#Boys’ Diary
#Barisan Para Mantan
Satu hari berada di Indonesia, aku memutuskan untuk
pergi ke rumah Sebs. Bisa dikatakan kalau aku ini rindu padanya. Selama 5 tahun
tidak bertemu, kurasa rindu yang ku tanam sudah berbuah. Untuk hari ini biarkan
aku berkumpul bersama keluargaku terlebih dahulu, walaupun dalam hati aku ingin
menghubungi Sebs, hanya sekedar mendengar suaranya.
“Maaa, aku berangkat yaa,” aku pamit pada mama untuk
pergi. Aku berhenti sebentar untuk mengecek penampilanku. Rambut? Oke. Baju?
Oke. Wangi? Wangi. Sepatu? Matching. Dompet, handphone, make up, lengkap. Taxi
online yang kupesan pun sudah menunggu di depan rumah, siap berangkat.
Setibanya di depan rumah Sebs, semangatku untuk
bertemu laki-laki yang membuat aku rindu itu tiba-tiba menciut, aku berpikir
ulang apakah aku harus mengetuk pintu rumah ini? Aku terus berpikir apakah aku harus atau tidak.
Bagaimana jika tidak ada orang? Bagaimana jika… Bagaimana jika, dan pikiran
negative pun langsung bermunculan. Akhirnya aku putuskan untuk mengetuk pintu
yang tidak jauh dari jangkauanku. Aku ragu lagi, aku persiapkan mental dulu.
Saat tanganku mengarah ke pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka dan Sebs berdiri
di sana, memasang wajah terkejut.
“Mia?” aku juga yang sangat kaget, berdiri mematung,
sempat kehilangan kesadaran.
“Hey,” aku terkekeh, mencoba untuk mengembalikan
kesadaranku.
“Kamu mau kemana?” kami mengatakan secara bersamaan.
“Harusnya aku yang nanya, kamu mau kemana?” aku
mempertahankan pertanyaan yang aku mulai duluan.
“Um, ke rumah kamu.” Dia menjawab.
“Kan aku ada di sini, jadi di sini aja gimana?”
“Gimana kalau di rumah kamu aja?” dia mencoba untuk
bernegosiasi. “Udah yuk, ke rumah kamu aja,” dia menarik lenganku, tanpa
memberiku kesempatan untuk mengutarakan pendapat.
Kami saling bertukar cerita tentang kehidupan kami
selama 5 tahun ke belakang, tentang pekerjaannya, tentang pengalamanku kuliah
di UK, bertanya apapun yang kami ingin tahu, kecuali satu yang tidak pernah
keluar dari mulut kami, ‘apakah kamu merindukanku?’
Ketika sampai di rumahku, tangannya meremas saku
jaketnya berkali-kali, kenapa dia? Apakah dia nervous?
“Assalamualaikum,” aku mengucapkan salam dan suara
papa yang menjawab. “Eh Papa udah pulang,” aku mencium punggung tangan papa,
begitupun dengan Sebs. “Mama kemana, Pah?”
“Mama lagi mandi, silakan masuk Bastian,”
Kami berbincang bertiga, tidak berapa lama mama
datang menyambut Sebs.
“Eh ada Sebastian, udah lama enggak ke sini,”
“Eh iya Tante maaf ya,” Sebs menyalami mama.
Tangannya kembali meremas saku jaketnya, bahkan sebelum menyalami mama pun dia
melakukan hal itu lagi. Ada apa dengan dia? Apakah tangannya berkeringat?
“Kamu kenapa sih? Aku perhatiin kamu megangin saku
jaket terus, tangan kamu keringetan? Kan ada tisu,” aku berbisik, dia
menggeleng tidak apa-apa sambil tersenyum, aku curiga.
“Om, Tante, um..” dia diam sebentar.
“Ada apa Sebastian?” Tanya mama.
“Begini, um…” kami bertiga memperhatikan Sebs dengan
tatapan penuh Tanya. “Saya ingin melamar Mia,”
WHAT????
Papa kaget, mama kaget, aku lebih kaget. Kenapa hari
ini penuh dengan kejutan. Kami semua terdiam, lalu papa dan mama tertawa
renyah. Aku masih kaget.
“Tuh Kak, ada yang ngelamar, diterima enggak?” Mama
menggodaku, aku masih shock.
