pikir aku kenal kamu, tapi ternyata aku salah,”
“Cecil, denger ya temen-temen cewek aku juga banyak
kok yang pake kerudung tapi enggak so suci kaya kamu yang malah enggak pake
kerudung, please ini cuma aku. Aku
enggak akan bilang siapa-siapa. Temen-temen aku ganti pasangan tiap hari mereka
santai aja” Aku masih mencoba untuk merubah pikiran Cecil.
“Cukup Bri, jangan sebutkan kata-kata itu,” Dia
menutup telinganya.
“Cecil, aku tahu mana perempuan yang bisa dipakai
dan mana yang enggak. Salah satunya perempuan kayak kamu. Itu udah jadi rahasia
umum lah, tanpa pendekatan juga perempuan kayak kamu. Cecil kalau kamu coba
kamu pasti suka.” Kami terdiam. “Cecil, katanya kamu sayang sama aku,”
“Love is not
about sex, Bri,” dia menjawab pelan, seperti berbisik.
Suaranya seperti menyimpan rasa sakit, dia memeluk
dirinya sendiri. Melihat dirinya yang seperti melindungi diri dan sikap
defensifnya menamparku, mencoba menyadarkanku dari sesuatu yang merasukiku. Bri, Cecil enggak mau melanggar prinsipnya! Pikiranku
seketika berkecamuk, perasaan sesal yang sulit diucapkan, perasaan marah
terhadap diri sendiri. Perpisahan membuat aku sulit berpikir sampai tidak bisa
menempatkan diri.
“You wanna
fuck me? Then fuck me.” Cecil mengucapkan kata-kata yang tidak aku duga. Tidak Cecil, aku tidak menginginkan itu. “Fuck
me Brian!” dia berteriak padaku.
Tidak, aku tidak menginginkan itu dengan Cecil. Aku
sayang dengan Cecil aku tahu semua prinsip dalam hidupnya dan aku
menghormatinya. Tidak, aku harus pergi. Aku telah merusak suasana, aku harus
pergi.
“Aku harus pergi,” aku buru-buru membuka pintu dan
tak sengaja membantingnya karena tidak memiliki banyak waktu untuk menutupnya
dengan perlahan. Aku berlari menuruni tangga, lantai 5, lantai 4, lantai 3 aku
terus berlari. Bodoh!
Aku memacu sepeda motorku dengan kecepatan 70 km/jam
dan memaki karena tidak sempat melewati lampu merah. Aku buru-buru masuk kamar,
memasukan beberapa baju, charger ponsel, buru-buru pergi lagi. Aku akan pulang
ke rumah!
Ya aku tahu, pergi menghindar merupakan perilaku
pengecut tapi masalah sudah selesai. Aku sudah selesai dengan Cecil, dan
biarkan aku pergi jauh menenangkan diriku yang kacau ini. Lima jam berada di
perjalanan hanya berbekal beberapa uang di dompet dan kartu ATM mengantarku
sampai rumah.
“Assalamualaikum,” aku mengucap salam. Pukul 13.50 lingkungan
rumahku sepi, seperti biasa.
“Waalaikumsalam,” jawab suara yang sangat familiar
di telingaku. Mama. “Aa, ya ampun kenapa enggak bilang mau pulang,” mama
merangkulku masuk ke rumah.
“Iya Ma, maaf.” Aku menjawab singkat sambil
terkekeh.
“Ya enggak apa-apa sih, yang penting kamu selamat
sampai sini tapi jadi Mama enggak masak buat nyambut kamu,”
“Maaf Aa baru pulang ke rumah. Maaf, enggak pernah
telepon. Maaf, enggak pernah kasih kabar” aku tiba-tiba memeluk mama. Aku merasa
kacau, hancur, dan butuh pertolongan.
“Enggak apa-apa, yang penting kamu sehat di sana.
Udah makan belum?” mama bertanya, aku menggeleng. “Yu makan dulu, Mama temenin,”
Aku makan dengan lahap, masakan mama selalu lezat
walaupun makanan dari fast food terkenal banyak juga yang menggoda. Mama duduk
menemaniku, sambil menonton TV sesekali menanyakan kabar kuliahku.
“Sebenarnya udah bisa nyusun skripsi, tapi Aa belum
dapet ide,” aku menjawab di sela makanku.
