Cermin
Aku
pulang dengan tubuh basah kuyup dan ketika sampai ke rumah aku langsung berlari
ke kamar tak menghiraukan pertanyaan mama. Di luar hujan sangat deras, setelah
berganti pakaian aku meyelimuti diri bukan karena kedinginan tetapi lebih
tepatnya karena ingin bersembunyi dari rasa sakit.
“Sahabat
yang selama ini ku percaya akhirnya membuka mulut, akhirnya mengungkapkan
semuanya dan akhirnya aku menyadari bahwa selama ini aku telah dibodohi” aku
hanya mengatakan semua yang ada di pikiranku, mengatakan tanpa ada yang
mendengar.
“Lalu
apa yang akan kamu lakukan sayangku?” suara asing menanyakan pertanyaan atas
apa yang aku pikirkan. Aku kaget dan mencari ke sekeliling kamar mencari
sesosok yang bertanya tetapi tidak ada siapapun hanya aku sendiri di kamar ini.
“Aku di sini sayangku, dalam cerminmu.” Suara itu seakan mengerti apa yang aku
pikirkan. Aku melihat ke arah cermin besar yang menggantung pada dinding
kamarku dan di sana berdiri sesosok seperti wanita tetapi aku tidak bisa
melihat wajahnya karena tertutupi oleh kain sutra super halus yang membentuk
lekuk tubuhnya.
“Siapa
kamu?” aku mencoba memberanikan diri.
“Kau
bisa memanggilku Ave” saat itulah kain sutra super halusnya tersingkap dan
menampilkan wajahnya. Wajahnya sangat cantik, kulit wajahnya seputih susu, rambutnya
panjang berwarna tembaga, namun aku tidak bisa melihat jenis pakaian apa yang
ia kenakan karena tubuhnya tetap dibalut kain sutra super halus berwarna hijau
zamrud.
“Mengapa
kamu bisa ada dalam sana? Kamu itu apa?” aku tergagap karena terkejut dan
penasaran makhluk macam apa wanita itu, otakku penuh dengan pertanyaan.
“Aku
akan menjadi sahabatmu sayangku. Aku wanita sepertimu, namun aku bukan wanita
yang lemah sepertimu!” suaranya sedikit meninggi membuatku tidak terima dengan perkataannya.
“Aku
tidak lemah seperti yang kamu katakan!” suaraku ikut meninggi menutupi apa yang
sebenarnya wanita itu kira.
“Ow,
bagus sekali karena aku sangat membenci makhluk lemah!” tubuhnya seperti mengambang
dalam air, rambut dan sutra yang membalut tubuhnya seperti melayang-layang.
“Kemarilah sayangku, aku ingin melihatmu dari dekat,”
Suara
itu sangat lembut dan aku mengikuti perintahnya lalu aku mendekat pada cermin.
”Aku tahu kamu sedang kecewa dengan seorang pria. Pria itu mencintai wanita
lain bukan? Mengapa wanita itu bisa memikat priamu? Mengapa wanita itu bisa
membuat pria yang kau cintai bisa jatuh cinta pada wanita itu juga? Atau bahkan
lebih mencintai wanita itu daripada mencintaimu. Kau hanya wanita tidak berguna
sehingga kau kehilangan priamu itu. Mungkin kau sudah tidak cantik lagi,
mungkin kau tidak menarik lagi.” Selama berbicara wanita dalam cermin itu
membelai wajah mencengkram dagu, kata-katanya sangat merendahkanku dan so tahu.
Aku bukan wanita lemah yang seharusnya ditinggalkan oleh seorang pria. Tidak!
aku tidak seperti yang wanita itu katakan.
“Buktikan
pada mereka bahwa kau juga bisa membuat seorang, oh tidak, banyak pria menjadi
jatuh cinta padamu, membuat banyak pria mengejar dirimu demi hati kecilmu ini.”