Sebs mengeluarkan sebuah kotak dari dalam saku
jaketnya, oh ini alasan mengapa ia selalu meremas saku jaketnya.
“Maukan kamu menikah denganku, Mia?” Sebs membuka
kotak itu dan sebuah cincin cantik tersenyum dari dalamnya. Aku hanya tertawa
salah tingkah ditambah bingung secukupnya. “Aku menunggu kamu pulang, selalu.
Maaf aku enggak mengantar kamu ke bandara karena aku tidak tahu. Maaf kalau aku
tidak pernah megunjungi kamu ke UK, karena aku menabung untuk masa depan kita
dank arena aku tahu kamu akan pulang. Mia bisakah kita kembali bersama? Aku
telah berpikir secara matang kalau aku jatuh cinta sama kamu sejak kita masih
sekolah sampai sekarang. Mungkin aku pengecut tidak pernah berani mengatakan
tentang perasaanku sebenarnya, seberapa besar rasa rindu yang aku simpan,
seberapa besar rasa menyesal yang aku simpan karena menyia-nyiakan kamu, dan
seberapa besar cinta yang aku punya, ternyata tidak sekecil yang kamu lihat,
aku benar-benar jatuh cinta sama kamu, Mia.”
Aku masih terdiam, namun kali ini perasaan haru yang
mendominasi.
“Maukah kamu menikah denganku?”
Aku mengangguk, “YA,” sambil terisak karena bahagia.
“Aduh Pah, kita punya menantu,” celetukan mama
mencairkan suasana.
Kami berdua, akhirnya berada di sini, di atas
pelaminan, tak berhenti tersenyum akibat rasa bahagia yang tidak habisnya. Melihat
Sebastian berada di sampingku yang terus tersenyum dan tertawa mengisi ulang perasaan bahagiaku.
***
Kami yang disebut Boys Before Flower oleh Safira
berencana untuk mengadakan pertemuan di salah satu tempat makan yang terkenal
dengan bakminya yang enak seantero Jakarta, mumpung Gusti belum kembali ke Kalimantan
untuk kembali bekerja. Kebetulan kami masih dalam libur lebaran dan kami paham
betul betapa waktu libur kami menjadi sangat berharga untuk bertemu. Gusti
menamakan pertemuan kami sebagai Pesta Bujang Wicak, karena lusa Wicak akan
menikah.
“Lusa Wicak nikah nihhhh, kapan lo nyusul?” Dean
bertanya pada Gusti.
“Kapan Masayu nyusul Mia yang sekarang lagi hamil
tua?” Gusti mengalihkan pembicaraan.
“Loh kok, jadi Masayu yang kena,” Dean tidak terima.
Gusti terkekeh, “Nanti abis Wicak,” dan hanya
menjawab singkat.
“Diana diundang nggak, Cak?” Sebs bertanya.
***
Sudah dari satu jam yang lalu undangan itu
tergeletak rapi di atas meja kerjaku, diantarkan oleh salah seorang OB sambil
mengantarkanku segelas teh hitam. Aku belum membukanya.
Ya, undangan itu dari Wicak. Melihat ke arah
undangan itu lagi ingatanku kembali ke malam dimana aku diantarkan pulang
olehnya.
Aku berlari ke arah lift yang hampir menutup tapi
orang dalam lift itu mencoba untuk menahan pintu lift setelah melihat aku
berlari-lari ke sana.
“Wicak?” aku mengenal orang yang baik yang sudah mau
menungguku.
“Eh, Di. Lembur lagi?” dia bertanya basa-basi.
“Iya males kejebak macetnya,” aku menjawab.
“Mau pulang bareng?” dia bertanya. “Atau lo udah
pesen taxi online lagi?” aku menggeleng, belum. Lalu kami sepakat untuk pulang
bersama, menaiki motornya.
“Bawa helm buat siapa? Jangan-jangan lo ojek online
ya?” aku mencoba memecah suasana yang kaku sejak di lift.
“Enggak, gue emang sengaja bawa helm cadangan siapa
tahu gue ketemu lo jadi kalau lo mau gue ajak pulang bareng, lo tetep safety,” dia terkekeh namun menjawab
dengan serius.
