Cermin

Aku pulang dengan tubuh basah kuyup dan ketika sampai ke rumah aku langsung berlari ke kamar tak menghiraukan pertanyaan mama. Di luar hujan sangat deras, setelah berganti pakaian aku meyelimuti diri bukan karena kedinginan tetapi lebih tepatnya karena ingin bersembunyi dari rasa sakit.
“Sahabat yang selama ini ku percaya akhirnya membuka mulut, akhirnya mengungkapkan semuanya dan akhirnya aku menyadari bahwa selama ini aku telah dibodohi” aku hanya mengatakan semua yang ada di pikiranku, mengatakan tanpa ada yang mendengar.
“Lalu apa yang akan kamu lakukan sayangku?” suara asing menanyakan pertanyaan atas apa yang aku pikirkan. Aku kaget dan mencari ke sekeliling kamar mencari sesosok yang bertanya tetapi tidak ada siapapun hanya aku sendiri di kamar ini. “Aku di sini sayangku, dalam cerminmu.” Suara itu seakan mengerti apa yang aku pikirkan. Aku melihat ke arah cermin besar yang menggantung pada dinding kamarku dan di sana berdiri sesosok seperti wanita tetapi aku tidak bisa melihat wajahnya karena tertutupi oleh kain sutra super halus yang membentuk lekuk tubuhnya.
“Siapa kamu?” aku mencoba memberanikan diri.
“Kau bisa memanggilku Ave” saat itulah kain sutra super halusnya tersingkap dan menampilkan wajahnya. Wajahnya sangat cantik, kulit wajahnya seputih susu, rambutnya panjang berwarna tembaga, namun aku tidak bisa melihat jenis pakaian apa yang ia kenakan karena tubuhnya tetap dibalut kain sutra super halus berwarna hijau zamrud.
“Mengapa kamu bisa ada dalam sana? Kamu itu apa?” aku tergagap karena terkejut dan penasaran makhluk macam apa wanita itu, otakku penuh dengan pertanyaan.
“Aku akan menjadi sahabatmu sayangku. Aku wanita sepertimu, namun aku bukan wanita yang lemah sepertimu!” suaranya sedikit meninggi membuatku tidak terima dengan perkataannya.
“Aku tidak lemah seperti yang kamu katakan!” suaraku ikut meninggi menutupi apa yang sebenarnya wanita itu kira.
“Ow, bagus sekali karena aku sangat membenci makhluk lemah!” tubuhnya seperti mengambang dalam air, rambut dan sutra yang membalut tubuhnya seperti melayang-layang. “Kemarilah sayangku, aku ingin melihatmu dari dekat,”
Suara itu sangat lembut dan aku mengikuti perintahnya lalu aku mendekat pada cermin. ”Aku tahu kamu sedang kecewa dengan seorang pria. Pria itu mencintai wanita lain bukan? Mengapa wanita itu bisa memikat priamu? Mengapa wanita itu bisa membuat pria yang kau cintai bisa jatuh cinta pada wanita itu juga? Atau bahkan lebih mencintai wanita itu daripada mencintaimu. Kau hanya wanita tidak berguna sehingga kau kehilangan priamu itu. Mungkin kau sudah tidak cantik lagi, mungkin kau tidak menarik lagi.” Selama berbicara wanita dalam cermin itu membelai wajah mencengkram dagu, kata-katanya sangat merendahkanku dan so tahu. Aku bukan wanita lemah yang seharusnya ditinggalkan oleh seorang pria. Tidak! aku tidak seperti yang wanita itu katakan.
