Jodoh Pasti Bertemu


Berputar-putar di daerah yang asing, berkali-kali salah arus dan diberhentikan polisi lalu lintas. Jam di dashboard mobil menunjukkan pukul 10.03 pagi. Tetangga rumah Gladys yang menjadi penyelamat ke mana ia harus pergi mengatakan untuk mengikuti angkot berwaran hijau yang akan membawanya ke tempat di mana Gladys bersekolah. Namun hampir setengan jam berlalu, matanya tak menangkap sebuat barisan kalimat yang ia cari.
Mobilnya terparkir di samping gedung sekolah itu. Mengenakan kacamata berbingkai hitamnya agar tidak banyak mengalihkan pandangan orang-orang sekitar. Dia berpikir, orang-orang akan mengira ia hanya seorang mahasiswa alumni sekolah itu.
“Permisi Pak, siswi yang bernama Gladys Mardian Ayu kelas berapa dan dimana ruangnya?” tanyanya pada seorang yang duduk santai tanpa seragam security.
“Masuk aja A, nanti tanya aja. Saya enggak hapal kelas siswa-siswa di sini,” Billy gondok.
Tersesat lagi di bangunan sekolah yang namanya pun tak sempat ia ingat. Berjalan menyusuri koridor dan membaca setiap nama kelas yang tertera di atas pintu. Dan ketika nama itu tertangkap oleh kedua matanya, perasaan tenang menyusup di dadanya.
“Permisi, ada yang namanya Gladys?”
Seorang siswi berperawakan tinggi dan rambut tergerai menghampiri Billy. “Ada apa ya, Kak?”
“Kamu Gladys? Hm, lo ikut gue sekarang!” tangannya menggenggam erat tangan Gladys. Seakan tak ingin penderitaan ini berlanjut jika Gladys terlepas dari pandangannya.
“Loh, loh mau kemana Kak? Kakak enggak bisa ajak aku pergi seenaknya” ucapan Gladys seperti desiran angin yang berlalu. “Toll....”
“Sssttt,” Billy menarik Gladys dan terdampar di pelukkannya. Pandangan mereka bertemu beberapa detik, dengan perasaan campur aduk Gladys bangun dan berdiri di kakinya lagi.
“Sebenernya Kakak ada perlu apa sama aku?” Suaranya lebih lembut dari sebelumnya, lebih tepatnya karena perubahan suasana yang mereka ciptakan.
“Hm.. Gini, mm nyokap gue pengen ketemu sama lo.” Kalimat itu akhirnya meluncur mulus dari mulutnya.
“Kok bisa Kak? Mamanya Kakak itu Tante siapa ya? Bentar-bentar, Kakak! Kak Billy Darwis kan? OMG, gimana Kakak bisa sampe ke sini?”
“Aduh elo enggak usah banyak tanya ya. Sekarang kan lo udah tahu alesan gue ke sini dan elo juga sadar kalo gue bisa sampe ke sini itu membutuhkan perjuangan yang besar. Maka dari itu gue harap sekarang lo ambil tas lo dan ikut sama gue.”
“Tunggu-tunggu, bukannya aku enggak ngehargai Kakak nih, tapi aku enggak bisa ikut. Kakak lihat sendiri kan tadi aku lagi ngapain?” tanya Gladys.
“Lo tuh tadi lagi main handphone!”
“Enak aja, aku lagi sibuk tahu. Jadi aku enggak bisa ikut sama Kakak. Kakak pulang lagi aja ke Jakarta” setelah kalimat itu selesai terucapkan Gladys dengan santai melenggang masuk ke kelas.
Usaha tidak jelasnya  tidak berhasil. Hari liburnya digunakan untuk hal yang tak menghasilkan apa-apa. Tubuhnya terasa remuk seharian duduk di balik kemudi. Beberapa hari kemudian, hari yang diharapkan oleh semua siswa-siswi manapun akhirnya tiba. Welcome holidays!