Sepanjang perjalanan kami saling diam, aku sangat
benci suasana seperti ini. Wicak sangat diam sekarang, sejak kejadian itu.
“Waktu kita ketemu di depan kantor, pas gue sampe
rumah gue liat lo deket rumah gue. Lagi ngapain?”
“Gue ngikutin lo, gue harus pastiin lo aman,”
“Kenapa?” aku merasa sesak.
“Karena gue kenal lo dan lo temen gue sejak SD jadi
kenapa gue harus cuek ketika gue tau tingkat keamanannya enggak 100%. Ya
mungkin gue terlalu negative thinkingsama
drivernya tapi kan memastikan enggak dosa?” aku hanya mengangguk.
Perjalanan yang tadi terasa sangat panjang menjadi
terasa sangat singkat, kami sudah berada di depan rumahku.
“Salam ya buat orang tua lo. Gue pulang dulu,” dan
di situlah terakhir kami bertemu. Kini undangan berwarna peach itu yang menjadi
perantara dari hubungan kami.
Sekarang aku ingat bahwa Wicak adalah temanku saat
sekolah dasar, dia juga adalah teman satu gedung kantor. Aku meraih undangan
itu membukanya, membacanya dan memutuskan untuk menghadirinya. Aku pernah
berpikir untuk langsung membuang undangan itu tapi setelah berpikir mengapa
harus berpikir seperti itu? Semua orang punya kesalahan di masa lalu, maka dari
itu tinggalkan kesalahan itu jangan dibawa-bawa ke masa sekarang. Bukankah kita
teman?
***
“Bentar ya, ada telepon masuk,” Dean pamit keluar
untuk menjawab telepon.
“Eh gue udah ketemu loh sama Safira,” Gusti memasang
muka bangga.
“Terus perasaan lo sekarang gimana?” Tanya Wicak
penasaran.
“Plong, itu yang gue rasa. Ternyata kalau mau hidup tenang
lo harus ungkapin,”
“Gue setuju sama lo, bertahun-tahun pura-pura
mengabaikan Mia nyiksa banget sampe akhirnya gue utarain aja kalau gue selalu
sayang sama dia,”
“Nah Sebs mah hasilnya kita udah pada tau, gimana
hasil ngobrol sama Safira?”
***
Gusti memang laki-laki aneh yang aku temui di SMA.
Dia tidak jelas, tidak bisa aku baca. Ketika semua orang bilang bahwa dia
menyukaiku aku tidak mendapat bukti nyata, karena dia tidak pernah mengatakan
padaku baik secara langsung, melalui surat atau telepon atau apapun, tidak sama
sekali. Ketika banyak orang yang mengatakan bahwa Gusti kecewa mendengar kabar
aku pacaran dengan Geri aku juga tidak menganggap sebagai berita yang harus aku
percaya. Karena cinta butuh pernyataan. Cinta butuh untuk dinyatakan.
Gusti seharusnya tidak perlu merasa kecewa aku
pacaran dengan laki-laki lain, karena dia tidak pernah menyatakan bahwa dia
suka padaku seperti laki-laki lain yang pernah menjadi pacarku. Gusti
seharusnya tidak perlu merasa kecewa jika aku menikah dengan Denis. Jika saja
dia memiliki keberanian untuk menyatakan perasaannya mungkin saja kami pernah
atau sampai sekarang menjadi pasangan yang serasi, tapi karena dia tidak pernah
melakukan itu, jangan salahkan aku dan jangan pernah menganggap aku sebagai
orang yang kejam.
Tapi, ketika Gusti menghubungiku untuk bertemu ada
perasaan bahagia puas atau apapun itu namanya karena akhirnya ia memiliki
keberanian untuk menghubungiku. Mungkin terdengar seperti aku pelatih
menyatakan perasaan tapi aku adalah kaum cinta datang seiring berjalan waktu,
bukan kaum cinta karena dia cinta duluan. Pemirsa, aku katakan kepada kalian
semua bahwa aku tidak pernah merasa sedih karena akhirnya dia bisa move on
dariku, aku bukan orang yang suka menahan orang yang menyukai untuk tetap
menyukaiku walaupun akunya tidak. Tidak!