Jari telunjuknya mengarah tepat di hatiku. “Aku ingin kau memikat
sebanyak-banyaknya pria, buat mereka menyatakan cintanya padamu saat itulah kau
bisa membuktikan bahwa kau bukan makhluk rendah yang tak menarik. Buktikan
padaku kalau apa yang kukatakan tadi adalah salah!” tangannya kembali masuk
dalam cermin. “Pergilah tidur, jangan menangis lagi kini aku adalah temanmu.
Tenang saja aku tidak akan mengambil pria-pria yang kau pikat karena aku tidak
menyukai manusia!” dan cerminku kembali normal. Kesadaranku kembali, aku mencari
wanita itu namun kamarku kosong hanya aku sendiri.
Hujan
deras dan kadang disertai petir yang menyebabkan kilatan cahaya menerangi
kamarku yang tidak kunyalakan lampunya. Aku naik ke tempat tidur, ku lihat jam
di ponsel menunjukkan pukul 00.09, sudah tengah malam.
Aku
mengubah posisi badanku mencari posisi yang nyaman, tetapi aku tidak menemukan
kenyamanan itu dan aku tidak bisa tidur. Saat aku pulang jam yang ada di atas
TV menunjukkan pukul 20.10 dan sekarang sudah pukul 00.18 apa saja yang
kulakukan sehingga aku masih terjaga hingga tengah malam. Apa aku terbangun
padahal sudah tidur sejak tadi? Iya sepertinya aku sudah tidur karena tadi aku
bermimpi ada seorang wanita dalam cerminku.
“Maudy
kita mau lagu apa nih buat nanti acara perpisahan kelas XII?” Tanya Ben. Aku
berpikir untuk memilih lagu apa yang bagus. Kami memang sering duet. Ketika
yang lain membentuk band kami menjadi penyanyi solo. Aku Maudy, siswi kelas XI
yang baru patah hati, jago bernyayi dan akan menjadi si hebat yang membalas
kelakuan Galang dan Siska si pengkhianat persahabatan.
“Uh
sejak dia jadi pengkhianat aku menjadi perempuan gila yang berbicara sendiri,
mondar mandi di kamarku dan menjadi orang yang yang selalu sinis setiap waktu,”
aku merengut kesal sesampainya di kamarku, membanting tas ke tempat tidur.
“Maudy,”
aku kaget mendengar namaku dipanggil. Itu bukan suara mama, itu bukan suara Kak
Miranda, aku tidak mengenali suara itu. “Bukankah aku sudah bilang tadi malam
bahwa aku kini sudah menjadi temanmu? Mengapa kamu masih menganggap dirimu
sendirian?” Tanya suara itu, refleks aku langsung melihat ke arah cermin dan
mendekat.
“Oh
tidak! Apakah aku sudah gila? Bagaimana mungkin mimpiku semalam bisa menjadi
kenyataan? Tidak, tidak, tidak. Aku tidak mau menjadi wanita gila di usiaku
yang masih 16. Tidak, tidak, tidak, aku harus pergi ke rumah Siska. Aku tidak
bisa terus berbicara sendiri seperti ini, aku harus berbicara dengan manusia.”
“Maudy!
Kau tidak gila sayangku. Apakah kau menganggap pertemuan kita tadi malam
hanyalah mimpi? Tidak sayangku. Kemarilah aku akan membuktikan bahwa kau tidak
gila dan tidak sedang bermimpi. Kemarilah aku akan menyentuhmu, membuktikan
padamu bahwa aku ini nyata.” tangannya yang dibalut sutra berwarna batu zamrud
itu keluar dari cermin.
Aku
takut-takut mendekat ke cermin membiarkan tangan dalam cermin itu menyentuhku. “Ya
kamu nyata. Sebentar sepertinya aku mengingat namamu,” aku berpikir mencoba
mengingat-ingat. “Ave! Namamu Ave kan?” aku berseru.
“Benar
sekali sayangku.” Jawab wanita itu.
“Oh
tidak, kamu nyata dan aku berarti tidak gila,”
“Kau
memang tidak gila sayangku. Nah, sekarang apakah kau ingat apa tugas mu?”
tanyanya.