“Buktikan pada mereka bahwa kau juga bisa membuat seorang, oh tidak, banyak pria menjadi jatuh cinta padamu, membuat banyak pria mengejar dirimu demi hati kecilmu ini.” Jari telunjuknya mengarah tepat di hatiku. “Aku ingin kau memikat sebanyak-banyaknya pria, buat mereka menyatakan cintanya padamu saat itulah kau bisa membuktikan bahwa kau bukan makhluk rendah yang tak menarik. Buktikan padaku kalau apa yang kukatakan tadi adalah salah!” tangannya kembali masuk dalam cermin. “Pergilah tidur, jangan menangis lagi kini aku adalah temanmu. Tenang saja aku tidak akan mengambil pria-pria yang kau pikat karena aku tidak menyukai manusia!” dan cerminku kembali normal. Kesadaranku kembali, aku mencari wanita itu namun kamarku kosong hanya aku sendiri.
Hujan deras dan kadang disertai petir yang menyebabkan kilatan cahaya menerangi kamarku yang tidak kunyalakan lampunya. Aku naik ke tempat tidur, ku lihat jam di ponsel menunjukkan pukul 00.09, sudah tengah malam.
Aku mengubah posisi badanku mencari posisi yang nyaman, tetapi aku tidak menemukan kenyamanan itu dan aku tidak bisa tidur. Saat aku pulang jam yang ada di atas TV menunjukkan pukul 20.10 dan sekarang sudah pukul 00.18 apa saja yang kulakukan sehingga aku masih terjaga hingga tengah malam. Apa aku terbangun padahal sudah tidur sejak tadi? Iya sepertinya aku sudah tidur karena tadi aku bermimpi ada seorang wanita dalam cerminku.
“Maudy kita mau lagu apa nih buat nanti acara perpisahan kelas XII?” Tanya Ben. Aku berpikir untuk memilih lagu apa yang bagus. Kami memang sering duet. Ketika yang lain membentuk band kami menjadi penyanyi solo. Aku Maudy, siswi kelas XI yang baru patah hati, jago bernyayi dan akan menjadi si hebat yang membalas kelakuan Galang dan Siska si pengkhianat persahabatan.
“Uh sejak dia jadi pengkhianat aku menjadi perempuan gila yang berbicara sendiri, mondar mandi di kamarku dan menjadi orang yang yang selalu sinis setiap waktu,” aku merengut kesal sesampainya di kamarku, membanting tas ke tempat tidur.
“Maudy,” aku kaget mendengar namaku dipanggil. Itu bukan suara mama, itu bukan suara Kak Miranda, aku tidak mengenali suara itu. “Bukankah aku sudah bilang tadi malam bahwa aku kini sudah menjadi temanmu? Mengapa kamu masih menganggap dirimu sendirian?” Tanya suara itu, refleks aku langsung melihat ke arah cermin dan mendekat.
“Oh tidak! Apakah aku sudah gila? Bagaimana mungkin mimpiku semalam bisa menjadi kenyataan? Tidak, tidak, tidak. Aku tidak mau menjadi wanita gila di usiaku yang masih 16. Tidak, tidak, tidak, aku harus pergi ke rumah Siska. Aku tidak bisa terus berbicara sendiri seperti ini, aku harus berbicara dengan manusia.”
“Maudy! Kau tidak gila sayangku. Apakah kau menganggap pertemuan kita tadi malam hanyalah mimpi? Tidak sayangku. Kemarilah aku akan membuktikan bahwa kau tidak gila dan tidak sedang bermimpi. Kemarilah aku akan menyentuhmu, membuktikan padamu bahwa aku ini nyata.” tangannya yang dibalut sutra berwarna batu zamrud itu keluar dari cermin.
Aku takut-takut mendekat ke cermin membiarkan tangan dalam cermin itu menyentuhku. “Ya kamu nyata. Sebentar sepertinya aku mengingat namamu,” aku berpikir mencoba mengingat-ingat. “Ave! Namamu Ave kan?” aku berseru.
“Benar sekali sayangku.” Jawab wanita itu.
“Oh tidak, kamu nyata dan aku berarti tidak gila,”
“Kau memang tidak gila sayangku. Nah, sekarang apakah kau ingat apa tugas mu?” tanyanya.