Aku dan dia adalah teman SMA, di mata ku, mungkin di
mata dia kami adalah dua orang yang tak pernah bisa bersatu atau apapun yang
dipikirkan Gusti. Aku juga akan turut berbahagia jika dia bisa menemukan sumber
bahagianya, aku akan turut berbahagia untuk kehidupannya kerena kami adalah teman.
***
“Telepon dari siapa? Lama amat,” Gusti penasaran.
“Nyokapnya Sascha,” Dean menjawab, wajahnya tidak
terbaca, ada bahagia, cemas, bingung, dan berbagai macam rasa yang saling
berebut untuk tampil dihadapan kami.
“Kenapa?”
“Minggu kemarin, gue diajak keluarganya ke Bogor
buat nengokin dia,” Dean memulai ceritanya.
“Oh sekarang Sascha tinggal di Bogor?” Wicak membuat
kesimpulan, tapi Dean menggeleng.
“Sascha dirawat di salah satu tempat apa ya namanya,
tempat milik dokter sih untuk masa penyembuhan gitu deh,”
“Emang dia sakit?” Sebs bertanya hati-hati.
“Ya, dia butuh menenangkan diri, makanya dia harus
masuk tempat itu. Dia udah dirawat sekitar tiga bulan, dan ini kedua kalinya
dia pergi ke sana, tapi lusa dia boleh pulang,”
“Syukurlah, gue ikut seneng dengernya,” Wicak
mengambil suara.
“Dia boleh pulang gara-gara udah ditengokin sama lo
ya?” Gusti bertanya sambil menggoda.
“Enggak tahu juga sih, tapi apapun alasannya gue
seneng kalau dia boleh pulang,”
“Tapi jangan sampai perasaan lo jadi bercabang,
inget Masayu,” Sebs mengingatkan.
“Itu yang gue pikirin. Tapi seandainya boleh jujur
Sascha itu selalu ada di pikiran gue. Gue selalu coba buat inget Masayu atau
inget kesalahan dia, tapi gue enggak pernah bisa hapus dia dari pikiran gue.
Apalagi setelah gue dateng ke Bogor, setiap malam dia datang ke mimpi gue,
bilang kalau dia butuh gue,”
“Dean, hush,” Sebs menepuk pundak Dean.
“Dan gue selalu pengen ada di sampingnya, meluk dia,
bantuin dia, nemenin setiap harinya dan enggak biarin dia sendiri,” Kepalanya
tertunduk karena matanya mulai berkaca-kaca.
Kami bingung harus berkata apa. Gusti menepuk lembut
pundak Dean dan kami hanya diam.
“Sorry ya, gue bawa suasana yang enggak enak,
padahal ini kan Pesta Bujangnya Wicak,”
“Engga Dean, itu Cuma nama doing, aslinya gue pengen
ketemu kalian, pengen ngobrol sama kalian sebelum gue pergi ke luar pulau,”
Gusti terkekeh dan melemparkan pandangannya ke jendela, melihat kendaraan yang
memenuhi jalanan Jakarta.
“Dean, lo udah baikan? Kalau masih ada yang pengen
lo certain, kita masih punya banyak waktu buat nemenin lo,” Wicak mencoba
mencairkan suasana.
“Dua bulan nikah sama Masayu, gue enggak punya
gairah, gue pikir keputusan untuk menikahi Masayu adalah salah,” kami diam
mendengarkan.
“Gue tahu pasti kalian berpikir, terus kenapa lo
nikahin dia? Jawabannya, Masayu terus bilang ‘Sayang, kapan mau nikahin aku?’ ‘Sayang,
ibu sama bapak udah nanya, kapan kamu mau lamar aku?’. Gue kesel dia terus
bahas tentang pernikahan. Mungkin gue cowok brengsek, nikahin dia gara-gara
males denger dia ngoceh terus kappa mau nikahin aku bla bla bla, pasti kalian
mikir kan ‘kenapa enggak putusin dia aja?’ jawabannya adalah bokapnya Masayu
pernah bayarin sekolah gue pas keluarga gue masih di Jogja. Nyokap hampir
mindahin gue ke sekolah negeri biar enggak terlalu mahal, tapi nyokapnya Masayu
bilang ‘Aku tahu bisnis suami kamu bangkrut, kasian Dean udah betah sekolah di
sini, masa kamu mau paksa dia buat pindah. Gini aja, biar Dean tetap sekolah di
sini, masalah biaya biar keluarga aku yang urus’.” Ponsel Dean bergetar, di
layarnya tertulis nama Masayu.
