Saya Tidak Melakukannya

“Kamu marah sama aku? Aku minta maaf,” kata Gilang memohon.
“Kamu salah apa?” Tanya Kimi galak, Gilang hanya menggeleng tidak tahu. “Ya sudah kalau kamu enggak ngerasa salah jangan minta maaf!” saat itu mood Kimi sedang rusak setelah menerima pesan dari orang terkasihnya.
“Kimi…” suara yang familiar bagi Kimi, suara yang tadi mengirimi pesan padanya.
“Mau apa kamu ke sini?” Tanya Kimi ketus. Suara Kimi yang keras membuat teman-temannya menoleh padanya. Kimi Maudy Rahyu, seorang mahasiswi semester 6 di sebuah universitas negeri ternama.
“Aku mau ketemu kamu,” ucap Marco, sambil melangkah maju menuju Kimi. Kini jarak mereka hanya satu depa, saling berhadapan. Marco dengan wajah cemas, sedih, rindu sedangkan Kimi dengan wajah keras dan penuh kebencian. Marco semakin mendekat bersiap untuk memeluk Kimi, untuk terakhir kalinya.
“Pergi sana!” usir Kimi, Marco terkejut. Dia tidak sanggup melihat Marco lebih lama, ditambah ia tidak ingin pertengkaran mereka menjadi konsumsi publik.
Marco dengan wajah kecewa berbalik badan dan bersiap mengambil langkah. Tiba-tiba tangan Kimi melingkar di perutnya. Erat.
Buru-buru Kimi melepaskan pelukannya. “Pergi sana!” Marco berbalik dan menarik tubuh Kimi ke dalam pelukkannya.
“Maafin aku…” ucap Marco di telinga Kimi.
“Jangan minta maaf,” jawab Kimi datar masih dalam pelukan Marco.
“I love you,” masih dalam posisi yang sama.
“Jangan bilang itu,” kata Kimi dengan suara yang tertahan. “Aku besok enggak akan datang.”
“Iya enggak apa-apa,” Marco, membelai rambut kecoklatan milik Kimi sambil menarik napas, seakan itu adalah hal yang berat.
“Kalau kamu mau pergi, sekarang aja mumpung aku lagi siap,” hal yang tidak disangka keluar dari mulut Kimi, merelakan Marco pergi.
Marco melepaskan pelukkannya dan pergi meninggalkan Kimi yang berdiri sendiri menahan luka. Dengan cepat punggung tegap Marco sudah tidak terlihat.
“Marco jangan pergi! Aku bohong Marco! Aku enggak akan pernah siap, Marcoo!!!!” Kimi kehilangan kendali. Kimi menangis terduduk, merengut karpet yang melapisi lantai ballroom, memukul-mukul lantai, berteriak, memanggil nama Marco, menangis lagi, berteriak, memeluk lututnya, memukul lantai, dan terus seperti itu. “Kamu tahu Marco aku sulit jatuh cinta, kenapa malah kamu pergi ketika aku jatuh cinta sama kamu? Kamu tahu aku aku gila, kamu tahu semua rahasiaku, kamu tahu semuanyaaaa. Apakah kamu membenciku? Marcoooo!!!”
“Gimana ini?” Tanya Gilang khawatir.
“Bawa Kimi pulang,” seru Tantri.
“Nanti kalau dia bunuh diri gimana?” Tanya Lisa khawatir.
“Yaudah kamu temenin dia di rumahnya,” jawab Hana.
“Ih enggak mau, takut.” Balas Lisa. “Gilang gimana itu Kimi? Kamukan ketua pelaksananya, tanggung jawab itu ibu Bendahara. Untung tamu udah pada pulang,”
“Iya, ini aku lagi berpikir. Telepon orang tuanya,” saran Gilang.
“Aku enggak punya nomornya. Panggil cowok tadi!” seru Olga.
Sementara Dara dan Bintang menyusul Marco keluar, semua panitia peresmian gedung fakultas baru yang ada di ballroom menghampiri Kimi, mencoba menenangkan Kimi, memberi segelas air putih, mencoba membangunkan Kimi yang terduduk di lantai dan membawanya untuk duduk di kursi.
