Cerita Patah Hati

Chris    : Kamu engga kenapa-napa?
Suara musik yang sangat keras dan kondisi kesadaran Sarah yang di bawah 60% membuatnya tidak menjawab pertanyaan laki-laki yang tadi menepuk pundaknya halus khawatir karena dirinya menunduk memangkukan keningnya pada tangannya yang terlipat di meja bar.
Chris    : Gimana kalau kita keluar?
Sarah mengangkat wajahnya dan menatap laki-laki di depannya yang sedang mencoba berbicara padanya. Chris mencoba berteriak sekencang mungkin ditambah dengan beberapa gerakan tubuh agar wanita itu mengerti maksudnya.
Sarah berjalan pelan mengikuti tubuh Chris yang memandunya di depan. Mereka mengarah pada SUV hitam, entah milik siapa. Chris menaiki puncak mobil itu lalu mengulurkan tangan pada Sarah dan mengangguk pertanda ‘ayo naik, enggak apa-apa’. Dan mereka sempurna duduk berdampingan.
Chris    : Kamu sendirian?
Sarah   : Aku enggak pernah ngajak temen aku ke sini
Chris    : By the way, kenalin aku Christian Sugiono.
Sarah   : Sarah Synder.
Chris    : Siapa tuh?
Sarah   : Cari tahu dong di Google pake Hello, Google.
Chris    : Dia mah toketnya gede
Sarah   : Sial! Jangan samain itunya!
Sarah mengeluarkan ekspresi galak, Chris hanya tertawa seraya memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Mereka saling terdiam bergelut dalam pikiran masing-masing.
Sarah   : Aku pengen cepat pergi dari sini.
Chris    : Ke mana?
Sarah   : Ke tempat dimana orang enggak banyak kenal aku, ke tempat dimana orang enggak bisa cari aku. Tempat sempurna untuk hidup tenang.
Chris    : Kamu sembunyi dari siapa?
Sarah   : Dari cinta pertamaku.
Chris    : Kamu lagi patah hati? Sama.
***
Andrea. Nama yang sangat manis. Dia perempuan yang bisa membuat aku jatuh cinta, merubah pikiran dan hidupku. Sebenarnya kami kenal dengan tidak sengaja, dia adalah klien sahabatku. Bruno mengajakku untuk mengantarnya bertemu dengan salah seorang klien. Dia mengatakan bahwa kliennya itu cantik, siapa tahu saja aku tertarik dengannya, dan benar aku tertarik sejak pertemuan pertama.
Awalnya aku malas mengantar teman semasa kuliah hingga teman satu kost ini, lebih baik tidur menikmati empuknya kasur, bermalas malasan sambil menonton film dengan bergelas-gelas kopi instan yang selalu ku beli dalam jumlah banyak. Tapi Bruno memaksaku sampai mengimingiku bahwa kliennya sangat cantik, aku tidak bergeming, aku terlalu sering melihat wanita cantik, sepanjang malam, setiap hari. Bruno tidak kehilangan akal, ia menyebutkan kliennya wanita luar biasa dan aku akan menyesal jika tidak melihatnya. Baiklah, aku tidak akan berbicara padanya jika yang dia katakan tidak sesuai dengan kenyataan karena untuk menemaninya bertemu klien aku harus mengorbankan pagi dan siangku dengan bertemu orang yang biasa saja.
Kami janji bertemu di kawasan Senayan agar lebih dekat dengan kantor Andrea. Sejak di perjalanan aku menguap berkali-kali, dengan tampang kusut dan tidak peduli aku menatap punggung mobil Jeep yang sejak satu menit lalu sama-sama menunggu lampu hijau.
“Jam berapa sih ketemuannya? Pagi bener, masih ngantuk gue,” aku menguap untuk keberapa kalinya.
“Jam 9.15. Gue sengaja pagian biar enggak telat. Dia orangnya on time banget,” jawab Bruno yang mulai memarkirkan mobilnya. Pasti orangnya membosankan, si Bruno ngerjain gue nih.
Kami duduk di meja dekat jendela, kami memesan dua cangkir kopi espresso. Aku melirik ke arah jam tanganku yang menunjukkan pukul 09.10. Sudah 15 menit kami duduk di sini, Bruno dengan ponselnya dan aku melihat ke luar jendela orang berlalu lalang sibuk dengan kepentingan masing-masing.