“Jadi dengan kata lain, gue dijodohin sama Masayu
dari sejak SD. Meskipun akhirnya bisnis bokap gue bangkit lagi, keluarga Masayu
tidak mau dibayar dengan uang, mereka meminta imbalannya dengan menikahkan
Masayu sama gue. Dan itulah alasan gue enggak pernah bisa hapus Sascha dari
pikira gue, karena enggak ada perempuan yang bisa menggantikan Sascha, meskipun
gue udah menikah,” ponselnya terus bergetar, akhirnya dia menjawab telepon itu,
dengan suara berat akibat menahan tangis, “Hallo,”
***
“Well, mungkin saya adalah orang dewasa yang egois,
tapi bukankah orang dewasa adalah egois? Mereka membangun suatu hubungan dan
menghancurkannya ketika merasa sudah tidak nyaman. Tapi berpisah itu menjadi
wajar ketika salah satu atau bahkan keduanya berubah menjadi gila karena
hubungan itu dan dikatakan egois apabila mereka sudah memiliki anak. Siapa yang
salah?
“Tidak ada keluarga yang sempurna. Saya menikah
dengan laki-laki mapan, menyayangi saya, memberikan apapun yang saya mau, baik
hati, tidak pernah menyakiti saya, tidak menjadikan pernikahan kami bertahan
lama. Semua orang mengatakan ‘kamu egois, Derby gimana?’ dan semua orang
menyalahkan saya dan itulah yang membuat saya ingin pergi dan akhirnya
saya datang ke Freddy’s Home, dua kali. Apakah
saya betah hingga harus dua kali pergi ke sana?” aku tertawa lagi.
“Manusia memang kejam, mereka mengirim saya untuk
kedua kalinya. Tapi dukungan dan cinta dari orang terdekat saya membuat saya
merasa tidak sendiri. Saya mohon kepada semua orang yang melihat acara ini,
jangan mengurusi kehidupan orang lain. Apa yang kalian katakan, tatapan apa
yang kalian berikan, cacian, statement, dan bahkan pikiran yang terlintas dalam
kepala kalian hanya opini yang tidak penting menjadi penting bagi kehidupan
orang lain. Berhenti mengjudge, urusi saja urusan kalian karena tidak semua
orang memiliki pertahanan yang kuat untuk menghadapi kalian, terimakasih,”
“Hal
kecil yang mungkin tidak kita sadari tapi bisa memberikan efek besar bagi orang
lain, dan salah satunya pada kehidupan Mbak Sascha. Silakan kepada para peserta ada yang ingin
ditanyakan kepada Mbak Sascha?” moderator memberikan kesempatan pada peserta
talk show yang ingin bertanya tentang pengalamanku.
Beberapa
peserta mengangkat tangannya berebut ingin bertanya. “Silakan Mbak yang memakai
baju hijau,” moderator menunjuk peserta pertama yang ingin mengajukan
pertanyaan.
“Terimakasih
atas kesempatannya, nama saya Zora, kan tadi Mbak Sascha cerita kalau Derby
tidak diberi ASI oleh Mbak, apakah Mbak khawatir ketika sudah besar Derby
menjadi pribadi yang jauh dari Mbak? Terimakasih.”
“Pertanyaan
yang bagus ya Mbak Zora, silakan Mbak Sascha untuk menjawab pertanyaannya,”
“Iya
benar, kegiatan menyusui adalah bagian dari kegiatan pendekatan antara ibu dan
anak. Ketika saya ‘sakit’ saya tidak pernah peduli tentang hal itu. Karena
Derby juga sudah besar, jadi tidak ada kesempatan lagi untuk memberikannya ASI,
mungkin saya mengganti kesalahan saya dengan banyak menghabiskan waktu dengan
Derby,” aku berkaca-kaca, ingat bahwa betapa fatalnya aku.
“Tapikan
hak asuh Derby jatuh ke tangan mantan suami, Mbak, bagaimana cara Mbak
melakukan penggantian tersebut?” wanita berbaju hijau itu terus memberikan
pertanyaan padaku.