***
“Suster, aku pengen pakai kerudung. Biar Tante Monika suka sama aku, terus hubungan aku sama Marco disetujuin deh,”
“Iya Kimi, aku cari bajunya dulu ya,” Suster Vega kembali dengan baju yang tepat untuk dipadukan dengan kerudung dan mulai mendandani Kimi dengan kerudung kusut yang menutupi kepala Kimi.
Suster Vega mengantar Kimi ke ruang pertemuan. Di sana duduk Marco dan Monika yang sejak tadi mengajak Marco untuk pulang.
“Marcooo!” Kimi melepaskan pegangan Suster Vega dan bergegas memeluk Marco dan begitupun Marco yang langsung memeluk hangat Kimi. “Tante Monika?” Kimi memeluk tubuh Monika yang sangat kaku. Kimi terlihat sangat bahagia.
“Apa kabar kamu Kimi?” senyuman Marco terus mengembang di bibirnya, terlihat sangat bahagia melihat kekasihnya terlihat sangat sehat dan bahagia dengan pertemuan mereka.
“Kamu kenapa pakai kerudung?” Tanya Monika tanpa basa-basi.
“Kan aku udah bilang sama Marco, kalau emang Tante enggak suka sama aku gara-gara aku enggak berkerudung maka aku akan berkerudung. Aku akan lakukan apapun agar Tante bisa nerima aku,” Kimi menjawab pertanyaan Monika dengan sangat lancar dan Monika hanya bisa terdiam.
“Oh begitu ya.” Hening sesaat. “Saya mau ke toilet dulu ya,” Kimi mengangguk sambil tersenyum.
“Mama kamu masih enggak suka sama aku ya? Kan dulu waktu kita pernah masak bareng, bikin kue bareng kayanya Mama kamu suka sama aku. Terus kenapa baru bilang kalau dia enggak suka aku gara-gara aku enggak pake kerudung, enggak kaya adik-adik kamu yang lain. Kan enggak masuk akal banget,” Marco hanya tersenyum mendengar cerita Kimi sambil membelai punggung tangannya. “Aku perempuan baik-baik kok, kenapa Mama kamu enggak setuju cuma gara-gara ini?” Kimi memegang kain yang menutup kepalanya. Mereka mengobrol, bercerita, saling tertawa dan Monika tidak kembali.
“Waktu kunjungan sudah habis,” Marco menoleh pada suster kepala.
“Kimi sayang, aku harus pulang. Nanti aku ke sini lagi ya, kamu baik-baik harus nurut sama Suster Vega. Kalau aku ke sini lagi, kamu mau dibawain apa?”
“Kerudung, aku mau kamu bawain aku kerudung.”
“Ya udah, nanti aku bawain kerudung ya. Aku pulang dulu, love you Kimi,” Marco mencium kening Kimi dan pergi.
“Mama kenapa enggak balik lagi?” Tanya Marco saat sudah berada di kursi kemudi.
“Mama enggak mau ngeliat perempuan enggak waras itu!” jawab Monika.
“Kok Mama bilang gitu sih? Dia itu enggak sakit, Mama dengar sendiri jawaban dia tadi, dia masih bisa berpikir rasional kan,”
“Kalau sudah bisa berpikir rasional kenapa sudah dua minggu tapi dia enggak dipulangin? Hah? Jawab Mama Marco” Monika tidak sabar.
“Mama enggak tahu apa-apa tentang Kimi,”
“Mama tahu, orang tuanya enggak bener juga kan? Mama enggak mau besanan sama mereka. Lagian kamu sudah bagus mau dinikahin sama Rosa malah kabur pas hari pernikahan kamu, Mama enggak habis pikir sama kamu Marco! Terus kamu bilang apa ke dia? Kamu bilang Mama enggak suka sama dia karena enggak pakai kerudung? Kenapa sih kamu enggak bilang aja yang sebenarnya kalau Mama enggak suka karena dia itu enggak waras? Kenapa?”