“Tuh tuh, dia dateng.” Bruno mengguncang lenganku yang masih menatap ke luar jendela. Ketika aku melihat ke arah pintu masuk, sontak aku membereskan rambut dan kemeja kotak-kotak yang kupakai. Entah ada angin apa, tanpa disadari aku ingin terlihat rapi di depan klien Bruno. Tepat pukul 09.14 dia datang.
Andrea, ternyata bertubuh tinggi semampai dengan lekukan tubuh yang sempurna jauh dari perkiraanku sebelumnya. Dia cantik menurutku, dia terlihat cerdas dengan kacamata yang membingkai kedua mata coklatnya. Gerak tubuhnya menggambarkan dia adalah orang yang serius dan sangat profesional, berbeda denganku yang sejak kami bertemu hanya ternganga takjub dan tidak mengerti dengan pembicaraan antara Bruno dan dirinya. Cara tangannya menjabat tangannku saat bertemu dan tanda perpisahan sangat kuat dengan senyuman yang cukup tidak terlalu lebar seperti menggoda dan tidak terlalu datar seperti tidak peduli.
“Gue minta kontaknya,” aku berbicara pada Bruno tanpa mengalihkan pandanganku dari punggung Andrea yang semakin menjauh.
“Gue enggak bohong kan? Andrea itu orang special. Beberapa kali kerja bareng dia enggak pernah ada kerjaan yang gagal, semua hasilnya sempurna. Gue juga kagum sama dia, lo denger kan tadi cerdas banget semua rencananya,” Bruno membanggakan dirinya karena bisa menjadi partner kerja Andrea.
Ya benar cerdas sekali Andrea, walaupun aku tidak mengerti apa yang dari tadi mereka bicarakan tapi aku tetap terpesona. Pesona Andrea membuat aku terlihat sangat bodoh. Tak apa hanya Bruno yang tahu bahwa Christian sekarang menjadi bodoh dari biasanya.
Sepanjang perjalanan pulang aku tersenyum. Aku naik taksi, karena Bruno harus pergi ke tempat kerja. Kebahagianku memuncak, aku jadi tidak bisa diam, mengacak rambutku, berlagak seperti orang telah menang undian, bernyanyi dan menggerakan tubuh. Ketika mataku mengarah pada spion aku melihat mata supir taksi sedang melihat ke arahku, aku tidak peduli. Aku menaikkan alis mencoba mengatakan bahwa ‘aku sedang jatuh cinta pak’. Ya benar  aku sedang jatuh cinta, maka malam ini di tempat kerja aku akan menebarkan cinta ke semua orang.
“Are you ready for tonight?” aku berteriak semua orang menjerit girang.
Selalu pulang dini hari dalam keadaan mengantuk, tetapi tidak untuk hari ini. Hari ini aku memikirkan Andrea, Andrea dan selalu Andrea. Aku memacu mobilku keluar dari tempat parkir menuju tempat kost-ku bersama Bruno di daerah Menteng. Jalanan ibukota sepi pukul 03.00, semua orang sudah terlelap memeluk guling, tenggelam dalam mimpi mereka.
Bruno tertidur lelap dengan berkas berserakan di sekitar meja. Aku melangkah menuju dapur mengambil sebotol air mineral terasa segar mengaliri kerongkonganku yang sejak empat jam terakhir berjingkrak dan berkeringat seperti dalam sauna. Aku meraih ponselku, membuka daftar kontak dan berhenti di nama Andrea melihatnya seakan sedang mengagumi mahakarya sang maestro, menekan tombol kembali dan melemparkannya ke kasur. Tersenyum tipis mengagumi Andrea dan selalu Andrea.
Beberapa hari setelah menyimpan nomor ponsel Andrea bukan berarti aku sudah berani untuk menghubunginya, yang ku lakukan adalah mencoba untuk lebih sering pergi ke Senayan bahkan setiap hari, mencoba keberuntunganku apakah aku bisa bertemu tanpa sengaja dengan Andrea.