Aku kembali mencoba mengingat apa yang sebenarnya aku bicarakan dengan wanita itu tadi malam. “Kamu memintaku untuk membuat banyak cowok untuk menembakku?”
“Menembakmu? Tidak sayang tidak, aku menginginkan agar pria-pria menyatakan cinta padamu,”
“Iya maksudku seperti itu. Kamu umur berapa tahun?”
“Usiaku 7698 tahun”
“Pantas saja kamu tidak paham, kamu tua sekali. Baiklah nanti aku akan mengajarimu beberapa bahasa slang, okay? Tapi sekarang aku mau makan siang dulu,”
“Maudy! Cobalah untuk serius! Aku tidak mau kau main-main. Kau tidak ingat pacarmu itu mencintai wanita lain dan memilih untuk pergi darimu?” Tanya wanita itu.
“Iya, kamu benar Ave. Tapi aku tidak bisa berpikir ketika lapar, aku akan kembali okay?” aku bergegas ke ruang makan. Seperti biasa rumah dalam keadaan kosong tetapi mama tidak pernah lupa memasak untuk makan siang, lebih tepatnya makan sore. Selama jam istirahat aku latihan vocal dengan Ben untuk acara perpisahan kelas XII yang akan dilangsungkan 4 bulan lagi dan memang aku menjadi tidak nafsu makan ketika di kantin ada Galang dan Siska.
Selain sekolah aku juga les vocal sehingga aku sering mengisi di beberapa acara ulang tahun, menyanyi di café dengan teman-teman di tempat les, bahkan mengisi acara di wedding. Walaupun cita-citaku ingin menjadi psikolog tapi tidak ada salahnya jika aku memiliki kecakapan lain kan? Setelah mengenal Ave dan mengingat apa yang harus kulakukan adalah meningkatkan kacakapanku untuk membuat banyak laki-laki jatuh cinta padaku.
Aku bertubuh mungil dengan rambut lurus berwarna kecoklatan tergerai panjang. Aku tidak secentil teman-temanku lainnya, tetapi apakah kau ingin tahu mengapa banyak yang menyukaiku? Aku menghormati mereka. Aku memperlakukan semua laki-laki dengan baik walaupun aku tidak memiliki perasaan kepada mereka semua. Aku akan membuat mereka damai, tenang, percaya dan terbuka padaku. Lalu aku mencari kelemahan mereka dan aku genggam sampai mereka tidak bisa hidup tanpaku. Ketika mereka memohon padaku dan menyatakan bahwa mereka tidak mampu pergi menjauh dariku saat itulah Ave muncul.
Ave memintaku untuk menggiring mereka ke tempat yang tidak ada orang sehingga tidak ada seorangpun yang tahu apa yang akan kami lakukan. Ketika para laki-laki itu menyatakan perasaannya padaku Ave muncul keluar dari dadaku dengan cahaya putih yang menyilaukan mata ia menyerap semua perasaan cinta tanpa tersisa. Setelah Ave selesai aku merasa lelah dan aku biasanya langsung terduduk sedangkan setiap laki-laki itu akan lupa apa yang akan mereka lakukan di tempat sepi dengan seorang gadis maka mereka akan pergi meninggalkan aku sendirian karena tidak peduli padaku lagi.
Awalnya aku sangat menyukai permainan ini. Aku merasa di atas angin melihat banyak laki-laki yang merasa tidak mampu jika mereka kehilanganku tetapi aku merasa ini adalah suatu kesalahan. Salah satu korbanku adalah Ray, temanku di tempat les. Setiap les dia selalu marah-marah bahkan ia hampir menghajar coach Chiko dengan gitar, siswa perempuan menjerit dan orang-orang yang ada di sana mencoba untuk menenangkan Ray. Aku ketakutan, apakah ini yang terjadi ketika manusia tidak memiliki cinta dalam hatinya?