“Orang tua Kimi kecelakaan saat dia bayi dan Kimi diurus oleh rekan bisnis Papanya yang sekarang jadi orang tua angkatnya di Wales. Dia ke Indonesia karena ingin tahu makam orang tuanya, sampai akhirnya dia jatuh cinta sama aku dan memutuskan untuk kuliah di sini. Kenapa orang tua angkatnya seolah tidak memperhatikan Kimi? Karena Kimi menolak kembali ke Wales. Kimi bilang ingin tinggal di sana agar tidak mau jauh dari aku, Ma. Aku ada saat orang tua angkatnya datang untuk meminta Kimi pulang, tapi Kimi malah memelukku tidak mau lepas,”
“Kamu apakan dia sampai enggak mau lepas dari kamu?” Tanya Monika sambil tetap menatap lurus ke depan memperhatikan jalanan lurus yang lenggang dan kiri kanan yang hanya berdiri raibuan pohon pinus berlumut.
“Aku hanya mencintai dia,” Marco menjawab singkat.
“Kamu sekarang yang enggak bisa berpikir rasional. Kenapa kamu mau sama perempuan enggak waras kaya dia?”
“Dia enggak sakit, Ma! Aku dengar sendiri kalau dokter bilang Kimi udah sembuh”
“Kalau sudah sembuh kenapa dia ada di sana sekarang?”
“Kenapa? Karena aku menyakiti dia, mengikuti permintaan Mama. Kalau aku tidak meninggalkan dia, dia enggak akan ada di sana,”
Ketika SUV hitam itu memasuki halaman rumah dan mereka keluar dari mobil Marco kembali ke mobil, pikiran nekatnya membuat mantap keputusan barunya, “Mama boleh mencoret nama Marco dari kartu keluarga, tapi Marco akan kembali buat Kimi,” Marco kembali mengendarai mobilnya menuju Kimi. Menginjak pedal gasnya hingga speedometer menunjukkan angka 140.
“Saya mau pasien bernama Kimi Maudy Rahayu dipulangkan,”
“Bapak bisi mengisi format ini terlebih dahulu,” ucap wanita yang bertugas di front desk. Marco mengisi semua yang tertera dalam kertas itu, jantugnya berdegup cepat, napasnya memburu karena sensasi bahagia yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Mencoba menghalau semua rintangan yang memisahkannya dengan separuh jiwanya, ya dia telah berani membuat keputusan yang sulit. Walaupun mungkin ia akan dikutuk oleh ibunya tetapi yang pasti ia tidak mau melepaskan cintanya, yaitu seorang gadis bernama Kimi. Marco menyerahkan format yang telah diisinya, tulisannya tidak karuan akibat tangannya bergetar hebat. “Bapak silahkan tunggu,”
Marco duduk dengan tidak tenang, kakinya bergerak-gerak menekan-nekan lantai. Berdiri mondar-mandir, duduk kembali dan meraih ponselnya untuk menghubungi orang tua angkat Kimi di Wales. Lama sekali, ucapnya dalam hati.
“Kimiii, ayo siap-siap.” Ujar Suster Vega setelah mengetuk pintu kamar Kimi.
“Kita mau kemana? Hari ini enggak ada jadwal ketemu sama Dokter Cecilia kan?”
“Memang tidak ada,” Vega membuka lemari di kamar itu, mengambil tas dan memasukan semua baju milik Kimi.
“Suster kok masukin semua baju aku? Aku mau dipindahin ke kamar yang mana?” Tanya Kimi yang saat itu sedang membaca novel yang dibawa Marco 3 hari lalu.
“Kamu mau dijemput seseorang,” jawab Suster Vega sambil terus tersenyum.
“Siapa? Papa? Aku enggak mau, keluarin semua baju aku Suster!” Kimi mengeluarkan semua baju yang telah Vega masukan. “Aku lebih baik tinggal di sini, biar saja temanku atau orang yang mengenalku menganggap aku gila karena aku tinggal di sini. Aku enggak mau pulang ke Wales, aku mau di sini!”
“Kimi,” kedua tangan Suster Vega memegang bahu Kimi, suara wanita berusia kepala 4 ini sangat lembut menenangkan. “Kamu tahu siapa yang menjemputmu pulang?”
“Siapa?” Tanya Kimi.
“Marco,” jawab Suster Vega dengan senyum yang terus mengembang. “Aku akan masukan lagi baju yang kamu keluarkan tadi,”
“Marco?” tanyanya pada diri sendiri.