Ketika aku sedang duduk membuat lagu di salah satu kedai kopi di Senayan, tanpa sengaja mataku mengarah pada meja bar memperhatikan punggung perempuan berkaos biru dengan rambut dibiarkan tergerai bebas. Jika dilihat dari bentuk tubuh dan rambut, sepertinya aku mengenalnya tapi aku pikir perempuan yang memiliki bentuk tubuh dan rambut panjang agak coklat bukan hanya Andrea, lalu aku kembali pada layar laptopku.
Ku teguk kopi yang tinggal setengah mencoba melihat ke arah meja bar, tetapi perempuan berkaos biru itu sudah tidak ada. Aku mencari ke seluruh penjuru kedai kopi termasuk ke arah pintu keluar, nihil. Dan melalui ekor mataku, berjalan penuh irama perempuan berkaos biru sambil menjinjing tas laptop. Kopi yang tadi ku minum baru ku telan setelah meyakinkan diri siapa yang berjalan di depan kedai kopi. Iya itu Andrea, perempuan yang tadi punggungnya ku perhatikan.
Entah mengapa melihat Andrea sudah cukup membuatku senang. Besok ku putuskan untuk datang ke kedai kopi ini di jam yang sama, mencoba mengadu keberuntunganku lagi. Hormon endorphin yang meningkat sejak melihat Andrea membuatku lupa waktu tanpa terasa aku telah berhasil membuat dua lagu dalam waktu singkat, rekor.
Entah mengapa aku kehilangan keberanian terhadap Andrea. Jantungku berdebar lebih cepat, tanganku bergetar hebat ketika akan menekan tombol penggil, sulit. Setelah beberapa kali mengalami kejang ringan setiap ingin menekan tombol panggil, Bruno datang dengan ekspresi wajah seperti sudah dipecat dari pekerjaannya, tapi bukan itu masalahnya, masalahnya malah datang untukku. Dia mengeluarkan kertas undangan berwarna merah dan memberikannya padaku. Aku langsung mengambil undangan itu karena Bruno dari tadi diam tidak mengatakan apa-apa membuatku jengkel dan tidak sabaran. Membaca sampul depannya saja sudah membuatku kena serangan jantung. Di sana tertulis Andrea dan Rayangga.
***
Dia adalah teman semasaku SMA, Fadhil namanya. Sejak kelas 1 kami sekelas, kelas 2 dan 3 kelas kami sebelahan, kami tak terpisahkan. Kami selalu bersaing peringkat saat kelas 1, kami saling mencontek tugas, saling bertukar informasi tentang materi yang dalam ujian harian, pergi dalam tempat les yang sama, belajar untuk menghadapi ujian nasional bersama, lulus bersama. Dia awalnya adalah sahabatku, tapi aku mulai jatuh cinta padanya. Aku tahu ini suatu kesalahan tapi ini kesalahan yang indah.
Orang bilang kenapa kita enggak jadian aja? Mulutku menjawab kita lebih nyaman jadi teman daripada pacar, tetapi hati bilang aku menunggu dia menyatakan cinta terlebih dulu.
Kenapa aku tidak menyatakannya terlebih dahulu? Karena dari awal kami sudah membuat kesepakatan bahwa kami tidak boleh pacaran, boleh pacaran asalkan dengan yang lain. Selama tiga tahun mengenalnya, aku sudah empat kali berganti pacar. Itu semata-mata agar perhatianku teralihkan kepada laki-laki lain tapi sayangnya dari empat kali kesempatan berpacaran dengan laki-laki lain aku tidak bisa mengalihkan perhatianku dari Fadhil, Fadhil dan selalu Fadhil.
“Eh gue dideketin kakak kelas namanya Risal, anak basket itulohh,” aku membuka pembicaraan di sela belajar bersama.
“Terus lo mau jadian sama dia?” Tanyanya sambil tetap mengerjakan soal matematika, tentang limit.
“Ya enggak tahu juga sih, kalau dia orangnya asik, baik, bisa bikin nyaman, ya kenapa enggak?” hening. “Gue udah hampir lima lo sama sekali belum pacaran,”
“Lo mau ngehasut gue? Lo kan tahu…”
“Gue pernah sekolah di pasantren dan gue pikir emang pacaran itu enggak ada manfaatnya mending nanti aja kalau udah nikah” aku meniru kata-katanya yang selalu sama setiap kali ada yang bertanya mengapa Fadhil tidak pernah pacaran.