Setelah kejadian Ray yang ingin menghajar coach Chiko aku mulai mendiamkan Ave, aku tidak mendengarkan apa yang Ave katakan, aku tidak menjawab semua pertanyaannya bahkan aku menutupi cerminku dengan kertas agar Ave tidak muncul tetapi Ave selalu muncul di setiap cermin yang kumiliki. Cermin dalam bedakku, cermin dalam lemariku, bahkan pada cermin dalam tempat pensilku. Rasa panikku semakin membesar ketika ku dengar Haris bunuh diri karena selalu merasa sedih dan terpuruk, ya dia adalah korbanku juga. Aku semakin takut karena aku tidak ingin Ben menjadi korban selanjutnya, tetapi itu tidak mungkin aku rasa hanya aku yang jatuh cinta sedangkan dia tidak. Tetapi itu lebih baik artinya Ben tidak akan menjadi korban.
“Maudy, Ben, stand by ya.” Kata Tika selaku penanggung jawab artis, kami berdua mengangguk mengiyakan.
“Kamu jangan suka sama aku ya,” aku berkata saat Ben sedang membereskan kemejanya.
“Apa sih, kamu GR deh,” tawanya, suaranya oh aku jatuh cinta pada Ben, teman duetku 4 bulan terakhir ini. Bagaimana tidak, kami selalu bersama-sama saat jam istirahat dan sepulang sekolah untuk latihan vocal, dia selalu mengantarku pulang atau untuk les, bahkan dia pernah mengajakku ke kedai es krim, yang kuanggap itu adalah kencan pertama kami.
Kami membawakan dua lagu dan semuanya mendapat apreasiasi yang luar biasa meriah. Aku merasa sangat bahagia tetapi itu pula berarti romansa ini akan berakhir mulai malam ini.
“Maudy, aku menyukaimu. Maukah kamu jadi pacarku?” tanpa aba-aba Putra melakukan hal itu di tengah-tengah acara setelah aku turun dari panggung menyita perhatian semua orang yang hadir. Aku panik dan benar cahaya putih keluar dari dadaku mengarah ke dada Putra selama empat detik cahaya itu terus menyerap cinta Putra. Ketika cahaya itu hilang dan kesadaranku pulih kembali Bu Marry, Pak Tio dan Bu Rose menghampiriku dan ku melihat ke sekeliling semua orang memperhatikan ke arahku dengan ekspresi wajah tidak percaya.
“Kamu tidak apa-apa, Nak?” Tanya Bu Marry lembut. Beliau guru BK, guru yang paling baik dan paling lembut yang pernah kutemui.
“Besok kami tunggu kami di ruang BK,” kata Bu Rose, guru bahasa Inggris yang super killer menurut semua siswa di sekolahku.
“Tapi itu bukan kesalahan saya, Bu” aku menolak untuk disalahkan. Aku mencari sosok Putra, tapi tidak terlihat. Kemana dia?
“Tenang Nak, kamu memang tidak salah tapi kamu tetap kami tunggu besok di ruang BK. Ada yang ingin kami tanyakan perihal ini,” jelas Pak Tio tegas, beliau adalah guru olahraga. Mengapa guru olahraga juga ikut terlibat?
Bu Marry membantuku berdiri, memegang tanganku dan mengangguk mengiyakan kedua perkataan guruku yang lain. Aku buru-buru pergi dari kerumunan mencoba mencari udara segar untukku bernapas. Aku merasa sesak dengan kejadian itu.
“Maudy,” suara Ben terdengar di belakangku. Aku berbalik dan mencoba mengatur sikap agar terlihat natural. “Kamu enggak apa-apa?”
“Emang aku kenapa? Aku enggak kenapa-napa kok,” jawabku mencoba netral.
“Kejadian tadi?” Ben terdiam sesaat. “Ini yang kamu maksud agar aku jangan sampai menyukaimu?”