“Sering main ke perpustakaan,” mama memberi saran. Aku
mengangguk. Pertemuan yang mengharukan selesai ketika santap siangku habis, aku
pamit menuju kamar. Memandangi dinding kamarku yang ditempeli poster-poster
pemain bola dari tim favorit, beberapa action
figure yang tertata rapi dan bersih yang selalu dibersihkan oleh mama
walaupun aku pulang satu tahun dua kali untuk menghadiri hari raya lebaran. Betapa
sombongnya aku tak pernah pulang ke rumah, selama jauhpun aku tidak belajar
dengan baik, hanya mengiasi kehidupanku dengan drama percintaan yang kacau
balau.
Aku mencoba mengingat Cecil. Perempuan yang aku
hina, perempuan yang aku sakiti hatinya. Aku terlalu pengecut untuk meminta
maaf padanya, aku terlalu pengecut untuk menghubungi.
Selama satu minggu berada di rumah, aku mencoba
menyibukkan diri dengan membantu papa menjaga toko kelontongnya. Melihat bagaimana
orang berlalu lalang masuk dan keluar, beberapa pekerja membantu menangkat
belanjaan dari mereka yang telah melakukan transaksi dengan papa. Melihat banyak
hal yang tidak aku lihat selama ini. Aku yang sibuk main game, sibuk membuat
kisah romatis berakhir buruk membutakan mataku bahwa aku harus segera bergegas,
karena kehidupanku tak lama akan seperti mereka. Sekolah tinggi akan berakhir
dengan mencari pekerjaan, membangun keluarga dan bermasyarakat, akan ku nikahi
Cecil. Tunggulah aku dapat pekerjaan,
akan ku pinang kau.
Aku mencium tangan papa dan mama yang mengantarku
sampai depan rumah. Menyalakan mesin dan bergerak menjauhi rumah yang menjadi
tempat persembunyianku selama satu minggu. Ideku mungkin konyol tapi, aku tidak
ingin menjadi seorang pengecut. Cukup bersembunyi, lanjutkan kehidupan.
“Briaaaaan, lu dari mana aja,” Yansen menyambutku di
tangga. Suaranya yang kencang karena terkejut membuat Bernard, Adam, dan Fred
berlari keluar memelukku semuanya. Ada
apa ini?
“Jangan kabur-kabur lagi sih kalau ada masalah, kita
khawatir,” kata Adam.
“Apaan sih, jijik. Nih gue bawa oleh-oleh,” aku
menyimpan kardus yang ku bawa biar saja mereka yang bawa ke kamar, menyerbu
dengan penasaran apa yang ada di dalamnya.
Ketika mereka semua sudah berkumpul di kamar Yansen,
aku akan mengatakan sesuatu. “Nanti malem gue teraktir kalian makan akibat
kekalahan gue di tantangan yang Bernard kasih, lo semua pasti masih pada inget,”
“Lu ditolak sama Cecil? Kenapa dia enggak mau? Dia
lagi menstruasi?” tanya Yansen.
“Enggak, emang gue enggak minta, karena gue tahu prinsip
dia. So, gue kan banyak duit yaaa jadi waktu itu gue terima aja tantangan si
Bernard biar sekali-kali gue kasih makan lu semua,” kataku secara sombong. Semua
bersorak. “Jadi Ber, enggak semua perempuan itu gampangan, apalagi lo litany dari
dia pake kerudung apa enggak. Ya mungkin cewek-cewek yang kita tahu emang
kelakuannya pada begitu tapi ini gue kasih tahu ada satu cewek yang enggak pake
kerudung tapi dia punya prinsip. Itu yang nyelamatin dia dari hal-hal yang
tidak seharusnya dilakukan,” aku mencoba mematahkan suudzon Bernard.
“Iya, iya gue enggak akan nuduh nuduh cewek lagi.”
kata Bernard bertingkah menyesal.
“Iya sih emang gue sama temen-temen gue kalau
nongkrong di kantin suka ngomongin cewek, suka tebak-tebakan masih perawan apa
enggak, dan lain sebagainya. Kita seakan maha benar dengan tuduhan yang tidak
ada landasannya,” Fred menambahkan.
“Ternyata bukan cewek doing yang suka nyinyirin
hidup orang. Kita-kita sebagai cowok juga ternyata suka nyinyirin hidup orang
ya tapi dengan cara yang berbeda,” Adam ikut berargumen.
“Yap,” kataku sambil menyuap mangga dengan sambal kacang
yang ku bawa dari rumah. “Sekarang gue mau berubah, gue punya rencana buat
nikahin Cecil,” aku menceritakan rencana nekat yang terbersit secara tak
sengaja.
