Cerita Patah Hati
Chris : Kamu engga kenapa-napa?
Suara
musik yang sangat keras dan kondisi kesadaran Sarah yang di bawah 60%
membuatnya tidak menjawab pertanyaan laki-laki yang tadi menepuk pundaknya
halus khawatir karena dirinya menunduk memangkukan keningnya pada tangannya
yang terlipat di meja bar.
Chris : Gimana kalau kita keluar?
Sarah
mengangkat wajahnya dan menatap laki-laki di depannya yang sedang mencoba
berbicara padanya. Chris mencoba berteriak sekencang mungkin ditambah dengan
beberapa gerakan tubuh agar wanita itu mengerti maksudnya.
Sarah
berjalan pelan mengikuti tubuh Chris yang memandunya di depan. Mereka mengarah
pada SUV hitam, entah milik siapa. Chris menaiki puncak mobil itu lalu mengulurkan
tangan pada Sarah dan mengangguk pertanda ‘ayo naik, enggak apa-apa’. Dan
mereka sempurna duduk berdampingan.
Chris : Kamu sendirian?
Sarah : Aku enggak pernah ngajak temen aku ke sini
Chris : By the way, kenalin aku Christian Sugiono.
Sarah : Sarah Synder.
Chris : Siapa tuh?
Sarah : Cari tahu dong di Google pake Hello,
Google.
Chris : Dia mah toketnya gede
Sarah : Sial! Jangan samain itunya!
Sarah
mengeluarkan ekspresi galak, Chris hanya tertawa seraya memasukkan kembali ponselnya
ke dalam saku celana. Mereka saling terdiam bergelut dalam pikiran
masing-masing.
Sarah : Aku pengen cepat pergi dari sini.
Chris : Ke mana?
Sarah : Ke tempat dimana orang enggak banyak kenal
aku, ke tempat dimana orang enggak bisa cari aku. Tempat sempurna untuk hidup
tenang.
Chris : Kamu sembunyi dari siapa?
Sarah : Dari cinta pertamaku.
Chris : Kamu lagi patah hati? Sama.
***
Andrea.
Nama yang sangat manis. Dia perempuan yang bisa membuat aku jatuh cinta,
merubah pikiran dan hidupku. Sebenarnya kami kenal dengan tidak sengaja, dia
adalah klien sahabatku. Bruno mengajakku untuk mengantarnya bertemu dengan
salah seorang klien. Dia mengatakan bahwa kliennya itu cantik, siapa tahu saja
aku tertarik dengannya, dan benar aku tertarik sejak pertemuan pertama.
Awalnya
aku malas mengantar teman semasa kuliah hingga teman satu kost ini, lebih baik
tidur menikmati empuknya kasur, bermalas malasan sambil menonton film dengan
bergelas-gelas kopi instan yang selalu ku beli dalam jumlah banyak. Tapi Bruno
memaksaku sampai mengimingiku bahwa kliennya sangat cantik, aku tidak
bergeming, aku terlalu sering melihat wanita cantik, sepanjang malam, setiap
hari. Bruno tidak kehilangan akal, ia menyebutkan kliennya wanita luar biasa
dan aku akan menyesal jika tidak melihatnya. Baiklah, aku tidak akan berbicara
padanya jika yang dia katakan tidak sesuai dengan kenyataan karena untuk
menemaninya bertemu klien aku harus mengorbankan pagi dan siangku dengan
bertemu orang yang biasa saja.
Kami
janji bertemu di kawasan Senayan agar lebih dekat dengan kantor Andrea. Sejak
di perjalanan aku menguap berkali-kali, dengan tampang kusut dan tidak peduli
aku menatap punggung mobil Jeep yang sejak satu menit lalu sama-sama menunggu
lampu hijau.
“Jam
berapa sih ketemuannya? Pagi bener, masih ngantuk gue,” aku menguap untuk
keberapa kalinya.
“Jam
9.15. Gue sengaja pagian biar enggak telat. Dia orangnya on time banget,” jawab
Bruno yang mulai memarkirkan mobilnya. Pasti orangnya membosankan, si Bruno
ngerjain gue nih.
Kami
duduk di meja dekat jendela, kami memesan dua cangkir kopi espresso. Aku melirik
ke arah jam tanganku yang menunjukkan pukul 09.10. Sudah 15 menit kami duduk di
sini, Bruno dengan ponselnya dan aku melihat ke luar jendela orang berlalu
lalang sibuk dengan kepentingan masing-masing.