“Ujung-ujungnya putus juga,” tambahnya.
“Yey, elu mah nyindir gue,” dalam hati ingin aku katakana bahwa mengapa aku tidak pernah bertahan lama karena aku tidak mau ada orang lain di antara aku dan Fadhil.
Cerita itu hanya sekelebat kenangan masa lalu, kenangan aku bersama cinta masa SMA yang tiba-tiba muncul setelah Irene menceritakan bahwa Fadhil akan diberikan beasiswa S2 ke Turki. Irene adalah teman sebangku saat kelas 3 yang sekarang satu kampus dengan Fadhil, sedangkan aku berbeda kampus walupun masih dalam satu kota yang sama.
“Dia tuh anak mesjid banget sekarang, Sar. Beneran gue enggak bohong,”
“Lu tahu dari mana?” tanyaku ingin tahu.
“Kalau cowok gue solat jumat kadang dia yang jadi imam. Jadi imam di mesjid kampus sis!” Irene terlalu membersar-besarkan ceritanya tetapi memang, itu adalah hal luar biasa. “Terus kan kalau di kampus gue ada mata kuliah agama yang harus dateng ke mesjid kampus, nah waktu akhir semester kemarin disebutin sama dosen agama kalau dia mau diumrohin, wow enggak sih?” aku mengangguk setuju.
“Kita sekarang semester delapan, beberapa bulan lagi kita lulus, berarti beberapa bulan lagi dia bakalan pergi ke Turki. Orang kaya dia pasti diincer banyak ustadz buat dijadiin menantu, terus gue gimana?” aku patah semangat.
“Elu pengen nikah sama dia, Sar? Serius?” Tanya Irene tidak yakin.
“Iya gue tahu itu enggak mungkin, secara gue bukan cewek alim, pake kerudung juga belum mau. Sedangkan dia, imam mesjid di kampus lo, Ren. Kalau kata Rosa mah bagai berharap memeluk bulan,”
“Saran gue nih ya, lo harus lupain Fadhil. Cari cowok lain yang mau nerima lo meskipun lo enggak pake kerudung tapi tetep tulus sayang sama lo. Oh iya, lagian emang Fadhil suka ya sama lo?” aku semakin patah semangat, teman macam apa dia. “Gue bukannya jahat sama lo Sar, tapi sebagai teman yang baik gue cuma mau lo tuh enggak mimpi terus, lo harus bangun dan menginjak bumi.”
“Ren, bisa enggak lo bikin janji sama Fadhil buat ketemu sama gue?”
“Buat apa ketemu sama dia?”
“Sekali aja, terus gue janji bakalan move on. Serius, lo pegang janji gue, abis ketemu nanti gue mau buka hati buat cowok lain,”
“Bener ya?” aku mengangguk mantap.
Sejak hari kelulusan SMA aku tidak pernah melihat Fadhil lagi. Pesan terakhir yang kuterima adalah dia pergi ke pasantren terbesar di Jawa untuk mengisi waktu sampai pengumuman penerimaan perguruan tinggi dan akan terus di sana sampai waktunya masuk kuliah. Sejak saat itu kami jarang berkomunikasi karena dari setiap cerita yang iya sempatkan lewat telepon aku dapat menyimpulkan bahwa jadwal di sana sangat padat. Semua ponsel dikumpulkan dan hanya dibagikan kembali setiap hari Minggu, itupun hanya dari pukul 10 sampai pukul 2 siang, sangat terbatas.
Dulu aku pernah bertanya, “Kenapa lo enggak sekolah di madrasah aja malah di SMA?” Fadhil bilang, dia jenuh ingin mencoba sekolah di sekolah umum. Tapi tetap saja jiwa dan hatinya masih terpatri di madrasah. Padahal jika dia tidak sekolah di SMA, kemungkinan besar aku tidak akan jatuh cinta padanya.
“Lo mau kuliah di mana?” di saat yang berbeda aku bertanya lagi dan iya menjawab ingin kuliah di perguruan tinggi keguruan, ia ingin menjadi guru agama, dan dengan jawaban itu kepercayaan diriku mulai memudar.