Aku
kembali mencoba mengingat apa yang sebenarnya aku bicarakan dengan wanita itu
tadi malam. “Kamu memintaku untuk membuat banyak cowok untuk menembakku?”
“Menembakmu?
Tidak sayang tidak, aku menginginkan agar pria-pria menyatakan cinta padamu,”
“Iya
maksudku seperti itu. Kamu umur berapa tahun?”
“Usiaku
7698 tahun”
“Pantas
saja kamu tidak paham, kamu tua sekali. Baiklah nanti aku akan mengajarimu beberapa
bahasa slang, okay? Tapi sekarang aku
mau makan siang dulu,”
“Maudy!
Cobalah untuk serius! Aku tidak mau kau main-main. Kau tidak ingat pacarmu itu
mencintai wanita lain dan memilih untuk pergi darimu?” Tanya wanita itu.
“Iya,
kamu benar Ave. Tapi aku tidak bisa berpikir ketika lapar, aku akan kembali okay?” aku bergegas ke ruang makan.
Seperti biasa rumah dalam keadaan kosong tetapi mama tidak pernah lupa memasak
untuk makan siang, lebih tepatnya makan sore. Selama jam istirahat aku latihan
vocal dengan Ben untuk acara perpisahan kelas XII yang akan dilangsungkan 4
bulan lagi dan memang aku menjadi tidak nafsu makan ketika di kantin ada Galang
dan Siska.
Selain
sekolah aku juga les vocal sehingga aku sering mengisi di beberapa acara ulang
tahun, menyanyi di café dengan teman-teman di tempat les, bahkan mengisi acara
di wedding. Walaupun cita-citaku
ingin menjadi psikolog tapi tidak ada salahnya jika aku memiliki kecakapan lain
kan? Setelah mengenal Ave dan mengingat apa yang harus kulakukan adalah
meningkatkan kacakapanku untuk membuat banyak laki-laki jatuh cinta padaku.
Aku
bertubuh mungil dengan rambut lurus berwarna kecoklatan tergerai panjang. Aku
tidak secentil teman-temanku lainnya, tetapi apakah kau ingin tahu mengapa
banyak yang menyukaiku? Aku menghormati mereka. Aku memperlakukan semua
laki-laki dengan baik walaupun aku tidak memiliki perasaan kepada mereka semua.
Aku akan membuat mereka damai, tenang, percaya dan terbuka padaku. Lalu aku mencari
kelemahan mereka dan aku genggam sampai mereka tidak bisa hidup tanpaku. Ketika
mereka memohon padaku dan menyatakan bahwa mereka tidak mampu pergi menjauh
dariku saat itulah Ave muncul.
Ave
memintaku untuk menggiring mereka ke tempat yang tidak ada orang sehingga tidak
ada seorangpun yang tahu apa yang akan kami lakukan. Ketika para laki-laki itu
menyatakan perasaannya padaku Ave muncul keluar dari dadaku dengan cahaya putih
yang menyilaukan mata ia menyerap semua perasaan cinta tanpa tersisa. Setelah
Ave selesai aku merasa lelah dan aku biasanya langsung terduduk sedangkan
setiap laki-laki itu akan lupa apa yang akan mereka lakukan di tempat sepi
dengan seorang gadis maka mereka akan pergi meninggalkan aku sendirian karena
tidak peduli padaku lagi.
Awalnya
aku sangat menyukai permainan ini. Aku merasa di atas angin melihat banyak
laki-laki yang merasa tidak mampu jika mereka kehilanganku tetapi aku merasa
ini adalah suatu kesalahan. Salah satu korbanku adalah Ray, temanku di tempat
les. Setiap les dia selalu marah-marah bahkan ia hampir menghajar coach Chiko dengan gitar, siswa
perempuan menjerit dan orang-orang yang ada di sana mencoba untuk menenangkan
Ray. Aku ketakutan, apakah ini yang terjadi ketika manusia tidak memiliki cinta
dalam hatinya?