Kak nanti malem aku berangkat
“Tuh Ma, nanti malem Gladys mau ke sini palingan besok nyampe” ucap Billy sebelum berangkat syuting. Tante Miranda yang tengah menonton infotaiment tersenyum. “Aku berangkat, Ma”
Ponselnya berdering beberapa kali, dengan melihat namanya yang tertera di layarnya saja membuat Billy merasakan akan ada hal buruk yang akan menimpanya kembali.
“Loh Kak Billy, aku kan bilang nanti malem berangkat,” Gladys menyambut dengan kalimat yang sama seperti di pesan yang ia kirim.
“Aku pengen istirahat boleh kan?” suara Billy tidak seperti biasanya. Gladys menagkap sinyal buruk dan ia membawanya masuk ke dalam rumah.
Tante Bellamy menyiapkan makan malam, Billy yang merasa canggung di tengah keluarga Gladys cepat akrab ketika Amy adik bungsu Gladys mengajaknya ngobrol.
“Salam ya buat Mama kamu,”
“Iya tante pasti saya salamin ke Mama,”
“Kita berangkat ya Ma, Pa, Angel. Dah Amy”
Dalam perjalanan yang menghabiskan waktu kira-kira 7 jam itu diselingi Gladys yang menguap terus. Matanya bosan melihat jalanan lurus dan gelap dengan seorang asing yang duduk di sampingnya.
“Tidur aja kalau ngantuk,” Billy yang tetap memfokuskan pandangannya pada lintasan, beralih sebentar untuk melihat gadis yang baru dikenalnya beberapa hari itu.
“Enggak ah, nanti Kakaknya sendirian”
“Enggak ada bedanya elo tidur sama melek. Sama-sama sepi” ia menjawab sinis.
Gladys memasang kedua earphonenya dan bernyanyi dengan keras. Terus sampai telinga Billy pekak mendengar suara Gladys.
“Gladys berisik...” dengan satu tangan yang lain mencoba untuk menutup mulut Gladys yang terus bernyanyi tak jelas.
“Apaan sih Kak pake nyuruh aku berhenti nyanyi segala. Suara aku tuh bagus tahu!”
“Kuping gue budek denger lo nyanyi. Udah mending lo diem, tidur aja sekalian”
“Tadi pengen rame, udah dibikin rame pengen sepi. Apasih maunya? Enggak ngerti,” Gladys menggerutu dengan wajah yang dibuat-buat seperti anak kecil. Bibir manyun sambil berbicara tidak jelas dan pandangan dialihkan ke objek lain yang bertolak belakang dari asal.
“Hoaaah, eh gue udah nyampe. Jam berapa nih? Mandi ah” bergegas bangun dari tempat tidur yang masih memanggil untuk kembali dan terlelap di balik selimut hangat. Tidak mau sarapan sendirian dan keki di rumah orang lain.
Sedangkan di balik pintu kamar Gladys, Billy yang berdiri mematung mengutuki diri sendiri atas apa yang terjadi tadi malam. Apa yang harus ia lakukan? Itu yang dari tadi dipikirkan oleh otaknya yang tiba-tiba tumpul.
“Kakak? Lagi ngapain Kak?” dikejutkan oleh suara pintu dan suara lembut Gladys hampir membuatnya terlonjak, namun gaya gravitasi masih mampu menahannya.
“Baru aja gue mau nyuruh lo sarapan. Ayo sarapan,” jangan sampai bejalan di sisi Gladys membuatnya terlihat kaku, ia memutuskan untuk berjalan mendahului.
“Selamat pagi Tante Miranda” sapa renyah Gladys membuat senyum tante Miranda mengembang.
“Gladys, ayo sini duduk. Gimana tidurnya nyenyak?” kalimat pembuka sederhana dari tante Miranda.