“Tuh
tuh, dia dateng.” Bruno mengguncang lenganku yang masih menatap ke luar jendela.
Ketika aku melihat ke arah pintu masuk, sontak aku membereskan rambut dan
kemeja kotak-kotak yang kupakai. Entah ada angin apa, tanpa disadari aku ingin
terlihat rapi di depan klien Bruno. Tepat pukul 09.14 dia datang.
Andrea,
ternyata bertubuh tinggi semampai dengan lekukan tubuh yang sempurna jauh dari
perkiraanku sebelumnya. Dia cantik menurutku, dia terlihat cerdas dengan
kacamata yang membingkai kedua mata coklatnya. Gerak tubuhnya menggambarkan dia
adalah orang yang serius dan sangat profesional, berbeda denganku yang sejak
kami bertemu hanya ternganga takjub dan tidak mengerti dengan pembicaraan
antara Bruno dan dirinya. Cara tangannya menjabat tangannku saat bertemu dan tanda
perpisahan sangat kuat dengan senyuman yang cukup tidak terlalu lebar seperti
menggoda dan tidak terlalu datar seperti tidak peduli.
“Gue
minta kontaknya,” aku berbicara pada Bruno tanpa mengalihkan pandanganku dari
punggung Andrea yang semakin menjauh.
“Gue
enggak bohong kan? Andrea itu orang special. Beberapa kali kerja bareng dia
enggak pernah ada kerjaan yang gagal, semua hasilnya sempurna. Gue juga kagum
sama dia, lo denger kan tadi cerdas banget semua rencananya,” Bruno
membanggakan dirinya karena bisa menjadi partner kerja Andrea.
Ya
benar cerdas sekali Andrea, walaupun aku tidak mengerti apa yang dari tadi
mereka bicarakan tapi aku tetap terpesona. Pesona Andrea membuat aku terlihat
sangat bodoh. Tak apa hanya Bruno yang tahu bahwa Christian sekarang menjadi
bodoh dari biasanya.
Sepanjang
perjalanan pulang aku tersenyum. Aku naik taksi, karena Bruno harus pergi ke
tempat kerja. Kebahagianku memuncak, aku jadi tidak bisa diam, mengacak
rambutku, berlagak seperti orang telah menang undian, bernyanyi dan menggerakan
tubuh. Ketika mataku mengarah pada spion aku melihat mata supir taksi sedang
melihat ke arahku, aku tidak peduli. Aku menaikkan alis mencoba mengatakan
bahwa ‘aku sedang jatuh cinta pak’. Ya benar
aku sedang jatuh cinta, maka malam ini di tempat kerja aku akan menebarkan
cinta ke semua orang.
“Are
you ready for tonight?” aku berteriak semua orang menjerit girang.
Selalu
pulang dini hari dalam keadaan mengantuk, tetapi tidak untuk hari ini. Hari ini
aku memikirkan Andrea, Andrea dan selalu Andrea. Aku memacu mobilku keluar dari
tempat parkir menuju tempat kost-ku bersama Bruno di daerah Menteng. Jalanan
ibukota sepi pukul 03.00, semua orang sudah terlelap memeluk guling, tenggelam
dalam mimpi mereka.
Bruno
tertidur lelap dengan berkas berserakan di sekitar meja. Aku melangkah menuju
dapur mengambil sebotol air mineral terasa segar mengaliri kerongkonganku yang
sejak empat jam terakhir berjingkrak dan berkeringat seperti dalam sauna. Aku
meraih ponselku, membuka daftar kontak dan berhenti di nama Andrea melihatnya
seakan sedang mengagumi mahakarya sang maestro, menekan tombol kembali dan
melemparkannya ke kasur. Tersenyum tipis mengagumi Andrea dan selalu Andrea.
Beberapa
hari setelah menyimpan nomor ponsel Andrea bukan berarti aku sudah berani untuk
menghubunginya, yang ku lakukan adalah mencoba untuk lebih sering pergi ke
Senayan bahkan setiap hari, mencoba keberuntunganku apakah aku bisa bertemu
tanpa sengaja dengan Andrea.