Setelah
kejadian Ray yang ingin menghajar coach Chiko
aku mulai mendiamkan Ave, aku tidak mendengarkan apa yang Ave katakan, aku
tidak menjawab semua pertanyaannya bahkan aku menutupi cerminku dengan kertas
agar Ave tidak muncul tetapi Ave selalu muncul di setiap cermin yang kumiliki.
Cermin dalam bedakku, cermin dalam lemariku, bahkan pada cermin dalam tempat
pensilku. Rasa panikku semakin membesar ketika ku dengar Haris bunuh diri
karena selalu merasa sedih dan terpuruk, ya dia adalah korbanku juga. Aku semakin
takut karena aku tidak ingin Ben menjadi korban selanjutnya, tetapi itu tidak
mungkin aku rasa hanya aku yang jatuh cinta sedangkan dia tidak. Tetapi itu
lebih baik artinya Ben tidak akan menjadi korban.
“Maudy,
Ben, stand by ya.” Kata Tika selaku penanggung
jawab artis, kami berdua mengangguk mengiyakan.
“Kamu
jangan suka sama aku ya,” aku berkata saat Ben sedang membereskan kemejanya.
“Apa
sih, kamu GR deh,” tawanya, suaranya oh aku jatuh cinta pada Ben, teman duetku
4 bulan terakhir ini. Bagaimana tidak, kami selalu bersama-sama saat jam
istirahat dan sepulang sekolah untuk latihan vocal, dia selalu mengantarku
pulang atau untuk les, bahkan dia pernah mengajakku ke kedai es krim, yang
kuanggap itu adalah kencan pertama kami.
Kami
membawakan dua lagu dan semuanya mendapat apreasiasi yang luar biasa meriah.
Aku merasa sangat bahagia tetapi itu pula berarti romansa ini akan berakhir
mulai malam ini.
“Maudy,
aku menyukaimu. Maukah kamu jadi pacarku?” tanpa aba-aba Putra melakukan hal
itu di tengah-tengah acara setelah aku turun dari panggung menyita perhatian
semua orang yang hadir. Aku panik dan benar cahaya putih keluar dari dadaku
mengarah ke dada Putra selama empat detik cahaya itu terus menyerap cinta
Putra. Ketika cahaya itu hilang dan kesadaranku pulih kembali Bu Marry, Pak Tio
dan Bu Rose menghampiriku dan ku melihat ke sekeliling semua orang
memperhatikan ke arahku dengan ekspresi wajah tidak percaya.
“Kamu
tidak apa-apa, Nak?” Tanya Bu Marry lembut. Beliau guru BK, guru yang paling
baik dan paling lembut yang pernah kutemui.
“Besok
kami tunggu kami di ruang BK,” kata Bu Rose, guru bahasa Inggris yang super
killer menurut semua siswa di sekolahku.
“Tapi
itu bukan kesalahan saya, Bu” aku menolak untuk disalahkan. Aku mencari sosok
Putra, tapi tidak terlihat. Kemana dia?
“Tenang
Nak, kamu memang tidak salah tapi kamu tetap kami tunggu besok di ruang BK. Ada
yang ingin kami tanyakan perihal ini,” jelas Pak Tio tegas, beliau adalah guru
olahraga. Mengapa guru olahraga juga ikut terlibat?
Bu
Marry membantuku berdiri, memegang tanganku dan mengangguk mengiyakan kedua
perkataan guruku yang lain. Aku buru-buru pergi dari kerumunan mencoba mencari
udara segar untukku bernapas. Aku merasa sesak dengan kejadian itu.
“Maudy,”
suara Ben terdengar di belakangku. Aku berbalik dan mencoba mengatur sikap agar
terlihat natural. “Kamu enggak apa-apa?”
“Emang
aku kenapa? Aku enggak kenapa-napa kok,” jawabku mencoba netral.
“Kejadian
tadi?” Ben terdiam sesaat. “Ini yang kamu maksud agar aku jangan sampai
menyukaimu?”