“Enak tante, malah pengen seharian di kasur, hehe”
“Jangan gitu dong, kapan lagi kamu ada di sini. Jadi kamu jangan sia-siain kesempatan ada di sini, jalan sama Billy misalnya”
“Itu sih pasti Tante. Kapan lagi sih bisa jalan sama artis ganteng kaya Kak Billy. Iya nggak, Kak?” kedua alis Gladys naik turun membuat kesan gemas untuk Billy.
“Hah, iya. Gue pasti ngajak lo jalan-jalan” Billy mengiyakan Gladys, dan tante Miranda mendapat sinyal baik yang terlihat dari keakraban mereka.
Breakfast singkat itu berakhir ketika Billy melihat ke arah jam di tangannya dan segera menarik Gladys yang masih memegang sandwich buatan tante Miranda.
“Kita pergi dulu ya, Ma” Billy membukakan pintu lain di samping pintu kemudi, medorong Gladys agar cepat masuk. “Gue kesiangan, lo sih lama amat mandinya!”
“Emang Kakak tahu aku mandi kapan? Jam berapa? Orang pas aku keluar Kakak baru mau ngetuk pintu,”
“Udah pokoknya lo yang nyebabin gue kesiangan!”
“Okee, finee, nggak apa-apa deh aku disalahin. Tapi jangan salahin aku lagi kalau nanti di tempat syuting aku digerumutin orang. Banyak orang-orang yang mau ngobrol sama aku, banyak.....”
“Gue nggak akan ngiri. Lagian yang gue tahu lo itu kan paling anti sama tebar pesona macam gituan,”
“Kata siapa? Jangan so tahu, jangan so...”
“Kita udah sampe. Ayo...”
“Ih apaan sih Kak Billy, omongan gue belum juga sampe titik udah dipotong aja. Beteeeee”
“Ayo keluar, jangan ngegerutu terus.” Merasa bersalah dengan sikapnya yang terlalu ketus membuat ia salah tingkah. “Maafin aku ya” dengan suara yang lebih rendah dan lebih lembut. Dia mengulurkan tangannya dan menuntunnya masuk ke dalam.
“Billy, ye itu kemana aja sih? Eke telepon berkali-kali enggak ye angkat. Si bos udah marah-marah terus dari tadi,”
“Maaf tadi gue bangun kesiangan. Lagian gue lagi nyetir mana bisa gue angkat telepon,” pembelaan diri.
“Enggak, Om eh Tante. Ini salah aku, kemarin aku yang maksa buat ikut ke sini tapi aku malah bangun siang. Jangan marahin Kak Billy lagi ya..”
“Ye jangan ikut campur!” mengalihkan pandangannya kembali pada Billy. “Ye Gladyskan?” Gladys mengangguk mengiyakan. Billy mengambil kesempatan sempit itu, Gladys hanya tertawa kecil. “Hey Billyyyyyy! Eh hehe, Gladys sini-sini eke mau banyak tanya sama ye”
Keduanya sudah akrab, bercerita bertukar pengalaman, tertawa terbahak dan kehebohan lokal mulai terjadi. “Ye tahu kan, di sini eke sebagai make up artist dan eke sangat amazed lihat ye tadi. Beda banget cyiiiin sama di film. Eke jadi pengen belajar biar bisa ngerubah muka orang, hihi”
“Ya tinggal pilih objek yang tante mau. Kak Billy aja biar tambah ganteng, pasti dia mau”
“Si Billy itu orang paling susah. Di suruh datang jam berapa nyampe taun depan. Gimana eke mau make upin dia,” nampaknya Gladys memang benar, bisa memanggil orang-orang untuk tetap berada di dekatnya. “Ye jangan kemana-mana ya.”
Sangat membosankan jika hanya duduk diam melihat kesibukan orang lain, membuka iPad dan memulai game. “Duh ini brand apa ya?” garuk-garuk kepala yang tak gatal, tepuk-tepuk jidat berharap mengingat sesuatu.
“Itu brand Subaru,” kata suara asing di telinganya. Dia Rangga, salah satu artis yang bermain dalam sinetron tersebut bersama Billy.
“Gimana-gimana? S-U-B-A-R-U? Duh, keliatan banget begonya ya.”