Ketika
aku sedang duduk membuat lagu di salah satu kedai kopi di Senayan, tanpa
sengaja mataku mengarah pada meja bar memperhatikan punggung perempuan berkaos
biru dengan rambut dibiarkan tergerai bebas. Jika dilihat dari bentuk tubuh dan
rambut, sepertinya aku mengenalnya tapi aku pikir perempuan yang memiliki
bentuk tubuh dan rambut panjang agak coklat bukan hanya Andrea, lalu aku
kembali pada layar laptopku.
Ku
teguk kopi yang tinggal setengah mencoba melihat ke arah meja bar, tetapi perempuan
berkaos biru itu sudah tidak ada. Aku mencari ke seluruh penjuru kedai kopi
termasuk ke arah pintu keluar, nihil. Dan melalui ekor mataku, berjalan penuh
irama perempuan berkaos biru sambil menjinjing tas laptop. Kopi yang tadi ku
minum baru ku telan setelah meyakinkan diri siapa yang berjalan di depan kedai
kopi. Iya itu Andrea, perempuan yang tadi punggungnya ku perhatikan.
Entah
mengapa melihat Andrea sudah cukup membuatku senang. Besok ku putuskan untuk
datang ke kedai kopi ini di jam yang sama, mencoba mengadu keberuntunganku
lagi. Hormon endorphin yang meningkat sejak melihat Andrea membuatku lupa waktu
tanpa terasa aku telah berhasil membuat dua lagu dalam waktu singkat, rekor.
Entah
mengapa aku kehilangan keberanian terhadap Andrea. Jantungku berdebar lebih
cepat, tanganku bergetar hebat ketika akan menekan tombol penggil, sulit.
Setelah beberapa kali mengalami kejang ringan setiap ingin menekan tombol
panggil, Bruno datang dengan ekspresi wajah seperti sudah dipecat dari
pekerjaannya, tapi bukan itu masalahnya, masalahnya malah datang untukku. Dia
mengeluarkan kertas undangan berwarna merah dan memberikannya padaku. Aku
langsung mengambil undangan itu karena Bruno dari tadi diam tidak mengatakan
apa-apa membuatku jengkel dan tidak sabaran. Membaca sampul depannya saja sudah
membuatku kena serangan jantung. Di sana tertulis Andrea dan Rayangga.
***
Dia
adalah teman semasaku SMA, Fadhil namanya. Sejak kelas 1 kami sekelas, kelas 2
dan 3 kelas kami sebelahan, kami tak terpisahkan. Kami selalu bersaing
peringkat saat kelas 1, kami saling mencontek tugas, saling bertukar informasi
tentang materi yang dalam ujian harian, pergi dalam tempat les yang sama,
belajar untuk menghadapi ujian nasional bersama, lulus bersama. Dia awalnya
adalah sahabatku, tapi aku mulai jatuh cinta padanya. Aku tahu ini suatu
kesalahan tapi ini kesalahan yang indah.
Orang
bilang kenapa kita enggak jadian aja? Mulutku menjawab kita lebih nyaman jadi
teman daripada pacar, tetapi hati bilang aku menunggu dia menyatakan cinta
terlebih dulu.
Kenapa
aku tidak menyatakannya terlebih dahulu? Karena dari awal kami sudah membuat
kesepakatan bahwa kami tidak boleh pacaran, boleh pacaran asalkan dengan yang
lain. Selama tiga tahun mengenalnya, aku sudah empat kali berganti pacar. Itu
semata-mata agar perhatianku teralihkan kepada laki-laki lain tapi sayangnya
dari empat kali kesempatan berpacaran dengan laki-laki lain aku tidak bisa
mengalihkan perhatianku dari Fadhil, Fadhil dan selalu Fadhil.
“Eh
gue dideketin kakak kelas namanya Risal, anak basket itulohh,” aku membuka
pembicaraan di sela belajar bersama.
“Terus
lo mau jadian sama dia?” Tanyanya sambil tetap mengerjakan soal matematika, tentang
limit.
“Ya
enggak tahu juga sih, kalau dia orangnya asik, baik, bisa bikin nyaman, ya
kenapa enggak?” hening. “Gue udah hampir lima lo sama sekali belum pacaran,”
“Lo
mau ngehasut gue? Lo kan tahu…”
“Gue
pernah sekolah di pasantren dan gue pikir emang pacaran itu enggak ada
manfaatnya mending nanti aja kalau udah nikah” aku meniru kata-katanya yang
selalu sama setiap kali ada yang bertanya mengapa Fadhil tidak pernah pacaran.