“Sekarang kamu dandan yang cantik,” ujar Suster Vega.
“Iya aku akan dandan yang cantik, Suster.” Ujar Kimi bersemangat, melesat untuk berkaca. “Tolong ya Suster bantu aku mengemas barang-barangku. Aku harus tampil cantik di depan Marco,”
Kimi dan Suster Vega keluar dari kamar untuk menemui Marco yang gelisah karena tidak sabar ingin berjumpa dengan kekasihnya itu. Sepasang kekasih ini berpelukan dengan hangatnya, saking bahagianya mereka berdua bahkan Suster Vega pun tidak melihat bahaya yang muncul. Monika datang dengan cutter di genggamannya menyayat lengan mulus milik Kimi.
“Aw, Marco sakit.” Darah bercucuran, Kimi meringis kesakitan.
Marco melihat siapa yang tega melakukan hal itu, ketika kepalanya melihat ke belakang melalui bahunya, di sana berdiri Mamanya dengan cutter penuh darah. Suster Vega yang melihat kejadian itu langsung memanggil semua petugas untuk mengamankan Monika lalu langsung membawa Kimi untuk membalut lengannya yang berdarah.
“Lepaskan saya, saya tidak melakukannya,” Monika melepaskan cutter yang tadi ia pegang dan mencoba melepaskan cengkraman tangan para petugas yang mengekang erat. “Marco tolong Mama. Mama tidak melakukan itu Marco. Marco tolong Mama. Marco, Marcoooo!!!” Monika dibawa oleh para petugas, suaranya semakin mengecil namun masih terdengar jeritannya pertanda Monika di bawa jauh ke ruangan yang lebih dalam.
“Maafin Mama aku ya,” jawab Marco ketika sudah di dekat Kimi, yang sedang meringis melihat warna merah yang merembes pada kain perbannya. “Mama sering melakukan hal yang tidak masuk akal bahkan hampir bunuh diri sejak Papa selingkuh dengan wanita lain, dan wanita itu tidak berkerudung. Makanya Mama baru bilang tidak menyukai kamu karena ingatan itu baru kembali,” jelas Marco sambil duduk di samping Kimi. “Sakit?” Kimi mengangguk sebagai jawaban. “Aku mengizinkan Mama untuk dirawat di sini. Di sini Mama akan lebih terawat, tidak akan sering melihat kenangan dengan Papa di rumah,”
“Kamu tidak takut padaku?” Tanya Kimi.
“Mengapa harus takut? Memangnya kamu monster?” Tanya Marco.
“Mungkin saja aku kembali kacau,”
“Aku tidak akan membiarkan kamu kacau,” janji Marco. “Ayo kita pulang. Tapi aku ingin melihat Mama dulu,” Marco mengulurkan tangannya untuk menggandeng Kimi.
“Aku harus pakai kerudung?” Tanya Kimi.
“Pakailah kerudung karena kamu takut pada Tuhan, bukan karena takut pada Mama, okay?” Marco menggenggam tangan Kimi menuju ruang tempat Monika berada. Genggaman itu terasa menguat ketika sampai di depan ruang inap Monika.
“Dulu aku juga begitu,” Kimi mengalihkan pandangan tersebut dan bersandar pada dada bidang Marco, Marco membalasnya dengan memeluk di kepala Kimi.
“Marco, bantu Mama, Nak!!” Monika mencoba menarik-narik jeratan tali yang megikat kedua pergelangan tangannya sambil terus menjerit. “Marcooo,”
“Aku enggak kuat ngeliatnya, ayo kita pulang saja,” Marco merangkul bahu Kimi.
Mereka menaiki SUV hitam milik Marco. Beberapa hari kemudian setelah Kimi dinyatakan sembuh oleh dokter mereka melangsungkan pernikahan dihadiri oleh kedua orang tua angkat Kimi yang datang dari Wales dan tentunya Monika yang berada di bawah pengawasan perawat.

Benar kata Marco, Kimi telah sembuh. Tidak, Kimi memang tidak sakit selama ia merasa terus dicintai, dan janji Marco adalah tidak akan membuat Kimi sakit lagi.

Komentar

Postingan Populer