“Enggak apa-apa, wajar aja kalau enggak suka lihat rally”
“Eh Kakak, malu deh hehe. Sini Kak”
Beberapa jam berada di lokasi syuting, Gladys sudah dapat perhatian dari orang-orang di sana, sikapnya yang supel dan terkadang konyol membuat orang-orang ingin mengenalnya. Namun tidak dengan Billy. Billy menjauh ketika ada orang lain di samping Gladys. Entah perasaan apa yang melingkupi hatinya, namun ia tak rela jika Gladys terus menerus dengan orang lain dan mengabaikan dirinya.
“Gladys, lo ntar besok enggak usah ikut gue ya!” lebih memerintah ketimbang bertanya.
“Iya enggak apa-apa Kak, lagian bete di sana. Tapi, mobil aku yang bawa ya. Kalau Kakak pulang bilang aja, nanti aku yang jemput,”
Keesokan harinya rutinitas baru untuk Gladys, mengantar Billy ke tempat syuting. Mengucapkan selamat pagi dengan senyum yang ceria, namun hanya kepala yang terlihat sangat konyol sekali dan langsung pergi ketika Billy mencoba mengejarnya. Kabur lebih tepatnya. “Good morning everybody. Kak Billy, syutingnya yang bener, fokus! Dan buat yang lain semangat yaa!”
“Tuh dengerin kata sepupu lo, fokus!” Eza mengulang apa yang dikatakan Gladys.
“Iya gue tahu! Lagian dia bukan sepupu gue, dia anaknya temen nyokap”
“Astaga, kenapa gue harus denger penyataan itu. Kalau kaya gitu kemungkinan besar dia pasti...” Indra tak melanjutkan.
“Pasti apaan sih?” tanya Billy tak sabar.
“PASTI JADIAN SAMA LO!” seru teman-temannya. Setelah itu terdengar sapa prihatin untuk Indra yang mengaku menyukai Gladys.
Jadian? Kata itu terlintas di benaknya? Apa mungkin yang dikatakan teman-temannya bakal terjadi dalam hidupnya. Jadian dengan Gladys, gadis yang baru dikenalnya belum genap seminggu? Namun itu yang menjadi dasar ia ingin mananyakan semuanya kepadanya ibunya, bahwa keinginan ibunya itu sangat janggal. Ada apa sebenarnya? Banyak hal yang ia tidak mengerti.
Kesibukkannya membuat ia tidak banyak bertemu dengan ibunya yang juga sibuk dengan acara arisan dan shopping bersama teman-temannya. Kesibukkan Billy juga yang membuat Gladys bosan dengan kesendiriannya di rumah Tante Miranda yang sepi, tidak ada yang bisa ia ajak bicara atau bermain walau sekedar main sepeda.
“Ma, ada yang pengen aku tanya ke Mama. Gladys udah ada di sini, apa yang akan Mama lakukan?”
“Mama seneng deh kamu nanya itu. Hm Billy sayang, Mama suka sama Gladys. Mama pengen kamu nikah sama dia. Diakan artis, kaya, cantik pintar pula pasti dong kamu juga suka sama Gladys.”
“Mama udah bilang sama Tante Bellamy dan Om Mardian?”
“Hah? Bellamy? Oh, mamanya Gladys. Belum hm, sebenernya Mama enggak kenal sama orang tuanya Gladys” Tante Miranda terkekeh menahan malu karena tindakan gegabahnya itu.
“Apa? Astaga, terus Mama tahu Gladys dari mana? Aku enggak mau tahu, pokoknya Mama harus bilang sama orang tuanya Gladys. Ini namanya penculikan dengan modus..”
“Ssstt, Billy! Bisa enggak ngomongnya pelan-pelan, kalau Gladys denger gimana?”
“Biarin aja kalau Gladys denger. Itu lebih baik! Mama tega banget, sampai-sampai bangunin aku jam 3 subuh suruh aku pergi ke tempat yang aku kira enggak ada. Aku ini anak Mama!”