“Putra
kemana?” aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan kami yang aku prediksi dia
akan bertanya sebenarnya apa yang terjadi.
“Jawab
pertanyaanku Maudy,” Ben memegang lenganku dan menatapku memaksaku untuk
menatapnya juga.
“Kamu
juga belum menjawab pertanyaanku,” aku mencoba keluar dari situasi ini.
“Dia
pergi entah kemana, mungkin dia pulang. Sekarang jawab pertanyaanku,” ucap Ben
sedikit memaksa.
“Aku
tidak tahu Ben. Kamu dengar sendiri tadi Bu Rosemarry dan Pak Tio menyuruhku
untuk datang ke ruang BK besok jadi malam ini aku belum bisa menjawab
pertanyaan kamu. Aku mau pulang,”
“Aku
akan antar kamu pulang,” tawaran Ben seperti biasa.
Sepanjang
perjalanan pulang kami saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak
terasa kami sudah sampai lalu Ben langsung pamit untuk pulang. Aku bergegas
menuju kamar untuk menemui Ave, membanting pintu dan segera merobek kertas yang
menutupinya.
“Apa
yang kamu lakukan tadi? Semua orang kini tahu bahwa aku adalah penyihir,”
napasku naik turun, emosi. “Sampai kapan kamu akan berhenti? Aku sudah tidak
mau melakukan hal ini lagi!”
“Kau
tahu aku akan selalu penyerap cinta yang tertuju padamu tidak peduli kau sedang
berada dimana. Itu kata kuncinya,” Ave menjelaskan, suaranya tetap tenang aku
masih merengut. “Kau tidak bisa berhenti sayangku, kemarilah aku akan
menenangkan dirimu,”
“Tidak!
Aku ingin ini permainan ini dihentikan! Bagaimanapun caranya aku akan
melakukannya, aku ingin berhenti,” aku menjerit sekencang mungkin.
“Eh
kamu sudah bangun,” kata mama sambil membuka tirai jendela agar cahaya bisa
masuk. Ya, seingatku tadi malam aku menjerit dan ketika ku bangun aku ada di
kamar mama.
“Jam
berapa sekarang, Ma?” Tanyaku dengan sedikit menyipitkan mata agar cahaya tidak
buru-buru masuk ke dalam mataku.
“Jam
6, sayang,”
“Aku
terlambat, Ma” aku segara bangun.
“Kamu
mau sekolah? Tapi..” mama memegang keningku. “Sudah turun demamnya. Ya sudah
Mama akan bikin sarapan. Iya Mama tahu enggak akan sempet kan? Nanti Mama
masukan ke kotak makan kamu, sekarang cepat mandi,” Mama seakan mengerti apa
yang aku pikirkan.
Aku
bergegas mandi. Sebenarnya bukan karena tidak ingin bolos sekolah tapi aku
ingin segera menyelesaikan urusanku dengan Ave. Aku akan datang ke ruang BK dan
menemui Bu Rosemarry dan Pak Tio.
Ku
ketuk pintu ruang kerja Bu Marry, guru BK di sekolahku. “Selamat pagi,” dan
ketiga guruku itu menoleh pada sumber suara.
“Selamat
pagi, mari masuk Maudy,” Bu Marry menyambutku dan memberikanku tempat duduk di
depan mereka bertiga. Aku seakan sedang dihakimi, ini sangat tidak nyaman.
“Kita
tidak perlu basa-basi karena ini masalah serius. Saya ingin kamu jujur, apakah
benar ada seorang wanita dalam cerminmu?” Tanya Bu Rose. Aku mengangguk
mengamini.
“Benar
dugaanku. Aku sudah menemukan Alick, jika anak itu mau memberikan cermin itu
siang ini juga kita bisa membawa Ave pulang dan tugas kita selesai,” ujar Pak
Tio.
“Kalian
mengenal Ave?” tanyaku hati-hati.