“Putra kemana?” aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan kami yang aku prediksi dia akan bertanya sebenarnya apa yang terjadi.
“Jawab pertanyaanku Maudy,” Ben memegang lenganku dan menatapku memaksaku untuk menatapnya juga.
“Kamu juga belum menjawab pertanyaanku,” aku mencoba keluar dari situasi ini.
“Dia pergi entah kemana, mungkin dia pulang. Sekarang jawab pertanyaanku,” ucap Ben sedikit memaksa.
“Aku tidak tahu Ben. Kamu dengar sendiri tadi Bu Rosemarry dan Pak Tio menyuruhku untuk datang ke ruang BK besok jadi malam ini aku belum bisa menjawab pertanyaan kamu. Aku mau pulang,”
“Aku akan antar kamu pulang,” tawaran Ben seperti biasa.
Sepanjang perjalanan pulang kami saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak terasa kami sudah sampai lalu Ben langsung pamit untuk pulang. Aku bergegas menuju kamar untuk menemui Ave, membanting pintu dan segera merobek kertas yang menutupinya.
“Apa yang kamu lakukan tadi? Semua orang kini tahu bahwa aku adalah penyihir,” napasku naik turun, emosi. “Sampai kapan kamu akan berhenti? Aku sudah tidak mau melakukan hal ini lagi!”
“Kau tahu aku akan selalu penyerap cinta yang tertuju padamu tidak peduli kau sedang berada dimana. Itu kata kuncinya,” Ave menjelaskan, suaranya tetap tenang aku masih merengut. “Kau tidak bisa berhenti sayangku, kemarilah aku akan menenangkan dirimu,”
“Tidak! Aku ingin ini permainan ini dihentikan! Bagaimanapun caranya aku akan melakukannya, aku ingin berhenti,” aku menjerit sekencang mungkin.

“Eh kamu sudah bangun,” kata mama sambil membuka tirai jendela agar cahaya bisa masuk. Ya, seingatku tadi malam aku menjerit dan ketika ku bangun aku ada di kamar mama.
“Jam berapa sekarang, Ma?” Tanyaku dengan sedikit menyipitkan mata agar cahaya tidak buru-buru masuk ke dalam mataku.
“Jam 6, sayang,”
“Aku terlambat, Ma” aku segara bangun.
“Kamu mau sekolah? Tapi..” mama memegang keningku. “Sudah turun demamnya. Ya sudah Mama akan bikin sarapan. Iya Mama tahu enggak akan sempet kan? Nanti Mama masukan ke kotak makan kamu, sekarang cepat mandi,” Mama seakan mengerti apa yang aku pikirkan.
Aku bergegas mandi. Sebenarnya bukan karena tidak ingin bolos sekolah tapi aku ingin segera menyelesaikan urusanku dengan Ave. Aku akan datang ke ruang BK dan menemui Bu Rosemarry dan Pak Tio.
Ku ketuk pintu ruang kerja Bu Marry, guru BK di sekolahku. “Selamat pagi,” dan ketiga guruku itu menoleh pada sumber suara.
“Selamat pagi, mari masuk Maudy,” Bu Marry menyambutku dan memberikanku tempat duduk di depan mereka bertiga. Aku seakan sedang dihakimi, ini sangat tidak nyaman.
“Kita tidak perlu basa-basi karena ini masalah serius. Saya ingin kamu jujur, apakah benar ada seorang wanita dalam cerminmu?” Tanya Bu Rose. Aku mengangguk mengamini.
“Benar dugaanku. Aku sudah menemukan Alick, jika anak itu mau memberikan cermin itu siang ini juga kita bisa membawa Ave pulang dan tugas kita selesai,” ujar Pak Tio.
“Kalian mengenal Ave?” tanyaku hati-hati.