“Justru karena kamu anak Mama, jadi Mama bisa bebas negelakuin apa aja ke kamu. Ini semua  untuk kebahagian kamu dan kebahagiaan itu enggak instan perlu perjuangan, Billy!.” Billy meninggalkan ibunya begitu saja dan dengan luapan emosi, membanting pintu hingga seluruh kaca bergetar.
Gladys duduk di antara mereka yang masih saling diam. Berhadapan dengan hidangan yang begitu lezat di mata Gladys namun tak cukup lezat di mata mereka berdua. Bahkan Billy tak pamit ketika berangkat. Gladys menangkap keadaan buruk di antara mereka berdua. Mencoba menghibur Billy yang mencoba pura-pura fokus terhadap jalan yang ada di hadapannya.
Hening. Sampai kering tenggorankan Gladys, Billy tak tersenyum sedikitpun. Suasana hatinya yang sedang tidak baik memengaruhi pekerjaannya. Sekarang ia baru merasakan bahwa ia membutuhkan canda tawa milik Gladys.
Lo dimana? Jemput gue, cepat!
“Lo habis dari mana saja seharian ini?” tanyanya ketika sudah berada di balik kursi kemudi.
“Seharian di toko buku,” jawab Gladys yang tetap ceria di balik kegusaran hatinya tentang Billy.
“Cari buku apaan? Kayak enggak ada toko buku aja di Kuningan”
“Ada yang enggak aku temuin di toko buku di sana. Aku cari buku tentang Oxford” jelas Gladys.
“Mau ke Oxford? Kuliah apa liburan?”
“Ya ampun, Kak masa liburan doang sampe harus beli bukunya. Seawam apasih aku, kan masih bisa tanya sana-sini,”
“Ya siapa tahu aja, males nanya sama orang.” Keheningan melanda kembali. Ia kembali ke jalanan dan Gladys yang duduk di sampingnya bingung apa yang harus ia lakukan. “Hah? Lo mau kuliah di Oxford? Kapan?”
“Tahun depan Kak. Setelah aku lulus,”
“Kayak yang bakal lulus aja,” datar sekali.
“Ih jahat, malah ngedoain aku enggak lulus cobaaaaaa,” Gladys kecewa dan ngambek (pura-pura).
“Muka lo lucu kalau lagi kayak gitu, hahaha” Billy tertawa lepas. Selintas perasaan hangat menyelusup dalam dadanya.
Malam merayap naik  ke puncak langit Jakarta. Suara padat kendaraan tak terdengar jika Gladys berada di gazebo yang terletak di beranda belakang kediaman tante Miranda, di depan kolam berair tenang itu Gladys bersandar di tiang memandang langit kelabu yang tanpa bintang.
“Nih gue bikinin susu. Tenang aja, enggak ada obat tidurnya kok. Lagian kalau ada juga enggak akan gue biarin lo tidur di sini.” Billy ikut larut dalam lamunanku. Terbang ke langit kelabu Jakarta yang penuh asap kepadatan kota Jakarta.
Dengan degup jantung yang tak beraturan, perlahan demi perlahan Gladys mencoba mendekatkan diri pada Billy dan kepalanyapun di sandarkan perlahan pada bahunya yang tegap. Billy mengalihkan pandangannya ketika kepala Gladys menyentuh bahunya.
Kehangatan menyelimuti hati mereka berdua. Tangan kekar merangkul bahu mungil Gladys. Mereka menebar serpihan warna merah muda di atas langit cinta mereka.
“Akhirnya Billy jatuh cinta juga sama Gladys, jadi aku enggak usah takut ditolak sama Bellamy kalau aku berani-beraninya bilang akan menjodohkan mereka, kenal aja engga. Tuhan memang menyetujui rencanaku,” tante Miranda kegirangan melihat kedekatan mereka.