“Ujung-ujungnya
putus juga,” tambahnya.
“Yey,
elu mah nyindir gue,” dalam hati ingin aku katakana bahwa mengapa aku tidak
pernah bertahan lama karena aku tidak mau ada orang lain di antara aku dan
Fadhil.
Cerita
itu hanya sekelebat kenangan masa lalu, kenangan aku bersama cinta masa SMA
yang tiba-tiba muncul setelah Irene menceritakan bahwa Fadhil akan diberikan
beasiswa S2 ke Turki. Irene adalah teman sebangku saat kelas 3 yang sekarang
satu kampus dengan Fadhil, sedangkan aku berbeda kampus walupun masih dalam
satu kota yang sama.
“Dia
tuh anak mesjid banget sekarang, Sar. Beneran gue enggak bohong,”
“Lu
tahu dari mana?” tanyaku ingin tahu.
“Kalau
cowok gue solat jumat kadang dia yang jadi imam. Jadi imam di mesjid kampus
sis!” Irene terlalu membersar-besarkan ceritanya tetapi memang, itu adalah hal
luar biasa. “Terus kan kalau di kampus gue ada mata kuliah agama yang harus
dateng ke mesjid kampus, nah waktu akhir semester kemarin disebutin sama dosen
agama kalau dia mau diumrohin, wow enggak sih?” aku mengangguk setuju.
“Kita
sekarang semester delapan, beberapa bulan lagi kita lulus, berarti beberapa
bulan lagi dia bakalan pergi ke Turki. Orang kaya dia pasti diincer banyak
ustadz buat dijadiin menantu, terus gue gimana?” aku patah semangat.
“Elu
pengen nikah sama dia, Sar? Serius?” Tanya Irene tidak yakin.
“Iya
gue tahu itu enggak mungkin, secara gue bukan cewek alim, pake kerudung juga
belum mau. Sedangkan dia, imam mesjid di kampus lo, Ren. Kalau kata Rosa mah
bagai berharap memeluk bulan,”
“Saran
gue nih ya, lo harus lupain Fadhil. Cari cowok lain yang mau nerima lo meskipun
lo enggak pake kerudung tapi tetep tulus sayang sama lo. Oh iya, lagian emang
Fadhil suka ya sama lo?” aku semakin patah semangat, teman macam apa dia. “Gue
bukannya jahat sama lo Sar, tapi sebagai teman yang baik gue cuma mau lo tuh
enggak mimpi terus, lo harus bangun dan menginjak bumi.”
“Ren,
bisa enggak lo bikin janji sama Fadhil buat ketemu sama gue?”
“Buat
apa ketemu sama dia?”
“Sekali
aja, terus gue janji bakalan move on. Serius, lo pegang janji gue, abis ketemu
nanti gue mau buka hati buat cowok lain,”
“Bener
ya?” aku mengangguk mantap.
Sejak
hari kelulusan SMA aku tidak pernah melihat Fadhil lagi. Pesan terakhir yang
kuterima adalah dia pergi ke pasantren terbesar di Jawa untuk mengisi waktu
sampai pengumuman penerimaan perguruan tinggi dan akan terus di sana sampai
waktunya masuk kuliah. Sejak saat itu kami jarang berkomunikasi karena dari
setiap cerita yang iya sempatkan lewat telepon aku dapat menyimpulkan bahwa
jadwal di sana sangat padat. Semua ponsel dikumpulkan dan hanya dibagikan
kembali setiap hari Minggu, itupun hanya dari pukul 10 sampai pukul 2 siang,
sangat terbatas.
Dulu
aku pernah bertanya, “Kenapa lo enggak sekolah di madrasah aja malah di SMA?”
Fadhil bilang, dia jenuh ingin mencoba sekolah di sekolah umum. Tapi tetap saja
jiwa dan hatinya masih terpatri di madrasah. Padahal jika dia tidak sekolah di
SMA, kemungkinan besar aku tidak akan jatuh cinta padanya.
“Lo
mau kuliah di mana?” di saat yang berbeda aku bertanya lagi dan iya menjawab
ingin kuliah di perguruan tinggi keguruan, ia ingin menjadi guru agama, dan
dengan jawaban itu kepercayaan diriku mulai memudar.