“Maudy,
Ave adalah putri dari raja kami dan dia kabur karena ingin menemui kekasihnya,
Alick, di bumi. Raja ingin membawa pulang Ave karena Ave tidak boleh ada di
sini, tempatnya bukan di bumi, bumi hanyalah untuk para penjahat. Bumi adalah
penjara,” jelas Bu Marry. “Jadi, bolehkah kami membawa cermin dari kamarmu?
Karena Ave tidak memiliki akses untuk tinggal dalam tubuh manusia makanya dia
tinggal dalam cermin,”
Aku
berpikir sejenak dan aku memutuskan untuk menyetujui rencana ketiga mahkluk
yang meminjam tubuh guru-guruku ini. Kami meminta izin kepada piket dengan
alasan aku sakit sehingga kami bisa keluar dari sekolah. Dalam mobil milik Pak
Tio kami semua hanya terdiam bergelung dalam pikiran masing-masing. Aku tidak
suka suasana hening seperti ini, lalu aku bertanya. “Mengapa pacarnya Ave ada
di bumi? Dia salah apa?”
“Ketika
Ave dan Alick ada janji bertemu saat itu ada seorang wanita yang menghampiri
dan menggoda Alick. Walaupun Alick sudah menolak tetapi wanita itu terus
menggoda Alick, hingga akhirnya Ave datang. Putri manja itu sangat murka. Dia
melaporkan pada ayahnya, lalu raja menghukum Alick dan menurunkannya ke bumi
sebagai penjaga tubuh manusia yang ia tempati agar jangan sampai tubuh itu
melakukan hal yang dilarang. Ketika para penjahat gagal melakukan tugasnya maka
saat itulah mereka dihukum mati dan hukuman itu bisa terjadi juga pada Alick.”
“Sudah
berapa lama Alick dihukum?” tanyaku lagi.
“2890
tahun,” jawab Bu Marry singkat.
Tibalah
di rumahku, jam segini rumah dalam keadaan kosong. Mama dan Papa pergi kerja
tentunya Kak Miranda pergi sekolah. Aku selalu membawa kunci rumah, ketiga
makhluk dalam tubuh guruku mengikuti ku masuk ke kamar. Saat cermin itu di bawa
masuk ke dalam mobil Pak Tio, Ave tidak muncul.
“Bu,
Pak, saya akan membawa motor sendiri,” aku meminta izin. Lalu aku mengikuti
mobil Pak Tio dari belakang. Kami berhenti di suatu ladang jagung, ya memang
jauh sekali dari rumahku karena ladang ini terletak di pinggir kota.
Ketika
kami sampai, seorang laki-laki paruh baya muncul dari gubuk kecil. Laki-laki
itu menghampiri kami. “Panggil Ave,” pinta Bu Rose. Entah hanya perasaanku saja
atau bukan Bu Rose tidak tampak galak lagi.
“Ave,
ada yang ingin bertemu denganmu. Keluarlah, aku tahu aku sudah mendiamkanmu.
Keluarlah, aku memiliki kejutan untukkmu,” Kain sutra warna hijau zamrud mulai
muncul dan perlahan-lahan wajah Ave tampak olehku. Aku tersenyum, Ave tampak
tidak suka. “Ave lihatlah siapa di sana?” aku menunjuk kepada seorang petani
berbadan kurus dengan kulit coklat karena selalu terbakar matahari.
“Alick?”
Ave mencoba keluar dari cermin tapi tubuhnya terpental.
“Ave,
sedang apa kau di sini? Apa kau lari dari rumah?” Tanya laki-laki petani itu.
aku tahu sebenarnya bukan petani itu yang berbicara, tetapi Alick makhluk
sejenis Ave dan ketiga lainnya dalam tubuh guruku.
“Aku
ingin bertemu denganmu,” kata Ave dengan suara lemah.
“Kau
menyerap semua cinta? Itu tindakan jahat Ave!” seru Alick.
“Jika
aku tidak menyerap cinta aku tidak akan pernah bisa keluar dari cermin ini, aku
ingin hidup bersamamu, Alick,”
“Tempatmu
bukan di sini, kembalilah pulang. Lagipula kita tidak bisa hidup bersama di
penjara. Kini kau sudah bertemu denganku, pulanglah. Ini permintaanku,” Alick
memalingkan muka tubuh petaninya.