“Sejak
kami bercerai, Derby selalu ingin dekat dengan saya. Jadi mama saya meminta
kepada mantan suami saya agar pagi hingga sore Derby main di rumah, lalu malam
setelah mantan suami saya pulang kerja baru menjemput Derby dan kegiatan itu
terus berlanjut sampai sekarang. Itu sudah menjadi kesepakatan kami, kami tidak
ingin Derby merengek-rengek ingin dekat ibunya yang ‘sakit’ tapi dilarang oleh
ayahnya yang juga tidak punya waktu karena bekerja. Kami tidak memperebutkan
Derby, kami memberikan apa yang Derby mau. Jadi selama ini Derby tidak pernah
jauh dari saya, kecuali ketika saya berada di Freddy’s Home, dan Derby tidak pernah kehilangan kasih
sayang, karena dia mendapatkan limpahan kasih sayang dari kedua orang tua
saya.”
“Bagaimana
Mbak Zora, masih ada yang ingin ditanyakan?” moderator bertanya dan wanita itu
menjawab cukup. “Ada lagi yang ingin bertanya?”
Banyak ibu dan calon ibu yang mengangkat tangan
ingin bertanya, namun moderator menunjuk wanita berhijab ungu itu.
“Nama
saya Wanda, tadi belum dikasih tahu ya alasan terbesar Mbak untuk sembuh
saya penasaran,” dia
terkekeh.
“Iya
saya, belum memberi tahu,” aku juga ikut terkekeh. “Alasan terbesar saya untuk
sembuh adalah, pria yang berdiri dengan Derby di belakang,” tangan kiriku
menunjuk kepada laki-laki yang sedari tadi menjaga Derby, semua mata tertuju
padanya, laki-laki itu hanya tersenyum.
“Mungkin saya tidak berani mengatakan padanya kalau
saya mencintainya. Mungkin saya tidak berani mengatakan pada mantan suami saya
kalau saya mencintai orang lain. Mungkin saya tidak berani mengatakan kepada
kedua orang tua saya bahwa saya mencintai kekasih saya, namun tidak untuk
menikah dengannya karena saya masih mencintai mantan kekasih saya. Mungkin saya
tidak berani mengatakan kepada mereka bahwa, ini hidup saya dan berhenti untuk
menanyakan kapan saya akan menikah. Saya
pengecut dan itulah yang membuat jiwa saya pergi meninggalkan raga saya mencari
yang dia inginkan.
“Saya sangat berterimakasih kepada dokter dan kedua
orang tua saya yang sudah membawa laki-laki itu untuk menjenguk saya. Satu minggu
setelah saya bertemu dengannya, saya diizinkan pulang oleh dokter, mungkin saya
hanya rindu padanya.” Aku tertawa getir.
“Mama saya bilang kalau beliau sangat gembira saya bisa
pulang namun khawatir kalau saya tidak bisa menerima kenyataan kalau laki-laki
itu sudah memiliki keluarga. Saya bilang, ‘jangan khawatir Ma, aku bukan orang
seperti itu. Sascha nggak akan mengancam dia dengan pura-pura sakit hanya agar
kembali sama Sascha. Sascha punya Derby, Sascha punya Mama sama Papa, punya Radea.’
Saya pikir, saya hanya rindu dan nyatanya saya hanya butuh jiwa saya yang dulu
pergi dan ternyata jiwa saya pergi menemuinya,”
Dean datang dengan menuntun Derby, namun Derby
melepaskan genggaman Dean dan berlari dengan kaki kecilnya ke arahku. Aku menyambutnya
dengan pelukan erat, dan Dean ikut berjongkok mensejajarkan dengan aku dan
Derby yang masih berpelukan, tak lama Dean juga ikut memeluk kami. Terakhir
kudengar gemuruh tepuk tangan dari para peserta talk show, namun aku tak mendengar
suara apapun lagi. Aku merasa damai berada dekat dengan Dean yang kini sudah
menjadi suamiku, dan juga Derby yang sudah duduk di kursi kelas 1 Sekolah
Dasar. Tidak peduli apapun yang orang lain katakan, kini aku telah menjadi kuat
tidak peduli cibiran apa yang aku terima, tidak peduli opini yang mereka buat. Just shut up your mouth, ‘cause we don’t care
about your f***ing opinions.
Komentar
Posting Komentar