“Kenapa
lo mau temenan sama gue?” yang dari tadi Fadhil hanya menjawab pertanyaanku
tanpa menatap mataku, demi mendengar pertanyaan ini ia mengangkan wajahnya yang
sedang memilih buku untuk ujian nasional.
“Sarah,
kenapa lo nanya itu?” matanya menatap mataku langsung, aku tidak berkedip. Aku
tidak ingin kehilangan momen yang sangat jarang ini dan sekaligus sedang serius
menunggu jawabannya. “Karena gue laki-laki,”
“Maksudnya?”
aku bertanya bingung.
“Gue
udah nemu buku yang mau gue beli. Lo mau beli buku yang mana?”
Aku
tahu ketika dia mengalihkan pembicaraan berarti dia tidak ingin membahas hal
ini. Aku tahu, karena aku sudah sangat mengenalnya. “Gue mau beli novel aja,”
“Eh
lu enggak akan beli buku persiapan UN?” tanyanya sambil mengekor di belakangku.
“Enggak
perlu, gue kan udah pinter,” aku mengerling.
“Sombong,”
kami tertawa.
Aku
tersenyum mengingat kenangan itu melalui novel yang sedang ku pegang saat ini.
Novel yang kubeli ketika semua orang kalang kabut karena akan menghadapi ujian
nasional. Tolong biarkan aku mengenang sebelum kenangan itu akan aku simpan dan
ku kunci rapat, tolong biarkan kali ini saja aku menjadi gila karena akan
kehilangan cinta pertamaku.
Irene
memberi jadwal dan tempat untuk bertemu dengan Fadhil, aku gugup. Hari yang
ditunggu itu datang. Aku mempersiapkan diri, berbicara di depan cermin apa saja
yang ingin aku katakan. Berkaca memadukan baju apa yang akan aku gunakan, dan
aku memilih sebuah kemeja kotak-kotak berwarna coklat dengan celana jeans warna
senada. Cukup sopan untuk bertemu dengannya.
Aku
sampai duluan di café yang sudah dijanjikan, aku memesan es kopi moka untuk
menemaniku menunggu Fadhil. Tak lama setelah minuman yang ku pesan tersaji di
depanku Fadhil pun datang, ia melemparkan senyumannya padaku.
“Hei,
udah lama?” tanyanya ketika duduk di hadapanku. Irama jantungku berubah menjadi
lebih cepat.
“Hei,
enggak kok. Minumanku juga baru dateng, kamu mau pesen apa?” dia memanggil
pelayan dan memesan minuman yang sama.
“Canggung
banget sih, lo gue ajalah,” tawanya masih sama seperti dulu. Aku terkekeh.
Kami
bercerita tentang kampus masing-masing, pengalaman menjadi mahasisa tingkat
akhir dan cerita-cerita lainnya yang kami kemas sendiri dengan gaya kami.
“Gue
dapet beasiswa ke Turki,” ucapnya disela seruput es kopi moka yang embunnya
mulai menetes.
“Oh
ya? Belum lulus udah dapet beasiswa aja. Hebat lo!” aku pura-pura bersemangat
padahal aku sudah tahu. Semua yang ia ceritakan sudah aku ketahui, karena aku
selalu mencari tahu seakan tidak mendengar kabar darinya akan membuatku
dehidrasi.
Fadhil
tetap bersemangat bercerita, dan aku setia mendengarkan. Tersenyum bahkan
sampai tertawa terpingkal-pingkal.
Cerita yang kudengar langsung dari Fadhil lebih menarik ketimbang cerita yang
kudengar dari Irene. Sampai akhirnya aku tidak bisa menahan semua yang ingin
aku katakan, di sela pembicaraan kami aku meraih tangannya, menggenggamnya tapi
aku tidak mengatakan apa-apa, Fadhil berhenti bercerita, ia menjadi ikut terdiam.
Fadhil mencoba melepaskan genggamanku, tapi aku tetap menggenggamnya, lebih
erat.
“Enggak
apa-apa,” aku coba menjelaskan padanya. “Aku tahu menurut kamu ini dosa tapi
enggak apa-apa,” entah mengapa aku tidak berani menatap mata Fadhil, itu karena
mataku berkaca-kaca dipenuhi air mata yang menggenang. Aku terisak, Fadhil
mulai menggenggam tanganku. Kami masih saling diam, saling mengumpulkan
keberanian untuk memulai berbicara.