“Kenapa lo mau temenan sama gue?” yang dari tadi Fadhil hanya menjawab pertanyaanku tanpa menatap mataku, demi mendengar pertanyaan ini ia mengangkan wajahnya yang sedang memilih buku untuk ujian nasional.
“Sarah, kenapa lo nanya itu?” matanya menatap mataku langsung, aku tidak berkedip. Aku tidak ingin kehilangan momen yang sangat jarang ini dan sekaligus sedang serius menunggu jawabannya. “Karena gue laki-laki,”
“Maksudnya?” aku bertanya bingung.
“Gue udah nemu buku yang mau gue beli. Lo mau beli buku yang mana?”
Aku tahu ketika dia mengalihkan pembicaraan berarti dia tidak ingin membahas hal ini. Aku tahu, karena aku sudah sangat mengenalnya. “Gue mau beli novel aja,”
“Eh lu enggak akan beli buku persiapan UN?” tanyanya sambil mengekor di belakangku.
“Enggak perlu, gue kan udah pinter,” aku mengerling.
“Sombong,” kami tertawa.
Aku tersenyum mengingat kenangan itu melalui novel yang sedang ku pegang saat ini. Novel yang kubeli ketika semua orang kalang kabut karena akan menghadapi ujian nasional. Tolong biarkan aku mengenang sebelum kenangan itu akan aku simpan dan ku kunci rapat, tolong biarkan kali ini saja aku menjadi gila karena akan kehilangan cinta pertamaku.
Irene memberi jadwal dan tempat untuk bertemu dengan Fadhil, aku gugup. Hari yang ditunggu itu datang. Aku mempersiapkan diri, berbicara di depan cermin apa saja yang ingin aku katakan. Berkaca memadukan baju apa yang akan aku gunakan, dan aku memilih sebuah kemeja kotak-kotak berwarna coklat dengan celana jeans warna senada. Cukup sopan untuk bertemu dengannya.
Aku sampai duluan di café yang sudah dijanjikan, aku memesan es kopi moka untuk menemaniku menunggu Fadhil. Tak lama setelah minuman yang ku pesan tersaji di depanku Fadhil pun datang, ia melemparkan senyumannya padaku.
“Hei, udah lama?” tanyanya ketika duduk di hadapanku. Irama jantungku berubah menjadi lebih cepat.
“Hei, enggak kok. Minumanku juga baru dateng, kamu mau pesen apa?” dia memanggil pelayan dan memesan minuman yang sama.
“Canggung banget sih, lo gue ajalah,” tawanya masih sama seperti dulu. Aku terkekeh.
Kami bercerita tentang kampus masing-masing, pengalaman menjadi mahasisa tingkat akhir dan cerita-cerita lainnya yang kami kemas sendiri dengan gaya kami.
“Gue dapet beasiswa ke Turki,” ucapnya disela seruput es kopi moka yang embunnya mulai menetes.
“Oh ya? Belum lulus udah dapet beasiswa aja. Hebat lo!” aku pura-pura bersemangat padahal aku sudah tahu. Semua yang ia ceritakan sudah aku ketahui, karena aku selalu mencari tahu seakan tidak mendengar kabar darinya akan membuatku dehidrasi.
Fadhil tetap bersemangat bercerita, dan aku setia mendengarkan. Tersenyum bahkan sampai  tertawa terpingkal-pingkal. Cerita yang kudengar langsung dari Fadhil lebih menarik ketimbang cerita yang kudengar dari Irene. Sampai akhirnya aku tidak bisa menahan semua yang ingin aku katakan, di sela pembicaraan kami aku meraih tangannya, menggenggamnya tapi aku tidak mengatakan apa-apa, Fadhil berhenti bercerita, ia menjadi ikut terdiam. Fadhil mencoba melepaskan genggamanku, tapi aku tetap menggenggamnya, lebih erat.
“Enggak apa-apa,” aku coba menjelaskan padanya. “Aku tahu menurut kamu ini dosa tapi enggak apa-apa,” entah mengapa aku tidak berani menatap mata Fadhil, itu karena mataku berkaca-kaca dipenuhi air mata yang menggenang. Aku terisak, Fadhil mulai menggenggam tanganku. Kami masih saling diam, saling mengumpulkan keberanian untuk memulai berbicara.