“Aku
minta maaf, Alick. Aku saat itu cemburu, aku tidak suka dengan wanita itu,”
“Sudahlah
Ave, hukumanku tidak bisa dicabut walaupun kau mengatakan itu semua kepada
hakim bahkan kepada raja sekalipun,”
“Apa
yang bisa aku lakukan agar kau memaafkanku?” Tanya Ave memohon.
“Aku
akan memaafkanmu jika kau kembali pulang,” Alick tidak mampu menatap wajah Ave,
wajah penuh penyesalan kekasihnya.
“Baiklah
aku akan pulang,” ketika ketiga makhluk dalam tubuh guruku membuka portal untuk
kembali ke dunianya, Ave melakukan hal yang tidak dapat dipercaya. “Hanya
tubuhku saja yang akan kembali pulang, aku akan selalu di sekelilingmu, Alick!”
suara Ave seperti suara berderit yang memekakkan telinga. Ave memecahkan
cerminku, mengambil serpihannya dan ditusukkan tepat pada jantungnya.
Melihat
hal yang dilakukan oleh Ave sontak Alick melompat keluar dari tubuh petani itu dan
masuk ke dalam cermin. Alick memengang kepala Ave yang terkulai, dia menangis
tersedu-sedu menyesali keputusan yang diambil oleh Ave. “Aku akan menyusulmu,”
Alick kembali ke tubuh petani itu lalu dia mencabut semua tanaman yang baru
tumbuh, menginjaknya, merusaknya. Raja hukum aku, aku telah merusak tanaman-tanaman
ini, hukum aku Raja, aku mohon,”
Lalu
tanpa awan mendung muncul suara petir, cahaya seperti kilat mengarah pada tubuh
petani itu. Pak Tio mengerti adanya kilat itu, lalu dia membuka kembali portal
yang tadi ditutup untuk jalan pulang dia dan dua yang lainnya.
“Maudy
cepat pulang, sebelum tubuh-tubuh ini sadar. Terima kasih kamu telah membantu
kami,” aku melihat kain sutra dengan berbagai warna terserap masuk ke dalam
portal, termasuk tubuh Ave yang keluar dari cerminku. Dan portal itu menghilang.
“Jelaskan
padaku,” suara seorang laki-laki muncul dari arah belakang, aku menjadi mudah
terkejut karena selalu mendengar suara lain lagi.
“B-B-Ben?
Kamu kok bisa ada di sini?” aku tergagap dan bingung memikirkan apa yang harus
dikatakan padanya. Ben tidak menjawab hanya terus menatapku, tajam. “Kamu sudah
melihat itu semua?”
“Kamu
janji mau menceritakannya hari ini,” ia menagih rasa penasarannya sekarang.
“Baiklah
aku akan menceritakan semuanya tapi tidak di sini karena kita tidak ingin
guru-guru kita kembali kesadarannya dan menemukan kita berdua. Kita pasti akan
diinterograsi dan aku tidak tahu harus menjawab apa,”
“Baiklah,
kita akan bertemu dimana?” Tanya Ben mulai melunak. Wajahnya tidak sekeras tadi
yang dipenuhi rasa penasaran yang tidak kunjung terjawab.
“Kita
ganti pakaian dulu, aku tidak mau dirazia gara-gara bolos sekolah. Kita bertemu
di tempat kencan pertama kita, okay?
Jam 12.30”
“Tempat kencan pertama kita? Dimana?” Ben
bingung dan tidak mengetahui jawabannya sama sekali.
“Oh,
maksudku di kedai es krim dekat rumahku,” Ben mengangguk menyetujui. Aku memacu
sepeda motorku terlebih dahulu dan Ben mengikuti di belakang dan tetap terus di
belakangku hingga kami berpisah di perempatan keenam.
Komentar
Posting Komentar