“Maafin
ak, mm gue maksudnya.” Aku masih menunduk. “Aku.. Gue maksudnya. Gue enggak
pernah ngasih kabar. Setelah kita sibuk dengan masa orientasi tiga tahun lalu,
gue takut-takut buat neghubungin lo. Ya gue khawatir lo lagi sibuk, khawatir
pesan dari gue dibaca sama cowok lo, atau bahkan gue khawatir lo marah sama
gue,” aku masih menunduk dengan tangan masih saling menggenggam. Hening.
“Sarah?”
aku melepaskan genggamannya.
“Gue
pergi duluan ya, nanti gue yang bayar. Bye Fadhil” aku bergegas pergi. Aku
tidak kuat berada terus dalam atmosfer yang menyesakkan itu. Aku langsung
menuju kasir dan pergi.
Ketika
semua orang bahagia menikmati hari Sabtu malam mereka, justru aku malah sesak
menyadari bahwa aku tidak bisa bersama cinta pertamaku. Bukankah semua orang
punya pertahanan diri masing-masing terhadap rasa sakit? Pertahanan diriku
adalah menghindar. Menghindar sebelum rasa sakit itu semakin besar, menghindar
dari kemungkinan Fadhil yang mengucapkan selamat tinggal, menghindar dari
kemungkinan ia mengatakan bahwa ia sudah menemukan wanita yang bisa ia nikahi,
wanita sempurna dengan paras meneduhkan, tutur bahasa halus pintar mengaji,
pandangan mata yang selalu menunduk jika berhadapan dengan laki-laki, gerakan
yang lemah gemulai yang mungkin menjadi kriteria wanita idamannya, dan
kemungkinan-kemungkinan yang menyesakkan lainnya. Aku kehilangan akal, otakku
sudah tidak bisa berpikir dengan jernih.
Aku
memanggil taksi setelah berjalan menjauhi cafe, “Mau kemana, Mbak?” suara supir
taksi menyadarkanku.
“Kemana
aja, Pak” jawabku singkat.
“Mbak
lagi patah hati? Saran saya mendingan pijat refleksi, spa, creambath, atau
olahraga? Belanja? Biasanya perempuan jadi bahagia lagi kalau belanja,” aku
masih terdiam, menatap jalan. “Atau mau pulang aja? Alamatnya dimana?”
“Ke
diskotek aja, Pak” jawabku tidak memilih pilihan yang diajukan pak supir.
“Diskotik
yang dimana, Mbak?” tanyanya lagi.
“Terserah,”
aku malas berbicara dan dia banyak bertanya.
***
Chris : Tadi lo minum apa?
Sarah : Air putih
Chris : Air putih? Tapi kok kaya …
Sarah : Gue lagi galau, jadi bebas dong gue mau
jalannya tegak, males malesan, atau bahkan ngesot sekalipun
Chris : Iya iya, bebas ko yang lagi galau
Hening.
Sarah : Terus apa yang bakal lo lakuin?
Chris : Gue bakal ikut kalau Bruno mau hadir di
pernikahan Andrea. Kalau emang Bruno enggak akan datang, berarti gue pergi
sendiri. Anggap aja gue ngewakilin dia.
Sarah : Tapi lo enggak akan ngacau kan?
Chris : Haha, enggak lah. Gue enggak mau bikin
hari special cewek yang gue kagumi berantakan gara-gara ketololan gue.
Chris : Lo sendiri, mau gimana?
Sarah : Yang pasti gue bakalan beresin kuliah gue
dulu, terus gue tetep bakalan pergi dari sini. Cari kerja yang jauh. Enggak
salah kan kalau gue mau menghindar?
Chris : Iya lo enggak salah, itu kan cara lo buat
ngobatin hati lo
Kini
mereka berdua terdiam, menatap langit Jakarta berwarna jingga akibat
lampu-lampu yang bersinar terang.
Chris : Gue mau balik lagi ke dalem, mau ikut?
Sarah : Um, enggak deh gue mau balik aja. Mau
nyelesein skripsi gue.
Chris : Hati-hati. Good luck!
Sarah : Good luck!
Komentar
Posting Komentar