“Mantap gitu bro” Yansen menepak lenganku. Aku tersenyum,
walaupun dalam hati aku masih mengatai diriku sendiri laki-laki macam apa yang
memiliki salah tapi tak minta maaf, mengataiku pengecut jika aku sampaitak
minta maaf pada Cecil, mengataiku segala julukan menyebalkan lainnya.
“Wisuda kapan?” tanyaku.
“Bulan depan, enggak akan keburu lo ngejar wisuda
besok.” Jawab Fred.
“Enggak, gue mau datang ke wisudaan Cecil,”
“Lo mau langsung ngelamar dia?” tanya Bernard.
“Enggak, buset gue belum punya modal. Gue mau minta
maaf karena gue menghilang,”
“So sweet gitu, anjir,” aku semakin digoda oleh cecunguk-cecunguk
ini.
“Sebenernya gue, ah enggak ah,”
“Woi lanjutin ceritanya, wooi!” Bernard melemparku
dengan gumpalan tisu, aku langsung kabur ke kamarku untuk mandi dan beribadah. Aku
janji pada diriku sendiri untuk memantaskan diri dengan Cecil beserta
prinsip-prinsip hidupnya yang luar biasa berkelas dan bermoral. Lagipula, kata
siapa laki-laki yang beribadah tidak keren dan tidak bisa gaul, jangan selalu
melihat dari cangkangkanya. Aku hanya akan membatasi pergaulanku dan
memfokuskan waktuku untuk skripsi dan beribadah.
Di antara kami berlima Fred yang sudah berjalan jauh
skripsinya, dilanjutkan oleh Bernard yang stuck di bab II, aku yang sudah
memiliki ide, lalu ada Adam dan Yansen yang sedang mencari motivasi. Walaupun
kami belum bisa wisuda bulan ini, tapi kami hadir untuk mengucapkan selamat
kepada beberapa teman, dan juga mereka mengantarku untuk bertemu dengan Cecil.
Setelah menunggu lama dan mencari ke sana-kemari di
tengah kerumunan wisudawan beserta keluarganya dan para pencari nafkah (penjual
bunga, makanan, merch wisuda, dll) akhirnya aku melihat Cecil. Tubuhnya yang
mungil dibalut dengan kebaya berwarna hijau olive sangat cantik. “Cecil,” aku
menyapanya, ia tak membalasku malah memelukku. “Selamat ya,” ia masih
memelukku, erat.
Aku meminta maaf padanya tentang kelakuanku yang
merusak hubungan kami, aku sungguh menyesal. Melihat wajahnya secara langsung
seketika meruntuhkan keinginanku untuk menikahinya. Yang keluar dari mulutku
adalah ucapan perpisahan, karena aku terlalu takut untuk melukainya lagi.
Aku membalikkan badan, mencoba menyembunyikan
perasaan hancur yang kurasakan lagi. Bodoh!
“Cecil,” aku mencari Cecil, aku berlari mengejarnya
yang belum terlalu jauh. Aku meraih tangannya dan ia berhenti, “Cecil, tunggu
aku. Aku ingin menikahimu, tunggu aku,”
Matanya terbelalak kaget akan apa yang ia dengar, lalu
ia menggeleng. “Aku enggak bisa jawab iya atau engga, kalau kita berjodoh
mungkin kita bisa menikah. Kamu enggak usah pikirin itu, selesaikan studi kamu
dulu. FYI aku ambil S2 di Rusia,” ia memberikan berita yang cukup membuat
jantungku berdebar-debar lebih kencang, danyut nadiku pun meningkat, otakku
kalang kabut. Ini adalah penolakan.
“Cecil,” perempuan yang menggunakan toga
memanggilnya.
“Aku harus pergi, keluargaku udah menunggu dari
tadi. Sampai ketemu Brian,” aku melepaskan tanganku dari tangannya. Dia berjalan
menjauh, meninggalkanku di tengah kerumunan manusia. Sampai ketemu lagi, Cecil.
***
Setiap pagi senyumnya menyambutku, foto Cecil
menggunakan toga tersenyum ke arahku, aku membalas senyumnya. Foto yang diambil
10 tahun yang lalu itu sama seperti wajah kamu aslinya, cantik dan perasaanku
padamu juga masih sama, selalu cinta walaupun pada kenyataannya kamu sudah
menjadi istri pria lain.
Selesai.
Kasih tanda atuh, wkwkwk asli gak bakalan beres 1 hari, kaya *** gitu gitu tiap 4 paragraf atau tiap ganti scene...
BalasHapus