“Maafin ak, mm gue maksudnya.” Aku masih menunduk. “Aku.. Gue maksudnya. Gue enggak pernah ngasih kabar. Setelah kita sibuk dengan masa orientasi tiga tahun lalu, gue takut-takut buat neghubungin lo. Ya gue khawatir lo lagi sibuk, khawatir pesan dari gue dibaca sama cowok lo, atau bahkan gue khawatir lo marah sama gue,” aku masih menunduk dengan tangan masih saling menggenggam. Hening.
“Sarah?” aku melepaskan genggamannya.
“Gue pergi duluan ya, nanti gue yang bayar. Bye Fadhil” aku bergegas pergi. Aku tidak kuat berada terus dalam atmosfer yang menyesakkan itu. Aku langsung menuju kasir dan pergi.
Ketika semua orang bahagia menikmati hari Sabtu malam mereka, justru aku malah sesak menyadari bahwa aku tidak bisa bersama cinta pertamaku. Bukankah semua orang punya pertahanan diri masing-masing terhadap rasa sakit? Pertahanan diriku adalah menghindar. Menghindar sebelum rasa sakit itu semakin besar, menghindar dari kemungkinan Fadhil yang mengucapkan selamat tinggal, menghindar dari kemungkinan ia mengatakan bahwa ia sudah menemukan wanita yang bisa ia nikahi, wanita sempurna dengan paras meneduhkan, tutur bahasa halus pintar mengaji, pandangan mata yang selalu menunduk jika berhadapan dengan laki-laki, gerakan yang lemah gemulai yang mungkin menjadi kriteria wanita idamannya, dan kemungkinan-kemungkinan yang menyesakkan lainnya. Aku kehilangan akal, otakku sudah tidak bisa berpikir dengan jernih.
Aku memanggil taksi setelah berjalan menjauhi cafe, “Mau kemana, Mbak?” suara supir taksi menyadarkanku.
“Kemana aja, Pak” jawabku singkat.
“Mbak lagi patah hati? Saran saya mendingan pijat refleksi, spa, creambath, atau olahraga? Belanja? Biasanya perempuan jadi bahagia lagi kalau belanja,” aku masih terdiam, menatap jalan. “Atau mau pulang aja? Alamatnya dimana?”
“Ke diskotek aja, Pak” jawabku tidak memilih pilihan yang diajukan pak supir.
“Diskotik yang dimana, Mbak?” tanyanya lagi.
“Terserah,” aku malas berbicara dan dia banyak bertanya.
***
Chris    : Tadi lo minum apa?
Sarah   : Air putih
Chris    : Air putih? Tapi kok kaya …
Sarah   : Gue lagi galau, jadi bebas dong gue mau jalannya tegak, males malesan, atau bahkan ngesot sekalipun
Chris    : Iya iya, bebas ko yang lagi galau
Hening.
Sarah   : Terus apa yang bakal lo lakuin?
Chris    : Gue bakal ikut kalau Bruno mau hadir di pernikahan Andrea. Kalau emang Bruno enggak akan datang, berarti gue pergi sendiri. Anggap aja gue ngewakilin dia.
Sarah   : Tapi lo enggak akan ngacau kan?
Chris    : Haha, enggak lah. Gue enggak mau bikin hari special cewek yang gue kagumi berantakan gara-gara ketololan gue.
Chris    : Lo sendiri, mau gimana?
Sarah   : Yang pasti gue bakalan beresin kuliah gue dulu, terus gue tetep bakalan pergi dari sini. Cari kerja yang jauh. Enggak salah kan kalau gue mau menghindar?
Chris    : Iya lo enggak salah, itu kan cara lo buat ngobatin hati lo
Kini mereka berdua terdiam, menatap langit Jakarta berwarna jingga akibat lampu-lampu yang bersinar terang.
Chris    : Gue mau balik lagi ke dalem, mau ikut?
Sarah   : Um, enggak deh gue mau balik aja. Mau nyelesein skripsi gue.
Chris    : Hati-hati. Good luck!

Sarah   : Good luck!

Komentar

Postingan Populer