“Maudy, Ave adalah putri dari raja kami dan dia kabur karena ingin menemui kekasihnya, Alick, di bumi. Raja ingin membawa pulang Ave karena Ave tidak boleh ada di sini, tempatnya bukan di bumi, bumi hanyalah untuk para penjahat. Bumi adalah penjara,” jelas Bu Marry. “Jadi, bolehkah kami membawa cermin dari kamarmu? Karena Ave tidak memiliki akses untuk tinggal dalam tubuh manusia makanya dia tinggal dalam cermin,”
Aku berpikir sejenak dan aku memutuskan untuk menyetujui rencana ketiga mahkluk yang meminjam tubuh guru-guruku ini. Kami meminta izin kepada piket dengan alasan aku sakit sehingga kami bisa keluar dari sekolah. Dalam mobil milik Pak Tio kami semua hanya terdiam bergelung dalam pikiran masing-masing. Aku tidak suka suasana hening seperti ini, lalu aku bertanya. “Mengapa pacarnya Ave ada di bumi? Dia salah apa?”
“Ketika Ave dan Alick ada janji bertemu saat itu ada seorang wanita yang menghampiri dan menggoda Alick. Walaupun Alick sudah menolak tetapi wanita itu terus menggoda Alick, hingga akhirnya Ave datang. Putri manja itu sangat murka. Dia melaporkan pada ayahnya, lalu raja menghukum Alick dan menurunkannya ke bumi sebagai penjaga tubuh manusia yang ia tempati agar jangan sampai tubuh itu melakukan hal yang dilarang. Ketika para penjahat gagal melakukan tugasnya maka saat itulah mereka dihukum mati dan hukuman itu bisa terjadi juga pada Alick.”
“Sudah berapa lama Alick dihukum?” tanyaku lagi.
“2890 tahun,” jawab Bu Marry singkat.
Tibalah di rumahku, jam segini rumah dalam keadaan kosong. Mama dan Papa pergi kerja tentunya Kak Miranda pergi sekolah. Aku selalu membawa kunci rumah, ketiga makhluk dalam tubuh guruku mengikuti ku masuk ke kamar. Saat cermin itu di bawa masuk ke dalam mobil Pak Tio, Ave tidak muncul.
“Bu, Pak, saya akan membawa motor sendiri,” aku meminta izin. Lalu aku mengikuti mobil Pak Tio dari belakang. Kami berhenti di suatu ladang jagung, ya memang jauh sekali dari rumahku karena ladang ini terletak di pinggir kota.
Ketika kami sampai, seorang laki-laki paruh baya muncul dari gubuk kecil. Laki-laki itu menghampiri kami. “Panggil Ave,” pinta Bu Rose. Entah hanya perasaanku saja atau bukan Bu Rose tidak tampak galak lagi.
“Ave, ada yang ingin bertemu denganmu. Keluarlah, aku tahu aku sudah mendiamkanmu. Keluarlah, aku memiliki kejutan untukkmu,” Kain sutra warna hijau zamrud mulai muncul dan perlahan-lahan wajah Ave tampak olehku. Aku tersenyum, Ave tampak tidak suka. “Ave lihatlah siapa di sana?” aku menunjuk kepada seorang petani berbadan kurus dengan kulit coklat karena selalu terbakar matahari.
“Alick?” Ave mencoba keluar dari cermin tapi tubuhnya terpental.
“Ave, sedang apa kau di sini? Apa kau lari dari rumah?” Tanya laki-laki petani itu. aku tahu sebenarnya bukan petani itu yang berbicara, tetapi Alick makhluk sejenis Ave dan ketiga lainnya dalam tubuh guruku.
“Aku ingin bertemu denganmu,” kata Ave dengan suara lemah.
“Kau menyerap semua cinta? Itu tindakan jahat Ave!” seru Alick.
“Jika aku tidak menyerap cinta aku tidak akan pernah bisa keluar dari cermin ini, aku ingin hidup bersamamu, Alick,”
“Tempatmu bukan di sini, kembalilah pulang. Lagipula kita tidak bisa hidup bersama di penjara. Kini kau sudah bertemu denganku, pulanglah. Ini permintaanku,” Alick memalingkan muka tubuh petaninya.