Tak terasa dua minggu telah berlalu begitu cepat, semakin cepat habis masa liburan semakin cepat UN menunggu di ujung jalan. Gladys memutuskan untuk pulang dan bersiap dengan rutinitas yang akan menyambutnya beberapa hari lagi. Untuk Gladys yang memiliki kecerdasan di atas normal mungkin bukan masalah namun apabila perasaannya gundah gulana apa yang bisa ia lakukan tanpa konsentrasi.
“Menurut kamu ini buat siapa ya?” tanyanya yang tiba-tiba bodoh mengenai hal semacam ini.
“Past you told me be focus, but now I want to tell you to keep loving me. Emot smile. Emang kamu pernah bilang fokus? Kalau pernah berarti ini buat kamu,” penjelasan singkat Farah setelah membaca tweet Billy.
“Bukannya aku GR atau apa ya, emang aku pernah bilang gitu. Tapi emang cewek yang bilang fokus ke dia Cuma aku aja? Mungkin enggak mungkin banyak, aku enggak mau GR dulu nanti jatuhnya sakit,” lisan bisa mengucapkan seperti itu tapi hatinya masih bertanya sebenarnya untuk siapa tweet yang Billy buat. Untuknyakah atau untuk orang lain yang tidak ia tahu?
“Ya emang jangan GR, tapi bisa jadi. Dia tahu kamu mau ke Oxford? Tanggapannya apa?” Farah semakin penasaran dengan kisah Gladys yang tiba-tiba didatangi cowok keren yang belum dikenalnya yang sampai pada akhirnya ia menjadi begitu galau sepulangnya dari Jakarta.
Kak aku berangkat ke Inggris sekarang, 20 menit lagi take off maaf ya ngasih tahunya ngedadak. Kak aku pengen bilang sesuatu nih tapi bukannya aku so nasehatin Kak tapi aku bener-bener pengen bilang sama Kakak, gini kalau Kakak sayang sama seseorang mau dia itu temen apa emang pacar mau dia deket apa jauh perasaan sayang itu akan Kakak jaga sampai kapanpun. Eh maaf Kak, mainstream banget hehe. Jaga kesehatan ya Kakak dan tetap semangat! Satu lagi fokus! :)
“Astaga, mapus gue lupa Gladys berangkat tadi siang. Kalau gue telepon sekarang pasti handphonenya mati. Bego kenapa gue bisa lupa” di sela syuting ia berjalan mondar-mandir yang menyita perhatian teman-temannya.
“Elo kenapa sih?” tanya Rangga mencoba care dengan rekan setimnya.
“Gue lupa kalau hari ini Gladys pergi ke Inggris dan enggak mungkin gue telepon karena itu percuma dan enggak mungkin juga gue kejar ke airport karena pasti udah take off beberapa menit yang lalu.” kegelisahannya melanda akibat tindakan bodoh pembunuh. Lupa.
“Bil elo jangan jadi bego di depan temen-temen, malu. Muka ganteng tapi PA. Lo pikir dunia masih jaman Kartini surat-suratan? Sekarang udah jaman modern kan ada internet. Bisa videocallan, ribet amat.” Rangga menangkap temannya itu mulai mengerti. “Lo tanya kira-kira dia udah nyampe. Lo tanya skypenya atau apalah. Jangan galau, banyak jalan menuju Roma kawan.”
Entah salah siapa, pesan yang tadi ia kirim tak sampai di ponsel Billy. Billy juga merasa akan gagal jika ia mengirim pesan ke nomor Gladys yang lama. Sedangkan akun tweeter, facebook, skype dan jejaring soasial lainnya ia lupa tanyakan. Gladys seperti benar-benar ingin menghilang dari hidup Billy yang mulai menerimanya. Apa ia mendengar apa yang Billy dan Tante Miranda bicarakan? Pikirannya semakin kacau. Hanya satu yang membuat ia kembali semangat ucapan Gladys yang menyuruhnya untuk fokus dan pesan teman-temannya yang mengatakan bahwa jodoh pasti bertemu.

Komentar

Postingan Populer