“Aku minta maaf, Alick. Aku saat itu cemburu, aku tidak suka dengan wanita itu,”
“Sudahlah Ave, hukumanku tidak bisa dicabut walaupun kau mengatakan itu semua kepada hakim bahkan kepada raja sekalipun,”
“Apa yang bisa aku lakukan agar kau memaafkanku?” Tanya Ave memohon.
“Aku akan memaafkanmu jika kau kembali pulang,” Alick tidak mampu menatap wajah Ave, wajah penuh penyesalan kekasihnya.
“Baiklah aku akan pulang,” ketika ketiga makhluk dalam tubuh guruku membuka portal untuk kembali ke dunianya, Ave melakukan hal yang tidak dapat dipercaya. “Hanya tubuhku saja yang akan kembali pulang, aku akan selalu di sekelilingmu, Alick!” suara Ave seperti suara berderit yang memekakkan telinga. Ave memecahkan cerminku, mengambil serpihannya dan ditusukkan tepat pada jantungnya.
Melihat hal yang dilakukan oleh Ave sontak Alick melompat keluar dari tubuh petani itu dan masuk ke dalam cermin. Alick memengang kepala Ave yang terkulai, dia menangis tersedu-sedu menyesali keputusan yang diambil oleh Ave. “Aku akan menyusulmu,” Alick kembali ke tubuh petani itu lalu dia mencabut semua tanaman yang baru tumbuh, menginjaknya, merusaknya. Raja hukum aku, aku telah merusak tanaman-tanaman ini, hukum aku Raja, aku mohon,”
Lalu tanpa awan mendung muncul suara petir, cahaya seperti kilat mengarah pada tubuh petani itu. Pak Tio mengerti adanya kilat itu, lalu dia membuka kembali portal yang tadi ditutup untuk jalan pulang dia dan dua yang lainnya.
“Maudy cepat pulang, sebelum tubuh-tubuh ini sadar. Terima kasih kamu telah membantu kami,” aku melihat kain sutra dengan berbagai warna terserap masuk ke dalam portal, termasuk tubuh Ave yang keluar dari cerminku. Dan portal itu menghilang.
“Jelaskan padaku,” suara seorang laki-laki muncul dari arah belakang, aku menjadi mudah terkejut karena selalu mendengar suara lain lagi.
“B-B-Ben? Kamu kok bisa ada di sini?” aku tergagap dan bingung memikirkan apa yang harus dikatakan padanya. Ben tidak menjawab hanya terus menatapku, tajam. “Kamu sudah melihat itu semua?”
“Kamu janji mau menceritakannya hari ini,” ia menagih rasa penasarannya sekarang.
“Baiklah aku akan menceritakan semuanya tapi tidak di sini karena kita tidak ingin guru-guru kita kembali kesadarannya dan menemukan kita berdua. Kita pasti akan diinterograsi dan aku tidak tahu harus menjawab apa,”
“Baiklah, kita akan bertemu dimana?” Tanya Ben mulai melunak. Wajahnya tidak sekeras tadi yang dipenuhi rasa penasaran yang tidak kunjung terjawab.
“Kita ganti pakaian dulu, aku tidak mau dirazia gara-gara bolos sekolah. Kita bertemu di tempat kencan pertama kita, okay? Jam 12.30”
 “Tempat kencan pertama kita? Dimana?” Ben bingung dan tidak mengetahui jawabannya sama sekali.

“Oh, maksudku di kedai es krim dekat rumahku,” Ben mengangguk menyetujui. Aku memacu sepeda motorku terlebih dahulu dan Ben mengikuti di belakang dan tetap terus di belakangku hingga kami berpisah di perempatan keenam. 

Komentar

Postingan Populer